Share

Bab 4 Datang

"Apakah kamu tidak salah mengatakan hal itu padaku?" Tanyaku dengan suara datar.

Rumi memang hanya menunjukkan sifat aslinya di hadapanku. Namun, jika sudah di depan Mas Adi dia akan berubah menjadi adik madu yang baik. Hebat sekali aktingnya sehingga bisa membuat Mas Adi tidak sadar dengan sifat asli Rumi selama tiga tahun ini.

"Tentu saja tidak. Gara-gara kamu, Mas Adi jadi pergi dari rumah sejak tadi malam. Padahal apa salahnya kamu mengijinkan Mas Adi untuk bermalam di rumahku? Aku ini juga istrinya mbak. Mas Adi juga sudah menemani Nasya sejak tadi malam. Maka pagi ini aku minta waktunya untuk Rahman. Tapi, Mas Adi menolak permintaanku. Itu pasti karena ulah kamu."

Aku sengaja tertawa untuk mengejek Rumi. Aneh sekali adik maduku ini. Padahal dia sering merebut waktu Mas Adi dariku dan Nasya. Tapi, sekarang Rumi justru merasa paling di sakiti. Padahal waktu Mas Adi datang ke rumahnya kemarin adalah jatahku bersama Mas Adi.

"Aku sama sekali tidak meminta Mas Adi untuk melakukan hal itu. Bahkan aku tidak memintanya datang ke rumah sakit ini karena Mas Adi tidak membalas pesanku." Jawabku tenang.

"Halah bohong. Lalu, darimana Mas Adi tahu kalau Nasya di rawat di rumah sakit jika tidak kamu hubungi? Mbak Nada kan bisa menelpon Mas Adi pagi ini. Agar tadi malam Mas Adi tetap bisa menginap di rumahku." Hardik Rumi cukup keras.

"Mungkin dari Abah. Karena aku meminta ijin pada Abah untuk membawa Nasya ke rumah sakit. Asal kamu tahu saja. Aku bahkan sampai berbohong pada Abah jika hp Mas Adi tidak aktif karena mungkin saja baterainya habis. Aku juga tidak tahu nomor telpon rumahmu."

"A, abah?" Gugup Rumi mendepati nama Abah di sebut.

"Sebagai seorang istri, aku sudah merelakan banyak hal. Bahkan sebagai seorang Ibu, aku tega mengabaikan kebahagiaan Nasya hanya karena terlalu banyak mengalah padamu. Tapi, aku tidak bisa lagi mengorbankan kesehatan Nasya hanya karena takut dengan ancaman itu. Toh sebentar lagi aku akan memenuhi permintaanmu untuk berpisah dari Mas Adi. Jadi, ancamanmu yang mengatakan ingin mengedit fotoku dengan gambar tidak senonoh tidak perlu di lakukan."

Fakta ini sendiri sudah aku telan selama beberapa bulan terakhir. Tidak aku ceritakan pada siapapun. Termasuk pada orang tuaku karena tidak ingin menambah beban pikiran mereka.

"Omong kosong. Aku juga seorang Ibu yang ingin meminta waktu Mas Adi lebih banyak untuk anakku. Toh Mas Adi lebih menyukai anak laki-laki di banding anak perempuan. Karena itulah selama ini Mas Adi lebih mempedulikan Rahman dan mengabaikan Nasya. Kasihan sekali kamu mbak. Seharusnya kamu menuruti saranku sejak dulu untuk berpisah dari Mas Adi. Mungkin kamu akan menemukan pria yang lebih baik."

Aku menyembunyikan kepalan tangan di balik tubuh. Tidak bisa aku pungkiri jika perkataan Rumi barusan membuatku sangat emosi hingga ingin menamparnya. Tapi, aku harus bisa menunjukkan jika aku adalah wanita cerdik yang tidak terpengaruh lagi dengan perkataannya.

"Benar." Jawabku tetap terdengar sangat tenang.

"Seharusnya sudah sejak dulu aku menyerah dan berpisah dari Mas Adi. Tapi, semua yang sudah kita jalani adalah takdir dari Allah. Tenang saja. Aku yang akan mengajukan gugatan cerai. Walaupun Ibu dan Umi tidak akan setuju. Jadi, untuk sementara waktu aku akan menginap di rumah orang tuaku."

Keputusanku sudah bulat. Tidak akan bisa di ganggu gugat walaupun Mas Adi menangis darah sekalipun.

"Gunakanlah waktu selama aku pergi untuk memikat hati Ibu dan Umi. Tunjukkan pada mereka jika kamu sudah berubah. Bukan lagi menantu yang suka membantah nasihat mertuanya. Padahal nasihat itu tentang sholat dan puasa. Jika bisa, bujuk juga Ibu dan Umi agar tidak menceritakan hal ini pada Mas Adi."

"Kamu mengancamku mbak?" Suara Rumi sudah terdengar sangat khawatir saat aku menyebut nama Ibu dan Umi.

