Pagi itu, setelah kewajiban lain terlaksana, Intan menyiram bunga di taman. Kebetulan bunga-bunga tanaman ibu mertuanya itu sudah seminggu tidak di siram. Intan yang terbiasa rajin selalu mencari kegiatan. Namun, fokus wanita itu tidak ke sana. Pikirannya melanglang buana entah ke mana. Mengingat kejadian tadi pagi. Mengingat keromantisan hubungannya dengan suaminya tadi pagi setelah apa yang terjadi tadi malam. Bima yang sempat menuduhnya berselingkuh itu bagai petir di siang bolong bagi Intan. Pulang-pulang dia sudah diinterogasi perihal selingkuh. Sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dan itu semua hanya karena sebuah foto yang Bima dapatkan dari ibu mertuanya. Entah siapa yang kurang kerjaan memotret pertemuannya dengan Abraham. Rasanya mustahil jika orang itu tidak sengaja. Ini semua terlalu kebetulan dan tidak masuk akal. Sempat terbesit di benaknya ada seseorang yang dengan sengaja melakukan itu untuk memisahkan dir
Pagi itu, setelah kewajiban lain terlaksana, Intan menyiram bunga di taman. Kebetulan bunga-bunga tanaman ibu mertuanya itu sudah seminggu tidak di siram. Intan yang terbiasa rajin selalu mencari kegiatan. Namun, fokus wanita itu tidak ke sana. Pikirannya melanglang buana ke mana-mana. Mengingat kejadian tadi pagi. Mengingat keromantisan hubungannya dengan suaminya tadi pagi setelah apa yang terjadi tadi malam. Bima yang sempat menuduhnya berselingkuh itu bagai petir di siang bolong bagi Intan. Pulang-pulang dia sudah diinterogasi perihal selingkuh. Sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dan itu semua hanya karena sebuah foto yang Bima dapatkan dari ibu mertuanya. Entah siapa yang kurang kerjaan memotret pertemuannya dengan Abraham. Rasanya mustahil jika orang itu tidak sengaja. Ini semua terlalu kebetulan dan tidak masuk akal. Sempat terbesit di benaknya ada seseorang yang dengan sengaja melakukan itu untuk memisahkan dirinya dengan sang suami. Siapa lagi kalau bu
"Gimana, Bima? Benar kan yang Mama bilang?" Malam itu tengah malam, Bima bangun untuk mengisi gelas minumnya yang kosong. Dia terbangun karena kehausan lalu menyadari air minumnya sudah habis. Baru saja dia meletakkan teko di atas meja, mamanya menghampiri dan bertanya demikian. Dilihatnya wanita paruh baya yang rambutnya sedikit memutih di bagian depan itu sedang bersidekap dada menatapnya. "Mama belum tidur?" tanyanya. "Kamu sendiri belum tidur?" Mira malah bertanya balik. Bima lalu melirik gelas minum yang ada di tangannya sekilas. "Aku haus, Ma." "Mama juga baru dari toilet, kebangun tadi karena kebelet pipis." Bima diam saja menatap gelas minumnya. "Gimana Intan? Dia sekarang udah tidur?" tanya Mira lagi. Bima yang mengerti arti pertanyaan itu langsung menatap mamanya. Dia jadi teringat sesuatu. "Ini semua pasti akal-akalannya Mama, kan?" Mira mengernyit. "Akal-akalan apa?" "Mama sengaja membuat foto itu, dan memfitnah Intan, biar aku dan Intan berantem.
Intan langsung menutup pintu begitu mereka berdua berada di kamar. Menatap punggung suaminya yang kini sedang membelakanginya. "Mas, kamu nggak percaya sama aku? Apa yang kamu pikirkan tentang foto itu memangnya? Kamu curiga apa sama aku?" tanya Intan beruntun. Bahkan dia belum sempat menaruh belanjaannya yang masih dia pegang sejak tadi. Tak mendengar jawaban dari suaminya, Intan lalu meletakkan tootbag-tootbag itu ke atas meja kamarnya. Lalu dia mendekati suaminya. Memeluk pinggang keras pria itu dari belakang dan menempelkan pipinya di sana. Mencoba membujuk suaminya. "Mas, kamu percaya, kan, sama aku?" tanyanya lembut. "Kamu harus dengerin penjelasan aku dulu. Aku punya alasan--" Ucapan Intan terhenti begitu Bima melepas tangannya yang memeluk pria itu dan berbalik badan. Intan mendongak menatap suaminya yang kini juga memandangnya dingin. "Coba jelaskan." "Iya memang benar aku dan Abraham pernah makan bareng, dan itu cuman di kantin belakang rumah sakit. Aku berterima kasi
"Dari mana aja kamu?" tanya Bima kemudian. Intan mengernyit heran mendengar pertanyaan itu. Dia bingung kenapa suaminya masih saja bertanya dia dari mana? Padahal bukankah tadi sore dia sudah memberi tahu? Dan kenapa wajah suaminya kini terlihat dingin? Tidak seperti biasanya. Intan lalu beralih menatap ibu mertuanya. Wajah ibu mertuanya juga tak kalah dingin, bahkan menatapnya tak suka. Perasaan Intan mulai tak nyaman melihat wajah-wajah itu. "Ada apa ini, Mas, Ma?" tanyanya. "Kamu bukannya jawab pertanyaan aku, malah nanya balik," sahut Bima. Intan terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab. "Aku dari Mall, Mas. Ini aku belanja baju." Intan mengangkat beberapa tootbag yang dipegangnya sejak tadi. "Aku juga beli baju buat kamu loh, Mas." "Kenapa baru pulang?" tanya Bima lagi dengan tatapan yang mengintimidasi dan penuh kecurigaan. "Aku kira kamu udah di rumah sebelum aku pulang." Intan yang mulai mengerti pun tersenyum berusaha mencairkan suasana yang terasa tegang. "Oh
"Sekarang kamu percaya kan sama Mama kalau istrimu itu sudah tega mengkhianati kamu. Sekarang kamu tahu kan seburuk apa sebenarnya perempuan yang kamu bangga-banggakan itu?" Bima menggeleng, masih tidak percaya. Meski hatinya sakit melihat foto itu, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam berharap ini semua hanya salah paham. Foto itu bisa jadi rekayasa. Atau apa pun itu yang tidak menunjukkan kejadian yang sebenarnya. "Buktinya udah ada di depan mata, Bima. Tapi kamu masih nggak percaya? Kamu masih mau sama istrimu itu? Kamu bodoh atau denial, denial untuk mengakui kalau perempuan yang selama ini kamu anggap baik tega berkhianat!" "Mama dapat foto itu dari mana, Ma?" tanya Bima kemudian. "Foto itu bisa aja nggak valid, kan? Bisa aja itu hanya fitnah." "Fitnah kamu bilang? Mama justru dapat foto itu dari orang terpercaya." "Dari siapa?" Mira lalu menurunkan tangannya, menjauhkan foto itu dari anaknya sambil berkata. "Kamu tahu? Beberapa hari belakangan ini Intan sering kete