"Dia juga sama sih korban Lastri, soal asal-usulnya aku belum tahu, dan kalau umur kudengar dia baru sembilan belas tahun."Aku bernapas lega, kemungkinan gadis malang itu bukan putriku, dari bentuk tubuhnya pun terlihat kurus dan pendek, berbeda dengan Poto Delia di pernikahannya waktu itu, ia terlihat kurus tapi posturnya tinggi seperti Mas Ilyas.*Entah pukul berapa aku tertidur sejak siang, dari cuaca yang mulai dingin sepertinya ini sudah masuk waktu Maghrib, aku melirik ke samping terlihat Meri sedang mengecek kukunya."Ini jam berapa sih, Mer?""Engga tahu, Tan, di sini ga ada jam," jawabnya enteng.Padahal aku ingin salat magrib, sejak datang kemari aku belum menunaikan salat, karena tubuh yang sakit dan lemah, juga kesulitan untuk mengambil air wudhu."Aku mau ke toilet, bagaimana caranya?" tanyaku pada Meri."Buka saja pintu itu." ia menunjuk sebuah pintu tepat di sebelah kasurku.Aku baru sadar jika ruangan ini ada pintu yang lain, dan ternyata benar di dalam sel ini ada s
"Maksudmu?" tanyaku tanpa berpaling menatap Delia."Yang sekarang kamu lihat itu bukan Pak Ilyas, tapi si bi*d*b Ali, bertahun-tahun lelaki itu memalsukan identitasnya," ucap Delia sambil meringis menahan sakit di tubuhnya.Ternyata inilah jawaban dari pertanyaan penemuan paspor bernama Ali Kusuma di kamar itu, lalu apa hubungan Mas Ilyas dan Ali? Apa mereka saudara? Atau jangan-jangan saudara kembar?"Apa kamu tahu hubungan Ali dengan Ilyas itu apa?"Delia menggeleng lemah."Aku tidak tahu soal itu, Tante." Gadis malang itu menatapku intens."Apa Tante kenal dengan Pak Ilyas?" Aku tersenyum miring. "Dia mantan suamiku, kami sudah terpisah dua puluh tahun yang lalu.Dahulu sebelum dipenjara ia memang pernah bercerita ingin membangun panti asuhan anak yatim, agar kelak bisa menjadi syafaat untuknya di akhirat."Mantan istri?" Delia seperti keheranan.Aku mengangguk."Lalu kenapa bisa di sini?" Ia bertanya lagi."Panjang ceritanya, Del, tapi aku mau tahu apa yang kamu ketahui tentang M
"Maksudmu dia putriku? Kebetulan sekali putriku bernama Delia, apa kamu tahu banyak tentang dia?"Aku sungguh tak sabar menantikan ia bicara, entahlah gadis ini terlalu berbelit-belit saat bercerita, mungkin itu pengaruh usia juga tekanan yang selama ini dijalani olehnya."Ya, waktu itu ia dipaksa menikah dengan Bram, tapi gadis itu ga mau, mereka menghajar gadis itu habis-habisan di hadapan kami semua, hingga akhirnya ia menyerah.""Lalu?" selaku, merasa tak sabar menunggu ia bicara selanjutnya."Waktu itu ia bertanya 'kenapa papa tega pada anak sendiri? Tetapi Ali malah tertawa dan saat itulah ia mengakui semuanya, jika dia bukan Ilyas yang mendirikan panti asuhan itu, tapi dia Ali.""Kamu tahu Ali itu siapa? Keluarga Pak Ilyas atau bukan?""Tidak tahu, Tante, aku ga terlalu mengingat kejadian itu."Aku berdecak kesal merasa geregetan dengan informasi yang diberikan Delia setengah-setengah."Lalu kamu tahu saat itu Delia dibawa ke mana?" tanyaku lagi."Aku ga tahu, Tante, yang jelas
"Hajar!"Ambil semua senjatanya!""Masukan ke dalam kerangkeng!""Hajar!""Cari bensin di belakang!"Suasana riuh, aku bingung harus melangkah ke mana saat ini, para gadis itu menghajar semua penjaga, mereka merampas senjata para penjaga dengan bringas.Tak hanya itu mereka juga menembak satu persatu para penjaga hingga mereka tergeletak berlumuran darah.Saat ingin melangkah ke luar tiba-tiba gadis dari kerangkeng sebelah muncul menerobos masuk ke ruangan ini, beruntung aku sampai tak terjatuh."Ayo kejar si b*adab, Bram itu! Aku ingin menc*nc*ng kemaluannya lalu kuberikan pada hewan buas!" teriak satu orang gadis yang kini tengah naik ke sebuah mobil Jeep, bersiap mengejar Bram yang telah kabur lebih dulu.Salah satu gadis itu menyetir mobil tersebut dan mengejar Bram yang sudah kabur di depan sana, sedangkan Ilyas dan Erina entah lari ke mana mereka, bisa juga ada di dalam dihajar para gadis itu."Ayo semua keluar! Tempat ini harus hancur!" teriak gadis itu, tak lama kobaran api me
"Yang lebih kejam ia menjadikan mantan istrinya itu tahanan kerangkeng, dimanfaatkan tenaganya bisa jadi juga dijual ke luar negeri."Delia bicara dengan mulut penuh lalu meneguk air dalam botol."Kamu tahu dari mana, Nak?" tanyaku."Tentu saja aku tahu karena sudah bertahun-tahun hidup dalam penjara lelaki itu, dan selanjutnya akulah yang akan dinikahinya secara kontrak."Mendengar cerita Delia ingin sekali aku meb*nuh pria bernama Bram itu dengan tanganku sendiri, aku tak akan mengampuninya jika ia benar telah memperlakukan putriku seperti binatang."Ya sudah kita ke villa itu, apa kamu tahu tempatnya?""Aku tahu, kebetulan dua kali aku dibawa ke sana."Syukurlah semoga putriku ada di sana."Sebaiknya kita ke sana sore hari, Tante, aku takut ada anak buah Bram melihat kita, kebayang kalau ditangkap lagi," ujar Delia."Ya sudah sambil menunggu sore kita tidur dulu di sini ya, badan Tante lemes banget."Kami pun tertidur entah berapa jam, terbangun karena Delia menepuk-nepuk pipiku."
