Share

Bab 6 Keinginan

“Ucapkan salam dulu besan. Jangan langsung masuk seperti itu.” Tegur Umi dengan raut wajah tidak suka. Raut wajah Bu Saroh, Mama Rumi, langsung berubah saat melihat jika Umi yang sudah menegurnya. Senyum kaku tersungging di bibirnya.

“Ehm. Assalamualaikum.” Sapa Bu Saroh lalu duduk di samping Ibu setelah menyalami kami semua. Kecuali Abah, Papa dan Mas Adi.

“Waalaikumsalam.” Jawab kami semua serempak.

“Saya cuma merasa kesal dengan perkataan Nada, Bu Anisa. Kalau mau cerai dari Adi tidak perlu bawa-bawa anak saya.” Kata Bu Saroh dengan nada lembut pada Umi. Namun, lirikan matanya tertuju tajam padaku.

“Siapa juga yang bawa-bawa Rumi. Papa dan Mamanya Nada sedang menanyakan alasan kenapa Nada memilih untuk cerai. Kenapa tidak bisa menjalin hubungan harmonis dengan Rumi. Seperti saya dan Mbak Asih. Terus di jawab sama Nada sikap Rumi dan sikap saya itu bagai langit dan bumi. Memang betul seperti itu kan?” Raut wajah Bu Saroh langsung berubah menjadi kesal mendengar jawaban Umi.

Sejak dulu sifat Umi memang blak-blakan jika sudah tidak suka pada orang lain. Contohnya Umi sering menegur Rumi agar sholat tepat waktu. Tapi, Rumi selalu menolak dengan alasan sedang sibuk menjaga Rahma. Atau istirahat sejenak setelah lelah membersihkan rumah. Sikap Rumi itu berubah seratus delapan puluh derajat saat ada Mas Adi. Jadi, Mas Adi yang bersikap netral lalai menegur Rumi seperti yang di nasihatkan oleh Umi dan Ibu.

Bagaimana aku bisa tahu semua itu? Karena aku, Mas Adi dan Rumi kadang menginap di rumah Ibu atau rumah Umi bersama. Tentu saja dengan membawa Nasya dan Rahman. Umi juga kerap kali memujiku di depan Mas Adi dan Rumi. Berbeda dengan Ibu yang lebih memilih untuk memendam rasa tidak sukanya. Lalu, baru akan di bicarakan berdua saja dengan Mas Adi.

“Loh bedanya bagaimana Bu Anisa? Rumi dan Bu Anisa kan sama-sama istri kedua. Sudah sepantasnya jika meminta hak yang sama dengan istri pertama. Bedanya Bu Asih itu rela berbagi suami dengan Bu Ansa. Sedangkan Nada tidak karena ia hanya iri pada Rumi yang mendapat lebih banyak cinta dari nak Adi.” Tunjuk Bu Saroh dengan pandangan mata yang masih tajam ke arahku.

“Turunkan jarimu itu dari menantuku. Apa kamu bilang? Nada tidak siap di poligami? Menantuku selalu siap di poligami. Sudah tiga tahun ini Nada bersabar dengan sikap Adi yang selalu mementingkan Rumi dan Rahman. Asal kamu tahu ya, anak kamu itu sering mengambil jatah kunjungan Adi saat sedang berada di rumah Nada. Alasannya banyak sekali. Rahman sedang sakit, Rahman ingin jalan-jalan ke mall, Rahman ingin ke kebun binatang.” Cetus Umi membuka aib rumah tangga kami.

Aku melirik Mas Adi yang menundukan kepala. Tidak berani menyela ucapan Umi sejak tadi. Sedangkan Abah dan Ibu juga hanya diam saja. Mereka selalu menyerahkan semuanya pada Umi untuk bicara jika ada masalah dalam keluarga kami.

“Seharusnya Adi sudah membagi waktu yang adil. Dalam satu minggu dia akan berada di rumah Nada selama empat hari dan di rumah Rumi selama tiga hari. Itu di minggu pertama. Di minggu kedua akan berganti terus berselang-seling. Tapi, karena sikap serakah Rumi yang terus menginginkan Adi berada di rumahnya, anak saya jadi tidak bisa bersikap adil untuk kedua istrinya. Dalam satu minggu, Adi hanya di rumah Nada dua atau tiga hari saja.”

Helaan nafas berat terdengar dari Mas Adi. Papa dan Mama juga hanya diam saja. Tidak ada perubahan ekspresi yang berarti karena mereka sudah tahu tentang sikap Mas Adi yang tidak pernah bisa adil padaku dan Rumi. Hanya saja Mama memintaku untuk bertahan demi Nasya. Seraya terus berdoa agar Mas Adi di bukakan mata hatinya untuk melihat seperti apa sifat istri keduanya itu.

“Kenapa malah menyalahkan Rumi? Memang Rahman kan butuh kasih sayang Ayahnya.” Bela Bu Saroh untuk putrinya karena tidak mau kalah.

“Memang Nasya tidak butuh? Kamu kira saat Rumi menahan Adi rumahnya saat Nasya sedang sakit adalah perbuatan yang baik?” Telak sekali perkataan Umi hingga membuat Bu Saroh terdiam.

