Dikota besar, Alex duduk di restoran. Didepannya duduk seorang pria yang sedang mengamati dengan tajam gambar yang diberikan oleh Alex kepadanya.
"Aku tidak mau menerima kegagalan lagi, sudah banyak detektif yang aku kerahkan untuk mencarinya. Tapi tidak ada yang bisa menemukannya, ini gambar temannya. Melalui orang ini bisa kau mulai mencarinya" Alex memberikan gambar Jesi kepada detektif tersebut, yang diambilnya dari sosial media milik Jesi. Setelah hampir seharian dia dan Leo mencari teman Rania di sosial media.
Sedangkan Rania telah menutup sosial media yang dia punya, sejak dia gagal menikah.
"Nomor ponselnya, Tuan tidak ada?" Tanya detektif tersebut kepada Alex.
"Aku tidak memilikinya" jawab Alex.
Alex baru merasakan, dia dulu tidak cukup mengenal lingkungan sekitar Rania. Jika saja ia dahulu cukup mengenal lingkungan pertemanan Rania, saat ini tid
Maaf, tidak bisa update setiap hari. Karena ada kesibukan didunia nyata. Mohon maaf
Di Singapore, Papa dan Mama Alex sudah mendapatkan izin dari dokter untuk membawa Arumi kembali ke tanah air. Setelah di rasa kondisi Arumi sudah bisa melakukan perjalanan yang jauh. "Akhirnya, Arum bisa kembali. Arumi sudah rindu rumah, kamar" ucap Arumi setelah dokter keluar dari ruang inapnya. "Hanya itu, apa adek nggak rindu dengan mas ini?" Suara dari depan pintu yang terbuka sedikit, membuat tiga pasang mata menoleh. "Mas Alex!" Seru Arumi dengan gembira, karena hampir satu bulan. Dia tidak bertemu dengan Alex, sejak pertemuan terakhir mereka. "Kenapa tidak kasih kabar mau datang Lex?" Tanya Papa Alex. "Mendadak Paa, rencana ini tiba-tiba. Ada klien yang mengajak bertemu disini" kata Alex. "Hih...! Mas Alex jahat, kalau tidak karena mau ketemu klien tadi. Mas Alex tidak mau menjenguk Arum kan?" Tanya Arumi dengan bibir manyun, dan mata menat
"Baby, nanti kalau sudah besar jangan jadi playboy ya" kata Jesi sembari mengelus perut Rania. "Hih..! Kau ini, anakku akan menjadi anak yang baik" ujar Rania. "Semoga, jangan seperti orang yang menanam benih. Yang tidak bertanggung jawab!" Ketus Jesi. Rania terpaku, wajahnya menunduk. "Maaf..maaf!" Jesi tersadar, perkataannya telah membuka luka hati Rania kembali terbuka. "Mulutku ini tidak ada filternya, maaf " Jesi beranjak dari tempat dia duduk, untuk menghampiri Rania dan memeluk Rania. Air mata menetes dari kedua bola matanya, Jesi menyesal. Telah membuat temannya tersebut mengeluarkan air mata. "Maaf.." ucap Jesi. Rania menghapus air matanya, dan melihat kearah Jesi. "Tidak apa-apa, entah kenapa. Aku sangat sensitif" ucap Rania. "Aku harus kuat, jangan hanya mendengar orang menyinggung tentang dia. Harus sudah badmood
Arumi berada dalam kamarnya, dengan jalan secara perlahan. Arumi menyisir setiap sudut didalam kamarnya, matanya terus melihat kamar yang sudah hampir setahun tidak dilihatnya. Walaupun dia tidur di ranjang dalam kamarnya, tetapi kondisinya dalam keadaan tidak sadar. Pintu kamarnya diketuk dari luar. Tok..tok.. "Masuk saja, tidak dikunci" titah Arumi dari dalam kamarnya. Pintu terbuka, terlihat wajah Bu Dian. "Non, ingin mandi? Biar ibu bantu" kata Bu Dian. "Iya Bu, gerah badan Arum" kata Arumi. "Biar ibu siapkan air panas dulu, mau berendam kan ?" tanya Bu Dian. Iya Bu" sahut Arumi. Bu Dian masuk kedalam kamar mandi, Arumi berjalan keluar menuju balkon kamarnya. Arumi melihat kearah taman, dari balkon kamarnya. Dia tidak menyadari, ada sepasang mata yang menatapnya dari dalam mobil yang terparkir. "Rum, kau sudah sehat. Aku rindu Rum" Andre, orang itu adalah Andre. Tanpa sengaja,
Alex masih berada didalam kamar Arumi, keduanya asik berbincang-bincang. Karena sudah lama keduanya tidak saling bertukar cerita."Apa benar Dek? Nggak bohong?" Alex belum yakin, Arumi mendengar apa yang dikatakannya saat dia berbicara dengan Arumi. Saat Arumi terbaring koma ."Benar mas, Arum tidak bohong? Mas ingin balas dendam dengan Rania kan? Karena ayah Rania telah menabrak Arumi. Tetapi itu tidak benar mas, bapak itu tidak bersalah, Arumi yang berpikiran pendek. Hanya karena laki-laki. Arumi ingin mengakhiri hidup," kata Arumi dengan perasaan yang sedih."Mas, Arumi dengar semua. Saat mas berbicara, Arumi ingin segera bangun. Dan berkata, bahwa bapak itu tidak bersalah. Tetapi Arumi tidak bisa ingin bergerak untuk bangkit dari ranjang, Arumi juga ingin membuka mata dan ingin berkata. Rania tidak sepatutnya mendapatkan kemarahan mas, tapi apa daya. Arumi tidak dapat untuk bangun dan mencegah mas menyakitinya" air mata Arumi mengalir, saat dia berkata.
