Share

Bagian Dua

"Aku bisa pulang sendiri." 

"Rumahmu berjarak satu setengah jam perlajanan dari sini."

Bela memutar bola matanya. "Bukan berarti aku tidak bisa pulang sendiri, 'kan?"

Yoga menoleh ke arah Bela dan mendengus. "Tidak salah juga jika kau bisa pulang lebih cepat dari biasanya, 'kan?" nada bicaranya mengikuti bagaimana Bela tadi berbicara.

Jelas sekali kalau dia sedang mengolok Bela. Matanya menatap Yoga geram. "Setidaknya lepaskan tanganku dulu. Aku kesulitan berjalan." keluh Bela yang tersandung beberapa kali karena harus mengikuti tempo langkah kaki Yoga.

"Kau ingin kabur dariku." Mulut mungil Bela terbuka tidak percaya. Dia kehabisan kata-kata.

Perkataan Yoga itu memang Benar. Kesan pertamanya yang tidak baik dimata Bela membuatnya ingin menjauhi lelaki yang sebenarnya sudah dikenal Bela selama dua tahun belakangan ini.

"Wajahmu menunjukan semuanya." tambah Yoga seolah tahu apa yang ada dipikiran Bela dan itu membuanya merinding. Kau tidak akan dikira bisu jika diam, batin Bela.

Berusaha menenangkan diri, Bela menarik napas dalam dan menghembuskan kasar napasnya. Tidak bisa, dia terlalu jengkel untuk menenangkan diri.

Baru saja mereka saling mengetahu kalau ternyata keduanya adalah sahabat pena, Bela sudah bisa merasakan kalau pertemuan dengan Rio di dunia nyata adalah mimpi buruk.

Selama ini walau mereka bisa bekerja sama tapi mereka sering sekali bertengkar. Dulu ketika mereka mengikuti lomba menulis, selama satu minggu awal mula kerjasama menulis mereka hanya dihabiskan untuk berdebat.

Bela bahkan memblokir kontak Yoga dan laki-laki itu sampai membuat kontak baru untuk menghubunginya dan yang mereka lakukan hanya bertengkar lagi.

Jika melalui pesan saja mereka bisa seperti itu apalai di dunia nyata? Tapi sayangnya Bela seorang pengecut, bagaimana dia bisa melawan Yoga secara langsung?

"Masuk." Dengan satu tangan memegang pintu mobil dan yang lain memegang tangan Bela, tanpa menunggu jawaban, Yoga mengarahkan Bela untuk masuk ke dalam mobil.

Tapi bukannya masuk Bela hanya diam di depan pintu mobil yang terbuka. Dia menghadap ke arah Yoga dan menatap lelaki itu lekat-lekat.

Tubuh mereka begitu dekat dan hanya terhalang oleh pintu mobil. Bela membuka bibirnya dan menutupnya kembali. Dia ingin berargumen dengan Yoga tapi tidak tahu apa yang harus dia ucapkan.

Kepalanya berusaha mencari kata-kata agar bisa diucapkan tapi begitu melihat Yoga yang semakin lama semakin kesal dan dingin. Hati Bela menciut dan masuk ke dalam mobil. Dasar pengecut! Bela mengumpat dirinya sendiri. 

Melihat akhirnya Bela menurut, Yoga menutup pintu dan berjalan ke sisi lain mobil untuk duduk di kursi kemudi.

Begitu membuka pintu Yoga melihat Bela yang sedang melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah mengerut. Yoga menggelengkan kepalanya.

Dia tidak mengerti kenapa Bela harus bersikeras seperti ini padahal tawarannya menguntungkan untuk Bela. Yoga masuk ke dalam mobil, duduk pada kursi kemudi, menaruh tas kerjanya di kursi belakang sebelum duduk.

