Share

Berdebat

"Iya benar sekali. Untung saja matanya tidak ikut sipit seperti kamu, Mas. Bisa-bisa aku menaruh curiga sama kamu ... kalau kamu itu ada hubungan gelap sama Anisa. Hehehe," sambung Zaskya meledeki Abimana. 

"Hemmm, segitu burukkah aku di matamu, Sayang?" tanya Abimana terkekeh. Tangannya mencubit pelan pipi Zaskya karena gemas. 

"Ih, sakit, Mas." Bibir Zaskya mencebik. 

"Hisk, kamu ini tidak malu apa sama anak kita memasang tampang seperti itu?" goda Abimana terkekeh. 

"Tentu tidaklah. Mana ada anak kita mengetahuinya. Sementara, dia masih tertidur pulas seperti itu," jawab Zaskya tersenyum menang. 

"Hemmm, kalian berdua seharusnya malu dengan Ibu. Secara kelakuan kalian itu kayak ABG tahun sembilan puluhan," sahut Bu Irma tersenyum geli. 

Di saat bersamaan, bayi mungil itu menggeliat. Tubuhnya yang merah jadi semakin merah seperti tomat matang. Mereka yang melihat langsung tersenyum senang. Ternyata benar sekali, kehadiran anak adopsi mereka menambah kebahagiaan dan kesempurnaan di keluarga besar mereka. 

"Oya, kira-kira nama yang tepat untuk anak kita apa, ya?" tanya Zaskya penasaran. Sejak semalam dia terus memikirkan nama yang baik. Namun, sampai detik ini belum kunjung menemukan yang tepat. 

"Bagaimana kalau Abigail Kusuma Atmadja saja? Kan nama itu identik dengan nama Abimana Kusuma Atmadja," usul Bu Irma semangat. Dia begitu berharap merek setuju dengan nama tersebut. 

"Good, itu keren sekali, Bu." Wajah Zaskya langsung berbinar-binar. Akhirnya, dia menemukan nama yang indah untuk anak adopsinya itu. 

"Kalau aku setuju sekali. Kalau kamu bagaimana, Mas?" tanya Zaskya menatap Abimana yang sedikit aneh ketika mendengar nama itu. 

"Em, kenapa namanya harus sama persis denganku? Nanti, kalau kita bisa punya anak laki-laki kandung bagaimana?" tanya Abimana kurang suka dengan nama itu. Bayi inikan hanya anak adopsi. Jadi, Abimana tidak memperkenankan itu. 

Deggg! 

Zaskya terdiam. Hatianya sakit. Dadanya sesak sekali. Dia tidak menyangka kalau suaminya ini masih berharap besar dengan dirinya. Sementara dirinya, sama sekali tak ada harapan untuk bisa mengandung karena penyakitnya yang sudah kronis.

"Hemmm, kalau soal itukan. Nanti, bisa kita beri nama Abizar atau apalah. Iya kan, Kya? Suamimu ini repot sekali jadi orang," sahut Bu Irma terkekeh geli. 

"I-iya, Mas. Ucapan Ibu itu benar sekali. Jangan bilang Mas akan membuang anak kita ini setelah bisa memiliki darah daging sendiri," goda Zaskya terkekeh. Dia sengaja mengucapkan kata-kata tersebut karena tak ingin suaminya melupakan kenang-kenangannya sebelum pergi selamanya.

"Astaga, kenapa bisa kamu berpikir seperti itu? Mana mungkin aku tega membuangnya. Sudah cukup dia dijual ibunya sama kita. Masa iya, aku mau menambahi penderitaannya. Tentu, tidaklah! Malah kalau bisa, akan aku buat dia menjadi pria yang sukses kelak kalau dia sudah dewasa. Aku ingin melihat ... apakah ibunya itu tidak merasa menyesal sudah tega menjual anaknya," jelas Abimana dengan sorot mata penuh kebencian. 

"Astaga, kenapa bisa kamu berpikiran buruk sekali terhadap Anisa. Dia itu bukannya menjual, Bi. Akan tetapi, dia itu terpaksa karena terjepit ekonomi. Tidak ada seorang Ibu yang rela menukar anaknya hanya demi selembar cek untuk melunasi biaya rumah sakit," bela Bu Irma tidak suka dengan sikap anaknya. 

"Buktinya, dia rela gitu. Kalau dia tidak rela kenapa dia tidak ada usaha sama sekali untuk mempertahankan anaknya," balas Abimana tersenyum mengejek. 

