Share

Bab 4

Author: Ina Qirana
last update Last Updated: 2023-01-19 15:32:49

 

 

Aku masih berdiri tepat di hadapan gerbang gedung besar bercat putih yang katanya panti asuhan itu.

 

Namun, ada yang aneh, lelaki berkulit hitam yang menjual rokok tepat di sampingku itu terus memperhatikanku penuh curiga.

 

Segera kupakai kembali kaca mata lalu melangkah pergi menjauh, sepanjang jalan mencari kendaraan aku terus berfikir jika tempat tadi bukan panti asuhan, bagaimana pun aku harus menyelidiki hal ini.

 

Sebelum pulang ke kosan anaknya Nining aku menjual kalung beserta gelang emas putih yang selama ini kupakai.

 

Bagaimana pun aku membutuhkan uang banyak untuk mencari Delia, dan mungkin harus mencari pekerjaan secepatnya agar tak merepotkan siapapun.

 

Uang sepuluh juta sudah kukantongi hasil dari menjual kalung dan gelang, selanjutnya aku pulang ke kosan Tania dan memikirkan langkah selanjutnya.

 

Malam ini Nining datang membawa banyak makanan, kami makan berdua karena putrinya belum pulang bekerja.

 

"Oh ya, Ning, tadi saya ngikutin Ilyas sama Erina, mereka datang ke suatu tempat katanya itu panti asuhan dan mereka lah pemiliknya."

 

Nining langsung menatapku serius setelah kuberitahu letak tempat tersebut.

 

"Benarkah? Lalu?"

 

"Setelah kuperhatikan ada anak gadis remaja tanggung keluar dari tempat itu seperti akan melarikan diri, tapi sepertinya ia tak berhasil karena dua lelaki kekar langsung menyeretnya kembali masuk ke dalam."

 

Nining terdiam.

 

"Kalau gitu, kita harus selidiki tempat itu, Bu, jangan di siang hari tapi tengah malam," ujar Nining.

 

Bulu kudukku merinding jika harus berkunjung ke tempat itu tengah malam, siang hari saja ada yang mencurigakan apalagi malam.

 

"Ibu ga usah takut kalau mau malam ini juga kita beraksi, saya temani."

 

"Emangnya suamimu ga marah, Ning, keluar malam-malam?"

 

Wanita yang kukira berumur hampir empat puluh itu tertawa.

 

"Sudah cerai, Bu, ga punya suami," jawabnya.

 

Aku mengangguk tak ingin tahu detail kehidupan rumah tangganya, ada yang lebih penting yaitu mengetahui motif mereka, juga mencari putriku Delia.

 

"Baiklah malam ini kita ke sana, tapi naik apa, Ning?"

 

Wanita itu terlihat mikir sejenak.

 

"Saya bakal nyewa motor keponakan, Bu, sekarang saya mau ngambil motornya abis itu kita berangkat, karena tempatnya jauh sepertinya kita harus mencari penginapan di daerah situ, Bu."

 

"Ya sudah terserah kamu."

 

Nining pergi sementara aku menyenderkan kepala ke dinding, rasa rindu terhadap Delia benar-benar tak bisa terbendung lagi.

 

"Ayo, Bu, naik."

 

Jaket tebal, celana dan baju serba hitam kukenakan, tak lupa aku juga membawa uang untuk berjaga-jaga.

 

Pukul sembilan malam suasana jalanan kota masih ramai, sementara memasuki kawasan kabupaten suasana mulai sepi, apalagi kita memasuki sebuah perkampungan yang jauh dari jalan lintas.

 

Panti asuhan itu terletak di kawasan desa. Namun, suasananya sudah seperti kota, minimarket, pom bensin serta bengkel dan penjual kaki lima berjejer memenuhi pinggir jalanan.

 

Hanya saja letak panti asuhan itu memang jauh dari keramaian hanya ada satu warung rokok yang kutanyai tadi, dan penjual rokok itu sangat mencurigakan sekali.

 

"Jadi itu panti asuhannya, Bu?" Kami sudah sampai dan memantau dari jauh.

 

"Iya, Ning, tuh saya tadi nanya ke tukang warung itu dan orangnya mencurigakan, kalau ga pergi mungkin saya sudah diapakan sama dia."

 

Nining yang sedang memegang stang motor pun mengangguk.

 

"Kita cari penginapan sekitar sini, setelah jam dua belas malam kita beraksi, Bu."

 

"Ya sudah ayo, nanti ada yang curiga kalau di sini terus."

 

Penginapan sangat sederhana telah kami dapatkan, Nining sengaja membeli kopi agar kami tak ketiduran menunggu jam dua belas malam.

 

"Oh ya, Bu, saya mau nanya tapi maaf sebelumnya Ibu jangan tersinggung."

 

"Ya tanya aja, Ning? Ngapain tersinggung." Aku mengunyah goreng bakwan.

 

"Saya sangat yakin Ibu orang baik dan ga mungkin bunuh non Anita, tapi kenapa Ibu bisa dipenjara dan jadi tersangka?"

 

Aku langsung diam, mengingat hal itu sama saja merobek luka lama, tapi harus kuceritakan agar mantan ART-ku ini tak lagi salah faham.