Dia juga membuka kancing jasnya. Rutinitas yang biasa dia lakukan. Tidak lupa juga dia memasang sabuk pengaman sebelum menyalakan mobil. Dilirik sekilas Bela yang masih bergeming dan tidak memakai sabuk pengaman, Yoga merasa dia sedang membawa anak balita.

Menghela panas, pasrah, dia mendekat ke arah Bela ingin membantu perempuan itu memasang sabuk pengaman. Disaat seperti ini, dia memilih diam karena jika berbicara mereka akan kembali  adu mulut. 

Merasa ada yang mendekatinya Bela otomatis menatap Yoga dengan kerutan di dahinya. Dia perlahan mundur menjauhkan tubuhnya dari Yoga. "K-kau mau apa?" tanya Bela yang gugup dan merasa bingung walau dia masih melipat kedua tangannya di depan dada.

Melihat reaksi Bela, Yoga tahu kalau Bela salah paham. Ini membuat sudut bibir Yoga terangkat dan dia menatap lurus ke arah Bela. Melihat itu, Bela menjadi semakin salah tingkah.

Apalagi ketika tangan Yoga terangkat dan mengarah ke sekitar kepala Bela membuatnya tersentak dan  menjauhi tangan itu dan tanpa sadar mendekatkan kepalanya pada wajah Yoga.

"Sebenarnya kau..," Bela terkejut ketika berbalik dan wajahnya begitu dekat dengan wajah Yoga hingga tanpa sadar menahan napasnya.

Tapi tidak dengan Yoga dan tetap bernapas dan menghembus Hembusan napas segar menerpa wajahnya membuat Bela yang terasa begitu dingin seperti angin di gunung Everest.

"Kau...," mendengar Yoga yang tiba-tiba mengeluarkan suara, jantung Bela meloncat di dalam sana, "Belum memakai sabuk pengaman." Dengan lihai tangan Yoga menarik sabuk pengaman Bela dan memasangkannya.

Proses itu begitu cepat sehingga Bela butuh waktu untuk bisa mencerna apa yang terjadi. Detik berikutnya, semburat merah perlahan muncul di wajah Bela. Dia menatap Yoga nyalang.

"Kau mengerjaiku!" tuduh Bela kepada Yoga. Hidung kecilnya mengembang dan mengempis lantaran Bela terlalu emosi.

"Memang kau pikir aku akan melakukan apa, hm?" goda Yoga dengan menaruh satu tangannya di kursi Bela dan mencondongkan tubuhnya ke arah Bela. Matanya berkilau nakal dan jelas sekali kalau dia sedang menggoda Bela.

"Jangan dekat-dekat!" Bela mendorong dada atletis Yoga dan kemudian memalingkan muka darinya dan tangan Bela kembali melipat di depan dadanya. 

Melihat reaksi Bela, Yoga ingin sekali tertawa terbahak-bahak. Sepertinya hanya posisi itu yang Bela tahu untuk menunjukan perasaan marahnya. Yoga kembali pada posisi duduknya dan mulai menyalakan mobil.

Sebelum menjalankan mobil,  Yoga merogoh kantungnya untuk mengambil ponsel lalu memberikannya kepada Bela.

"Nyalakan navigator ke rumahmu dengan ini." pinta Yoga yang sebenarnya lebih seperti menyuruh. Bela mengambil ponsel itu malas-malasan.

"Terkunci, passwordnya?" 

"Laalaa. Dengan dua huruf a." jawab Yoga yang membuat Bela menoleh ke arahnya bingung.

"Apa?" Bela memiringkan kepalanya, dia mengira Yoga memanggil namanya tapi juga merasa Yoga tidak sedang memanggilnya. "Itu passwordnya, seperti kode yang kita buat untuk Sean dan Hana."

Berpikir sejenak, Bela mengingat salah satu tokoh dalam tulisan mereka dan kemudian segera mengetik password itu sesuai permintaan Yoga. 

"Kenapa menggunakan namaku?"  tanya Bela setelah menyalakan navigasi menuju tempat tinggalnya. Tubuhnya dibuat menyerong dan menghadap ke arah Yoga dengan mata yang Yoga yakini penuh dengan rasa penasaran.

