"Ini sangat menarik,"
Mata Mela mengawasi empat sosok yang keluar dari mobil range rover warna putih. Ia kenal mobil itu karena mobil itu adalah hadiah yang diberikan ayahnya untuk Damar bertahun-tahun yang lalu. Empat sosok itu merupakan Damar, Lisa, dan kedua anak kembarnya, Theresa dan Theodore. Kedua anak kembar mereka memakai seragam TK milik Yayasan Global Education. Yayasan ini menaungi sekolah dari tahap TK hingga SMA. Mela merupakan salah satu donatur melakui foundation beasiswanya. Oleh karena itu, Mela mendapatkan akses bebas untuk masuk ke yayasan tersebut. "Apakah mereka harus masuk dalam permainanku?" tanya Mela sambil menatap anak kembar itu dari jauh dengan senyum miring. Ia tampaknya mempertimbangkan sesuatu dengan serius. Dengan langkah yang pasti, Mela langsung menuju lift untuk turun ke lobby TK. Saat lift terbuka, ia melangkah masuk dan menekan tombol lantai dasar. Mela tersenyum sendiri seolah-olah sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mela keluar dari lift dan berjalan menuju playground dengan langkah yang tenang. Ia memandang sekeliling dan memastikan bahwa Damar dan Lisa sudah pergi terlebih dahulu. Setelah merasa aman, Mela berjalan mendekati anak kembar itu dengan senyum yang terukir di wajahnya. Ia tampaknya memiliki rencana tertentu untuk anak-anak itu. Dengan pandangan yang kosong, Mela memperhatikan anak kembar itu bermain dengan riang. Lalu, Mela masuk ke area playground dengan langkah yang santai dan percaya diri. Tak ada guru atau pengasuh yang curiga karena ia dikenal sebagai donatur tetap sekolah ini. Citra Mela yang baik dan reputasinya yang positif membuatnya terlihat sebagai orang yang tidak berbahaya. Banyak orang di sekolah itu memandangnya sebagai sosok yang dermawan dan peduli. Dengan latar belakang itu, tidak ada yang merasa perlu untuk mengawasinya dengan ketat. Mela memanfaatkan kepercayaan itu untuk melakukan apa yang ia inginkan. "Halo anak-anak. Kalian suka apa di sekolah?" tanya Mela sambil mendekat ke arah kembar. Ia mencoba bergabung dalam permainan Theresa dan Theodore. "Saya suka menggambar!" kata Theresa dengan antusias. Gadis cilik itu mengira Mela adalah guru baru atau guru dari kelas atas yang dirinya tidak kenal. "Saya suka bermain balok!" tambah Theodore. Anak laki-laki itu menatap Mela lekat. Mela tersenyum. "Wah, itu keren. Saya juga suka menggambar waktu kecil," Mendengar tanggapan Mela, wajah Theresa dan Theodore memerah karena malu. Kembar berusia 5 tahun itu merasa aneh dengan perhatian yang diberikan Mela. Mereka menundukkan kepala dan tidak tahu bagaimana harus merespons. Rasa malu terlihat jelas di wajah mereka yang manis. Tiba-tiba, ponsel Mela berbunyi dan terdapat notifikasi pesan dari pengacara lama ayahnya. Ia merasa ada yang janggal dengan pesan tersebut dan langsung berdiri dari tempatnya. Dengan rasa penasaran, Mela keluar dari area playground dan berjalan menuju lorong TK yang sepi. Ia ingin membaca pesan itu tanpa gangguan dan mencari tahu apa yang terjadi. Lorong yang sepi dan sunyi memberikan Mela privasi yang ia butuhkan untuk membaca pesan itu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Mela membuka pesan di ponselnya. "sayang," Mela kaget dan langsung membalikkan badannya. Saat melihat Jevan, ia tersenyum dan mematikan ponselnya. "Jevan, kenapa kamu disini? Kamu membuatku kaget," kata Mela sambil tersenyum padanya. Ia berusaha untuk tidak menunjukkan ekspresi mencurigakan "Aku tadi ada pertemuan dengan klienku di kafe depan sini. Terus aku liat kamu disini. Kamu lagi evaluasi penggunaan uang dari foundationmu disini?" tanya Jevan penasaran sambil memperhatikan wajah Mela lekat. Mela mengangguk dan melingkarkan tangannya di lengan Jevan. "Bagaimana jika kita sekalian makan siang di restoran kesukaan kita?" tawar Mela agar Jevan menjauh dari bangunan ini. Jevan berkata sambil mengambil tangan Mela dan dikecupnya dengan manis, "Sure, my lovely wife!" Mela dan Jevan