Share

Kekesalan Abimana

"Huh, biarkan saja mereka seperti itu. Bude yakin sekali kalau orang macam mereka hidupnya nggak akan mujur," jawab Bu Yuli mengusap bahu Anisa untuk menguatkannya. 

"Bude juga yakin sekali kalau wanita baik seperti kamu akan menemukan pria yang jauh lebih baik dari dia. Jadi, bersemangatlah Nis. Nanti, kalau kamu sudah sembuh total dan sudah menyelesaikan tugasmu. Kamu harus bisa merawat tubuhmu kembali biar cantik kayak masih perawan dulu. Biar tuh si Angga mati kutu karena sudah tega meninggalkan kamu," nasihati Bu Yuli. 

"Iya Bude. Terima kasih banyak atas nasihat dan dukungannya? Oya, nanti misalnya aku belum menemukan tempat buat tinggal lagi. Aku bolehkan numpang di rumah Bude dulu?" tanya Anisa penuh harap. 

"Tentu boleh sangat, Nis." Bu Yuli tersenyum sedih. Dia tahu benar betapa beratnya jadi Anisa.

Di sela-sela obrolan mereka tak berselang lama terdengar suara ketukan pintu lagi. 

"Masuk saja! Tidak dikunci kok!" teriak Bu Yuli yang malas berjalan untuk membukakan pintu. Rematiknya mulai kumat lagi karena kedinginan. Lagi pula, dia kurang tidur akibat menunggui Anisa semalam. 

Ceklek! 

Suara handel pintu dibuka seseorang. Anisa dan Bu Yuli segera menatap ke arah pintu untuk melihat siapa yang masuk. 

"Assalamualaikum!" Tampaklah wanita paruh baya yang tadi pagi datang menjenguk Anisa. 

"W*,alaikummussalam. Eh, Ibu! Maaf, kakiku kumat linu-linunya jadi malas mau bukakan pintu," ucap Bu Yuli tersenyum malu. Dia benar-benar tidak menyangka kalau tamu agung yang datang.

"Ah, tidak perlu minta maaf. Seharusnya, aku yang minta maaf karena mengganggu obrolan kalian," balas Bu Irma tersenyum. Dia merasa tidak enak karena sudah mengganggu. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekat. 

"Tidak mengganggu kok, Bu. Malah tambah seru kalau ketambahan lagi teman ngobrolnya," balas Bu Yuli tersenyum kikuk. 

"Baguslah kalau begitu. Aku sangat senang mendengarnya," balas Bu Irma menghentikan langkahnya tepat di samping Bu Yuli. Bibirnya melengkung ke atas. Dia begitu senang bisa bertemu orang-orang ramah macam Anisa dan Bu Yuli. 

"Oya, apa anak-anak ibu masih menjenguk si Ganang di ruangannya?" tanya Bu Yuli bosa-basi. 

"Ganang? Siapa itu si Ganang?" tanya Bu Irma mengkerutkan keningnya bingung. 

"Em, Ganang itu sebutan untuk cucu barunya Ibu, hehe. Kalau suku jawa biasanya menjulukinya itu, Bu." Bu Yuli tersenyum kikuk.

"Oh, maaf aku tidak tahu." Bu Irma tersenyum kikuk. Tangannya menyentuh lengan Bu Yuli. 

"Mereka sudah pulang ke rumah duluan. Entah kenapa aku masih betah di sini. Makanya tidak ikut pulang," jelas Bu Irma menatap ke arah Anisa yang masih melengkungkan bibirnya ke atas. 

"Syukurlah, kalau begitu aku nggak sendirian dong menemani Anisanya. Mungkin, Tuhan sengaja membuat Ibu betah di rumah sakit karena kasihan sama aku yang kesepian nih," ledek Bu Yuli tersenyum kikuk.

"Ah, bisa jadi itu, Bu." Akhirnya dua wanita paruh baya itu tertawa renyah bersama-sama. Sementara, Anisa hanya melengkungkan bibirnya saja. Mengingat kondisinya yang belum pulih pasca operasi caesar. 

Di saat bersamaan ponsel Bu Irma bergetar. Namun, dia abaikan karena dia paham betul siapa yang sedang menghubunginya itu. 

"Maaf Bu, kok itu ponselnya bergetar terus diabaikan? Takutnya, panggilan penting loh, Bu!" peringati Bu Yuli. 