“Selain itu, jangan samakan hubungan Nada dan Rumi dengan hubungan saya dan Mbak Asih. Sebagai istri kedua saya berusaha belajar banyak hal dari Mbak Asih. Tidak seperti Rumi yang hanya ingin menang sendiri. Selain itu, anak kamu itu bermuka dua. Di depan saya dia selalu membantah. Tapi, saat ada suaminya dia selalu menurut.”

“Bermuka dua? Kasar sekali kata-kata anda Bu Anisa. Apa sikap anda ini mencerminkan Ustadzah yang memimpin asrama santri?” Bu Saroh sudah berdiri dari kursinya. Tidak bisa lagi menahan amarah karena kata-kata Umi barusan.

“Sudah-sudah dek jangan di teruskan.” Ujar Ibu akhirnya menengahi.

“Anda juga sebaiknya duduk Bu Saroh. Semua perkataan Anisa memang benar adanya. Kami disini sedang bermusyawarah untuk menemukan jalan tengah tentang masalah rumah tangga Adi dan Nada. Itu semua juga berkaitan dengan sikap Rumi selama ini.” Kata Ibu bijak.

Bu Saroh mau kembali duduk di kursinya. Wajah wanita paruh baya itu menggelembung kesal. Tidak terima jika anak perempuannya di jelek-jelekkan seperti itu. Padahal sikap Bu Saroh juga sebelas dua belas dengan Rumi. Dia kerap menyindirku. Bahkan terang-terangan lebih membanggakan Rumi di hadapan Mas Adi dan keluarganya.

“Untuk apa anda kesini? Apakah mau menjenguk cucu saya?” Tanya Ibu mengalihkan percakapan.

“Iya. Tapi, begitu sampai di depan kamar saya justru mendengar perkataan Nada yang tidak mengenakan.” Kata Bu Saroh kembali menyudutkanku.

“Tolong berhenti Bu Saroh. Saya juga punya perasaan jika anda terus menyindir putri saya.” Akhirnya Mama bersuara juga. Pandangan beliau kini beralih padaku dan Mas Adi yang masih menundukan kepalanya.

“Nak Adi. Tolong bawa mertua kamu yang satu ini pergi. Kita harus membicarakan masalah rumah tangga kamu dan Nada ke depannya.” Mas Adi seketika terlonjak kaget.

“I, iya Ma.” Dia langsung berdiri dari kursinya dan menggandeng tangan Bu Saroh untuk keluar dari kamar. Masih dapat aku dengar Bu Saroh yang marah-marah pada Mas Adi hingga di tegur oleh suster yang berjaga.

Tidak lama kemudian, Mas Adi sudah kembali ke dalam kamar. Entah siapa yang mengantar kepergian Bu Saroh. Aku sudah tidak peduli. Kulirik Nasya yang masih tertidur pulas. Mungkin karena pengaruh obat. Syukurlah Nasya tidak terbangun dengan semua keributan yang terjadi.

Umi kembali menanyakan apakah aku mantap untuk berpisah. Ku anggukan kepala dengan pasti. “Aku tidak ingin menceritakan aib rumah tangga kami Umi. Tapi, yang jelas aku punya alasan jelas untuk meminta berpisah. Bukan karena aku menolak poligami. Hanya saja Mas Adi telah menyakitku dan Nasya berulang kali dengan cara yang sangat menyakitkan.”

Hening mengisi sejenak suasana di kamar ini. Mama dan Umi tidak lagi meyakinkan aku untuk bertahan. Abah dan Ibu juga sejak tadi diam saja. Begitu juga dengan Mas Adi yang sama sekali tidak menyela perkataan orang tua kami.

“Ibu paham alasan kamu ingin berpisah nak.” Akhirnya Ibu angkat suara juga setelah sejak tadi terdiam.

“Tapi, bolehkah kamu memberi Adi satu kesempatan lagi. Buatlah perjanjian di antara kalian berdua. Jika Adi melanggar perjanjian itu, Ibu akan menyerahkan semuanya pada kamu. Termasuk jika kamu ingin berpisah Nad.”

Mas Adi sudah mendongakan kepalanya dengan binar mata senang. Sepertinya dia setuju dengan ide Ibu barusan. Tapi, belum sempat Mas Adi merespon perkataan Ibu, hp Mas Adi yang ada di atas meja sudah berdering. Ada nama Rumi yang tertera di layar ponselnya. Tidak seperti biasanya, kali ini Mas Adi hanya diam saja melihat telpon dari istri keduanya itu.

“Kenapa tidak di angkat mas?” Aku sudah mengambil hp itu lalu menyerahkannya pada Mas Adi. Namun, Mas Adi hanya diam saja hingga telpon itu berhenti. Tidak butuh waktu lama untuk Rumi kembali menelon.

“Angkat sekarang Di.” Kata Abah yang membuat Mas Adi menganggukan kepalanya.

Baru saja Mas Adi menekan tombol hijau aku bisa mendengar suara tangisan Rumi. “Mas cepat turun ke lantai empat sekarang. Rahman juga di rawat di rumah sakit ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status