berjalan keluar dari gedung TK dengan langkah yang santai. Mereka memutuskan untuk menuju restoran kesukaan mereka, sebuah tempat yang cozy dengan suasana yang hangat. Restoran itu terkenal dengan makanan yang lezat dan penyajiannya yang menarik. Sesampainya disana, mereka duduk di meja dekat jendela yang menghadap ke taman. Mela dan Jevan memesan makanan favorit mereka dan mulai berbincang tentang hari mereka. Jevan menanyakan tentang kegiatan Mela di foundation beasiswanya dan Mela menceritakan tentang kunjungannya ke Yayasan Global Education. "Semuanya lancar di foundation?" tanya Jevan sambil memotong steaknya. "Ya, lancar. Aku senang bisa membantu anak-anak yang membutuhkan," jawab Mela sambil tersenyum. Tangannya memotong steak dan memakannya dengan tenang. Jevan menatap Mela dengan penuh kasih sayang. Mata coklatnya memancarkan kebanggaan dan kekaguman. "Kamu memang luar biasa, sayang. Aku bangga sama kamu," ucap Jevan dengan suara yang hangat dan tulus. Menurutnya, Mela adalah perempuan paling baik dan ia sangat bangga memiliki pasangan seperti Mela. Dengan gerakan lembut, Jevan meraih tangan Mela dan menggenggamnya erat. Mata Jevan beralih pada ponsel Mela yang terus-menerus bergetar di atas meja. Ia melepaskan genggamannya pada tangan Mela dan menoleh ke arah ponsel. "Lebih baik kamu membuka ponselmu. Mungkin ada pesan penting dari kantormu," kata Jevan dengan nada yang peduli. Mela mengangguk dan meraih ponselnya. Kemudian, ia bangkit dari kursinya untuk mencari privasi. Ia berjalan menjauhi Jevan dan mengabaikan pesan-pesan dari kolega bisnisnya yang memenuhi layar ponselnya. Mela langsung mencari pesan dari pengacara lama ayahnya yang tadi sempat ia abaikan karena kehadiran Jevan. Setelah menemukannya, Mela memainkan pesan suara tersebut. "Saya memiliki bukti soal keterlibatan paman Anda dalam manipulasi hutang perusahaan milik mendiang ayah Anda,""Galeri Cendrawasih," bisik Mela sambil menghela napas panjang, merapikan blazer hitamnya, dan melangkah masuk dengan tegap. . Tujuan Mela hari ini bukan sekadar menghadiri lelang, melainkan untuk mencari kebenaran tentang perusahaan milik mendiang ayahnya. Ia tidak hanyamenunggu konfirmasi dari pengacara mendiang ayahnya. Ia harus bergerak cepat dan membuktikan firasatnya bahwa pamannya telah memalsukan dokumen utang untuk mengambil alih perusahaan itu. Mela ingin menemukan bukti yang tak terbantahkan untuk membuktikan kebenaran dan mengembalikan haknya. Ia berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa membalikkan keadaan dan memberikan keadilan bagi sang ayah. Dengan tekad yang kuat, Mela siap menghadapi apa pun yang akan terjadi demi mencapai tujuannya. Mela pun langsung masuk ke dalam galeri. Suasana lelang terasa ramai dan teratur. Para kolektor dan penikmat seni berbisik-bisik sambil menatap katalog lelang. Mata Mela mencari-cari kesana kemari. Tak lama kemudian, matanya menang
"Semoga si tua bangka Javier tidak pernah menghubungi Mela. Omong-omong soal Mela. Aku penasaran sama suaminya. Seberapa kayanya si Jevan sampai Mela mau," lirih Mela sambil menatap kepergian Tuan Javier dari area kantornya melalui jendela ruang kerjanya. Kemudian, Lisa berjalan menjauhi jendela menuju meja kerjanya. Ia duduk menghadap komputernya. Ia mencari nama Jevan di internet. Namun, tidak menemukan banyak informasi. Ia hanya menemukan beberapa artikel tentang bisnis Jevan yang tampaknya sangat sukses. Lisa merasa semakin penasaran. Lisa mengeklik sebuah artikel tentang Jevan di sebuah majalah bisnis online. Artikel itu bagaikan harta karun bagi Lisa. Ia membaca setiap baris dengan saksama dan menelan setiap kata yang menggambarkan sosok Jevan. Jevan digambarkan sebagai seorang pengusaha yang cerdas, visioner, dan memiliki kekayaan yang luar biasa. Angka-angka miliaran rupiah bertebaran di artikel itu hingga membuat mata Lisa membelalak. Ia tak menyangka mengenai Jevan y
