Tepat setelah telpon di tutup, aku memilih keluar dari kamar mandi. Kakiku melangkah menuju sofa ruang tunggu lalu mengambil bubur yang tadi di belikan oleh Mas Adi. Aku memakan bubur itu dengan lahap. Sesekali aku akan melihat Nasya yang masih tidur. Hingga aku bisa menangkap lirikan Mas Adi padaku. Untunglah dia tidak mendekat karena masih sibuk dengan hpnya. Entah Mas Adi sedang berbalas pesan dengan siapa. Yang jelas bukan Rumi.
"Ibu." Beberapa menit kemudian Nasya sudah bangun. Mas Adi dengan sigap mengambilkan segelas air putih untuk Nasya.
"Nasya sama Ayah dulu ya. Biar Ibu bisa makan. Ayo minum dulu nak." Nasya sama sekali tidak menanggapi ucapan Mas Adi. Yang ada hanya tatapan sedih bercampur dengan marah di kedua bola matanya.
"Nggak mau." Jawab Nasya ketus. Membuatku merasa sedih. Semarah apapun aku pada Mas Adi, tetap saja aku tidak mau membuat Nasya jadi membenci Ayahnya sendiri. Setidaknya Nasya bisa memberikan maaf lalu berdamai dengan Mas Adi. Tidak seperti aku yang sudah siap untuk berpisah.
"Ayah jahat. Sama seperti Mama Rumi dan Rahman." Kata Nasya lagi yang membuat kepala Mas Adi tertunduk sedih. Aku bisa mendengar helaan nafas berat pria itu dari belakang punggungnya. Hal yang sering Mas Adi lakukan jika sedang sedih, bingung atau hanya lelah.
"Nasya." Tegurku sedikit keras pada putri kami. Membuat Nasya menundukan kepala sambil memainkan jarinya di atas pangkuan.
"Ibu sama sekali tidak pernah mengajari kamu bicara seperti itu. Sopan santun pada orang tua itu sangat penting nak." Nasihatku dengan menggunakan intonasi suara yang mulai lembut kembali. Agar Nasya bisa paham jika aku tidak suka dia bicara kasar seperti pada Ayahnya sendiri.
"Ayah sudah minta maaf pada Ibu sejak kemarin. Sekarang Ayah juga mau minta maaf pada Nasya. Makanya, Nasya sarapan sama Ayah dulu ya. Nanti siang baru sama Ibu." Nasya hanya bisa menganggukan kepalanya karena tidak berani lagi untuk membantah ucapanku. Dia tahu jika aku sudah sedikit saja meninggikan suara, itu berarti tidak boleh di bantah lagi.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Mas Adi membantu Nasya untuk minum. Lalu, menyuapi makanan yang hanya bisa di telan beberapa kali. Setalah itu Nasya menggelengkan kepala karena bilang jika tenggorkannya sakit. Mas Adi tidak bisa memaksa lagi karena mungkin saja amandel yang belum di operasi membuat Nasya tidak bisa makan banyak.
"Kapan Nasya akan di operasi dek Nada? Bukankah sebelum operasi Nasya harus puasa dulu?" Tanya Mas Adi setelah meletakan kembali nampan makanan di atas nakas. Suamiku itu masih duduk di kursinya tanpa berniat untuk menghampiriku ke sofa.
Aku terpaksa bersikap biasa saja agar Nasya tidak melihat pertengkaranku dan Mas Adi. Aku ingin hubunganku dengan Mas Adi tetap terlihat baik-baik saja di depan Nasya. Agar putriku perlahan mau memaafkan Ayahnya. Suatu saat nanti baru aku akan memberikan pengertian pada Nasya jika aku dan Mas Adi sudah berpisah. Tapi, kami akan tetap memberikan perhatian dan kasih sayang sayang sebagai orang tua.
"Belum tahu mas. Dokter hanya bilang hari ini. Tapi, saat aku tanyakan sebentar pada suster tadi kemungkinan operasinya akan di tunda nanti malam atau besok. Karena ada pasien gawat darurat yang harus segera di operasi pagi ini. Karena itulah suster tetap mengantarkan makanan ke kamar Nasya." Mas Adi menganggukan kepala mengerti.
