Share

Bab 5

Penulis: Ina Qirana
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-19 15:33:36

 

 

Di dalam sana perempuan itu masih menangis kadang sekali menjerit.

 

"Kalau kamu sudah masuk ke sini maka tidak bisa keluar lagi, selamanya kamu harus di sini, mengerti!" Pria itu terdengar membentak.

 

"Walaupun aku anak jalanan tapi aku punya harga diri, silakan bunuh aku dari pada seperti ini!"

 

"Oh begitu ya kamu nantang saya!"

 

"Ya saya tidak takut!"

 

Setelah itu terdengar bunyi pecutan disusul suara jeritan yang memilukan, jiwa kemanusiaanku meronta ingin menolongnya, tapi bagaimana?

 

Aku yakin mereka orang-orang kepercayaan Ilyas dan Erina, jika mereka melihatku maka aku langsung habis saat itu juga, belum nasib Nining sudah pasti tak lebih baik setelah ini.

 

"Gimana ini, Ning?" bisikku dengan suara sangat pelan.

 

"Kita pulang saja, Bu, setidaknya kita sudah tahu ini tempat apa."

 

Aku mengangguk.

 

Tetapi, tiba-tiba saja terlihat cahaya senter dan terdengar langkah kaki, mereka semakin mendekat.

 

"Ngumpet, Bu."

 

Beruntung di sekitar sini ada tempat sampah yang berjejer, kami berdua terpaksa sembunyi di balik benda yang menimbulkan bau busuk ini.

 

Orang-orang itu mendekat bahkan kini suaranya mulai terdengar.

 

"Apes banget malam ini cuma dijatah sebungkus berdua."

 

"Bener, padahal malam ini yang sold out banyak ya."

 

Aku berusaha menahan napas agar embusan napas ini tak terdengar, serta sekuat tenaga menahan aroma bau busuk yang begitu menyengat.

 

Setelah orang-orang tadi pergi aku pun bergegas pergi sambil memanjat tembok yang tadi lalu kembali ke penginapan.

 

Tubuhku rasanya lelah sekali malam ini, perut pun terasa mual karena aroma sampah tadi masih menempel di badan.

 

"Ning, kayaknya Mas Ilyas dan Erina buka rumah bordir atau semacam perd*g*Ngan manusia."

 

"Sepertinya begitu, Bu."

 

Tak habis fikir, selama dua tahun berumah tangga dengannya dulu Mas Ilyas tipe orang yang taat pada Tuhan, kenapa sekarang ia membuka usaha dengan kemaksiatan?

 

Lagi pula perusahaan ayahnya dulu berkembang pesat, kenapa ia malah membuka bisnis haram itu? Lalu perusahaannya ke mana?

 

Tatapanku kini beralih pada Nining yang sedang melamun.

 

"Ning, apa kamu tahu nasib perusahaan Multiguna group?"

 

"Perusahaan almarhum Pak Herman?" tanya Nining

 

Aku mengangguk menjawab pertanyaannya

 

"Sudah di jual sama Tuan Ilyas, sudah lama, Bu."

 

Aku benar-benar pening memikirkan hal ini, tak habis pikir jika Mas Ilyas sekotor itu.

 

Tapi itu bukan urusanku lagi, sekarang aku harus pokus mencari Delia.

 

"Aku harus cari Delia ke mana lagi, Ning?" tanyaku putus asa.

 

"Sabar, Bu, saya akan bantu temukan Delia, jangan menyerah Ibu harus semangat."

 

"Apa kamu ga tahu sama sekali tentang kehidupan Mas Ilyas dan Erina, Ning? Misal usaha mereka atau kegiatan setiap harinya?"

 

Aneh sekali, padahal Nining setiap hari bersama mereka, tetapi kenapa ia bisa tak tahu apa-apa?

 

"Engga, Bu, saya 'kan cuma pembantu, interaksi kami itu ya cuma sekitar pekerjaan saya aja, saya dengar perusahaan almarhum Pak Herman dijual pun itu ga sengaja denger."

 

"Saya juga bertemu terakhir sama Non Delia ketika dia lulus SMA, setelah itu saya ga tahu lagi dia di bawa ke mana, lagi pula dahulu Non Delia orangnya sangat tertutup."

 

Aku berdecak, hampir merasa putus asa.

 

"Kalau soal kakak saya Lastri? Kamu juga ga tahu?" 

 

Nining menggelengkan kepala.

 

"Engga, Bu, selama ini saya fokus kerja dan ga banyak mencari tahu kehidupan Ilyas dan Erina."