"Bagaimana kalau kita kencan? Sudah lama kita tidak kencan," kata Mela. Sebenarnya ia sedang mengalihkan pikirannya dari gagalnya pertemuannya dengan pengacara lama ayahnya. Pria tua itu menolak bertemu karena memiliki agenda penting lainnya. Jevan tampak terkejut sejenak. Namun, Jevan langsung tersenyum lebar mendengar usulan Mela. "Kencan? Itu ide yang bagus, sayang. Aku suka," kata Jevan sambil menggandeng tangan Mela dengan mesra. Mela merasa sedikit lega karena Jevan tampaknya tidak curiga tentang konflik yang dia hadapi. Dia berusaha untuk menunjukkan antusiasme yang normal, seperti pasangan yang bahagia. "Kita bisa pergi ke pantai hari Sabtu ini. Aku ingin melihat sunset bersama kamu," tambah Mela. Ia mencoba untuk membuat rencana yang romantis. Jevan mengangguk dengan senang. "Pantai hari Sabtu? Itu menarik. Tapi, lebih menarik lagi kalau kita berangkat sekarang. Ayo sayang," ucap Jevan sambil mengendongnya ala bridal style menuju mobil Jevan. "Kamu gila, Jevan. Ki
"Ini sangat menarik," Mata Mela mengawasi empat sosok yang keluar dari mobil range rover warna putih. Ia kenal mobil itu karena mobil itu adalah hadiah yang diberikan ayahnya untuk Damar bertahun-tahun yang lalu. Empat sosok itu merupakan Damar, Lisa, dan kedua anak kembarnya, Theresa dan Theodore. Kedua anak kembar mereka memakai seragam TK milik Yayasan Global Education. Yayasan ini menaungi sekolah dari tahap TK hingga SMA. Mela merupakan salah satu donatur melakui foundation beasiswanya. Oleh karena itu, Mela mendapatkan akses bebas untuk masuk ke yayasan tersebut. "Apakah mereka harus masuk dalam permainanku?" tanya Mela sambil menatap anak kembar itu dari jauh dengan senyum miring. Ia tampaknya mempertimbangkan sesuatu dengan serius. Dengan langkah yang pasti, Mela langsung menuju lift untuk turun ke lobby TK. Saat lift terbuka, ia melangkah masuk dan menekan tombol lantai dasar. Mela tersenyum sendiri seolah-olah sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mela keluar da
""Sial!" umpat Lisa sambil membanting ponselnya di atas meja dengan keras. Lisa tidak percaya dengan postingan milik Mela. Seluruh postingan Mela memperlihatkan kehidupan Mela yang tampak sempurna. Selain itu, ia bisa melihat Mela memiliki seorang suami yang jauh lebih sukses daripada Damar. Damar yang sedang duduk di seberangnya langsung melihat wajah Lisa yang memerah karena marah. "Ada apa, sayang?" tanya Damar sambil mengambil ponsel milik Lisa yang tergeletak di atas meja. Lisa menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan dirinya. Lisa tidak ingin Damar tahu betapa iri dan marahnya dirinya terhadap Mela. Namun, wajahnya tetap menunjukkan kemarahan yang tidak bisa disembunyikan sehingga Damar memperhatikan Lisa dengan seksama dan mencoba mencari tahu apa yang salah. "Lihat itu," kata Lisa. "Mela, mantan pacarmu itu sedang berbulan madu di Maladewa! Dia memamerkan kehidupan pernikahannya sekarang,"Damar melihat foto-foto itu. Ia mengenali gaun mahal yang dipakai Mela dan
"Apa yang kalian berdua lakukan?" tanya Mela dengan suara yang bergetar. Matanya mulai berair karena menahan air mata yang berusaha keluar. Jantungnya terasa seperti ditusuk-tusuk dengan jarum yang tajam. Rasa sakit yang menusuk ke dalam hatinya membuat napasnya menjadi lebih berat. Damar menyudahi ciumannya dengan kesal. Ia menatapnya dengan tatapan dingin yang belum pernah dilihat Mela sebelumnya. "Kita harus bicara," katanya sambil menarik tangan Mela keluar ruangannya. Damar menarik Mela ke lorong kantor yang sepi. "Aku tidak bisa melanjutkannya lagi," katanya dengan tenang. Tak lupa dengan senyum manis pria itu yang bertengger di bibirnya. "Aku akan menikah dengan Lisa," Kata-kata itu menghantam Mela, seperti pukulan keras yang tak terduga dan membuat seluruh tubuhnya terasa lemah, serta napasnya terhenti sejenak. Matanya menatap pria yang dicintainya ini untuk mencari petunjuk apakah semua ini hanya lelucon belaka. "Apa? Mengapa?" tanya Mela dengan nada bergetar karena t