“Ucapkan salam dulu besan. Jangan langsung masuk seperti itu.” Tegur Umi dengan raut wajah tidak suka. Raut wajah Bu Saroh, Mama Rumi, langsung berubah saat melihat jika Umi yang sudah menegurnya. Senyum kaku tersungging di bibirnya.
“Ehm. Assalamualaikum.” Sapa Bu Saroh lalu duduk di samping Ibu setelah menyalami kami semua. Kecuali Abah, Papa dan Mas Adi.
“Waalaikumsalam.” Jawab kami semua serempak.
“Saya cuma merasa kesal dengan perkataan Nada, Bu Anisa. Kalau mau cerai dari Adi tidak perlu bawa-bawa anak saya.” Kata Bu Saroh dengan nada lembut pada Umi. Namun, lirikan matanya tertuju tajam padaku.
“Siapa juga yang bawa-bawa Rumi. Papa dan Mamanya Nada sedang menanyakan alasan kenapa Nada memilih untuk cerai. Kenapa tidak bisa menjalin hubungan harmonis dengan Rumi. Seperti saya dan Mbak Asih. Terus di jawab sama Nada sikap Rumi dan sikap saya itu bagai langit dan bumi. Memang betul seperti itu kan?” Raut wajah Bu Saroh langsung berubah menjadi kesal mendengar jawaban Umi.
Sejak dulu sifat Umi memang blak-blakan jika sudah tidak suka pada orang lain. Contohnya Umi sering menegur Rumi agar sholat tepat waktu. Tapi, Rumi selalu menolak dengan alasan sedang sibuk menjaga Rahma. Atau istirahat sejenak setelah lelah membersihkan rumah. Sikap Rumi itu berubah seratus delapan puluh derajat saat ada Mas Adi. Jadi, Mas Adi yang bersikap netral lalai menegur Rumi seperti yang di nasihatkan oleh Umi dan Ibu.
Bagaimana aku bisa tahu semua itu? Karena aku, Mas Adi dan Rumi kadang menginap di rumah Ibu atau rumah Umi bersama. Tentu saja dengan membawa Nasya dan Rahman. Umi juga kerap kali memujiku di depan Mas Adi dan Rumi. Berbeda dengan Ibu yang lebih memilih untuk memendam rasa tidak sukanya. Lalu, baru akan di bicarakan berdua saja dengan Mas Adi.
“Loh bedanya bagaimana Bu Anisa? Rumi dan Bu Anisa kan sama-sama istri kedua. Sudah sepantasnya jika meminta hak yang sama dengan istri pertama. Bedanya Bu Asih itu rela berbagi suami dengan Bu Ansa. Sedangkan Nada tidak karena ia hanya iri pada Rumi yang mendapat lebih banyak cinta dari nak Adi.” Tunjuk Bu Saroh dengan pandangan mata yang masih tajam ke arahku.
“Turunkan jarimu itu dari menantuku. Apa kamu bilang? Nada tidak siap di poligami? Menantuku selalu siap di poligami. Sudah tiga tahun ini Nada bersabar dengan sikap Adi yang selalu mementingkan Rumi dan Rahman. Asal kamu tahu ya, anak kamu itu sering mengambil jatah kunjungan Adi saat sedang berada di rumah Nada. Alasannya banyak sekali. Rahman sedang sakit, Rahman ingin jalan-jalan ke mall, Rahman ingin ke kebun binatang.” Cetus Umi membuka aib rumah tangga kami.
Aku melirik Mas Adi yang menundukan kepala. Tidak berani menyela ucapan Umi sejak tadi. Sedangkan Abah dan Ibu juga hanya diam saja. Mereka selalu menyerahkan semuanya pada Umi untuk bicara jika ada masalah dalam keluarga kami.
“Seharusnya Adi sudah membagi waktu yang adil. Dalam satu minggu dia akan berada di rumah Nada selama empat hari dan di rumah Rumi selama tiga hari. Itu di minggu pertama. Di minggu kedua akan berganti terus berselang-seling. Tapi, karena sikap serakah Rumi yang terus menginginkan Adi berada di rumahnya, anak saya jadi tidak bisa bersikap adil untuk kedua istrinya. Dalam satu minggu, Adi hanya di rumah Nada dua atau tiga hari saja.”