 

"Kita tidur saja, Ning, sudah malam."

 

Aku benar-benar lelah memikirkan hal ini.

 

Pukul lima subuh kami kembali pulang, Nining ke rumahnya sementara aku ke kosan putrinya.

 

Sebenarnya aku sungkan tinggal di sana, tapi putrinya Nining itu melarangku pergi dengan alasan ia tak punya teman tinggal di sini.

 

Pukul delapan pagi Nining mengirimkan pesan ke ponsel android jadul milikku itu.

 

[Bu, Ilyas dan Erina pergi ke luar kota, pintu kamarnya ga dikunci, Ibu bisa ke sini siapa tahu dengan menggeledah isi kamarnya bisa menemukan petunjuk keberadaan Delia.]

 

Ide bagus.

 

[Baik, Ning, saya akan masuk lewat belakang]

 

Aku khawatir jika Mas Ilyas memasang cctv di halaman depan, dan kedatanganku akan terlihat olehnya.

 

Masuk ke kamar itu lewat jendela yang sudah dibuka oleh Nining terlebih dahulu, aku tak ingin gegabah masuk ke dalam karena takut ada CCTV tersembunyi.

 

Sebelumnya Nining sudah mengecek jika jalur yang kulalui itu tak ada kamera cctv.

 

Kamar terluas di rumah ini dahulu ditinggali olehku dan Mas Ilyas, sekarang tempat ini sudah berubah seratus persen, benar-benar indah dan nyaman.

 

Tempat yang pertama kutuju adalah lemari besar tiga pintu yang terbuat dari kayu jati, sayang sekali lemari itu terkunci.

 

Lalu aku menggeledah meja rias dengan cermin yang besar dihias lampu-lampu putih di pinggirnya, aku mulai membuka laci.

 

Di dalam sana ada beberapa perhiasan milik Erina, aku tak tertarik untuk mencurinya karena takut Nining yang disalahkan.

 

Mataku tertuju pada pada sebuah paspor yang tergeletak diantara perhiasan Erina, kubuka benda itu, Poto Mas Ilyas terpampang di sana.

 

Namun, aku heran mengapa nama yang tercetak bukan nama Mas Ilyas? Di paspor itu malah tertulis nama Ali Kusuma,  tetapi potonya memang betul Poto Mas Ilyas.

 

Apa maksud semua ini?

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Tamat

    "Apa kita harus masuk ke dalam?" tanyaku sambil menoleh.Nining mengangguk, lalu aku mengintip jendela bangunan itu ternyata tempat ini telah kosong."Lihat ini, Bu? Pintu bangunan ini sepertinya telah dirusak," ucap Nining.Ya benar, sepertinya pintu ini telah dirusak oleh para penghuni gedung ini lalu mereka kabur entah ke mana, karena saat membuka pintu dan berteriak tak ada satu orang pun yang datang dari dalam, bangunan ini telah kosong "Mungkin karena anak buah Bram dan Ali telah habis di hutan sana, Ning, makanya gadis-gadis di sini bisa melarikan diri.""Mungkin begitu, Bu, syukurlah semoga hidup mereka baik-baik saja di luar sana, Bu, mari kita pulang."Aku mengangguk lalu kembali naik ke atas motor, pulang dengan hati yang nyaman karena orang-orang yang telah menyakiti putriku telah lenyap dan menerima karma sesuai perbuatanya.*Satu bulan kemudian, aku beserta gadis-gadis malang ini berhasil membuka sebuah restoran khas Sunda, mereka mengelola usaha ini dengan baik sesuai

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 27

    "Mau apa kamu, Lastri?" Napasku terengah-engah menatap benda tajam itu hampir menyentuh tenggorokanku.Aku mundur satu langkah sedangkan Lastri maju dua langkah, jika aku berlari wanita ini pasti akan berbuat nekat dan saat itu juga mungkin nyawaku bisa melayang."Aku mau mengg*rok lehermu, karena kamu sudah berani-beraninya memb*nuh adikku!" bentaknya dengan mata membeliak hampir keluar dari tempatnya, sungguh mengerikan."Oh ya, tapi adikmu itu pantas mati, hidup juga percuma karena hanya akan menyengsarakan banyak orang." Kupegang tangannya yang memegang belati itu, hingga benda tajam itu sedikit menjauh, karena tenagaku lebih kuat hampir saja aku bisa membuat benda tajam itu menembus dadanya.Saat ini kami sedang adu kekuatan, saling mendorong belati untuk melukai tubuh kami."Kurang ajar kamu, Mirna! Kamu sudah melenyapkan mesin uangku!" teriaknya hingga ruangan tamu ini mengeluarkan gema."Adikmu yang kurang aj*r, dia sudah menjual putriku! Membuat hidup putriku seperti sampah!

