Share

Bab 5 Pertemuan Keluarga

Tepat setelah telpon di tutup, aku memilih keluar dari kamar mandi. Kakiku melangkah menuju sofa ruang tunggu lalu mengambil bubur yang tadi di belikan oleh Mas Adi. Aku memakan bubur itu dengan lahap. Sesekali aku akan melihat Nasya yang masih tidur. Hingga aku bisa menangkap lirikan Mas Adi padaku. Untunglah dia tidak mendekat karena masih sibuk dengan hpnya. Entah Mas Adi sedang berbalas pesan dengan siapa. Yang jelas bukan Rumi.

"Ibu." Beberapa menit kemudian Nasya sudah bangun. Mas Adi dengan sigap mengambilkan segelas air putih untuk Nasya.

"Nasya sama Ayah dulu ya. Biar Ibu bisa makan. Ayo minum dulu nak." Nasya sama sekali tidak menanggapi ucapan Mas Adi. Yang ada hanya tatapan sedih bercampur dengan marah di kedua bola matanya.

"Nggak mau." Jawab Nasya ketus. Membuatku merasa sedih. Semarah apapun aku pada Mas Adi, tetap saja aku tidak mau membuat Nasya jadi membenci Ayahnya sendiri. Setidaknya Nasya bisa memberikan maaf lalu berdamai dengan Mas Adi. Tidak seperti aku yang sudah siap untuk berpisah.

"Ayah jahat. Sama seperti Mama Rumi dan Rahman." Kata Nasya lagi yang membuat kepala Mas Adi tertunduk sedih. Aku bisa mendengar helaan nafas berat pria itu dari belakang punggungnya. Hal yang sering Mas Adi lakukan jika sedang sedih, bingung atau hanya lelah.

"Nasya." Tegurku sedikit keras pada putri kami. Membuat Nasya menundukan kepala sambil memainkan jarinya di atas pangkuan.

"Ibu sama sekali tidak pernah mengajari kamu bicara seperti itu. Sopan santun pada orang tua itu sangat penting nak." Nasihatku dengan menggunakan intonasi suara yang mulai lembut kembali. Agar Nasya bisa paham jika aku tidak suka dia bicara kasar seperti pada Ayahnya sendiri.

"Ayah sudah minta maaf pada Ibu sejak kemarin. Sekarang Ayah juga mau minta maaf pada Nasya. Makanya, Nasya sarapan sama Ayah dulu ya. Nanti siang baru sama Ibu." Nasya hanya bisa menganggukan kepalanya karena tidak berani lagi untuk membantah ucapanku. Dia tahu jika aku sudah sedikit saja meninggikan suara, itu berarti tidak boleh di bantah lagi.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Mas Adi membantu Nasya untuk minum. Lalu, menyuapi makanan yang hanya bisa di telan beberapa kali. Setalah itu Nasya menggelengkan kepala karena bilang jika tenggorkannya sakit. Mas Adi tidak bisa memaksa lagi karena mungkin saja amandel yang belum di operasi membuat Nasya tidak bisa makan banyak.

"Kapan Nasya akan di operasi dek Nada? Bukankah sebelum operasi Nasya harus puasa dulu?" Tanya Mas Adi setelah meletakan kembali nampan makanan di atas nakas. Suamiku itu masih duduk di kursinya tanpa berniat untuk menghampiriku ke sofa.

Aku terpaksa bersikap biasa saja agar Nasya tidak melihat pertengkaranku dan Mas Adi. Aku ingin hubunganku dengan Mas Adi tetap terlihat baik-baik saja di depan Nasya. Agar putriku perlahan mau memaafkan Ayahnya. Suatu saat nanti baru aku akan memberikan pengertian pada Nasya jika aku dan Mas Adi sudah berpisah. Tapi, kami akan tetap memberikan perhatian dan kasih sayang sayang sebagai orang tua.

"Belum tahu mas. Dokter hanya bilang hari ini. Tapi, saat aku tanyakan sebentar pada suster tadi kemungkinan operasinya akan di tunda nanti malam atau besok. Karena ada pasien gawat darurat yang harus segera di operasi pagi ini. Karena itulah suster tetap mengantarkan makanan ke kamar Nasya." Mas Adi menganggukan kepala mengerti.

Hanya itu saja percakapanku dengan Mas Adi. Karena aku sudah menghampiri Nasya lalu menyelimuti tubuhnya. Badan Nasya sudah tidak panas seperti kemarin. Membuatku merasa sangat lega. Kemarin adalah momen yang paling buruk untukku. Tanpa kehadiran suami, aku harus membawa Nasya ke rumah sakit sendiri dengan menaiki taksi online.

Aku sudah menceritakan banyak hal pada Nasya. Salah satunya tentang teman-teman Nasya di tk yang berdoa untuknya agar bisa segera sembuh. Sempurna mengabaikan Mas Adi yang duduk sendirian di sofa yang ada di pojok ruangan ini. Nasya kadang membuka mulutnya ingin bicara. Tapi, tidak jadi. Lalu hanya menganggukan kepala atau hanya sekedar tersenyum mendengar ceritaku.

"Assalamualaikum." Suara yang amat aku kenali membuatku seketika berdiri.

"Waalaikumsalam." Jawabku dan Mas Adi secara serentak.

Abah datang bersama dengan Ibu dan Umi. Abah mencium kepala Nasya yang berbalut jilbab kecil dengan lembut. Begitu juga dengan Ibu dan Umi. Aku sendiri sudah memeluk Ibu dan Umi secara bergantian. Menumpahkan segala rasa khawatir sejak tadi malam karena harus membawa Nasya seorang diri ke rumah sakit.