Hanya itu saja percakapanku dengan Mas Adi. Karena aku sudah menghampiri Nasya lalu menyelimuti tubuhnya. Badan Nasya sudah tidak panas seperti kemarin. Membuatku merasa sangat lega. Kemarin adalah momen yang paling buruk untukku. Tanpa kehadiran suami, aku harus membawa Nasya ke rumah sakit sendiri dengan menaiki taksi online.
Aku sudah menceritakan banyak hal pada Nasya. Salah satunya tentang teman-teman Nasya di tk yang berdoa untuknya agar bisa segera sembuh. Sempurna mengabaikan Mas Adi yang duduk sendirian di sofa yang ada di pojok ruangan ini. Nasya kadang membuka mulutnya ingin bicara. Tapi, tidak jadi. Lalu hanya menganggukan kepala atau hanya sekedar tersenyum mendengar ceritaku.
"Assalamualaikum." Suara yang amat aku kenali membuatku seketika berdiri.
"Waalaikumsalam." Jawabku dan Mas Adi secara serentak.
Abah datang bersama dengan Ibu dan Umi. Abah mencium kepala Nasya yang berbalut jilbab kecil dengan lembut. Begitu juga dengan Ibu dan Umi. Aku sendiri sudah memeluk Ibu dan Umi secara bergantian. Menumpahkan segala rasa khawatir sejak tadi malam karena harus membawa Nasya seorang diri ke rumah sakit.
“Kamu sudah bisa tenang sekarang Nad. Ibu dan Umi akan menemani kamu.” Bisik Ibu di telingaku yang membuat aku menganggukan kepala. Kedua mataku sudah berair. Tapi, sebisa mungkin aku tahan agar tidak menangis lagi.
"Aku kira Abah dan Umi masih ada di luar kota. Jadi, aku hanya minta bantuan pada Ibu." Kataku saat semua orang masih berdiri mengelilingi tempat tidur Nasya.
"Umi langsung mengajak Abah pulang kemarin malam. Keadaan Nasya jauh lebih penting." Jawab Umi sambil meletakan banyak buah-buahan di atas nakas.
Tiga puluh menit kemudian, Abah mengajak Mas Adi untuk bicara di luar. Umi menyusul lebih dulu. Aku menatap kepergian mereka bingung. “Ibu juga mau pergi sebentar menyusul Abah, Umi dan Abi, Nad.”
“Iya Bu.” Aku menatap kepergian Ibu hingga pintu sudah tertutup.
Seperti biasa jika akan memarahi Mas Adi, Abah akan mengajak kedua istrinya pergi. Mas Adi pernah bercerita di awal pernikahan kami. Bagaimana rasanya punya dua Ibu yang kompak seperti Ibu dan Umi. Tidak membeda-bedakan anak dari istri pertama ataupun istri kedua. Mereka tetap memberikan kasih sayang dengan rata. Tentu saja Abah sebagai suami yang melakukan poligami punya andil besar dalam hal ini.
Tapi, jika Mas Adi dan saudaranya yang lain melakukan kesalahan maka mereka akan mendapat omelan dari Ibu dan Umi sekaligus. Hal yang tidak akan mungkin bisa aku lakukan dengan Rumi. Karena jauhnya perbedaan di antara sifat Umi dengan adik maduku itu. Selain itu, sikap Mas Adi juga tidak bisa adil seperti Abah.
Entah apa saja yang mereka bicarakan, Ibu dan Umi masuk ke dalam ruang rawat Nasya satu jam kemudian. Tidak ada tanda keberadaan Mas Adi dan Abah. Mungkin sekarang giliran Abah yang menasihati Mas Adi. Terserahlah. Keputusanku sudah bulat untuk berpisah dari Mas Adi. Aku akan mengatakan hal ini pada orang tua Mas Adi nanti malam. Saat Papa dan Mama juga sudah sampai di rumah sakit ini.
***
Papa dan Mama baru sampai setelah adzan isya’ berkumandang. Karena kemarin Papa dan Mama pergi keluar pulau menemui investor pabrik. Jadi, orang tuaku juga baru bisa menjenguk Nasya malam ini. Kami bergantian sholat di musola. Rencana operasi amandel Nasya sudah di tetapkan besok siang. Jadi, Nasya tidak boleh makan malam ini. Membuat putriku merengek karena masih lapar.
