"Heuh! Bikin susah aja, lihat nanti aku akan membuangmu ke panti asuhan," cerocosnya sambil meraih bayi dalam gendonganku dan ia mulai menyusuinya.Syukurlah ternyata ia masih memiliki hati nurani terhadapnya anak kecil, kini hanya gadis itu yang masih memainkan kesakitan Erina."Nek, Tante itu kasihan," sahut Frans yang sejak tadi berlindung dibalik tubuhku."Iya, Nak, kamu tidur ya nih pakai bantal ini." Aku meraih tas Delia untuk alas tidur Frans."Lihat ini, Mbak, kita punya banyak senjata." Delia membawa beberapa pistol milik anak buah Bram dan mengumpulkannya di hadapanku."Bagus, itu bisa jadi senjata untuk besok perjalanan pulang," sahut putriku."Sekarang ajarkan aku cara menggunakan benda ini ya," pinta putriku lagi.Di ujung sana Erina masih merintih dengan tubuh tak berbusana dan luka di sekujur tubuhnya, aku mendekat menghampirinya lalu membuka ikatan di mulutnya "Erina, katakan apa yang kamu tahu tentang Ilyas?" tanyaku dengan suara pelan.Bukan menjawab wanita itu mala
Kali ini suara tembakan tak terdengar lagi, malah suara teriakkan perempuan yang terdengar dan itu pun sepertinya suara putriku dan Delia."Frans tunggu di sini ya, Nenek mau lihat ke luar dulu."Sambil menggendong bayi aku keluar dari gua dengan hati-hati karena di samping gua ini ada sebuah jurang yang begitu dalam.Mataku membelalak kala melihat para lelaki terkapar di tanah berlumuran darah, tatapanku kini beralih pada Delia dan putriku dan ternyata ada yang membantu mereka.Ya orang itu Meri, gadis yang kutemui di kerangkeng Bram, entah bagaimana ceritanya hingga ia bisa sampai kemari?"Meri!" teriak Delia.Saat akan melangkah aku dikejutkan oleh sosok tubuh Ali yang tergeletak di tanah, sedangkan tubuh Erina masih berada di dekat putriku."Dia belum mati kok, Bu," ucap putriku yang kini berada di belakang punggung.Entah bagaimana ceritanya ketiga wanita ini bisa menang melawan anak buah Bram yang lumayan banyak, dan juga bisa melumpuhkan pria bernama Ali ini."Ayo seret dia ke
"Memangnya apa yang kamu temukan?" tanyaku mulai tertarik dengan apa yang diucapkannya."Teman-temanku ternyata digiring ke villa itu, tapi aku sangat berharap jika yang lainnya ada yang bebas, dan aku juga sangat ingin membebaskan mereka semua, tetapi ...." Ia terdiam lalu menghela napasAku faham kami memang tak memiliki kekuatan untuk membebaskan gadis-gadis itu, beruntung sekali kami telah pergi."Lalu bagaimana caramu melarikan diri dari kerangkeng itu? Dan kenapa bisa kamu tak tertangkap?" tanyaku mulai menoleh pada wajahnya."Aku lari ke belakang kerangkeng menyebrangi sungai sendirian, sementara yang lain kabur ke arah barat menaiki bukit, sebenarnya waktu itu penjaga pun ada yang mengejar beruntung aku mencuri senjata dan bisa menemb*k kepalanya."Gadis ini sangat nekat karena setahuku sungai di belakang tempat itu sangat deras alirannya."Lalu langkamu selanjutnya apa, Mer? Kalau Tante ingin segera keluar dari sini bersama anak Tante."Gadis itu terdiam sejenak."Aku pun sam
(POV ALI)Namaku Ali Kusuma Wijaya, aku terlahir kembar dengan Ilyas Kusuma Wijaya, wajah dan juga tubuh kami sama, bahkan orang asing sama sekali tak dapat membedakan kami berdua.Sejak kecil aku kerap mendapatkan ketidakadilan dari papa dan mama karena aku tak seperti Ilyas yang pintar dan kerap juara satu di sekolahnya.Hal itu membuatku muak baik pada papa ataupun pada Ilyas, hanya mama yang sering membelaku, bahkan adikku sendiri yaitu Anita sering memuji Ilyas dan berhubungan baik dengannya sama seperti papa.Adikku Anita sama pintarnya seperti Ilyas, ia pun sama didewa-dewakan oleh papa, adik perempuanku itu memang tak pernah membenciku hanya saja aku tak ingin dekat-dekat dengan dirinya, selain minder aku pun sakit hati karena Anita salah satu anak kesayangan papa.Menginjak remaja rasa benci yang semula hanya benih kini telah tumbuh dan berakar kuat, papa, Ilyas dan Anita aku membenci mereka semua.Aku memutuskan untuk kuliah di London menjauh dari keluarga yang selama ini me