"Karena kau teman rahasiaku." jawab Yoga singkat yang tidak memberikan penjelasan apapun bagi Bela. Otaknya tidak sebesar milik Yoga jadi dia tidak mungkin mengerti kenapa dengan menjadi teman rahasianya bisa membuat namanya dijadikan kode rahasia ponselnya. Merasa tak akan mendapat penjelasan lebih lanjut, Bela membalik badannya dan menatak keluar jendela. Melihat lalu lintas dan juga orang-orang yang berlalu di jalan membuat Bela mengantuk. Selang beberapa waktu kemudian, dia sudah tertidur. 

Yoga baru sadar kalau Bela tertidur ketika mobil berhenti di lampu merah. Dia ingin menanyakan kenapa Bela tidak cerita tentang dirinya yang akhirnya melamar pekerjaan di kantor Yoga tapi malah mendapati kepala perempuan itu mengangguk-ngangguk hampir membentur kaca jendela.

Yoga pelan-pelan membenarkan kepala Bela agar tidak membentur kaca jendela dan membiarkannya tertidur. Hanya dengan mengandalkan navigasi Yoga berhasil sampai di daerah tempat tinggal Bela tapi dia tidak tahu bangunan mana yang menjadi tempat Bela tinggal.

Yoga memarkirkan mobilnya dan perlahan membangunkan Bela. Ditepuknya bahu Bela perlahan.

"Lala, kita sudah sampai." Merasakan adanya sentuhan di bahunya dan namanya dipanggil kesadaran Bela perlahan-lahan kembali dan matanya terbuka. 

Dengan keadaan setengah tersadar, Bela menatap Yoga dan kemudian tubuhnya segera menegak.  "Apa aku tertidur?" ujarnya malu sambil merapikan rambutnya yang berantakan. "Maaf." tambah Bela.

Yoga menggelengkan kepalanya memaklumi. "Kurasa kita sudah sampai tapi aku tidak tahu pastinya yang mana tempatmu tinggal." Yoga membuka kaca mobilnya dan menengok deretan rumah di depannya.

Melihat jalan dan bangunan yang tidak asing di depannya, Bela tersenyum. "Kau benar, bangunan berwarna putih itu tempatku tinggal." Memasukan gigi kembali, Yoga memajukan mobil perlahan hingga berada tepat di seberang bangunan yang Bela maksud. 

Bangunan itu tidak besar dan terlihat tua yang membuatnya memberi kesan kumuh walau masih dalam batas wajar. Yoga meragukan keamanan dan juga kekuatan bangunan itu karena, dia tidak melihat adanya penjaga di sana.

Terlebih lagi disaat bangunan itu memiliki empat lantai dengan lantai paling bawah dijadikan sebagai tempat parkir dan juga area umum untuk seluruh penghuni dan sisanya adalah ruangan-ruangan yang disewakan untuk tempat tinggal dan lantai paling atas adalah tempat mencuci dan menjemur.

Total kamar di bangunan ini adalah enam, tiga pada lantai dua dan tiga lagi pada lantai tiga. Kamar Bela ada di lantai dua. "Sudah berapa lama kau tinggal disini?" 

"Tiga tahun? Sepertinya hampir tiga tahun." jawab Bela sambil melepas sabuk pengamannya.

Yoga masih memperhatikan bangunan itu ketika dia melihat seorang lelaki bermotor memasuki bangunan tempat Bela tinggal. "Bukannya kau bilang ini khusus perempuan?" Yoga menunjuk lelaki yang baru saja masuk.

"Oh, dia anak pemilik bangunan ini. Rumah mereka tepat di sebelah. Dari luar dua rumah itu terlihat terpisah tapi di dalam sebenarnya menyambung dan mereka sering memarkir motor mereka di sini." Yang menarik perhatian Yoga dari penjelasan Bela adalah kata mereka.

