Tangis Thania pecah di depan ruang rawat ayahnya. Ia terduduk lemas di bangku tunggu, kedua tangannya menutupi wajah yang dipenuhi air mata. Isaknya menggema pelan di lorong rumah sakit yang mulai lengang.
“Aku terlalu berharap, aku terlalu bodoh untuk menerima kenyataan menyakitkan ini,” lirihnya sambil menyeka air mata yang mengalir deras.
Sesak yang mengimpit dadanya terasa seperti tak kunjung reda. Hatinya remuk oleh kenyataan pahit yang baru saja ia dengar dari Davian—tentang Joana, dan kebohongan besar yang disembunyikan suaminya.
“Hanya tinggal menunggu waktu saja untuk menyelesaikan semuanya,” ucapnya sambil menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya dengan berat. Ia mengambil selembar tisu dari tasnya, menghapus air mata yang terus menetes tak terkendali.
Matanya menerawang ke lantai dingin rumah sakit. “Kenapa aku harus mendapat nasib buruk seperti ini, Ya Tuhan?” bisiknya nyaris tak terdengar.
&ld
“Bertengkar? Lagi?” ucap Kalen dengan nada berat, nyaris tak percaya.Davian mengangguk dengan ekspresi muram. Ia baru saja menyampaikan informasi yang ia dapat dari Regina. “Ya. Regina yang memberitahuku. Dan Regina tahu dari Evelyn, asisten pribadi Arion. Mereka bertengkar lagi, dan kali ini sampai baku hantam, Pa.”Ia mengembuskan napas panjang sambil menggelengkan kepala, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Suasana di ruang kerja Kalen terasa sesak meski tak ada suara selain mereka berdua.Kalen menggaruk rambutnya dengan kesal, wajahnya menunjukkan rasa frustrasi yang semakin menumpuk.“Sampai kapan mereka akan berseteru seperti ini? Kalau memang Arion menyukai Thania sejak lama, seharusnya dia ungkapkan saat itu juga—bukan sekarang, ketika semuanya sudah terlambat.”Matanya menerawang ke luar jendela seolah berharap menemukan jawaban di balik bayang-bayang pohon dan langit mendung.Suasana hati Kalen memang sedang kacau, dan konflik dua pria muda itu hanya memperkeruhnya.D
Begitu tiba di rumah, Melvin langsung menyerahkan selembar tiket pesawat kepada Thania. Wajah wanita itu terlihat kebingungan saat menerima kertas yang dilipat rapi tersebut.“A—apa ini?” tanyanya, dahi berkerut, matanya menatap tak percaya pada tiket yang kini berada di tangannya.“Tiket pesawat untuk terbang besok. Kita akan pergi ke Hawaii, sesuai dengan permintaan Papa,” jawab Melvin dengan suara datar dan nada tak ingin dibantah.Tidak ada basa-basi, tidak ada senyum, hanya sebuah pernyataan yang terdengar seperti perintah.Mata Thania membola. Ia bahkan sempat terpaku beberapa detik. “Apa aku tidak salah dengar? Kita … akan pergi bulan madu? Aku sudah menolaknya, Melvin,” protesnya, nada suaranya meninggi, disertai dengan sorot mata yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Melvin menatap Thania dengan tatapan dingin. “Kau pikir aku mau?” balasnya tajam.“Aku terpaksa melakukan ini agar Papa tidak curiga pada kita, Thania!” Nada suaranya meninggi, menunjukkan betapa kesaln
Begitu tiba di Hawaii, Thania dan Melvin langsung disambut oleh udara hangat khas tropis yang berpadu dengan semilir angin laut yang menenangkan.Langit biru membentang tanpa cela, berpadu sempurna dengan lautan yang berkilauan diterpa cahaya matahari.Di sepanjang jalan menuju penginapan, deretan pohon kelapa melambai-lambai seolah menyambut kedatangan mereka.Melvin sengaja memilih sebuah vila privat yang letaknya agak terpencil dari keramaian. Ia memang tidak suka tempat yang penuh sesak dengan turis.Bukan hanya karena sifatnya yang tertutup, tapi juga karena ia ingin meminimalkan kemungkinan bertemu orang yang tak diinginkan.Apalagi ini adalah bulan madu pura-pura yang tak ingin ia jalani lebih dari sekadar formalitas.Setelah sopir vila membukakan pintu dan menurunkan koper-koper mereka, Thania melangkah masuk dengan hati yang masih belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan.Namun, matanya langsung terpukau ketika melihat bagian dalam vila yang elegan dan hangat.Nuansa kayu, ar