Helaan nafas berat terdengar dari Mas Adi. Papa dan Mama juga hanya diam saja. Tidak ada perubahan ekspresi yang berarti karena mereka sudah tahu tentang sikap Mas Adi yang tidak pernah bisa adil padaku dan Rumi. Hanya saja Mama memintaku untuk bertahan demi Nasya. Seraya terus berdoa agar Mas Adi di bukakan mata hatinya untuk melihat seperti apa sifat istri keduanya itu.
“Kenapa malah menyalahkan Rumi? Memang Rahman kan butuh kasih sayang Ayahnya.” Bela Bu Saroh untuk putrinya karena tidak mau kalah.
“Memang Nasya tidak butuh? Kamu kira saat Rumi menahan Adi rumahnya saat Nasya sedang sakit adalah perbuatan yang baik?” Telak sekali perkataan Umi hingga membuat Bu Saroh terdiam.
“Selain itu, jangan samakan hubungan Nada dan Rumi dengan hubungan saya dan Mbak Asih. Sebagai istri kedua saya berusaha belajar banyak hal dari Mbak Asih. Tidak seperti Rumi yang hanya ingin menang sendiri. Selain itu, anak kamu itu bermuka dua. Di depan saya dia selalu membantah. Tapi, saat ada suaminya dia selalu menurut.”
“Bermuka dua? Kasar sekali kata-kata anda Bu Anisa. Apa sikap anda ini mencerminkan Ustadzah yang memimpin asrama santri?” Bu Saroh sudah berdiri dari kursinya. Tidak bisa lagi menahan amarah karena kata-kata Umi barusan.
“Sudah-sudah dek jangan di teruskan.” Ujar Ibu akhirnya menengahi.
“Anda juga sebaiknya duduk Bu Saroh. Semua perkataan Anisa memang benar adanya. Kami disini sedang bermusyawarah untuk menemukan jalan tengah tentang masalah rumah tangga Adi dan Nada. Itu semua juga berkaitan dengan sikap Rumi selama ini.” Kata Ibu bijak.
Bu Saroh mau kembali duduk di kursinya. Wajah wanita paruh baya itu menggelembung kesal. Tidak terima jika anak perempuannya di jelek-jelekkan seperti itu. Padahal sikap Bu Saroh juga sebelas dua belas dengan Rumi. Dia kerap menyindirku. Bahkan terang-terangan lebih membanggakan Rumi di hadapan Mas Adi dan keluarganya.
“Untuk apa anda kesini? Apakah mau menjenguk cucu saya?” Tanya Ibu mengalihkan percakapan.
“Iya. Tapi, begitu sampai di depan kamar saya justru mendengar perkataan Nada yang tidak mengenakan.” Kata Bu Saroh kembali menyudutkanku.
“Tolong berhenti Bu Saroh. Saya juga punya perasaan jika anda terus menyindir putri saya.” Akhirnya Mama bersuara juga. Pandangan beliau kini beralih padaku dan Mas Adi yang masih menundukan kepalanya.
“Nak Adi. Tolong bawa mertua kamu yang satu ini pergi. Kita harus membicarakan masalah rumah tangga kamu dan Nada ke depannya.” Mas Adi seketika terlonjak kaget.
“I, iya Ma.” Dia langsung berdiri dari kursinya dan menggandeng tangan Bu Saroh untuk keluar dari kamar. Masih dapat aku dengar Bu Saroh yang marah-marah pada Mas Adi hingga di tegur oleh suster yang berjaga.
Tidak lama kemudian, Mas Adi sudah kembali ke dalam kamar. Entah siapa yang mengantar kepergian Bu Saroh. Aku sudah tidak peduli. Kulirik Nasya yang masih tertidur pulas. Mungkin karena pengaruh obat. Syukurlah Nasya tidak terbangun dengan semua keributan yang terjadi.