"Anak laki-lakinya tidak hanya satu?"

"Iya, anak pertamanya seumur dengan kita, yang kedua dua tahun lebih muda dariku lalu yang terakhir baru berumur dua puluh tahun." Pertanyaan yang terus diajukan Yoga itu membuat Bela heran.

"Kenapa?" Yoga merasa tempat itu tidak layak untuk ditinggali karena bangunannya yang tua dan terkesan kumuh. Selain itu juga, ada tiga lelaki muda yang bisa keluar masuk dari area tempat tinggal Bela yang berisikan perempuan semua.

Memutar otaknya untuk menyampaikan apa yang ada dipikirannya membuat Yoga terdiam dan hanya menatap Bela lekat. Sesaat, dia merasa tidak punya hak untuk ikut campur dalam hal ini dan merasa segala argumen di kepalanya tidak valid.

"Tidak, kau masuklah. Besok aku akan menjemputmu." Yoga mengurungkan niatnya untuk membahas hal ini sekarang. Mungkin nanti jika dia lebih dekat dengan Bela, Yoga bisa membahasnya lagi.

Mengibaskan tangannya agar Bela pergi Yoga bersandar sambil menunggu Bela menutup pintu. Melihat itu, Bela merasa Yoga memeliki emosi seperti roller coaster satu detik dia terlihat begitu tertarik dan penasaran, detik berikutnya dia tidak peduli.

"Terima kasih sudah mengantarku. Hati-hati di jalan." Bela turun dari mobil dan berlari kecil menuju pintu gerbang tempat tinggalnya. Dia melambaikan tangan lalu masuk ke dalam.

Setelah melihat Bela masuk, Yoga baru menyalakan mobil dan pulang ke rumahnya.  

Bela yang masih mondar-mandir di dapur. Dia berjalan bolak-balik dan membuka setiap laci yang ada di dapur tapi tidak menemukan apa yang dia cari.

"Jiah." teriak Bela pada bawah anak tangga. Memanggil salah satu penghuni yang juga tetangga sebelah kamarnya agar turun ke bawah. Jika tidak segera menemukannya, Bela bisa terlambat. Melirik jam dinding besar yang berada di ruang tamu, Bela semakin gelisah.

"Jiah, kau sedang apa? Aku butuh bantuanmu!" Kali ini suara Bela lebih keras dari sebelumnya dan dia yakin Jiah pasti mendengarnya.

Dengan apron dan tangan berbalut sarung tangan karet, Jiah berdiri di atas anak tangga memandang Bela malas.

"Ada apa?" Melihat Jiah yang berdiri di atas anak tangga, Bela mendongak.

"Semalam kau meminjam kotak makanku, kau taruh dimana?" 

"Kau menaruhnya di meja depan semalam!" Jiah mengehentakkan kakinya jengkel dan segera masuk ke dalam kamarnya untuk berkutat dengan kerajinan tangannya.

Dari bawah Bela bisa mendengar suara pintu dibanting. Bela yakin Jiah pasti marah. Perempuan itu tidak suka digangu ketika sedang sibuk dengan pekerjaannya.

Nanti Bela akan menyogok Jiah dengan makanan setelah pulang kerja. 

Mengambil tempat makannya di meja depan, Bela segera berlari ke dapur dan memasukan masakannya ke dalam. Sudah terbiasa untuk membawa bekal, Bela terpikir untuk membuatkan satu porsi untuk Yoga juga.

Karena dia tidak tahu apa lelaki itu akan menyukai masakannya, Bela membuat makanan yang sudah pasti. Nasi goreng seafood. Bela tahu Yoga tidak punya alergi terhadap masakan laut jadi ini adalah makanan yang pas untuk pertama kali.

Selesai menata makanannya, Bela memasukan kotak makannya pada tas kecil. Dia sudah membedakan mana miliknya dan yang akan diberikan kepada Yoga. 