Untungnya Nasya cepat tidur. Jadi, aku bisa membicarakan rencanaku dengan kedua keluarga kami. Aku sudah mengajak mereka untuk duduk di sofa. Mas Adi tampak sangat gelisah saat duduk di sampingku. Dia pasti bisa menebak apa yang akan aku katakan kali ini.
“Maaf jika aku harus menyampaikan hal ini di depan Abah, Ibu dan Umi. Aku juga minta maaf pada Papa dan Mama.” Kuhela nafas sejenak setelah mengatakan hal itu. Semua mata kini tertuju padaku.
“Ada apa sebenarnya ini Nad?” Tanya Mama dengan wajah khawatir.
“Aku ingin berpisah dari Mas Adi. Setelah tiga tahun di poligami, aku memilih menyerah.” Semua keluarga kami memasang wajah kaget.
“Kenapa kamu memilih berpisah Nada sayang? Bukankah selama tiga tahun ini kalian bisa menjalani rumah tangga ini dengan baik?” Tanya Papa setelah pulih dari kekagetannya.
Air mata sudah jatuh ke pipiku tanpa terasa. Segera kuhapus air mata itu dengan cepat. Aku menatap Mas Adi yang hanya bisa menundukan kepalanya. Begitu juga dengan Abah dan Ibu. Hanya Umi yang menatap Mas Adi dengan pandangan tajam.
“Mas Adi tidak bisa adil. Aku menyembunyikan semuanya selama tiga tahun ini.” Kataku setengah jujur pada keluarga Mas Adi. Karena Papa dan Mama sudah tahu masalah rumah tanggaku selama ini. Dengan siapa lagi aku menanggung beban jika bukan dengan orang tuaku. Hanya saja Papa dan Mama belum tahu masalah kemarin. Biarlah Papa dan Mama tidak tahu apa yang terjadi kemarin malam.
“Kamu bisa bertahan sedikit lagi. Lihat Ibu dan Umi kalian. Mereka bisa akur.” Ujar Mama yang secara tersirat tidak setuju dengan keputusanku.
“Umi dan Rumi adalah dua orang yang berbeda. Sifat Umi dan Rumi jauh seperti langit dan bumi. Karena itulah aku tidak akan pernah bisa akrab dengan Rumi. Seperti Ibu yang akrab dengan Umi.” Jawabku tegas.
“Apa kamu bilang? Apa ada yang salah dengan sifat anak saya?” Suara Mama Rumi membuat kami semua menolehkan kepala ke arah pintu.
“Ucapkan salam dulu besan. Jangan langsung masuk seperti itu.” Tegur Umi dengan raut wajah tidak suka. Raut wajah Bu Saroh, Mama Rumi, langsung berubah saat melihat jika Umi yang sudah menegurnya. Senyum kaku tersungging di bibirnya. “Ehm. Assalamualaikum.” Sapa Bu Saroh lalu duduk di samping Ibu setelah menyalami kami semua. Kecuali Abah, Papa dan Mas Adi. “Waalaikumsalam.” Jawab kami semua serempak. “Saya cuma merasa kesal dengan perkataan Nada, Bu Anisa. Kalau mau cerai dari Adi tidak perlu bawa-bawa anak saya.” Kata Bu Saroh dengan nada lembut pada Umi. Namun, lirikan matanya tertuju tajam padaku. “Siapa juga yang bawa-bawa Rumi. Papa dan Mamanya Nada sedang menanyakan alasan kenapa Nada memilih untuk cerai. Kenapa tidak bisa menjalin hubungan harmonis dengan Rumi. Seperti saya dan Mbak Asih. Terus di jawab sama Nada sikap Rumi dan sikap saya itu bagai langit dan bumi. Memang betul seperti itu kan?” Raut wajah Bu Saroh langsung berubah menjadi kesal mendengar jawaban Umi. Sej
Raut wajah Mas Adi yang awalnya datar langsung berubah panik. Pandangannya terus tertuju kesana dan kemari karena tidak fokus. Duduknya menjadi gelisah. Tapi, dia tidak kunjung pergi dari ruang rawat Dinda. Karena baik Abah, Ibu dan Umi juga masih duduk di tempat mereka. Pasti Mas Adi merasa tidak nyaman. Apalagi dengan keberadaan Papa dan Mama yang masih ada disini. “Kenapa kamu tidak segera pergi mas? Nanti Rumi akan menuduhku menahanmu disini agar tidak bisa menemani Rahman yang sedang sakit. Sama seperti sebelumnya. Padahal aku tidak pernah melakukan hal itu.” Ujarku menyindirnya sesuai dengan perkataan Rumi yang selalu adik maduku itu ucapkan padaku. “Nada benar Di. Kamu pergi sekarang saja. Asal jangan lupa datang ke kamar ini lagi sebelum Nasya operasi.” Kata Ibu mendukungku. “Tapi, pembicaraan kita belum selesai Bu.” Pandangan Mas Adi kini sudah beralih padaku. Aku membuang wajah agar tidak menatapnya. “Aku akan melakukan apapun untuk mempertahankan rumah tangga kita dek.