"Tidak. Aku tidak pernah mengancammu. Seperti yang selama ini kamu lakukan padaku. Hanya saja kita semua tahu jika sampai detik ini aku tetap menjadi menantu perempuan kesayangan Ibu dan Umi. Mengingat semua saudara Mas Adi adalah perempuan. Jadi, menantu Ibu dan Umi yang lain adalah menantu laki-laki." Kataku penuh penekanan pada Rumi.

Cklek

Rumi menatap ke belakangku dengan pandangan horor. Seolah-olah Rumi sedang melihat hantu. "Ma, Mas Adi."

"Sejak kapan kamu ada disini Rum? Terus di rumah Rahman dengan siapa?" Wajah Mas Adi terlihat biasa saja. Berarti dia tidak mendengar percakapanku dengan Rumi tadi.

"Rahman sama Mama mas. Aku kesini mau menga." Ucapan Rumi terhenti saat melirik pada suster yang sudah meletakan nampan berisi makanan khusus untuk Nasya.

"Terima kasih sus." Ucapku tidak peduli lagi dengan Mas Adi dan Rumi.

"Sama-sama Bu. Lebih baik tunggu Nasya sampai bangun. Karena makanannya akan tetap hangat di mangkuk." Percakapanku dan suster menghentikan sejenak perkataan Rumi.

"Aku mau menjenguk Nasya. Bagaimanapun juga Nasya tetap anakku." Mas Adi hanya menganggukan kepala lalu berjalan ke arahku dan Nasya.

"Kamu bisa mandi terus sarapan dulu dek. Biar aku yang jaga Nasya. Ibu akan datang kesini untuk membawakan baju ganti untuk kita." Kata Mas Andi tegas. Aku sudah membuka mulut hendak menjawab saat Mas Adi menatap Rumi.

"Kamu juga sebaiknya pulang sekarang Rum. Kasihan Rahman kalau di tinggal terlalu lama dengan Mama. Sesuai perkataanku tadi pagi, untuk tiga hari ke depan aku akan tetap bersama dengan Nada dan Nasya. Menukar jadwal dengan jatahmu dan Rahman karena kemarin kalian sama-sama merengek." Kata Mas Adi dengan tegas tidak mau di bantah.

Raut wajah Rumi sudah berubah keruh. Sekilas mata Rumi menatapku tajam. Namun, hanya sebentar saja. Karena sedetik kemudian Rumi sudah menganggukan kepalanya.

"Baik mas. Aku pulang dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Rumi berjalan keluar dari ruang rawat kamar ini dengan cepat. Bahkan ia juga menutup pintu dengan cukup keras. Kini ganti Mas Adi yang duduk di kursi samping tempat tidur Nasya. Sementara aku masih berdiri di tempatku sebelumnya.

"Kenapa kamu masih berdiri disana dek? Cepat mandi lalu sarapan. Jangan sampai kamu juga sakit. Nasya masih sangat membutuhkanmu." Ujar Mas Adi tanpa menatapku. Aku tidak bicara atau menganggukan kepala pada Mas Adi. Tapi, aku tetap mengikuti saran Mas Adi.

***

Di dalam kamar mandi, aku dapat mendengar Mas Adi sedang menelpon seseorang. Tapi, aku tidak tahu siapa karena suaranya tidak terlalu keras. Saat ini aku hanya duduk termenung di atas kloset. Memikirkan bagaimana cara membujuk Papa dan Mama agar mengijinkan aku pulang membawa Nasya ke rumah mereka.

Atau jika Mama tidak setuju dengan keputusanku, aku bisa menyewa rumah lebih dulu. Toh aku punya banyak uang di dalam tabungan dari hasil pekerjaanku sebagai penjual online. Minggu ini aku juga sudah dapat banyak pesanan lagi. Karena Nasya sedang di rawat di rumah sakit, aku terpaksa meminta tolong pada Bude Sri, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah orang tuaku, untuk ikut membungkus barang pesanan. Nanti kami akan melakukan video call agar aku bisa memastikan pekerjaan Bude Sri berjalan dengan lancar.

Karena badanku juga terasa gerah, aku segera mandi. Saat akan membuka pintu, suara Mas Adi terdengar sangat kaget. Aku menempelkan telinga ke pintu agar bisa mendengar suara Mas Adi lebih jelas. Tidak bisa. Lalu, aku membuka pintu secara perlahan. Mengintip Mas Adi dari dalam kamar mandi. Mudah-mudahan saja suamiku itu tidak menyadari jika aku tengah menguping percakapannya.

Pandanganku tertuju ke tempat tidur putriku. Nasya yang masih tidur membuat Mas Adi bisa menelpon lebih leluasa. Dia menyebutkan tentang kamera CCTV dan alat penyadap yang harus di pasang di rumah Rumi. Tubuhnya sudah beranjak dari kursi lalu berjalan menuju sisi jendela ruang rawat ini yang kordennya terbuka lebar. Sehingga aku tidak bisa mendengarkan suara Mas Adi lagi.

"Kamu yakin pernah melihat Rumi pergi ke rumah pria lain?" Teriak Mas Adi tertahan yang membuat tubuhku terlonjak kaget.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status