Selesai dengan bekalnya, Bela menaruh tas kecilnya itu di meja depan. Kemudian dia kembali ke kamarnya untuk menaruh apron dan juga merapikan rambut serta riasan yang berantakan karena dia berkeringat ketika masak.

Setelah merasa puas dengan penampilannya, Bela menyampirkan tas berukuran sedang berwarna hitam pada bahunya dan segera turun. 

To: Lala

From: Rio

Aku sudah sampai di depan

Pesan itu masuk ketika Bela berada di tangga. Dia segera turun dan mengambil bekalnya lalu memakai stiletto hitam berhak tanggung miliknya. Dia tidak ingin membuat Yoga menunggu lama.

Melihat mobil hitam yang tidak asing itu, Bela segera membuka pintu dan dihadapkan dengan wajah menekuk Yoga. 

Bela tidak tahu apa yang salah dengan Yoga. Mood lelaki itu sudah buruk di pagi hari seperti ini. Yoga duduk dengan wajah datar tapi matanya begitu tajam. 

Tidak ingin membuat suasana lebih buruk Bela segera duduk dan menutup pintu. Kali ini, dia tidak lupa segera memakai sabuk pengaman.

Perjalanan itu sunyi dan membuat Bela canggung. Dia bahkan tidak berani bernapas terlalu keras takut membuat Yoga kesal. Tubuhnya pun tegap dan tidak bersandar pada kursi yang dia duduki.

Bela sesekali melirik Yoga, ingin tahu apa yang membuat lelaki itu kesal tapi mulutnya tidak berani mengeluarkan suara. Namun Bela juga tidak tahan dengan keadaan seperti ini.

Disaat dirinya sudah tidak tahan lagi, ponselnya berbunyi. Bela membuka pesan yang masuk. Itu dari sarah di grup sekretaris. Dia memberi tahu kalau hari ini dia akan bekerja diluar kantor dan memberikan tugas kepada Bela dan Dina. 

"Sarah memintaku memastikan jadwalmu hari ini." ujar Bela yang bersemangat dan menunjukan ponselnya ke arah Yoga, lupa jika lelaki itu sedang dalam suasana hati yang buruk.

Menyadari itu, Bela segera menarik tangannya lagi dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. "Kalau begitu, aku bergantung padamu, Sekretaris Bela." ujar Yoga.

Nada bicaranya datar. Bela tidak bisa menduga emosi Yoga dari dia berbicara dan ini menyulitkan Bela. Dia tidak tahu harus memberikan respon seperti apa kepada Yoga. Mobil kembali tenang dan tegang. 

Perjalanan dingin itu akhirnya berakhir dan Bela bisa bernapas lega. Akhirnya dia bisa keluar dari mobil yang sedingin kutub itu. Dengan sigap Bela melepas sabuk pengamannya.

"Ini, aku membuatkanmu bekal karena aku selalu bawa bekal. Semoga kau suka." Bela menyodorkan bekalnya kepada Yoga dan segera membuka pintu mobil lalu berlari keluar.

Gerakan Bela sangat cepat dan Yoga tidak bisa bereaksi apa-apa selain menggeram kesal. "Dia kabur." 

Bela sudah duduk pada kursinya ketika Yoga sampai di kantor. Melihat Bela yang tertawa riang berbicara dengan Dina membuat suasana hati Yoga semakin buruk.

Dari sudut matanya Yoga bisa melihat Bela memandangnya sebelum menunduk dan membaca buku yang entah apa isinya tapi yang jelas buku itu menghalangi Yoga untuk melihat wajah Bela.

Mungkin dia menggunakan itu sebagai tameng. Semakin kesal, Yoga masuk ke dalam ruangannya dan menutup pintu dengan keras hingga suara benturan terdengar membuat Bela terlonjak.

Dia dan Dina saling menatap satu sama lain sebelum melirik pintu ruangan Yoga. "Ada apa dengannya?" tanya Dina berbisik. Bela menggidikan bahunya.