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 26

    Langkah gadis itu pelan tapi tatapan matanya nampak menyeramkan, aku melirik Mas Ilyas yang sepertinya sedang ketakutan, tanganku gegas meraih lengan Frans agar mendekat."Ngapain kalian di sini?!" tanya gadis itu sedikit membentak, kini jarak kami hanya dua meter."Woww anak yatim piatu baru datang," sahut Delia yang baru turun dari lantai atas, putriku itu nampaknya baru selesai ganti baju.Monic melihat Delia seperti menatap musuh bebuyutan, mungkin saat masih tinggal bersama mereka sering bertengkar."Di mana mama sama papaku?!" teriak Monic dengan tatapan bengis."Apa mama papa?" Wajah Delia sengaja dibuat mengejek setelah itu ia tergelak dengan puas."Kur*ng ajar!" Kedua jemari Monic saling mengepal kuat."Hei, kalian harus tahu dia ini anaknya si Ali sama Erina, enak ya mereka punya anak gadis tapi malah menjual gadis-gadis tak berdosa," seru Delia lagi Jelas saja keenam gadis malang itu menatap Monic dengan nyalang, mungkin rasa benci terhadap Ali dan Erina tumbuh lagi di hat

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 25.B

    Kuraih bayi kurus tak berdosa itu lalu kupeluk Bram dengan erat, kasihan sekali mereka, hadir ke dunia tapi ibunya tak peduli sama sekali."Mereka cucu kita, Mas.""Sini, Nak," sahut Mas Ilyas meminta Frans untuk mendekat."Dia kakekmu, Frans, papanya ibu kamu."Mas Ilyas memeluk bocah kecil itu sambil menangis."Bu, sepertinya kita harus segera pergi dari sini, karena di rumah ini masih ada Nona Monic, Ibu ingat 'kan dia anaknya Erina?" tanya Nining.Ya, aku baru ingat jika Erina dan Ali memiliki anak gadis yang masih kuliah, apa yang harus kujelaskan padanya jika ada aku dan Mas Ilyas di rumah ini."Ning, apa gadis itu tahu kelakukan ibu dan ayahnya?" "Entahlah, Bu, saya ga tahu soal itu, tapi sekarang kalau menurut saya kita pergi dulu dari sini, lagian Tuan Ilyas juga harus ke dokter 'kan?""Ngapain pergi, kita ga boleh takut sama Monic, lagipula ini rumah Papa, dia yang harusnya pergi dari rumah ini, bukan kita," sahut Delia."Gadis itu dan keluarganya sudah menghancurkan keluar

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 25.A

    Kutatap wajah Nining yang samar karena penerangan lampu di ruangan ini tak begitu cerah."Iya, Bu, dia Tuan Ilyas." Nining menghampiri lelaki yang sedang duduk di kursi roda itu, mendorongnya lalu membawa pria itu ke hadapanku.Jarak kami hanya satu meter, dan terlihat jelas jika lelaki itu memang Mas Ilyas, hanya saja bibirnya terlihat miring, wajahnya pun sangat pucat serta tubuh yang kurus, ya Tuhan apa yang terjadi dengannya?"Papa, ini beneran Papa?" tanya Delia, beberapa detik kemudian ia langsung bertekuk lutut di hadapan ayahnya.Mas Ilyas hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban, dari sorotan mata dapat kubaca jika ia sedang berbahagia sekaligus bersedih, karena matanya terlihat berkaca-kaca."Papaaa! Kenapa?! Kenapa Papa di sini?! Papa tahu selama ini si b*adab Ali sudah menghancurkan hidupku! haaaah! Hiks! Hiks!" Delia berteriak histeris Sementara Mas Ilyas tergugu walau bibirnya terlihat miring, mungkin ia terserang stroke. Aku pun bersedih melihat pemandangan ini hingg

