Share

Mirip

Anisa dengan isak tangisnya segera menatap ke arah tiga orang yang baru masuk. Tangannya dengan cepat mengusap buliran-buliran bening yang terus merembes dari matanya. 

Lalu, memasang senyuman seindah mungkin di hadapan para tamu agungnya itu. Dia paham sekali kalau orang yang berkunjung itu merupakan calon keluarga baru untuk anaknya. 

Sementara, mereka yang baru datang itu ikut tersenyum haru. Mereka bisa merasakan kesedihan yang sedang dialami Anisa. Namun, mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ini adalah kesempatan terbaik bagi mereka untuk melengkapi keluarga mereka. 

Mereka juga berharap dengan hadirnya sosok bayi adopsi ini. Zaskya juga bisa segera diberi momongan oleh Sang Pencipta. Menurut beberapa sahabat dan kerabat dekat mereka, hal itu digunakan sebagai pancingannya. 

"Ini ada sedikit buah tangan untuk Anda," ucap Zaskya tersenyum senang. menyerahkan keranjang berisi aneka buah-buahan kepada Anisa. 

"Terima kasih banyak, Nyonya. Seharusnya, kalian tidak usah repot-repot membawakan buah tangan untuk saya," balas Anisa tersenyum sedih. 

"Ini tidak merepotkan kok. Lagi pula Anda sangat membutuhkan banyak vitamin dan nutrisi untuk menghasilkan ASI terbaik untuk anak kami," jawab Zaskya tersenyum hangat. 

Degggg! 

Hati Anisa terasa nyeri saat mendengar kata anak kami. Jujur, dia belum ikhlas melepaskan anak semata wayangnya itu. Harapan besar memilikinya masih dia junjung. 

"Oh, iya, maaf." Anisa tersenyum getir. 

Di saat bersamaan, tiba-tiba ponsel yang berada di saku jas Abimana berdering. Anisa yang ikut mendengar segera menatap ke arahnya. Sekilas dia mengamati wajah pria tampan dan berwibawa itu. Dia ingin mengetahui karakter calon ayah anaknya. 

"Mohon maaf, saya harus keluar sebentar. Ada pembicaraan penting soalnya," pamit Abimana tersenyum manis. 

"Iya," sahut mereka semua kompak. 

"Sepertinya, dia adalah calon ayah yang baik. Dia terlihat berbeda dengan Mas Angga," batin Anisa tersenyum hangat. 

Setelah Abimana keluar, Zaskya langsung mengajak bicara Anisa lagi. Ada beberapa hal penting yang harus dirundingkan.

"Oya, tadi kami sempat mampir dulu ke ruangan Dokter Almira. Dia berkata bahwa selama dua bulan ini 

kamu harus terus memberi ASI ekslusif pada bayi kami. Jadi, nanti sepulang dari rumah sakit, untuk sementara waktu kamu harus ikut tinggal di rumah kami sampai batas waktu yang diucapkan dokter. Kamu setujukan?" tanya Zaskya tersenyum ramah. 

"Iya, saya setuju." Anisa mengangguk patuh. Ada desiran rasa senang dan bahagia di hatinya. Ternyata, Tuhan masih memberi jalan baginya untuk tetap bisa bersama anaknya. 

"Syukurlah. Oya, sebagai imbalannya kami akan memberikan kompensasi untuk kamu sebagai imbalan jasa karena sudah bersedia merawat dan memberikan ASI ekslusif untuk anak kami," jelas Zaskya tersenyum hangat. 

"Maaf, untuk kompensasi itu saya akan menolaknya. Saya ikhlas kok memberikan semua itu pada anak saya. Soalnya, hanya itu yang mampu saya berikan padanya, sebelum kami benar-benar berpisah," tolak Anisa terisak-isak. Hatinya kembali sedih mengingat sebuah fakta yang sangat tidak dia harapkan. 

"Tidak boleh begitu. Kami paham dengan kondisi Anda saat ini. Jadi, kami harap Anda tidak akan menolaknya," balas Zaskya tersenyum hangat. 

"Iya, Nak. Kamu tidak boleh menolaknya. Itu semua kami lakukan atas rasa syukur kami kepada Tuhan," imbuh Bu Irma tersenyum sedih. Beliau terharu sekali dengan sikap Anisa. 

Anisa yang diserang dua orang itu segera menatap ke arah Bu Yuli dan Pak Rahmat Dia butuh dukungan dari mereka. Namun, mereka malah mengangguk tanda setuju. Bukannya, mereka berkata-kata manis untuk menyakinkan keinginannya itu pada calon keluarga baru anaknya. 