"Jes, betul. Besok kau akan kembali?" tanya Rania kepada sahabatnya tersebut, berat rasa Rania. Jesi akan pulang. "Iya Ran, dua hari lagi aku wisuda. Aku sebenarnya ingin sekali kau menghadiri wisudaku, tapi bagaimana lagi. Keinginan ku tidak mungkin terwujud, perutmu sudah besar begitu." Ucap Jesi sembari melekatkan jemari tangannya diperut Rania. "Maaf, tapi doaku selalu bersamamu. Semoga selesai wisuda ini, kau akan langsung bekerja" kata Rania. "Amin" sahut Jesi. "Kau juga semoga lancar dan sehat selalu, membawa kemana-mana calon keponakanku ini" kata Jesi. "Kalau aku nanti tidak mendapatkan pekerjaan, aku bekerja disini saja ya" kata Jesi. "Boleh, tapi kau jangan ribut terus dengan mas Yoseph ya? Karena mereka masih lama belajar" kata Rania. "Orang itu kurang kerjaan ya, belajar buat roti. Apa dia tidak punya pekerjaan, sehingga bisa belajar disini" kata Jesi.
Akhirnya, atas desakan Naila. Dan bude Maria juga menyetujui untuk ikut mobil Yoseph. Disini mereka sekarang berada, salah satu Mall yang cukup besar dikota tempat Rania tinggal sekarang. "Mbak! Lihat, cantik ya!" Telunjuk Naila menunjuk kearah baju baby perempuan yang berwarna pink. "Cantik, tapi. Baby didalam perut ini tidak bisa memakainya" kata Rania. "Kenapa mbak? Itu tidak besar, itu khusus untuk baju baby. Dan terlihat sangat bagus mbak" kata Naila. Yoseph dan Naila menuggu apa yang akan dikatakan oleh Rania. "Karena, baby dalam perut ini. Baby boy" Bude Maria yang menjawab. Yoseph dan Naila tertawa lebar, begitu mengetahui kenapa Rania tidak mau membeli baju yang ditunjuk oleh Naila. "Maaf baby, aunty nggak tahu. Baby ternyata boy " kata Naila seraya tertawa kecil, begitu juga dengan Yoseph. Bude Maria dan Naila mencari baju baby khusus untuk baby boy, sedangkan Rania
Prakk.. Pintu ruang kerja Alex terbuka dengan keras dari luar, berdiri sosok wajah Papa Alex. Adam Samudra. Wajah Papa Alex, terlihat merah. Garis rahangnya terlihat mengeras. Ada kemarahan diwajah pria yang hampir memasuki usia 60 tahun tersebut. "Apa yang telah kau lakukan Alexander Bayu Samudra!" Suara Papa Alex, Adam Samudra menggelegar. Untung, lantai tempat ruang kerja Alex. Hanya tiga ruangan dilantai ini. Yaitu ruang kerja Alex, ruang kerja Leo dan satu ruangan kerja sekretaris Alex. Yaitu Noah, tapi Noah tidak ada ditempat. Sehingga tidak ada yang mendengar kemarahan Papa Alex, Adam Samudra kepada putranya tersebut. "Papa!": betapa terkejutnya Alex, melihat keberadaan Papanya. "Om Adam !" Seperti Alex, Leo juga cukup terkejut. "Apa Om Adam mendengar apa yang kami bicarakan tadi, melihat kemarahannya ini, pasti Om Adam dengar" dalam benaknya Leo.
Arumi merasa sangat letih, setelah hampir setengah jam melakukan pergerakan dikedua kakinya."Cukup! Arum sangat letih" ujar Arumi, seraya mengelap wajahnya dengan sapu tangan."Oke, kita istirahat dulu selama lima belas menit" kata pelatih terapinya.Arumi secara perlahan meletakkan bokongnya di kursi yang ada di ruang terapi, matanya menatap kearah pintu. Dia merasa ada yang mengamatinya dari pintu sejak tadi."Ada apa?" tanya mamanya seraya menyerahkan botol minum kepada Arumi."Arumi merasa ada yang mengamati Arumi dari pintu itu Mas"' beritahu Arumi."Mama baru dari luar tadi, mama tidak melihat ada orang disana" ucap mamanya."Mungkin sudah pergi maa, tapi tadi Arumi merasa ada yang melihati Arumi dari pintu itu" Arumi tetap yakin, ada orang berada didepan pintu."Perasaan Arum saja itu, Mama baru saja dari toilet depan itu. Tidak ada siapa-siapa di depan pintu itu" kata Mamanya."Kenapa berhenti?" tanya Mamanya.