"Sakit, Melvin... pelan-pelan," lirih Thania, suara yang nyaris tertelan oleh gelapnya malam dan gemetar napasnya yang kacau.Kamar itu sunyi, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu malam kecil di sisi ranjang. Tapi keheningan itu tidak menenangkan—justru menciptakan ruang hampa yang membekukan jiwa.Di sana, Thania terbaring dengan tubuh yang menggigil dan hati yang tercabik. Kedinginan merayap di balik kulitnya, bukan karena udara, tapi karena perlakuan seseorang yang seharusnya menjadi pelindung dalam ikatan suci bernama pernikahan.Namun tidak. Ini bukan perlindungan. Ini penindasan.Sorot mata Melvin menatapnya tanpa perasaan, penuh bara dendam yang membakar nuraninya. Raut wajah tampan yang dulu sempat Thania percayai, kini tampak seperti topeng iblis.Tidak ada kelembutan. Tidak ada cinta. Yang ada hanya kebencian, menyelinap dalam setiap geraknya, dalam setiap kata yang mengiris lebih tajam dari pisau."Kau pikir aku menikahimu karena aku mencintaimu?" bisiknya dengan nada
"Dengan menjadi istrimu yang akan kau siksa setiap harinya?" ucap Thania lirih, suara seraknya nyaris patah. Matanya menatap Melvin dengan luka yang tak bisa ia sembunyikan lagi.Melvin mengangguk mantap. Tegas. Tanpa ragu sedikit pun."Ya. Itu benar." katanya, suaranya dingin dan dalam. "Kau adalah istriku. Dan kau akan hidup sesuai keinginanku. Tak ada pengecualian."Thania menunduk, menggenggam ujung selimut tebal yang bergetar di tangan. Air mata terus mengalir, namun ia tak mengusapnya. Untuk apa? Tangisnya pun tak punya tempat lagi untuk berlabuh.Tubuhnya masih terasa sakit. Bukan hanya karena sentuhan kasar Melvin beberapa menit yang lalu, tetapi karena kata-kata yang terucap dari mulut pria itu—kata-kata yang lebih tajam dari bilah pisau mana pun."Kau adalah boneka mainan," lanjut Melvin, mendekat dan mencengkram dagu Thania dengan kasar, mengangkat wajah wanita itu agar menatapnya."Boneka milikku. Bagian dari perjalanan hidupku. Maka dari itu, turuti semua perintahku. Jang
“Selamat atas pernikahanmu, Thania,” sapa Arion dengan nada hangat, matanya menatap lembut ke arah Thania yang tengah berdiri di depan pintu ruang rapat menunggu Melvin.Thania menoleh, kedua alisnya terangkat tipis. “Terima kasih, Arion,” jawabnya pelan sambil memeluk file di dadanya lalu menghela napas.“Kenapa kau tidak datang di acara pernikahanku dua hari yang lalu?” tanya Thania ingin tahu.Arion menghela napas sejenak, menunduk. “Maafkan aku, Thania. Ayahku tiba-tiba sakit, aku harus menemaninya ke luar kota kemarin malam. Kupikir masih sempat kembali, tapi jadwal penerbangan…” Suaranya tersendat, menahan rasa bersalah di sudut mulut.Thania mengangguk pelan, sorot matanya penuh pengertian. “Aku mengerti, keluarga memang lebih penting.” Ia tersenyum, berusaha menutupi rasa kecewa kecil yang merayap di dada.Arion melempar senyum tipis. “Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.” Ia menepuk lembut pundak Thania sebelum melangkah mundur.Mereka menoleh bersama ke arah seber