Sebenarnya, mereka tak tega menentang keinginan tulus Anisa. Akan tetapi, di satu sisi, kompensasi itu sangat dibutuhkan Anisa untuk menunjang kebutuhan hidupnya. Sekarang kan Anisa sudah tidak memiliki apa-apa lagi.

Anisa langsung menghela napasnya sedikit kasar. "Baiklah, saya terima kompensasinya," jawab Anisa terisak-isak. 

Abimana yang baru masuk, mendengar ucapan Anisa itu. Hatinya sedikit kecewa. Ternyata, Anisa benar-benar menukar anaknya dengan uang. Dia pikir akan ada perdebatan sedikit ketika istrinya ingin memberi kompensasi tersebut. 

"Syukurlah, kami senang mendengarnya. Oya, kami mohon izin dulu untuk menengok bayi kami. Tadi, dokter menyarankan kami untuk menjenguknya pukul sepuluh pagi," ucap Zaskya semangat. 

"Iya Nyonya. Terima kasih atas ketersediaannya menjenguk saya," balas Anisa tersenyum sedih.

"Ingat, Anda tidak usah banyak pikiran. Hal itu bisa mempengaruhi ASI yang Anda produksi. Pola makannya juga dijaga, biar Anda lekas sembuh," pesan Bu Irma menyalami tangan Anisa. Entah mengapa hatinya begitu senang melihat Anisa. Beliau bisa merasakan bahwa Anisa adalah orang yang baik. 

"Insya Allah, Nyonya." Anisa tersenyum sedih. 

"Assalamualaikum," ucap Bu Irma mewakili. 

"W*,alaikummussalam," sahut Anisa, Bu Yuli dan Pak Rahmat.

Mereka bertiga segera melangkah keluar dari ruangan Anisa. Pak Rahmat ikut serta berjalan mengantarkan mereka sampai di depan pintu. Setelah mereka melangkah jauh, Pak Rahmat segera menutup pintunya. Lalu, bergegas kembali mendekati istrinya. 

Bu Yuli yang merasa tidak enak dengan Anisa segera mengungkapkan isi hatinya. Dia berharap Anisa tidak marah atau kecewa dengannya. 

"Nis, Bude minta maaf, ya?" tanya Bu Yuli sendu. 

Kening Anisa langsung mengkerut karena bingung. Entah alasan apa yang sudah mendasari permohonan maaf Bu Yuli itu. 

"Maaf untuk apa, Bude?" tanya Anisa bingung. 

"Bude kan nggak ada salah sama Anisa," imbuh Anisa terheran-heran. 

"Itu tadi soal kompensasi," jelas Bu Yuli sendu. 

"Oh," jawab Anisa tersenyum sedih. 

"Kami sengaja tidak mendukungmu soal itu karena kami tahu kalau kamu sangat membutuhkannya. Uang itu bisa kamu jadikan modal untuk penunjang kehidupanmu di masa mendatang. Kamu kan tidak punya pegangan apa-apa lagi untuk sandaranmu," jelas Bu Yuli menitikkan air mata. 

"Mohon maaf kalau kami tidak bisa membantumu soal ekonomi. Kamu kan tahu, kalau kami memiliki tanggungan yang besar. Jadi, mohon pengertiannya?" imbuh Pak Rahmat sendu. 

"Hehe, aku paham kok dengan tujuan kalian itu. Terima kasih banyak untuk semuanya. Kalian memang tetangga terbaikku," jawab Anisa tersenyum sedih. Buliran bening kembali merembes dari sela-sela matanya. 

"Sama-sama, Nis." Pak Rahmat dan Bu Yuli tersenyum lega.

***

Di ruangan lain, senyum bahagia tampak jelas dari wajah Bu Irma, Zaskya dan Abimana. Mereka begitu takjub dengan sosok bayi adopsinya. Hidungnya mancung, wajahnya tampan, untuk warna kulitnya tentulah masih berwarna merah.

"Subhannallah, dia imut-imut sekali. 

Ternyata, kamu tidak salah pilih rupanya," puji Abimana bangga. Dia merasa tertarik dengan sosok bayi mungil itu. Bahkan, hatinya merasa bahagia sekali. 

"Iya benar. Bahkan, hidungnya saja bisa sama persis dengan hidungmu, Nak. Begitu juga dengan bibirnya. Pasti orang-orang akan mengira bahwa kamu memang ayahnya," imbuh Bu Irma tersenyum bahagia. Buliran-buliran bening ikut merembes dari matanya karena terlalu senang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status