Dia tahu kalau Yoga sudah memiliki suasana hati yang buruk sejak pagi tapi dia tidak mungkin mengatakan itu kepada Dina.

"Apa kau sudah selesai membuat nota pembelaan?" Dina mengerang mendengar pertanyaan Bela. Dina menggeleng.

"Belum. Aku harus bolak-balik mengecek undang-undang untuk menulis ini. Sementara aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang hukum!" keluh Dina dengan iba.

Bela mengelus pundak Dina, kasihan. Dia tidak tahu seberapa susah membua nota pembelaan dan juga tidak bisa membantu Dina dalam hal itu karena dia baru bekerja kemarin.

Jadi tak ada ucapan semangat atau sanggahan yang bisa Bela katakan. Pekerjaan sendiri terlihat tidak akan mudah untuk hari ini melihat lelaki yang harus dia urus seperti gunung erupsi yang siap menyemburkan lava kapan saja. 

Membuka buku catatan yang diberikan Sarah kemarin dan membuka bagian Yoga. Disana tertulis kalau hari ini akan ada yang datang untuk meminta Yoga menangani kasus perceraiannya.

Memeriksa kontak yang ditinggal oleh calon klien, Bela mengambil gagang telepon dan menghubungi klien itu.

"Selamat pagi, dengan Bela dari Andreas Law Firm, apa benar ini Nyonya Gladis?"

Begitu tersambung Bela segera memperkenalkan diri. Setelah mendapat jawaban dari lawan bicaranya dia segera menjelaskan tujuannya.

"Aku ingin memastikan jadwal pertemuan nyonya dengan pengacara kami, kalau tidak salah anda meminta secara khusus untuk kasus ini ditangani oleh Pengacara Yoga, benar?" 

"Iya, aku janji bertemu denganya hari ini, apa dia menolak?" suara disana terdengar lembut namun ada gurat cemas disana.

Bela melihat catatan milik Sarah dan sudah bertulis kalau Yoga akan mengambil kasus ini jadi tidak mungkin Yoga menolaknya.

"Tidak, Nyonya. Aku menelpon karena ingin memastikan jam kedatangan anda ke kantor kami." jelas Bela dengan ramah.

Gladis menghela napas lega dan suaranya terdengar lebih cerah. "Aku akan datang pada pukul sepuluh, apa bisa?" Bela melirik jam yang sekarang menunjukan pukul delapan lewat tujuh belas menit.

"Baik, aku akan memastikannya ke pengacara Yoga dan akan menghubungi anda lagi jika ada perubahan jam." 

"Terima kasih." jawab Gladis. Bela mencatat itu pada bukunya dan melanjutkan kegiatan menelponnya.

Sekiranya butuh setengah jam untuk Bela selesai menghubungi orang-orang yang akan ada janji temu dengan Yoga. Setelah selesai mencatatnya, Bela menutup buku dan siap menemui Yoga. 

"Bela, kau mau ke ruangan Yoga?" Melihat bagaimana Dina tidak menggunakan panggilan sopan ke Yoga membuat Bela merasa sedikit terganggu.

Kemarin saat Yoga marah kepadanya, dan ada Sarah disini, walau kesal dan menggerutu Dina masih memanggil Yoga dengan embel-embel 'Pak' tapi ketika hanya berdua dengannya kenapa Dina menghilangkan itu?

"Iya, aku mau memastikan jadwal dengan Pak Yoga." ucap Bela dengan penekanan pada kata Pak. Sebenarnya Bela bukan seseorang yang terlalu kaku tapi ada saatnya dia akan keras kepala mengenai sopan santun yang perlu dijaga.

"Ada apa?" Dina tersenyum girang yang kemudian berubah jadi memasang wajah memelas.

"Bisa sekalian memberikan ini kepadanya? Kebetulan kau mau ke sana dan aku masih memiliki banyak pekerjaan, kau baca sendiri tugas yang diberikan Sarah kepadaku, 'kan? Jadi, Please?"

