Sudah satu bulan lamanya Joana dirawat di rumah sakit jiwa.Hari-hari yang panjang dan sunyi telah ia lewati dengan tatapan kosong dan bibir yang nyaris tak pernah mengeluarkan suara. Dunia terasa jauh, asing, dan redup dari matanya.Pagi itu, suasana di rumah sakit tampak lebih tenang dari biasanya. Seorang dokter menghampiri Daniel yang berdiri di luar ruangan Joana dengan wajah cemas.“Kondisinya sudah membaik dan sudah diperbolehkan pulang hari ini,” ucap dokter dengan nada tenang, mencoba memberi kabar baik yang bisa sedikit melegakan hati sang kakak.Daniel mengangguk cepat, menghela napas lega. “Terima kasih, Dokter.”Ia melangkah masuk ke ruangan dan mendapati Joana tengah duduk di kursi dekat jendela.Gadis itu memandang lurus ke luar, wajahnya pucat dan matanya kosong, seperti seseorang yang tubuhnya ada di sana, tapi jiwanya masih tertinggal di suatu tempat.Daniel mendekat, berlutut di hadapan adikn
“Hei! Jangan melamun.” Suara lembut Thania memecah keheningan yang menggantung di dalam kamar.Ia melangkah masuk dengan hati-hati, lalu menghampiri Melvin yang tengah duduk di sofa dekat jendela, menatap kosong ke arah luar tanpa ekspresi.Cahaya matahari pagi menerobos dari balik tirai tipis, menyoroti wajah Melvin yang terlihat lebih pucat dari biasanya. Matanya sayu, sorotnya kosong, seolah sedang tersesat di dalam pikirannya sendiri.“Lama sekali. Aku jadi bosan di sini, ya sudah, aku melamun saja,” jawabnya asal, berusaha terdengar santai.Tapi sebenarnya pikirannya tidak bisa tenang. Mimpi yang menghantuinya semalam belum juga hilang dari benaknya.Ia masih bisa mengingat dengan jelas gadis kecil yang terperosok ke dalam jurang, tangisannya, dan rasa bersalah yang menusuk seperti belati.Dan itu membuatnya semakin bingung—karena semua itu tidak pernah ada dalam cerita siapa pun tentang masa lalunya.
Esok paginya, Thania datang ke rumah keluarga suaminya. Matahari baru saja naik, sinarnya lembut menyapu pekarangan yang basah oleh embun.Meski pagi itu terlihat tenang dari luar, di dalam hati Thania tersimpan riak kecemasan. Ada satu beban yang harus ia sampaikan. Bukan demi membela Melvin, tetapi demi kebenaran yang layak didengar.Ia menekan bel pintu dengan jemari yang sedikit bergetar. Tak lama kemudian, pintu dibuka oleh Nadya, yang tampak jauh lebih baik dibanding kemarin.Wajahnya lebih segar meski guratan kelelahan masih tergambar di sana.“Hi, Thania?” sapa Nadya lembut, menyambut menantunya dengan senyum yang samar.“Hi, Ma.” Thania membalas senyum itu, lalu menggenggam tangan wanita paruh baya tersebut dengan tulus. “Bagaimana kondisi Mama? Apa sudah membaik?”Nadya mengangguk pelan, lalu mengelus tangan Thania. “Ya. Aku sudah membaik. Jangan khawatir. Maaf membuatmu cemas.”
“Hei! Jangan menangis. Aku ada permen untukmu.” Suara lembut itu menyusup ke tengah ketakutan Melvin kecil.Sosok seorang gadis kecil, mungkin seumuran dengannya, muncul dari balik tiang penyangga kayu yang separuh roboh.Wajahnya berlumur debu, rambutnya kusut tak beraturan, namun matanya bersinar penuh keberanian.Tangan kecilnya merogoh kantong celana yang robek dan mengeluarkan sebuah permen warna merah muda yang sudah agak lecek bungkusnya. Ia menyodorkannya dengan penuh keyakinan.“Jangan menangis lagi. Kita akan selamat,” ucapnya sambil tersenyum lembut—senyum polos yang mampu menyusup ke dalam rasa takut Melvin.Melvin mengangguk kecil, sesenggukan masih terdengar dari tenggorokannya. Ia menerima permen itu dengan tangan gemetar, lalu memasukkannya ke dalam mulut perlahan.Manis. Sangat manis. Tapi bukan dari rasa permennya—melainkan dari kebaikan hati gadis kecil itu.“Siapa namamu?” tanya gadis itu, suaranya lembut, berbeda dari suara-suara keras dan menakutkan yang sebelumn
Melvin duduk menyender di lantai rumah sakit, tepat di depan pintu ruang rawat Nadya, ibunya.Dinding putih rumah sakit yang dingin tidak mampu menenangkan gejolak hati di dalam dadanya. Kedua lututnya ia peluk erat, seolah ingin menyatukan kembali dirinya yang hancur oleh penyesalan.Air matanya jatuh perlahan, membasahi celana panjangnya yang kusut karena duduk terlalu lama di lantai.Tubuhnya tampak gemetar, napasnya berat dan tersengal, seperti menanggung beban dunia seorang diri.“Aku juga tidak akan memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu pada Mama. Maafkan aku, Ma...” lirihnya, dengan suara parau yang hampir tak terdengar.Suara itu seolah hanya ditujukan pada dirinya sendiri, dan pada ibunya yang kini terbaring lemah di balik pintu itu.Thania, yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari sana, akhirnya melangkah mendekat dengan hati-hati.Ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk menyalahkan atau menegur. Yang bisa ia tawarkan hanyalah kehangatan.Perlahan, ia meraih tangan
Plak!Sebuah suara tamparan keras memecah kesunyian sore di rumah keluarga Kalen.Melvin, yang baru saja menjejakkan kaki ke dalam rumah, terhuyung ke samping karena tamparan penuh emosi dari tangan ayahnya.Rasa panas menyebar di pipi kirinya, namun rasa sakit itu bukan apa-apa dibandingkan keterkejutan yang menghantam dadanya.“Pa! Apa yang kau lakukan?!” serunya dengan nada tak percaya, satu tangan terangkat menyentuh pipinya yang memerah.Pandangannya terarah ke ayahnya, Kalen, yang kini berdiri dengan napas memburu, wajahnya merah padam oleh amarah yang membuncah.“Kau gila, hah?! Seharusnya aku yang bertanya padamu, apa yang KAU lakukan, Melvin?!” suara Kalen menggelegar di seluruh ruangan, seperti petir di siang bolong.Nada suaranya penuh luka dan kekecewaan yang mendalam, bukan hanya sebagai seorang ayah, tapi juga sebagai seorang pria yang harga dirinya diinjak oleh anaknya sendiri.Melvin mengerutkan dahi, hatinya bergemuruh tak menentu. “Aku tidak tahu maksud—”Kalen tidak