Umi kembali menanyakan apakah aku mantap untuk berpisah. Ku anggukan kepala dengan pasti. “Aku tidak ingin menceritakan aib rumah tangga kami Umi. Tapi, yang jelas aku punya alasan jelas untuk meminta berpisah. Bukan karena aku menolak poligami. Hanya saja Mas Adi telah menyakitku dan Nasya berulang kali dengan cara yang sangat menyakitkan.”
Hening mengisi sejenak suasana di kamar ini. Mama dan Umi tidak lagi meyakinkan aku untuk bertahan. Abah dan Ibu juga sejak tadi diam saja. Begitu juga dengan Mas Adi yang sama sekali tidak menyela perkataan orang tua kami.
“Ibu paham alasan kamu ingin berpisah nak.” Akhirnya Ibu angkat suara juga setelah sejak tadi terdiam.
“Tapi, bolehkah kamu memberi Adi satu kesempatan lagi. Buatlah perjanjian di antara kalian berdua. Jika Adi melanggar perjanjian itu, Ibu akan menyerahkan semuanya pada kamu. Termasuk jika kamu ingin berpisah Nad.”
Mas Adi sudah mendongakan kepalanya dengan binar mata senang. Sepertinya dia setuju dengan ide Ibu barusan. Tapi, belum sempat Mas Adi merespon perkataan Ibu, hp Mas Adi yang ada di atas meja sudah berdering. Ada nama Rumi yang tertera di layar ponselnya. Tidak seperti biasanya, kali ini Mas Adi hanya diam saja melihat telpon dari istri keduanya itu.
“Kenapa tidak di angkat mas?” Aku sudah mengambil hp itu lalu menyerahkannya pada Mas Adi. Namun, Mas Adi hanya diam saja hingga telpon itu berhenti. Tidak butuh waktu lama untuk Rumi kembali menelon.
“Angkat sekarang Di.” Kata Abah yang membuat Mas Adi menganggukan kepalanya.
Baru saja Mas Adi menekan tombol hijau aku bisa mendengar suara tangisan Rumi. “Mas cepat turun ke lantai empat sekarang. Rahman juga di rawat di rumah sakit ini.”
Raut wajah Mas Adi yang awalnya datar langsung berubah panik. Pandangannya terus tertuju kesana dan kemari karena tidak fokus. Duduknya menjadi gelisah. Tapi, dia tidak kunjung pergi dari ruang rawat Dinda. Karena baik Abah, Ibu dan Umi juga masih duduk di tempat mereka. Pasti Mas Adi merasa tidak nyaman. Apalagi dengan keberadaan Papa dan Mama yang masih ada disini. “Kenapa kamu tidak segera pergi mas? Nanti Rumi akan menuduhku menahanmu disini agar tidak bisa menemani Rahman yang sedang sakit. Sama seperti sebelumnya. Padahal aku tidak pernah melakukan hal itu.” Ujarku menyindirnya sesuai dengan perkataan Rumi yang selalu adik maduku itu ucapkan padaku. “Nada benar Di. Kamu pergi sekarang saja. Asal jangan lupa datang ke kamar ini lagi sebelum Nasya operasi.” Kata Ibu mendukungku. “Tapi, pembicaraan kita belum selesai Bu.” Pandangan Mas Adi kini sudah beralih padaku. Aku membuang wajah agar tidak menatapnya. “Aku akan melakukan apapun untuk mempertahankan rumah tangga kita dek.