Anita terkejut mendengar bentakanku yang keras sementara papa masih menatapku dengan tajam."Walaupun aku bukan lagi bagian keluarga ini, dan bukan lagi anak Papa, tapi aku dilahirkan dari rahim Mama!"Anita menghampiriku sambil menangis."Maaf, Kak, sudah jangan marah," rengeknya."Kalau kedatanganmu ke sini hanya untuk marah-marah lebih baik kembali ke tempat asalmu, asal kamu tahu mamamu selalu sakit-sakitan karena memikirkanmu yang tak pernah mau pulang! Makanya itu aku tak sudi memberikan kabar kematiannya padamu!"Aku terdiam sambil menatap nanar ke arah tembok, ucapan papa barusan memang sedikit menimbulkan rasa sesal di hati ini.Seharusnya dulu aku sering menjenguk mama, menemuinnya barang enam bulan sekali atau di waktu-waktu tertentu, kepalaku seperti dihantam ucapan papa."Kalau kamu mengakui mamamu itu orang tuamu sendiri harusnya kamu temui dia, bukan menyiksa batinnya seperti itu!" teriak papa lagiAku tak tertarik dengan teriakan papa gegas naik ke lantai atas memasuki
Aku terkejut sekaligus tak percaya dengan perkataan Erina, mengapa bisa orang terpandang dan terpelajar seperti papa mertua melakukan hal kotor itu?Kupandangi Erina yang sedang ketakutan karena dirinya kini berada di mulut jurang yang dalam."Aku ga bohong, Mirna!" teriak Erina lagi.Tapi aku masih ingat orang yang dahulu menuntutku memang papa, dialah yang menyewa seorang pengacara agar aku diberi hukuman berat, lalu ia berlaku seolah-olah dirinya terluka.***Padahal waktu itu usai kematian mama mertua aku disibukkan dengan berbagai kegiatan, seperti belanja bahan-bahan makanan untuk acara tahlilan dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan kematian mama mertua.Pada malam itu saat hendak mencari baju ganti aku terkejut karena saat membuka lemari tiba-tiba saja sebuah jasad menggelinding jatuh dari lemari hingga mengenai kakiku.Aku berteriak karena terkejut sekaligus takut karena sebelumnya aku tak pernah menemukan hal aneh semacam itu.Seluruh anggota keluarga masuk ke kamarku,
Tiba-tiba datang beberapa orang gadis muda mereka berlari kecil menghampiri kami."Siapa mereka?" tanyaku."Ya Tuhan, Rina, Alifia, Susi!" Meri segera berlari menghampiri gadis-gadis itu lalu mereka berpelukan dengan haru."Tante, ini teman-temanku di kerangkeng masa Tante lupa," ujar Meri."Oh, iya iya maaf Tante lupa, ayo sekarang kita harus cepat pergi dari sini, lalu di mana teman-teman kalian yang lain?""Nanti saja jelaskannya sekarang kita harus sama-sama membuat perahu ini mau berlayar," jawab Meri.Saat gadis terakhir akan naik ke atas perahu ini tiba-tiba terdengar suara tembakan dari dalam hutan, sontak saja kami terkejut dan menoleh ke asal suara "Bram.""Aku kira dia sudah mati.""Ayo siapkan senjata kalian, hari ini juga tengkorak manusia itu harus pecah," bisik Meri.Dan akhirnya terjadi baku tembak lagi, aku tak tahu entah siapa diantara mereka yang terluka dan aku berharap itu bukan putriku Delia, aku memeluk tubuh Frans dengan erat.Setelah beberapa menit suara temb
Aku menatap Nining dengan intens, ia terlihat serius menatapku, entah rahasia apa lagi yang ia sembunyikan yang jelas aku berharap rahasia itu tidak melukai siapapun."Bu, maafkan saya sebenarnya Pak Ilyas ....""Tante, ayo kita lanjutkan perjalanan takut keburu sore," sela Meri tiba-tiba mengehentikan ucapan Nining.Aku dan Nining menatap gadis itu bersamaan, tapi ia betul juga kami harus cepat sampai di kota karena bayi Delia harus segera mandi dan ganti pakaian.Namun, aku kebingungan harus pulang ke mana, ke rumah Mas Ilyas tak mungkin, ikut Nining pun tak enak karena selalu merepotkannya."Ya sudah kita lanjutkan sekarang, bilang teman-temanmu untuk bersiap," ujar Nining."Bu, kita lanjutkan obrolan ini nanti ya."Aku mengangguk lalu melirik bayi yang kuberi nama Maryam ini dengan iba, ia terlihat tidur di pangkuanku sementara ibunya sama sekali tak peduli malah asyik makan dan bercengkrama dengan gadis lain.Nining beranjak dari hadapanku menuju ibu penunggu warung ini dan memba