"Terserahmulah, Bi. Ibu harap kamu tidak akan menyesal sudah memfitnah Anisa seperti itu," balas Bu Irma kecewa. Beliau benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran anaknya yang buntu itu. 

"Sudah, ih. Ini kok malah pada berdebat gini. Nggak malu apa didengar sama Abigail," lerai Zaskya. Dia bingung harus membela yang mana. Mereka semua memiliki kedudukan yang sama pentingnya di hidup Zaskya. Walaupun sebenarnya ucapan mertuanya itu lebih tepat. 

"Mendingan juga, kita segera ke mol buat belanja keperluan Abigail. Jadi, nanti ketika kita pulang ... perlengkapan Abigail sudah lengkap," imbuh Zaskya tersenyum.

"Iya, benar sekali. Ya sudah. Mari kita pergi sekarang," ajak Abimana semangat. Entah kenapa dia merasa senang mendapatkan ajakan berbelanja itu. 

"Ibu di sini saja. Sana kalian pergilah!" usir Bu Irma yang masih jengkel sama anaknya itu. 

"Loh kok gitu? Nanti, Ibu pulangnya bagaimana?" tanya Zaskya cemas. Dia paham kalau ibu mertuanya ini masih kesal sama anaknya. 

Sementara, Abimana hanya diam saja. Tidak ada usaha untuk merayu ibunya itu. Dia paham sekali dengan tabiat ibunya. Ibunya ini kalau tengah kesal, pasti sulit sekali dirayu. Semakin dirayu malah akan semakin marah. 

"Ibu nanti naik taksi atau minta susul Pak Sopir saja. Jadi, kamu tak perlu khawatir sama Ibu. Ibu masih pingin menemani Abigail." Bu Irma menatap Abigail sendu. Beliau merasa sedih juga harus meninggalkan cucunya itu. 

"Masa gitu sih, Bu? Kita datang bersama-sama, masa pulangnya mencar. Lagi pula, jam besuk Abigail sebentar lagi berakhir. Nanti, sore kan kita bisa kembali lagi," rayu Zaskya sedih. Dia tak tega meninggalkan ibu mertuanya sendiri.

"Sudahlah. Percuma kamu merayu Ibu. Lebih baik kita pergi saja. Nanti, sepulang dari belanja kita balik lagi kemari buat menjemput Nyonya Besar Kusuma Atmadja," ledek Abimana tersenyum santai. 

"Idih, siapa juga yang mau dijemput kalian. Sudah sana pergilah!" tegas Bu Irma semakin jengkel.

"Baik, Bu. Kami berangkat ya? Assalamualaikum," pamit Zaskya. Dia benar-benar tidak mengerti dengan tingkah ibu mertua dan suaminya yang suka berselisih itu. 

"W*'alaikummussalam," balas Bu Irma tanpa menatap kepergian anak dan menantunya itu. Beliau malah asik memandangi Abigail yang terus-terusan menggeliat itu. Rasanya beliau sudah tidak sabar lagi ingin menggendong dan membawa pulang cucunya itu.

***

Di kamarnya, Anisa dan Bu Yuli masih mengobrol. Mereka membahas suami Anisa yang kejam itu. Sementara, Pak Rahmat mohon izin pulang dulu ke rumah. Dia harus mematikan lampu yang jelas masih menyala di rumahnya. 

"Nis, kok bisa sih kamu itu mencintai pria macam Angga?" tanya Bu Yuli penasaran. Beliau terheran-heran sama Anisa yang betah sekali memperjuangkan rumah tangganya itu. 

"Dulu Mas Angga itu orang yang baik Bu. Bahkan, dia juga sangat mencintaiku." Wajah Anisa berseri-seri mengingat betapa cintanya suaminya itu sama dia dulu.

"Namun, akibat hasutan adik dan ibu mertuaku. Dia berubah total sama aku. Sikapnya jadi berutal dan dingin. Bahkan, tidak segan-segan bertindak kasar seperti semalam." Mata Anisa mulai berkaca-kaca. 

"Entah di mana letak kesalahanku sama mereka sehingga sangat membenci dan tidak menyukaiku. Apa karena aku ini hanya anak yatim piatu yang miskin. Jadi, tak ada yang bisa diharapkan dariku," imbuh Anisa tersedu-sedu. Dia begitu bingung menerka-nerka penyebab keluarga suaminya tidak menyukainya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status