 

"Saya juga ga tahu, Ning, tiba-tiba aja mayat Anita ada di lemari kamar saya, ga hanya itu pisau beserta pentungan pun ada di tumpukan baju-baju saya."

 

"Jadi Ibu benar-benar ga tahu kenapa mayat non Anita bisa ada di lemari Ibu?"

 

Aku menggelengkan kepala, aku dan Anita memang kerap berselisih faham, wanita itu irian serta gampang tersinggung.

 

Namun, aku selalu mengalah dan meminta berdamai jika terjadi kesalahpahaman diantara kami, apalagi Mas Ilyas selalu menuntut agar aku mengalah pada adiknya itu.

 

"Kalau Ibu ga memb*n*h non Anita kenapa bisa dipenjara?" Wanita ini masih penasaran.

 

"Entahlah, sepertinya penyidik sengaja memposisikan saya sebagai tersangka walau seribu kali saya mengelak, tak hanya itu kamu tahu sendiri 'kan waktu itu papa sama mama Mas Ilyas menyewa pengacara, sedangkan aku bisa apa? Aku ga punya kuasa hukum lalu kalah."

 

Nining mengehela napas.

 

"Pasti ada uang dibalik semua ini, Bu, ada yang membayar ap4r4t," ucap Nining.

 

"Mungkin."

 

aku menerawang jauh mengingat begitu kecewanya Mas Ilyas serta seluruh keluarga begitu aku dinyatakan tersangka pemb*nuh Anita.

 

Bahkan ibuku sendiri pun tak percaya jika aku tidak melakukannya, hanya saja ibu selalu mengunjungi meski di hatinya ada benci.

 

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam, aku dan Nining bersiap ke luar, sementara motor ditinggal di parkiran.

 

Kami berjalan di kegelapan menuju panti asuhan itu, melalui semak belukar menjauhi cahaya lampu juga warung rokok tadi.

 

Sekarang kami tepat di belakang gedung besar ini, kebetulan tembok belakang sangat mudah dipanjat, meski umurku empat puluh lima lebih tapi aku tak selemah itu.

 

"Ning, tempat ini sepi, coba jalan ke sana," bisikku dengan sangat pelan.

 

Nining mengangguk kami berjalan cukup jauh dan berhenti tepat saat mendengar suara jeritan perempuan.

 

"Aku ga mau melayani laki-laki lagi! Lebih baik lepaskan kembali aku ke jalanan dari pada harus seperti ini!" teriak seorang wanita di dalam sana

 

Plakk!

 

"Aww!" Wanita itu memekik dengan keras.

 

Jelas saja aku terkejut dada ini langsung berdebat hebat, di dalam sana seseorang seperti sedang menyiks* seorang wanita.

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Tamat

    "Apa kita harus masuk ke dalam?" tanyaku sambil menoleh.Nining mengangguk, lalu aku mengintip jendela bangunan itu ternyata tempat ini telah kosong."Lihat ini, Bu? Pintu bangunan ini sepertinya telah dirusak," ucap Nining.Ya benar, sepertinya pintu ini telah dirusak oleh para penghuni gedung ini lalu mereka kabur entah ke mana, karena saat membuka pintu dan berteriak tak ada satu orang pun yang datang dari dalam, bangunan ini telah kosong "Mungkin karena anak buah Bram dan Ali telah habis di hutan sana, Ning, makanya gadis-gadis di sini bisa melarikan diri.""Mungkin begitu, Bu, syukurlah semoga hidup mereka baik-baik saja di luar sana, Bu, mari kita pulang."Aku mengangguk lalu kembali naik ke atas motor, pulang dengan hati yang nyaman karena orang-orang yang telah menyakiti putriku telah lenyap dan menerima karma sesuai perbuatanya.*Satu bulan kemudian, aku beserta gadis-gadis malang ini berhasil membuka sebuah restoran khas Sunda, mereka mengelola usaha ini dengan baik sesuai

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 27

    "Mau apa kamu, Lastri?" Napasku terengah-engah menatap benda tajam itu hampir menyentuh tenggorokanku.Aku mundur satu langkah sedangkan Lastri maju dua langkah, jika aku berlari wanita ini pasti akan berbuat nekat dan saat itu juga mungkin nyawaku bisa melayang."Aku mau mengg*rok lehermu, karena kamu sudah berani-beraninya memb*nuh adikku!" bentaknya dengan mata membeliak hampir keluar dari tempatnya, sungguh mengerikan."Oh ya, tapi adikmu itu pantas mati, hidup juga percuma karena hanya akan menyengsarakan banyak orang." Kupegang tangannya yang memegang belati itu, hingga benda tajam itu sedikit menjauh, karena tenagaku lebih kuat hampir saja aku bisa membuat benda tajam itu menembus dadanya.Saat ini kami sedang adu kekuatan, saling mendorong belati untuk melukai tubuh kami."Kurang ajar kamu, Mirna! Kamu sudah melenyapkan mesin uangku!" teriaknya hingga ruangan tamu ini mengeluarkan gema."Adikmu yang kurang aj*r, dia sudah menjual putriku! Membuat hidup putriku seperti sampah!