Karena teriakan Rumi barusan, semua orang yang ada di taman rumah sakit ini sudah sibuk merekam kami. Bahkan ada yang terang-terangan mengatakan tentang pelakor yang bisa jadi tertuju padaku. Bukan pada Rumi. Belum sempat Mas Adi menjawab pertanyaan Rumi, dia sudah menarik tangan Mas Adi untuk pergi dari sini sambil terus bicara yang tentu saja berhasil menyudutkanku. Tatapan semua orang menatap tajam ke arahku. Seolah aku yang sudah bersalah disini. “Rahman masih sakit di rumah. Tapi, kamu malah pergi ke rumah sakit untuk menemui Mbak Nada.” Karena perkataan Rumi itu sudah banyak orang yang dengan sengaja mengatakan jika aku adalah pelakor syariah. “Hentikan kalian semua.” Teriakku dengan volume terkendali. Mas Rahman juga sudah berhasil melepaskan pegangan tangan Rumi di tangannya. “Aku bukan pelakor. Justru aku adalah istri pertama pria itu dan dia adalah istri kedua.” Sontak saja kamera segera beralih pada wajah sosok Rumi dan Mas Rahman yang sudah berjarak cukup jauh dariku. K
Degup jantungku seketika berdebar dua kali lipat. Apa ini? Mas Adi punya rahasia yang di sembunyikan dariku? Apa ini alasan Mas Adi selalu menuruti semua perkataan Rumi. Karena dia tidak ingin aku mengetahui hal ini. Diam-diam aku meletakan kembali hp itu ke atas meja. Untungnya Mama tidak melihat saat aku memegang hp Mas Adi. Nanti akan aku tanyakan hal ini padanya. Setelah selesai sarapan, aku menyuruh Mas Adi untuk memakan sarapan bagiannya. “Biar aku yang jaga Nasya.” Kataku setelah berdiri di samping kursinya. “Iya.” Mas Adi beranjak dari kursi lalu duduk di sofa. Aku duduk di kursi yang di tinggalkan Mas Adi. Tanganku mengusap dahi Nasya yang sudah tidak panas. “Kamu sudah siap untuk operasi nanti sayang?” Nasya menggelengkan kepalanya. “Aku takut Bu.” Ku genggam tangan kecil Nasya untuk menyalurkan kekuatan. Wajar saja jika Nasya merasa takut. Walaupun operasi yang akan di jalani nanti tergolong ringan. Tapi, hal itu tetap menakutkan untuk anak seusia Nasya. “Jangan takut
“Saat itu aku menceritakan tentang hasil usg pada teman-teman guruku saat berkunjung ke toko untuk membeli pakaian baru. Karena saat itu kami akan pergi menemani para siswa berwisata. Aku tidak menyangka jika Rumi mendengarnya lalu meminta aku menceritakan tentang keinginanku untuk mempunyai anak laki-laki lebih dulu. Aku seperti tidak sadar sudah menjawab semua pertanyaan Rumi saat itu Nad.” Tubuhku seketika terasa limbung. Aku memegang ujung meja agar tetap bisa duduk dengan tegak. Semua dugaan itu akhirnya di benarkan secara langsung oleh Mas Adi. Begitu juga dengan semua ucapan Rumi yang mengatakan jika dia bangga bisa memberikan anak laki-laki seperti yang di harapkan oleh Mas Adi. Karena itulah suka cita Mas Adi saat menyambut kelahiran Nasya dan Rahman sangat berbeda. Bukan berarti Mas Adi tidak sayang pada Nasya. Hanya saja saat Nasya lahir, Mas Adi langsung membawa kami pulang ke rumah. Tidak ada acara apapun untuk menyambut kelahiran putri kami. Berbeda dengan saat Rahman
Aku sengaja memegang hp itu dengan keadaan masih membuka aplikasi pesan wa. Karena Mas Adi sudah berjanji untuk bersikap adil padaku dan Rumi, aku ingin tahu bagaimana reaksinya saat membaca pesan ini. Beberapa menit kemudian Mas Adi sudah kembali ke dalam kamar. Tanganku mengulurkan hp padanya. “Ada pesan masuk mas.” Kataku pendek. Tidak ingin di ketahui oleh Nasya yang tengah asyik menonton TV. Hatiku sudah bersiap jika Mas Adi langsung pamit untuk pulang ke rumah Rumi. Namun, sikap Mas Adi ternyata di luar dugaanku. Dia duduk di sofa sambil mengotak-atik hpnya. Lalu, Mas Adi menelpon seseorang untuk pergi ke rumah Rumi saat ini juga. Mas Adi bicara jujur jika Rumi mengirimkan pesan ancaman akan minum racun bersama dengan Rahman. Sama sekali tidak ada raut wajah khawatir yang tergambar di wajah suamiku itu. Padahal biasanya dia akan langsung pergi ke rumah istri keduanya dengan alasan yang sepele. Pandanganku kembali teralih pada Nasya. Kuusap rambutnya pelan hingga Nasya menoleh