"Halah, paling juga yang menghubungi anakku. Biarkan saja dulu, aku belum ingin pulang. Aku masih ingin ngobrol-ngobrol sama kalian. Besok-besok belum tentu aku bisa bertemu sama Bu Yuli lagi. Kalau sama Anisa sih memang masih bisa. Kan dia bakalan tinggal satu atap sama aku sampai si Abigail berumur enam bulan," jelas Bu Irma santai. 

"Kalau cuma ingin bertemu denganku, Ibu bisa datang ke pasar kota. Aku sama suami jualan sayuran di sana. Kan, sekalian Ibu beli dagangan kami biar cepat habis," balas Bu Yuli disertai senda gurau. 

"Oke deh besok-besok insya Allah aku akan menjadi pelanggan setia Bu Yuli sama Pak Rahmat," balas Bu Irma tersenyum. Tangannya menyentuh bahu Bu Yuli kembali. 

"Ah, Ibu serius nih? Padahal aku tadi cuma bergurau saja. Jadi, malu nih," ucap Bu Yuli tersipu malu. 

"Hemmm, buat apa malu? Kita kan harus saling menguntungkan sebagai teman. Mulai besok aku nggak perlu susah-susah harus memilih penjual sayuran yang amanah. Sementara, Bu Yuli jualannya mendapatkan pelanggan baru. Benarkan, Nis?" Bu Irma menatap Anisa meminta persetujuan darinya.

"Iya benar sekali. Dengan begitu, aku juga pasti memiliki keuntungan juga. Aku bisa bertemu sama Bu Yuli tanpa mengeluarkan ongkos. Kan, bisa nebeng sama atasan," ledek Anisa gantian. 

Lagi-lagi dua wanita paruh baya itu tertawa menggelegar meramaikan kamar rawat Anisa. 

Sementara, Anisa lagi-lagi hanya tersenyum saja. Dia tidak berani tertawa berlebihan mengingat bekas operasi caesarnya yang jelas belum sembuh atau mengering. 

Di saat bersamaan terdengar suara ketukan pintu di ruangan Anisa.

"Siapa lagi tuh yang datang? Apa suami Bu Yuli sudah kembali?" tanya Bu Irma. 

"Sepertinya sih bukan, Bu. Kalau suamiku pasti habis ketuk pintu langsung nyelonong masuk saja. Nggak perlu nunggu dibukakan pintu segala," jelas Bu Yuli tersenyum malu. 

"Oh," balas Bu Irma menganggukkan kepala mengerti. 

"Masuk saja! pintunya tidak dikunci kok!" perintah Bu Yuli yang malas berjalan hanya untuk sekadar membukakan pintu saja. 

Ceklek! 

Pintu ruangan Anisa dibuka seseorang. Tak lama tampaklah seorang pria tampan memasang wajah dingin. Mereka yang berada di dalam langsung memasang senyuman. Hanya Bu Irma saja yang diam tanpa ekspresi sama sekali. 

Dia paham sikap anaknya seperti itu karena kesal dengannya yang tidak kunjung mengangkat panggilannya. Tanpa ingin masuk ke dalam untuk sekadar bosa-basi pria itu langsung mengutarakan isi hatinya. 

"Apakah mengobrol dengan orang yang baru dikenal itu lebih penting daripada mengangkat panggilan anaknya?" tanya Abimana dengan suara dingin. Matanya merah menyala. Dia benar-benar marah sudah diabaikan. 

Bu Irma menghela napasnya kasar. "Bukan begitu, ponsel Ibu disailent. Jadi, Ibu tidak mengetahui ada yang memanggil," jelas Bu Irma santai. Terpaksa dia berbohong. Dia malas berdebat dengan anaknya itu. 

"Oh, ya sudah. Lanjutkan saja ngobrolnya sampai puas. Aku ingin kembali le ruangan istriku sekarang," ucap Abimana semakin dingin. Dia segera berlalu dari sana meninggalkan ibunya. 

"Eh, maksud kamu apa, Abimana?" teriak Bu Irma bingung. Dia jadi khawatir dengan kondisi menantunya itu. 

Namun, Abimana tidak menggubrisnya sama sekali. Kakinya terus melangkah cepat meninggalkan ibunya yang sangat menyebalkan itu. 

"Sebaiknya, Ibu susul Pak Abimana saja sekarang! Aku takut terjadi sesuatu hal buruk sama Mbak Zaskya. Dari nada bicaranya bisa dipastikan kalau Pak Abimana sedang tidak baik-baik saja," saran Anisa merasa tidak enak hati. Hatinya juga merasa khawatir dengan ucapan Abimana itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status