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 26

    Langkah gadis itu pelan tapi tatapan matanya nampak menyeramkan, aku melirik Mas Ilyas yang sepertinya sedang ketakutan, tanganku gegas meraih lengan Frans agar mendekat."Ngapain kalian di sini?!" tanya gadis itu sedikit membentak, kini jarak kami hanya dua meter."Woww anak yatim piatu baru datang," sahut Delia yang baru turun dari lantai atas, putriku itu nampaknya baru selesai ganti baju.Monic melihat Delia seperti menatap musuh bebuyutan, mungkin saat masih tinggal bersama mereka sering bertengkar."Di mana mama sama papaku?!" teriak Monic dengan tatapan bengis."Apa mama papa?" Wajah Delia sengaja dibuat mengejek setelah itu ia tergelak dengan puas."Kur*ng ajar!" Kedua jemari Monic saling mengepal kuat."Hei, kalian harus tahu dia ini anaknya si Ali sama Erina, enak ya mereka punya anak gadis tapi malah menjual gadis-gadis tak berdosa," seru Delia lagi Jelas saja keenam gadis malang itu menatap Monic dengan nyalang, mungkin rasa benci terhadap Ali dan Erina tumbuh lagi di hat

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 25.B

    Kuraih bayi kurus tak berdosa itu lalu kupeluk Bram dengan erat, kasihan sekali mereka, hadir ke dunia tapi ibunya tak peduli sama sekali."Mereka cucu kita, Mas.""Sini, Nak," sahut Mas Ilyas meminta Frans untuk mendekat."Dia kakekmu, Frans, papanya ibu kamu."Mas Ilyas memeluk bocah kecil itu sambil menangis."Bu, sepertinya kita harus segera pergi dari sini, karena di rumah ini masih ada Nona Monic, Ibu ingat 'kan dia anaknya Erina?" tanya Nining.Ya, aku baru ingat jika Erina dan Ali memiliki anak gadis yang masih kuliah, apa yang harus kujelaskan padanya jika ada aku dan Mas Ilyas di rumah ini."Ning, apa gadis itu tahu kelakukan ibu dan ayahnya?" "Entahlah, Bu, saya ga tahu soal itu, tapi sekarang kalau menurut saya kita pergi dulu dari sini, lagian Tuan Ilyas juga harus ke dokter 'kan?""Ngapain pergi, kita ga boleh takut sama Monic, lagipula ini rumah Papa, dia yang harusnya pergi dari rumah ini, bukan kita," sahut Delia."Gadis itu dan keluarganya sudah menghancurkan keluar

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 25.A

    Kutatap wajah Nining yang samar karena penerangan lampu di ruangan ini tak begitu cerah."Iya, Bu, dia Tuan Ilyas." Nining menghampiri lelaki yang sedang duduk di kursi roda itu, mendorongnya lalu membawa pria itu ke hadapanku.Jarak kami hanya satu meter, dan terlihat jelas jika lelaki itu memang Mas Ilyas, hanya saja bibirnya terlihat miring, wajahnya pun sangat pucat serta tubuh yang kurus, ya Tuhan apa yang terjadi dengannya?"Papa, ini beneran Papa?" tanya Delia, beberapa detik kemudian ia langsung bertekuk lutut di hadapan ayahnya.Mas Ilyas hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban, dari sorotan mata dapat kubaca jika ia sedang berbahagia sekaligus bersedih, karena matanya terlihat berkaca-kaca."Papaaa! Kenapa?! Kenapa Papa di sini?! Papa tahu selama ini si b*adab Ali sudah menghancurkan hidupku! haaaah! Hiks! Hiks!" Delia berteriak histeris Sementara Mas Ilyas tergugu walau bibirnya terlihat miring, mungkin ia terserang stroke. Aku pun bersedih melihat pemandangan ini hingg

  • Dendam Wanita Yang Difitnah   Bab 24

    Aku menatap Nining dengan intens, ia terlihat serius menatapku, entah rahasia apa lagi yang ia sembunyikan yang jelas aku berharap rahasia itu tidak melukai siapapun."Bu, maafkan saya sebenarnya Pak Ilyas ....""Tante, ayo kita lanjutkan perjalanan takut keburu sore," sela Meri tiba-tiba mengehentikan ucapan Nining.Aku dan Nining menatap gadis itu bersamaan, tapi ia betul juga kami harus cepat sampai di kota karena bayi Delia harus segera mandi dan ganti pakaian.Namun, aku kebingungan harus pulang ke mana, ke rumah Mas Ilyas tak mungkin, ikut Nining pun tak enak karena selalu merepotkannya."Ya sudah kita lanjutkan sekarang, bilang teman-temanmu untuk bersiap," ujar Nining."Bu, kita lanjutkan obrolan ini nanti ya."Aku mengangguk lalu melirik bayi yang kuberi nama Maryam ini dengan iba, ia terlihat tidur di pangkuanku sementara ibunya sama sekali tak peduli malah asyik makan dan bercengkrama dengan gadis lain.Nining beranjak dari hadapanku menuju ibu penunggu warung ini dan memba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status