Aku melirik Delia yang kini wajahnya terlihat pucat, sebagai seorang ibu tentu aku begitu iba melihatnya, terlebih ia memerlukan obat-obatan untuk mengobati luka di v*gin*nya."Delia, apa kamu baik-baik aja?"Gadis itu hanya mengangguk tanpa suara."Kita harus lihat ke dalam, Tante, siapa tahu suara wanita barusan itu anak Tante," ucapnya, wajah gadis itu terlihat sangat letih.Aku terdiam sejenak, bagaimana caranya masuk ke dalam sana sedangkan di depan sana kulihat ada satu orang penjaga."Kamu kesakitan, Delia, lebih baik kembali ke hutan tunggu Tante di sana ya."Ia kembali menggelengkan kepala lagi, sungguh aku tak tega mengajaknya dalam kesulitan."Aku baik-baik aja, Tante, di dalam siapa tahu ada obat anti nyeri dan antibiotik, sementara Tante bisa cari anak Tante.""Tapi kalau ga kuat bilang ya, Tante khawatir."Ia mengangguk lalu kami berjalan mengendap-endap menuju depan villa yang lumayan besar ini.Di depan sana ada satu orang yang sedang berjaga sedang memainkan ponsel, k
Tak kuasa lalu tatapan ini beredar ke sekeliling ruangan, hanya ada kasur lusuh dan lemari usang, bahkan tempat ini mirip-mirip seperti gudang "Apa di luar tidak ada penjaga?" tanya perempuan itu.Aku terkesiap mendengar pertanyaannya, lalu menghampiri."Dia sudah mati, ayo keluar," bisikku."Tapi ... aku takut." "Tidak usah takut, aku akan melindungimu, saat ini Bram pasti sedang sibuk mengurus tawanan lainnya yang ada di kerangkeng.""Sayangi hidupmu lalu kita pergi dari sini."Perempuan itu mengangguk ketakutan lalu melirik anaknya."Nak, kita pergi sekarang ya, kamu mau makan 'kan?" Suara perempuan itu terdengar bergetar."Mau, Bu, ayo aku sudah sangat lapar."Aku membantunya untuk bangun.Namun, saat sudah bersiap ingin pergi tiba-tiba aku mendengar suara teriakkan seorang perempuan di luar sana."Ajo! Ajo! Kemana kamu hah?! Kenapa pintu dibiarkan terbuka!"Celaka, itu suara Erina."Dia masuk ke sini, sepertinya kita harus sembunyi dulu sebelum perempuan itu pergi," bisik Delia
Aku bingung harus melakukan apa sekarang, tiba-tiba saja Delia merampas tongkat yang kupunya lalu membuka pintu yang terkunci dari dalam ini.Lalu Bukk!Ia memukul kepala Erina dengan keras hingga tersungkur ke lantai, Erina sempat membuka mata dan melihat keberadaan kami. Namun, lagi-lagi Delia memukul kepalanya hingga ia tak sadarkan diri."Ayo keluar!" titah Delia.Kami semua keluar dari tempat itu dengan perlahan karena takut ada penjaga di luar."Tunggu dulu,Tante." Delia berlari ke arah kiri.Ternyata ia mengambil dua buah senapan panjang, satu ia pegang satunya lagi diberikan padaku."Ini untuk senjata, Tante tahu caranya?""Begini nih caranya." Ia mengajarkan cara menembak menggunakan senapan ini, dua kali diberi contoh aku langsung mengerti."Bu, kita akan ke mana?" tanya anak lelaki yang entah berusia berapa itu.Jika ia memanggil putriku dengan sebutan ibu otomatis ia cucuku, melihat tubuh anak itu hatiku teriris nyeri seketika.Badannya Kumal dengan baju tak layak pakai,