Share

Bab 5

 

 

Di dalam sana perempuan itu masih menangis kadang sekali menjerit.

 

"Kalau kamu sudah masuk ke sini maka tidak bisa keluar lagi, selamanya kamu harus di sini, mengerti!" Pria itu terdengar membentak.

 

"Walaupun aku anak jalanan tapi aku punya harga diri, silakan bunuh aku dari pada seperti ini!"

 

"Oh begitu ya kamu nantang saya!"

 

"Ya saya tidak takut!"

 

Setelah itu terdengar bunyi pecutan disusul suara jeritan yang memilukan, jiwa kemanusiaanku meronta ingin menolongnya, tapi bagaimana?

 

Aku yakin mereka orang-orang kepercayaan Ilyas dan Erina, jika mereka melihatku maka aku langsung habis saat itu juga, belum nasib Nining sudah pasti tak lebih baik setelah ini.

 

"Gimana ini, Ning?" bisikku dengan suara sangat pelan.

 

"Kita pulang saja, Bu, setidaknya kita sudah tahu ini tempat apa."

 

Aku mengangguk.

 

Tetapi, tiba-tiba saja terlihat cahaya senter dan terdengar langkah kaki, mereka semakin mendekat.

 

"Ngumpet, Bu."

 

Beruntung di sekitar sini ada tempat sampah yang berjejer, kami berdua terpaksa sembunyi di balik benda yang menimbulkan bau busuk ini.

 

Orang-orang itu mendekat bahkan kini suaranya mulai terdengar.

 

"Apes banget malam ini cuma dijatah sebungkus berdua."

 

"Bener, padahal malam ini yang sold out banyak ya."

 

Aku berusaha menahan napas agar embusan napas ini tak terdengar, serta sekuat tenaga menahan aroma bau busuk yang begitu menyengat.

 

Setelah orang-orang tadi pergi aku pun bergegas pergi sambil memanjat tembok yang tadi lalu kembali ke penginapan.

 

Tubuhku rasanya lelah sekali malam ini, perut pun terasa mual karena aroma sampah tadi masih menempel di badan.

 

"Ning, kayaknya Mas Ilyas dan Erina buka rumah bordir atau semacam perd*g*Ngan manusia."

 

"Sepertinya begitu, Bu."

 

Tak habis fikir, selama dua tahun berumah tangga dengannya dulu Mas Ilyas tipe orang yang taat pada Tuhan, kenapa sekarang ia membuka usaha dengan kemaksiatan?

 

Lagi pula perusahaan ayahnya dulu berkembang pesat, kenapa ia malah membuka bisnis haram itu? Lalu perusahaannya ke mana?

 

Tatapanku kini beralih pada Nining yang sedang melamun.

 

"Ning, apa kamu tahu nasib perusahaan Multiguna group?"

 

"Perusahaan almarhum Pak Herman?" tanya Nining

 

Aku mengangguk menjawab pertanyaannya

 

"Sudah di jual sama Tuan Ilyas, sudah lama, Bu."

 

Aku benar-benar pening memikirkan hal ini, tak habis pikir jika Mas Ilyas sekotor itu.

 

Tapi itu bukan urusanku lagi, sekarang aku harus pokus mencari Delia.

 

"Aku harus cari Delia ke mana lagi, Ning?" tanyaku putus asa.

 

"Sabar, Bu, saya akan bantu temukan Delia, jangan menyerah Ibu harus semangat."

 

"Apa kamu ga tahu sama sekali tentang kehidupan Mas Ilyas dan Erina, Ning? Misal usaha mereka atau kegiatan setiap harinya?"

 

Aneh sekali, padahal Nining setiap hari bersama mereka, tetapi kenapa ia bisa tak tahu apa-apa?

 

"Engga, Bu, saya 'kan cuma pembantu, interaksi kami itu ya cuma sekitar pekerjaan saya aja, saya dengar perusahaan almarhum Pak Herman dijual pun itu ga sengaja denger."

 

"Saya juga bertemu terakhir sama Non Delia ketika dia lulus SMA, setelah itu saya ga tahu lagi dia di bawa ke mana, lagi pula dahulu Non Delia orangnya sangat tertutup."

 

Aku berdecak, hampir merasa putus asa.

 

"Kalau soal kakak saya Lastri? Kamu juga ga tahu?" 

 

Nining menggelengkan kepala.

 

"Engga, Bu, selama ini saya fokus kerja dan ga banyak mencari tahu kehidupan Ilyas dan Erina."

 

"Kita tidur saja, Ning, sudah malam."

 

Aku benar-benar lelah memikirkan hal ini.

 

Pukul lima subuh kami kembali pulang, Nining ke rumahnya sementara aku ke kosan putrinya.

 

Sebenarnya aku sungkan tinggal di sana, tapi putrinya Nining itu melarangku pergi dengan alasan ia tak punya teman tinggal di sini.

 

Pukul delapan pagi Nining mengirimkan pesan ke ponsel android jadul milikku itu.

 

[Bu, Ilyas dan Erina pergi ke luar kota, pintu kamarnya ga dikunci, Ibu bisa ke sini siapa tahu dengan menggeledah isi kamarnya bisa menemukan petunjuk keberadaan Delia.]

 

Ide bagus.

 

[Baik, Ning, saya akan masuk lewat belakang]

 

Aku khawatir jika Mas Ilyas memasang cctv di halaman depan, dan kedatanganku akan terlihat olehnya.

 

Masuk ke kamar itu lewat jendela yang sudah dibuka oleh Nining terlebih dahulu, aku tak ingin gegabah masuk ke dalam karena takut ada CCTV tersembunyi.

 

Sebelumnya Nining sudah mengecek jika jalur yang kulalui itu tak ada kamera cctv.

 

Kamar terluas di rumah ini dahulu ditinggali olehku dan Mas Ilyas, sekarang tempat ini sudah berubah seratus persen, benar-benar indah dan nyaman.

 

Tempat yang pertama kutuju adalah lemari besar tiga pintu yang terbuat dari kayu jati, sayang sekali lemari itu terkunci.

 

Lalu aku menggeledah meja rias dengan cermin yang besar dihias lampu-lampu putih di pinggirnya, aku mulai membuka laci.

 

Di dalam sana ada beberapa perhiasan milik Erina, aku tak tertarik untuk mencurinya karena takut Nining yang disalahkan.

 

Mataku tertuju pada pada sebuah paspor yang tergeletak diantara perhiasan Erina, kubuka benda itu, Poto Mas Ilyas terpampang di sana.

 

Namun, aku heran mengapa nama yang tercetak bukan nama Mas Ilyas? Di paspor itu malah tertulis nama Ali Kusuma,  tetapi potonya memang betul Poto Mas Ilyas.

 

Apa maksud semua ini?

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status