Karena teriakan Rumi barusan, semua orang yang ada di taman rumah sakit ini sudah sibuk merekam kami. Bahkan ada yang terang-terangan mengatakan tentang pelakor yang bisa jadi tertuju padaku. Bukan pada Rumi. Belum sempat Mas Adi menjawab pertanyaan Rumi, dia sudah menarik tangan Mas Adi untuk pergi dari sini sambil terus bicara yang tentu saja berhasil menyudutkanku. Tatapan semua orang menatap tajam ke arahku. Seolah aku yang sudah bersalah disini. “Rahman masih sakit di rumah. Tapi, kamu malah pergi ke rumah sakit untuk menemui Mbak Nada.” Karena perkataan Rumi itu sudah banyak orang yang dengan sengaja mengatakan jika aku adalah pelakor syariah. “Hentikan kalian semua.” Teriakku dengan volume terkendali. Mas Rahman juga sudah berhasil melepaskan pegangan tangan Rumi di tangannya. “Aku bukan pelakor. Justru aku adalah istri pertama pria itu dan dia adalah istri kedua.” Sontak saja kamera segera beralih pada wajah sosok Rumi dan Mas Rahman yang sudah berjarak cukup jauh dariku. K
Degup jantungku seketika berdebar dua kali lipat. Apa ini? Mas Adi punya rahasia yang di sembunyikan dariku? Apa ini alasan Mas Adi selalu menuruti semua perkataan Rumi. Karena dia tidak ingin aku mengetahui hal ini. Diam-diam aku meletakan kembali hp itu ke atas meja. Untungnya Mama tidak melihat saat aku memegang hp Mas Adi. Nanti akan aku tanyakan hal ini padanya. Setelah selesai sarapan, aku menyuruh Mas Adi untuk memakan sarapan bagiannya. “Biar aku yang jaga Nasya.” Kataku setelah berdiri di samping kursinya. “Iya.” Mas Adi beranjak dari kursi lalu duduk di sofa. Aku duduk di kursi yang di tinggalkan Mas Adi. Tanganku mengusap dahi Nasya yang sudah tidak panas. “Kamu sudah siap untuk operasi nanti sayang?” Nasya menggelengkan kepalanya. “Aku takut Bu.” Ku genggam tangan kecil Nasya untuk menyalurkan kekuatan. Wajar saja jika Nasya merasa takut. Walaupun operasi yang akan di jalani nanti tergolong ringan. Tapi, hal itu tetap menakutkan untuk anak seusia Nasya. “Jangan takut
“Saat itu aku menceritakan tentang hasil usg pada teman-teman guruku saat berkunjung ke toko untuk membeli pakaian baru. Karena saat itu kami akan pergi menemani para siswa berwisata. Aku tidak menyangka jika Rumi mendengarnya lalu meminta aku menceritakan tentang keinginanku untuk mempunyai anak laki-laki lebih dulu. Aku seperti tidak sadar sudah menjawab semua pertanyaan Rumi saat itu Nad.” Tubuhku seketika terasa limbung. Aku memegang ujung meja agar tetap bisa duduk dengan tegak. Semua dugaan itu akhirnya di benarkan secara langsung oleh Mas Adi. Begitu juga dengan semua ucapan Rumi yang mengatakan jika dia bangga bisa memberikan anak laki-laki seperti yang di harapkan oleh Mas Adi. Karena itulah suka cita Mas Adi saat menyambut kelahiran Nasya dan Rahman sangat berbeda. Bukan berarti Mas Adi tidak sayang pada Nasya. Hanya saja saat Nasya lahir, Mas Adi langsung membawa kami pulang ke rumah. Tidak ada acara apapun untuk menyambut kelahiran putri kami. Berbeda dengan saat Rahman