“Tapi, kenapa mas? Bukannya penghasilan kamu yang aku sarankan itu besar ya. Sehingga nggak perlu lagi nyuri uang di brankas. Kamu jadi lebih bisa adil untuk membagi nafkah di antara aku dan Rumi.” Mas Adi terdiam. Raut wajahnya terlihat sangat ragu. “Dulu waktu aku memutuskan poligami, Papa memintaku berjanji untuk tidak memakai uang pabrik karena sebagian besar dari modal toko adalah uang kamu. Karena itulah aku berjanji untuk tidak memakai uang pabrik sebagai nafkah Rumi. Aku tidak hanya melanggar janjiku pada kamu. Tapi, juga pada Papa.” Aku terdiam. Tidak tahu harus bicara apa. Rasa kecewa terhadap Mas Adi kembali menyusup dalam hatiku. Sehebat apa pengaruh Rumi hingga membuat Mas Adi bisa menghianati janji yang sudah ia buat pada Papa? Aku yakin Papa juga sudah menegtahui hal ini. Kenapa Papa tidak pernah cerita padaku jika dia pernah membuat janji seperti itu? Kenapa juga Papa masih memintaku untuk bertahan dengan Mas Adi jika tahu menantu pertamanya ini sudah melanggar janji
Bukan hp Mas Adi yang berbunyi. Tapi, justru hpku yang kini berdering nyaring tanda ada rentetan pesan masuk. Aku yakin itu semua pesan itu dari Rumi. Karena sudah puas mengerjai Rumi, aku memilih untuk berganti baju menggunakan daster yang nyaman lalu tidur dengan posisi menghadap dinding seperti tadi. Ternyata rasanya puas juga bisa membalas perlakukan adik maduku itu. Walaupun apa yang aku lakukan tadi sama sekali tidak setimpal dengan semua perbuatan Rumi selama tiga tahun ini. Rasanya baru sebentar aku tertidur, saat suara Mas Adi beserta tangannya yang terus menepuk bahu berhasil membuatku terbangun. Tanganku mengucek mata agar segera terbuka. Adzan subuh sudah berkumandang. Pantas saja jika Mas Adi membangunkan aku. Kebiasaannya yang tidak pernah berubah sejak dulu. “Bangun Nad. Kamu sholat subuh sama Nasya dan Ibu ya. Aku mau pergi ke musola.” Aku menganggukan kepala dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Tapi, tetap kupaksakan turun dari tempat tidur. Aku menyiapkan
“Siapa yang datang Nad?” Langkah kaki Mama terdengar berjalan mendekaitku. Saat masuk ke dalam ruang keluarga, Mama juga ikut membeku sepertiku. Tapi, Mama cepat menguasai keadaan lalu mengubah raut wajahnya yang semula datar berubah menjadi tersenyum untuk menghargai tamu yang tidak kami harapkan kedatangannya. Namun, Bu Saroh justru membalas dengan senyum sinis. Padahal dia adalah tamu di rumah ini. “Eh ada Rumi dan Bu Saroh. Silahkan duduk dulu. Mau minum apa?” Tawar Mama dengan suara yang amat ramah. Aku sendiri tidak ingin berpura-pura bersikap ramah pada mereka. Karena aku sudah muak menahan diri selama ini. “Nggak perlu repot-repot Tante. Kami kesini ingin mengajak Mas Adi pergi ke mall. Rahman ingin bermain di time zone dengan Ayahnya.” Jawab Rumi lebih sopan daripada Ibunya. “Duduk dulu lah. Terus kenapa malah diam saja. Adab sopan santun kita kan mengajarkan untuk bertamu dengan baik.” Kata Mama dengan kalimat penuh makna sindiran. Aku berusaha menahan senyum karena meng