“Berani sekali kau berkata seperti itu padaku,” ucap Melvin, suaranya datar namun menakutkan, seperti ancaman yang tersembunyi di balik ketenangan.Matanya menusuk tajam ke wajah Thania, seolah ingin mengoyak setiap lapisan harga diri wanita itu.Namun Thania tetap berdiri di tempatnya, tak sedikit pun gentar. Meski seluruh tubuhnya bergetar, ia menahan diri untuk tidak mundur.Kepalanya tetap tegak, meski matanya enggan menatap mata pria itu. “Aku rasa, tidak ada yang salah dengan ucapanku. Itu benar. Kenyataan. Kau sudah menikahiku, dan menjadikan wanita murahan ini adalah istrimu.”Nadanya tenang, namun luka yang dibawanya terasa dalam. Kata-kata itu bukan bentuk perlawanan, melainkan jeritan sunyi dari hati yang terlalu lama tertindas.Ia bahkan tidak ingin menatap Melvin, karena melihat wajah pria itu hanya akan mengingatkannya pada luka-luka yang tak kunjung sembuh.Di dalam hatinya, Thania berteriak. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya terjebak dalam pusaran pe
“Apa kau gila?” bentak Thania segera setelah suara langkah Kalen menghilang dari balik pintu.Ia menoleh cepat ke arah Melvin, matanya melebar karena marah dan tak percaya. “Aku tidak mau pergi bulan madu denganmu.”Nada suaranya bergetar. Bukan hanya karena emosi, tapi karena ketakutan yang perlahan merayap masuk ke dalam dirinya.Gagasan untuk berdua saja dengan Melvin di tempat asing selama dua minggu membuat perutnya terasa mual.“Kau pikir aku mau?” sahut Melvin, tak kalah sengit.Suaranya meninggi, memantul di dinding ruang kerja yang kini menjadi arena perang tanpa saksi. “Aku pun tidak sudi menghabiskan waktu denganmu kalau saja aku punya pilihan!”Thania mendengus getir. “Salahmu sendiri! Kau yang mulai berbohong pada ayahmu. Aku diam karena tak ingin membuat suasana kacau, tapi kau terus saja bertindak semaumu!”Melvin menggertakkan giginya. Urat di rahangnya menegang.Matanya penuh bara, tak ada sedikit pun niat untuk mundur dari argumennya. “Kita akan tetap pergi. Sabtu be
Begitu tiba di Hawaii, Thania dan Melvin langsung disambut oleh udara hangat khas tropis yang berpadu dengan semilir angin laut yang menenangkan.Langit biru membentang tanpa cela, berpadu sempurna dengan lautan yang berkilauan diterpa cahaya matahari.Di sepanjang jalan menuju penginapan, deretan pohon kelapa melambai-lambai seolah menyambut kedatangan mereka.Melvin sengaja memilih sebuah vila privat yang letaknya agak terpencil dari keramaian. Ia memang tidak suka tempat yang penuh sesak dengan turis.Bukan hanya karena sifatnya yang tertutup, tapi juga karena ia ingin meminimalkan kemungkinan bertemu orang yang tak diinginkan.Apalagi ini adalah bulan madu pura-pura yang tak ingin ia jalani lebih dari sekadar formalitas.Setelah sopir vila membukakan pintu dan menurunkan koper-koper mereka, Thania melangkah masuk dengan hati yang masih belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan.Namun, matanya langsung terpukau ketika melihat bagian dalam vila yang elegan dan hangat.Nuansa kayu, ar
Begitu tiba di rumah, Melvin langsung menyerahkan selembar tiket pesawat kepada Thania. Wajah wanita itu terlihat kebingungan saat menerima kertas yang dilipat rapi tersebut.“A—apa ini?” tanyanya, dahi berkerut, matanya menatap tak percaya pada tiket yang kini berada di tangannya.“Tiket pesawat untuk terbang besok. Kita akan pergi ke Hawaii, sesuai dengan permintaan Papa,” jawab Melvin dengan suara datar dan nada tak ingin dibantah.Tidak ada basa-basi, tidak ada senyum, hanya sebuah pernyataan yang terdengar seperti perintah.Mata Thania membola. Ia bahkan sempat terpaku beberapa detik. “Apa aku tidak salah dengar? Kita … akan pergi bulan madu? Aku sudah menolaknya, Melvin,” protesnya, nada suaranya meninggi, disertai dengan sorot mata yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Melvin menatap Thania dengan tatapan dingin. “Kau pikir aku mau?” balasnya tajam.“Aku terpaksa melakukan ini agar Papa tidak curiga pada kita, Thania!” Nada suaranya meninggi, menunjukkan betapa kesaln