Tidak ada yang salah dari perkataan Din akarena memang Bela sudah melihat tugas yang diberikan Sarah kepada Dina tapi entah kenapa Bela merasa dimanfaatkan oleh Dina dan jika dia tidak mau membantu, itu membuat Bela terlihat tidak pengertian dan tidak bisa diajak kerjasama ketika rekan kerjanya yang sedang sibuk sementara pekerjaan Bela tidak banyak.

Dengan enggan Bela mengambil map dari tangan Dina. "Oke." ujarnya dan meninggalkan ruangan menuju kantor Yoga. Bela mengetuk pintu yang tertutup rapat itu. "Pak, saya Bela." 

"Masuk." Balasan itu datang dengan cepat dan Bela tidak menunggu lama untuk membuka pintu dan masuk. Ruangan kerja Yoga terlihat minimalis dengan cat dan furnitur berwarna putih atau hitam dan yang Bela sadari dengan ruangan ini adalah suasananya yang dingin dan tidak bersahabat.

Bela berdiri di depan meja Yoga dan menaruh berkas titipan Dina. "Aku ingin memberitahu jadwalmu dan ini berkas titipan Dina." Jari telunjuknya mengetuk berkas dengan map berwana kuning itu lalu membuka buku catatan yang sudah bertuliskan jadwal Yoga.

"Kenapa kau yang mengantarkan ini?" tanya Yoga dingin sambil mengangkat berkas itu.

Bela yang sedang membaca catatannya mengangkat kepalanya perlahan. Dia tidak mengerti kenapa Yoga marah karena hal itu. 

Bela juga tidak tahu harus menjawab apa kepada Yoga. Dia hanya membantu temannya membawa berkas. Itu saja. Apa yang perlu dipertanyakan?

"Dina memintaku untuk...," belum sempat menyelesaikan ucapannya, Yoga sudah melempar berkas itu ke lantai. Bela berjengit mundur ketika berkas itu hampir mengenai kakinya. Dia menatap Yoga tidak percaya.

"Kau ini kenapa?!" tanya Bela yang berusaha menahan amarahnya. Tangannya gemetar ketika matanya bertemu dengan mata Yoga yang menatapnya tajam dan wajahnya penuh amarah.

"Pungut itu dan berikan lagi kepada Dina. Suruh dia bawa sendiri kesini." Tidak peduli dengan bagaimana Bela bereaksi, Yoga kembali fokus pada layar komputernya.

"Tidak mau. Kau yang membuangnya kenapa aku harus memungutnya? Ambil saja sendiri!" 

"Bukannya kau babu yang mau saja disuruh Dina untuk mengantar itu?" Yoga menunjuk berkas itu dengan dagu. "Lalu kenapa tidak mau kusuruh?" Yoga mencemooh Bela.

Matanya memandang rendah Bela. Tangan yang tadinya gemetar kini Bela kepal erat. Dia sudah sering bertengkar dengan Yoga melalui obrolan di aplikasi tapi ini pertama kalinya Bela mendengar perkataan Yoga secara langsung kepadanya.

Ini berbeda dengan kemarin dia melihat Yoga memarahi Dina. Ada perasaan tidak adil dan Bela merasa sudah disalahkan tanpa alasan. 

Wajah putih itu memerah karena menahan emosinya yang membuncah dan mata jernih itu mulai menggenangkan air mata.

Melihat ekspresi Bela, untuk sesaat Yoga merasa sudah kelewatan dengan ucapannya dan hanya diam melihat Bela yang membuka buku catatannya lalu merobek kertas pada buku itu.

"Ini jadwalmu hari ini. Kalau ada jam yang tidak sesuai, kau bisa hubungi aku." Bela menggebrak kertas itu ke atas meja lalu berbalik mengambil berkas yang berserakan di lantai dan pergi keluar dari ruangan Yoga begitu saja. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status