Melvin membuka mulutnya, tapi tak ada suara keluar. Matanya berkaca, pikirannya berputar mencari jawaban yang jujur namun tidak menyakitkan—padahal ia tahu, mungkin itu tidak ada.
Perlahan, ia mengalihkan pandangannya ke lantai, lalu berbisik, “Aku... aku tertidur di sana.”
Thania memejamkan matanya sejenak, menahan napas dan perih yang tiba-tiba datang menyerang. “Tertidur? Di apartemen Joana?” suaranya masih tenang, namun dinginnya menusuk lebih dalam dari teriakan sekalipun.
Melvin buru-buru menjelaskan, suaranya penuh kegugupan. “Aku tidak bermaksud. Aku hanya terlalu lelah dan emosiku kacau. Setelah Joana akhirnya mau turun dari jendela, aku duduk sebentar... lalu aku tertidur di sofa.
“Aku bersumpah tidak terjadi apa-apa, Thania. Aku tidak menyentuhnya. Aku bahkan tidak berniat tinggal lama.”
Thania tersenyum lirih, sebuah senyu
“Apa ini?” gumamnya sarat dengan keterkejutan dan ketidakpercayaan.Seluruh kamar dipenuhi bunga mawar merah segar—di atas tempat tidur, di meja rias, bahkan kelopak-kelopaknya berserakan seperti salju merah yang jatuh di lantai marmer tersebut.Aroma manis bunga itu menusuk hidung, begitu kuat hingga hampir terasa menyengat.Thania menatap sekeliling, lalu melangkah hati-hati, takut menginjak kelopak-kelopak itu. Pandangannya tertumbuk pada sebuah buket besar di atas tempat tidurnya.Di antara lilitan plastik bening dan pita satin, terselip sepucuk surat kecil.Ia menghela napas perlahan, lalu meraihnya. Thania membuka surat itu dan mulai membaca.‘Hatimu yang seluas samudera ini, apakah bisa memberiku kesempatan? I love you, my wife. Hanya kau duniaku. Aku tidak bisa tidur kalau tidak memelukmu.’Sekilas senyum sinis melintas di bibirnya. Ia menyunggingkan senyum kecil, bukan karena tersentuh, tapi karena merasa geli bercampur muak.“Apa dia jadi tukang gombal sekarang?” gumamnya d
“Apa kau gila?” teriak Davian keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kau tidur dengan Joana? Di mana otakmu, Melvin? Kau ingin mati, hah?!”Nada suaranya memecah malam seperti petir yang menyambar. Melvin berdiri tak jauh darinya, tubuhnya tampak lunglai, wajahnya kusut tanpa arah.Ia mengangkat tangan, mencoba menenangkan adiknya.“Aku tidak tidur dengan Joana, Davian,” katanya cepat, berusaha menjernihkan kekeliruan yang sudah terlanjur membakar emosi Davian. “Hanya... tertidur di apartemennya.”“Sama saja!” teriak Davian kembali, lebih keras dari sebelumnya.Ia mendekat, lalu menjambak rambutnya sendiri dengan gerakan frustasi. Tangannya menggigil karena terlalu marah, dan wajahnya kini tak lagi sekadar kesal — tapi kecewa dan muak.“Tidak sama, Davian,” sergah Melvin, suaranya mulai meninggi, tapi bukan karena ingin membantah, melainkan karena dirinya mulai putus asa.“Aku lelah, aku mengantuk dan akhirnya tertidur di sofa ruang tengah. Sementara Joana tidur di kamarnya. Ti
Melvin melangkah perlahan ke dalam kamar, tangannya membawa nampan kecil berisi segelas susu ibu hamil.Ia berhenti sejenak di ambang pintu, memandangi Thania yang baru saja bangun. Rambut Thania masih kusut, matanya sembap seperti habis menangis, dan ekspresinya datar, tanpa semangat.“Ini…,” ucap Melvin pelan, menyerahkan segelas susu itu.Thania hanya mengambil gelas tersebut tanpa berkata sepatah kata pun. Tidak ada ucapan terima kasih, tidak ada senyum, hanya sepasang mata kosong yang menatap sekilas sebelum kembali jatuh ke arah lantai.Ia lalu melangkah ke sofa dengan gerakan malas dan berat, lalu duduk sambil meminum perlahan susu yang diberikan suaminya.Melvin memperhatikan gerak-gerik Thania dengan hati yang terasa semakin hancur. Wajahnya lesu, sorot matanya kusam, dan tubuhnya terlihat seperti kehilangan arah.Dia berdiri beberapa saat tanpa tahu harus berbuat apa, lalu akhirnya duduk di samping istrinya denga
Melvin membuka mulutnya, tapi tak ada suara keluar. Matanya berkaca, pikirannya berputar mencari jawaban yang jujur namun tidak menyakitkan—padahal ia tahu, mungkin itu tidak ada.Perlahan, ia mengalihkan pandangannya ke lantai, lalu berbisik, “Aku... aku tertidur di sana.”Thania memejamkan matanya sejenak, menahan napas dan perih yang tiba-tiba datang menyerang. “Tertidur? Di apartemen Joana?” suaranya masih tenang, namun dinginnya menusuk lebih dalam dari teriakan sekalipun.Melvin buru-buru menjelaskan, suaranya penuh kegugupan. “Aku tidak bermaksud. Aku hanya terlalu lelah dan emosiku kacau. Setelah Joana akhirnya mau turun dari jendela, aku duduk sebentar... lalu aku tertidur di sofa.“Aku bersumpah tidak terjadi apa-apa, Thania. Aku tidak menyentuhnya. Aku bahkan tidak berniat tinggal lama.”Thania tersenyum lirih, sebuah senyu
Melvin membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat dan lehernya pegal akibat posisi tidur yang tak nyaman.Pandangannya menyapu ruangan dan seketika ia terperanjat bangun saat menyadari tempatnya sekarang. Sofa ruang tengah. Dingin. Asing.“Ah! Bodoh sekali kau, Melvin!” umpatnya lirih namun penuh penyesalan. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi saat sadar bahwa dirinya masih berada di apartemen Joana. Keningnya berkerut menahan panik.Dengan cepat, ia melihat ke jam tangan. Jarum panjang sudah menunjuk ke angka dua belas dan jarum pendek ke angka delapan. Pukul delapan pagi.“Sial!” desisnya. Dadanya sesak. Ia bangkit dan berlari kecil ke arah pintu, menjejak tangga darurat menuju basement.Detak jantungnya memacu cepat, diiringi suara napasnya yang berat dan tak beraturan. Ia merasa seolah dunia menindih pundaknya.
“Apa yang kau lakukan, Joana?!” teriak Melvin begitu pintu apartemen terbuka dan pemandangan di depannya membuat napasnya seketika terengah-engah.Ruangan itu berantakan. Tirai berkibar oleh tiupan angin dari jendela besar yang terbuka lebar. Di ujung sana, tubuh Joana berdiri di ambang, satu kakinya sudah hampir menggantung keluar.Ia mengenakan gaun tipis yang berkibar ditiup angin malam, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya tampak putus asa.Di sisi lain ruangan, Jesika berlari ke arah Melvin dengan wajah panik.“Melvin! Tolong Joana. Dia ingin bunuh diri! Dia tidak sanggup bertahan hidup dengan keadaan seperti ini!” Jesika menggenggam lengan Melvin erat, matanya berkaca-kaca penuh ketakutan.Melvin menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup liar.“Aku pun tidak mau terlibat dalam masalah ini. Aku tidak sanggu