“Bertengkar? Lagi?” ucap Kalen dengan nada berat, nyaris tak percaya.Davian mengangguk dengan ekspresi muram. Ia baru saja menyampaikan informasi yang ia dapat dari Regina. “Ya. Regina yang memberitahuku. Dan Regina tahu dari Evelyn, asisten pribadi Arion. Mereka bertengkar lagi, dan kali ini sampai baku hantam, Pa.”Ia mengembuskan napas panjang sambil menggelengkan kepala, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Suasana di ruang kerja Kalen terasa sesak meski tak ada suara selain mereka berdua.Kalen menggaruk rambutnya dengan kesal, wajahnya menunjukkan rasa frustrasi yang semakin menumpuk.“Sampai kapan mereka akan berseteru seperti ini? Kalau memang Arion menyukai Thania sejak lama, seharusnya dia ungkapkan saat itu juga—bukan sekarang, ketika semuanya sudah terlambat.”Matanya menerawang ke luar jendela seolah berharap menemukan jawaban di balik bayang-bayang pohon dan langit mendung.Suasana hati Kalen memang sedang kacau, dan konflik dua pria muda itu hanya memperkeruhnya.D
Tangis Thania pecah di depan ruang rawat ayahnya. Ia terduduk lemas di bangku tunggu, kedua tangannya menutupi wajah yang dipenuhi air mata. Isaknya menggema pelan di lorong rumah sakit yang mulai lengang.“Aku terlalu berharap, aku terlalu bodoh untuk menerima kenyataan menyakitkan ini,” lirihnya sambil menyeka air mata yang mengalir deras.Sesak yang mengimpit dadanya terasa seperti tak kunjung reda. Hatinya remuk oleh kenyataan pahit yang baru saja ia dengar dari Davian—tentang Joana, dan kebohongan besar yang disembunyikan suaminya.“Hanya tinggal menunggu waktu saja untuk menyelesaikan semuanya,” ucapnya sambil menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya dengan berat. Ia mengambil selembar tisu dari tasnya, menghapus air mata yang terus menetes tak terkendali.Matanya menerawang ke lantai dingin rumah sakit. “Kenapa aku harus mendapat nasib buruk seperti ini, Ya Tuhan?” bisiknya nyaris tak terdengar.&ld
“Davian?” panggil Thania seraya menghampiri dokter muda itu yang tengah merapikan jas putihnya dan bersiap meninggalkan ruang jaga. “Apakah Melvin yang melunasi tagihan rumah sakit ayahku?”Davian, yang mengenal Thania sejak awal masa perawatannya, menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan menatap wajah Thania dengan sorot penuh pengertian.“Melvin saja tidak tahu kalau tagihannya sudah lunas, Thania.” Suaranya lembut namun tegas.“Dia baru saja hendak membayarnya tadi pagi, tapi ternyata semuanya sudah beres. Sudah ada yang lebih dulu melunasinya.”Thania mengerutkan kening, hatinya berdegup lebih cepat. “Jadi, tagihan itu sudah lunas sejak kemarin malam?” tanyanya lagi, memastikan, meski dalam hati ia sudah mulai menyusun kemungkinan-kemungkinan.Davian mengangguk. “Sepertinya begitu.” Ia menghela napas singkat sebelum menambahkan, “Melvin langsung kembali ke kantor begit