“Kamu sudah bisa tenang sekarang Nad. Ibu dan Umi akan menemani kamu.” Bisik Ibu di telingaku yang membuat aku menganggukan kepala. Kedua mataku sudah berair. Tapi, sebisa mungkin aku tahan agar tidak menangis lagi.

"Aku kira Abah dan Umi masih ada di luar kota. Jadi, aku hanya minta bantuan pada Ibu." Kataku saat semua orang masih berdiri mengelilingi tempat tidur Nasya.

"Umi langsung mengajak Abah pulang kemarin malam. Keadaan Nasya jauh lebih penting." Jawab Umi sambil meletakan banyak buah-buahan di atas nakas.

Tiga puluh menit kemudian, Abah mengajak Mas Adi untuk bicara di luar. Umi menyusul lebih dulu. Aku menatap kepergian mereka bingung. “Ibu juga mau pergi sebentar menyusul Abah, Umi dan Abi, Nad.”

“Iya Bu.” Aku menatap kepergian Ibu hingga pintu sudah tertutup.

Seperti biasa jika akan memarahi Mas Adi, Abah akan mengajak kedua istrinya pergi. Mas Adi pernah bercerita di awal pernikahan kami. Bagaimana rasanya punya dua Ibu yang kompak seperti Ibu dan Umi. Tidak membeda-bedakan anak dari istri pertama ataupun istri kedua. Mereka tetap memberikan kasih sayang dengan rata. Tentu saja Abah sebagai suami yang melakukan poligami punya andil besar dalam hal ini.

Tapi, jika Mas Adi dan saudaranya yang lain melakukan kesalahan maka mereka akan mendapat omelan dari Ibu dan Umi sekaligus. Hal yang tidak akan mungkin bisa aku lakukan dengan Rumi. Karena jauhnya perbedaan di antara sifat Umi dengan adik maduku itu. Selain itu, sikap Mas Adi juga tidak bisa adil seperti Abah.

Entah apa saja yang mereka bicarakan, Ibu dan Umi masuk ke dalam ruang rawat Nasya satu jam kemudian. Tidak ada tanda keberadaan Mas Adi dan Abah. Mungkin sekarang giliran Abah yang menasihati Mas Adi. Terserahlah. Keputusanku sudah bulat untuk berpisah dari Mas Adi. Aku akan mengatakan hal ini pada orang tua Mas Adi nanti malam. Saat Papa dan Mama juga sudah sampai di rumah sakit ini.

***

Papa dan Mama baru sampai setelah adzan isya’ berkumandang. Karena kemarin Papa dan Mama pergi keluar pulau menemui investor pabrik. Jadi, orang tuaku juga baru bisa menjenguk Nasya malam ini. Kami bergantian sholat di musola. Rencana operasi amandel Nasya sudah di tetapkan besok siang. Jadi, Nasya tidak boleh makan malam ini. Membuat putriku merengek karena masih lapar.

Untungnya Nasya cepat tidur. Jadi, aku bisa membicarakan rencanaku dengan kedua keluarga kami. Aku sudah mengajak mereka untuk duduk di sofa. Mas Adi tampak sangat gelisah saat duduk di sampingku. Dia pasti bisa menebak apa yang akan aku katakan kali ini.

“Maaf jika aku harus menyampaikan hal ini di depan Abah, Ibu dan Umi. Aku juga minta maaf pada Papa dan Mama.” Kuhela nafas sejenak setelah mengatakan hal itu. Semua mata kini tertuju padaku.

“Ada apa sebenarnya ini Nad?” Tanya Mama dengan wajah khawatir.

“Aku ingin berpisah dari Mas Adi. Setelah tiga tahun di poligami, aku memilih menyerah.” Semua keluarga kami memasang wajah kaget.

“Kenapa kamu memilih berpisah Nada sayang? Bukankah selama tiga tahun ini kalian bisa menjalani rumah tangga ini dengan baik?” Tanya Papa setelah pulih dari kekagetannya.

Air mata sudah jatuh ke pipiku tanpa terasa. Segera kuhapus air mata itu dengan cepat. Aku menatap Mas Adi yang hanya bisa menundukan kepalanya. Begitu juga dengan Abah dan Ibu. Hanya Umi yang menatap Mas Adi dengan pandangan tajam.

“Mas Adi tidak bisa adil. Aku menyembunyikan semuanya selama tiga tahun ini.” Kataku setengah jujur pada keluarga Mas Adi. Karena Papa dan Mama sudah tahu masalah rumah tanggaku selama ini. Dengan siapa lagi aku menanggung beban jika bukan dengan orang tuaku. Hanya saja Papa dan Mama belum tahu masalah kemarin. Biarlah Papa dan Mama tidak tahu apa yang terjadi kemarin malam.

“Kamu bisa bertahan sedikit lagi. Lihat Ibu dan Umi kalian. Mereka bisa akur.” Ujar Mama yang secara tersirat tidak setuju dengan keputusanku.

“Umi dan Rumi adalah dua orang yang berbeda. Sifat Umi dan Rumi jauh seperti langit dan bumi. Karena itulah aku tidak akan pernah bisa akrab dengan Rumi. Seperti Ibu yang akrab dengan Umi.” Jawabku tegas.

“Apa kamu bilang? Apa ada yang salah dengan sifat anak saya?” Suara Mama Rumi membuat kami semua menolehkan kepala ke arah pintu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
lagian mau nikaah sama laki yg bpknyaa polligami pastu nurun ke anaknya ,adil itu hanya milik ALLOH,sdh cerai
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status