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 24

    Aku menatap Nining dengan intens, ia terlihat serius menatapku, entah rahasia apa lagi yang ia sembunyikan yang jelas aku berharap rahasia itu tidak melukai siapapun."Bu, maafkan saya sebenarnya Pak Ilyas ....""Tante, ayo kita lanjutkan perjalanan takut keburu sore," sela Meri tiba-tiba mengehentikan ucapan Nining.Aku dan Nining menatap gadis itu bersamaan, tapi ia betul juga kami harus cepat sampai di kota karena bayi Delia harus segera mandi dan ganti pakaian.Namun, aku kebingungan harus pulang ke mana, ke rumah Mas Ilyas tak mungkin, ikut Nining pun tak enak karena selalu merepotkannya."Ya sudah kita lanjutkan sekarang, bilang teman-temanmu untuk bersiap," ujar Nining."Bu, kita lanjutkan obrolan ini nanti ya."Aku mengangguk lalu melirik bayi yang kuberi nama Maryam ini dengan iba, ia terlihat tidur di pangkuanku sementara ibunya sama sekali tak peduli malah asyik makan dan bercengkrama dengan gadis lain.Nining beranjak dari hadapanku menuju ibu penunggu warung ini dan memba

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 23

    Tiba-tiba datang beberapa orang gadis muda mereka berlari kecil menghampiri kami."Siapa mereka?" tanyaku."Ya Tuhan, Rina, Alifia, Susi!" Meri segera berlari menghampiri gadis-gadis itu lalu mereka berpelukan dengan haru."Tante, ini teman-temanku di kerangkeng masa Tante lupa," ujar Meri."Oh, iya iya maaf Tante lupa, ayo sekarang kita harus cepat pergi dari sini, lalu di mana teman-teman kalian yang lain?""Nanti saja jelaskannya sekarang kita harus sama-sama membuat perahu ini mau berlayar," jawab Meri.Saat gadis terakhir akan naik ke atas perahu ini tiba-tiba terdengar suara tembakan dari dalam hutan, sontak saja kami terkejut dan menoleh ke asal suara "Bram.""Aku kira dia sudah mati.""Ayo siapkan senjata kalian, hari ini juga tengkorak manusia itu harus pecah," bisik Meri.Dan akhirnya terjadi baku tembak lagi, aku tak tahu entah siapa diantara mereka yang terluka dan aku berharap itu bukan putriku Delia, aku memeluk tubuh Frans dengan erat.Setelah beberapa menit suara temb

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 22

    Aku terkejut sekaligus tak percaya dengan perkataan Erina, mengapa bisa orang terpandang dan terpelajar seperti papa mertua melakukan hal kotor itu?Kupandangi Erina yang sedang ketakutan karena dirinya kini berada di mulut jurang yang dalam."Aku ga bohong, Mirna!" teriak Erina lagi.Tapi aku masih ingat orang yang dahulu menuntutku memang papa, dialah yang menyewa seorang pengacara agar aku diberi hukuman berat, lalu ia berlaku seolah-olah dirinya terluka.***Padahal waktu itu usai kematian mama mertua aku disibukkan dengan berbagai kegiatan, seperti belanja bahan-bahan makanan untuk acara tahlilan dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan kematian mama mertua.Pada malam itu saat hendak mencari baju ganti aku terkejut karena saat membuka lemari tiba-tiba saja sebuah jasad menggelinding jatuh dari lemari hingga mengenai kakiku.Aku berteriak karena terkejut sekaligus takut karena sebelumnya aku tak pernah menemukan hal aneh semacam itu.Seluruh anggota keluarga masuk ke kamarku,

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 21.B

    Anita terkejut mendengar bentakanku yang keras sementara papa masih menatapku dengan tajam."Walaupun aku bukan lagi bagian keluarga ini, dan bukan lagi anak Papa, tapi aku dilahirkan dari rahim Mama!"Anita menghampiriku sambil menangis."Maaf, Kak, sudah jangan marah," rengeknya."Kalau kedatanganmu ke sini hanya untuk marah-marah lebih baik kembali ke tempat asalmu, asal kamu tahu mamamu selalu sakit-sakitan karena memikirkanmu yang tak pernah mau pulang! Makanya itu aku tak sudi memberikan kabar kematiannya padamu!"Aku terdiam sambil menatap nanar ke arah tembok, ucapan papa barusan memang sedikit menimbulkan rasa sesal di hati ini.Seharusnya dulu aku sering menjenguk mama, menemuinnya barang enam bulan sekali atau di waktu-waktu tertentu, kepalaku seperti dihantam ucapan papa."Kalau kamu mengakui mamamu itu orang tuamu sendiri harusnya kamu temui dia, bukan menyiksa batinnya seperti itu!" teriak papa lagiAku tak tertarik dengan teriakan papa gegas naik ke lantai atas memasuki

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status