“Sudah kubilang padamu, jangan mengganggu rumah tangga Melvin dan Thania lagi, sialan!” teriak Evelyn dengan nada tinggi, membuyarkan keheningan sore itu.Ia tengah membersihkan luka di pelipis Arion yang masih mengucurkan sedikit darah.Jemarinya yang cekatan menggenggam kapas dan antiseptik, namun ekspresi wajahnya jauh dari lembut—ia muak.Arion hanya menghela napas, menahan perih di wajahnya. “Aku emosi,” ucapnya singkat, nyaris seperti pembelaan yang tak niat ia perjuangkan.“Aw! Sakit, Evelyn. Kau ingin menambah lukanya, hah?” Arion meringis, menghindar sedikit dari tangan Evelyn yang tanpa ampun menekan luka itu.Evelyn menyunggingkan senyum sinis, matanya menatap datar wajah atasannya yang biasanya dingin dan tenang.“Mau sampai kapan kau akan membuat keributan di rumah tangga mereka? Sampai Melvin tobat dan sungguh-sungguh mencintai Thania?” sindirnya tajam, menusuk ke inti masal
Melvin membanting sebuah cek di atas meja kerja Arion. Suaranya nyaring membelah keheningan ruangan kantor itu. Matanya tajam menusuk, mengarah langsung ke wajah pria di depannya.“Kau pikir aku tidak tahu, apa yang baru saja kau lakukan untuk Thania?” ucapnya dingin. Nadanya rendah namun mengandung bara yang siap meledak kapan saja.“Kau ingin menjadi pahlawan baginya di saat aku tidak ada di sisinya?”Arion yang sedang sibuk di balik laptopnya perlahan mengangkat kepala. Tatapannya tenang, nyaris santai, seolah tak terpengaruh oleh kedatangan Melvin yang penuh amarah. Ia menyunggingkan senyum kecil, hampir seperti mengejek.“Aku bahkan pernah melunasi uang kuliahnya, Melvin. Jadi, tidak ada salahnya jika kali ini aku melunasi tagihan rumah sakit ayahnya,” balasnya kalem, dengan ekspresi yang membuat darah Melvin semakin mendidih.Tangan Melvin mengepal erat di sisi tubuhnya. Otot-otot di rahangnya mengeras. Matanya menyipit, seperti binatang buas yang sudah kehilangan kesabaran.“Ka
“Dari mana saja kau, Thania? Kenapa tidak ada di rumah? Kenapa tidak menerima panggilanku satu pun?” tanya Melvin dengan nada tinggi, mencecar Thania segera setelah wanita itu membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.Thania terkejut. Ia bahkan belum sempat meletakkan tas di gantungan saat suaminya langsung menghadapinya dengan amarah meledak.Ia menatap wajah Melvin yang tampak kacau. Rambutnya berantakan, matanya merah dan sembab, dengan wajah kusut seperti orang yang tidak tidur semalaman.“Ayahku masuk rumah sakit dan harus dioperasi,” jawab Thania pelan, berusaha tetap tenang. “Jadi, aku tidur di rumah sakit.”“Bohong!” bentak Melvin tiba-tiba, suaranya meninggi dan meledak. Ia melangkah mendekat dengan mata membara. “Kenapa tidak memberitahuku kalau ayahmu sakit? Kau menemani Arion di sana, kan?!”Thania mengernyit, dadanya langsung sesak oleh tuduhan itu. Ia menahan napas, menatap mata Melvin yang penuh kecurigaan dan amarah.“Apa maksudmu, Melvin? Aku memang di rumah sakit, dan
“Thania?”Suara yang tak asing itu membuat Thania menoleh pelan. Ia sedang berdiri di depan ruang administrasi rumah sakit, menandatangani beberapa dokumen untuk persetujuan tindakan medis ayahnya.Pandangannya langsung bertemu dengan seorang pria jangkung berambut rapi yang berdiri tidak jauh darinya.“Arion?” ucap Thania sedikit terkejut. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya kemudian, suaranya sedikit melemah karena kelelahan dan beban pikiran yang masih menumpuk.“Mengantar ayahku kontrol. Kau sendiri?” tanya Arion sambil berjalan mendekat, menyapa dengan hangat.“Oh.” Thania menarik napas sebelum menjawab. “Ayahku harus dioperasi karena jantungnya sudah tidak baik-baik saja. Davian yang menangani. Kebetulan dia sedang jaga malam.”Ia menunjuk ke arah meja administrasi, lalu kembali fokus pada berkas di tangannya. Selembar kwitansi panjang tampak tergenggam di tangan kirinya.Angka-angka biaya rumah sakit, tindakan operasi, dan rawat inap tertera jelas di sana. Tapi yang paling