Aku sengaja memegang hp itu dengan keadaan masih membuka aplikasi pesan wa. Karena Mas Adi sudah berjanji untuk bersikap adil padaku dan Rumi, aku ingin tahu bagaimana reaksinya saat membaca pesan ini. Beberapa menit kemudian Mas Adi sudah kembali ke dalam kamar. Tanganku mengulurkan hp padanya. “Ada pesan masuk mas.” Kataku pendek. Tidak ingin di ketahui oleh Nasya yang tengah asyik menonton TV. Hatiku sudah bersiap jika Mas Adi langsung pamit untuk pulang ke rumah Rumi. Namun, sikap Mas Adi ternyata di luar dugaanku. Dia duduk di sofa sambil mengotak-atik hpnya. Lalu, Mas Adi menelpon seseorang untuk pergi ke rumah Rumi saat ini juga. Mas Adi bicara jujur jika Rumi mengirimkan pesan ancaman akan minum racun bersama dengan Rahman. Sama sekali tidak ada raut wajah khawatir yang tergambar di wajah suamiku itu. Padahal biasanya dia akan langsung pergi ke rumah istri keduanya dengan alasan yang sepele. Pandanganku kembali teralih pada Nasya. Kuusap rambutnya pelan hingga Nasya menoleh
“Tapi, kenapa mas? Bukannya penghasilan kamu yang aku sarankan itu besar ya. Sehingga nggak perlu lagi nyuri uang di brankas. Kamu jadi lebih bisa adil untuk membagi nafkah di antara aku dan Rumi.” Mas Adi terdiam. Raut wajahnya terlihat sangat ragu. “Dulu waktu aku memutuskan poligami, Papa memintaku berjanji untuk tidak memakai uang pabrik karena sebagian besar dari modal toko adalah uang kamu. Karena itulah aku berjanji untuk tidak memakai uang pabrik sebagai nafkah Rumi. Aku tidak hanya melanggar janjiku pada kamu. Tapi, juga pada Papa.” Aku terdiam. Tidak tahu harus bicara apa. Rasa kecewa terhadap Mas Adi kembali menyusup dalam hatiku. Sehebat apa pengaruh Rumi hingga membuat Mas Adi bisa menghianati janji yang sudah ia buat pada Papa? Aku yakin Papa juga sudah menegtahui hal ini. Kenapa Papa tidak pernah cerita padaku jika dia pernah membuat janji seperti itu? Kenapa juga Papa masih memintaku untuk bertahan dengan Mas Adi jika tahu menantu pertamanya ini sudah melanggar janji
Bukan hp Mas Adi yang berbunyi. Tapi, justru hpku yang kini berdering nyaring tanda ada rentetan pesan masuk. Aku yakin itu semua pesan itu dari Rumi. Karena sudah puas mengerjai Rumi, aku memilih untuk berganti baju menggunakan daster yang nyaman lalu tidur dengan posisi menghadap dinding seperti tadi. Ternyata rasanya puas juga bisa membalas perlakukan adik maduku itu. Walaupun apa yang aku lakukan tadi sama sekali tidak setimpal dengan semua perbuatan Rumi selama tiga tahun ini. Rasanya baru sebentar aku tertidur, saat suara Mas Adi beserta tangannya yang terus menepuk bahu berhasil membuatku terbangun. Tanganku mengucek mata agar segera terbuka. Adzan subuh sudah berkumandang. Pantas saja jika Mas Adi membangunkan aku. Kebiasaannya yang tidak pernah berubah sejak dulu. “Bangun Nad. Kamu sholat subuh sama Nasya dan Ibu ya. Aku mau pergi ke musola.” Aku menganggukan kepala dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Tapi, tetap kupaksakan turun dari tempat tidur. Aku menyiapkan