BAGIAN 43
POV BAYU
“S-sekarang?” tanyaku dengan lidah agak berat dan dada yang kian kencang berdetak.
“Iya, sekarang. Aku boleh, kan, mampir ke rumahmu? Kamu nggak lagi sibuk, kan?” Mbak Tika memberondong dengan serentetan pertanyaan. Nadanya memaksa. Makin membuatku ilfeel saja. Sungguh, sikap perempuan ini tambah jadi saja!
“Aku agak sibuk, Mbak. Adikku, sedang kurang sehat. Setelah bertengkar dengan si gila Risti, badannya meriang. Aku sedang menyiapkan dia makan. Habis ini aku akan menyuapinya dan memijat tubuhnya.” Kubuat ragam alasan agar dia tak ke sini. Bisa gawat kalau perempuan itu nekat datang. Lia jelas pasti akan naik pitam dan bertanduk. Aku tak mau membuatnya mara
BAGIAN 44POV AUTHORMalam Penculikan II Dokter Savero menginjak pedal gasnya agak dalam. Pria 27 tahun yang baru saja dua tahun menerima sumpah jabatan sebagai dokter umum tersebut agak resah batinnya. Untuk kali pertama dia akan menginjakkan kakinya ke lantai tempat yang pernah dia sebut rumah, setelah sekian tahun dia tak pernah kunjung menginginkan kata ‘pulang’. Savero Zinio, seorang pria yang mendapatkan wajah blasteran dari pihak sang mendiang ibu, diam-diam menggigit bibir bawahnya. Dia memicingkan mata. Berusaha tetap fokus menyetir di tengah malam yang kian pekat. Savero tengah berpacu pada waktu, juga dengan adrenalinnya yang makin mencelat. Jantungnya berdebar. Pertama kalinya dia kini harus ikut campur pada masalah orang lain yang padahal tidak sama sekali diken
BAGIAN 45POV AUTHORMalam Penculikan III“Iya. Ayah di sini,” ucap Harie dengan suara yang tiba-tiba gemetar. Pria yang masih sangat macho tersebut mencengkeram kedua pundak sang anak. Coba ditepisnya rasa gengsi yang selama ini tanpa dia sadari telah menghancurkan hubungan mereka. “Masuklah. Jangan berdiri di depan pintu. Pamali,” kata Harie lagi sambil menarik tangan sang putra pertama. Savero menurut. Kakinya melangkah pelan mengikuti jejak sang ayah. Keduanya pun kini duduk di sofa besar dengan warna cokelat tua. Mereka duduk saling hadap-hadapan di bawah indahnya lampu kristal yang menggantung tepat di tengah langit-langit. “Sendirian?” tanya Harie lagi
BAGIAN 46POV BAYUMelenyapkan Mulut Sampah “Apa?! Ulangi sekali lagi!” Sebab luapan emosi yang membuncah, aku pun langsung berteriak membentak Lia. Kegeramanku sudah menyentuh ambang batasnya. Tubuhku meringsek maju. Membuat ekspresi Lia berubah menjadi ketakutan. “Ya, aku tidak mencintaimu, Mas! Aku hanya menginginkan hartamu dan harta papamu. Puas?!” Dengan suara yang bergetar, Lia berani-beraninya menjawabku. Di balik mukanya yang berubah pias, masih saja tersimpan arogansi dalam jiwa anak itu. Hati yang sudah hancur, semakin tambah lebur mendengar ucapan Lia. Kepal tinjuku yang sudah terbentuk dari tadi, kini merekah. Berganti dengan lima jari yang saling merapat, lalu mend
BAGIAN 47POV BAYU Kamar sudah rapi. Aroma terapi dengan harum rose yang kucampur lavender sudah dinyalakan. Baju pun telah kutukar dengan kaus rumah berwarna hitam serta celana jins panjang. Kupatut diri di depan cermin. Tampan. Untuk semakin menggoda Mbak Tika, sengaja kusemprotkan parfum mahal di leher serta pergelangan tangan. Sebenarnya, tanpa usah semaksimal ini pun, sudah bisa kupastikan bahwa Mbak Tika akan langsung jatuh ke pelukan. Yah, setidaknya memberikan perempuan tua itu kebahagiaanlah. Biar dia tak menyesal sebab telah datang ke rumahku. Langit senja di luar sana telah tampak saga. Aku yang duduk menunggu di sofa ruang tamu, sengaja saja membuka pintu lebar-lebar. Kutepis sesaat rasa gelisah u
BAGIAN 48POV BAYU Dan hubungan terlarang itu pun terjadi di antara aku dengan Mbak Tika. Semua kulakukan tanpa membawa serta perasaan ke dalamnya. Hambar. Malah muak mendominasi isi pikiran dan jiwa. Terpaksa. Itulah yang selama kurang lebih setengah jam kurasa. “Makasih, Sayang,” lirih Mbak Tika dengan penuh mesra kepadaku. Perempuan yang ternyata sudah tak perawan meskipun belum pernah menikah tersebut tersenyum nakal padaku. Tubuhnya yang kini polos dan hanya ditutupi dengan selembar selimut itu sibuk ingin merangkulku. Cepat kutepis rangkulan itu. Aku yang masih berbaring menghadap ke arah Mbak Tika, kini memasang mimik dingin. Kutatap dia tajam. Sekarang, giliran aku yang meminta imbalan.
BAGIAN 49POV AUTHORPENGGERUDUKKAN Berjam-jam lamanya Dul Matin dan Karim yang dikirim oleh bos besarnya, Ilham, mondar-mandir bagai setrikaan. Mereka pantang pulang sebelum mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya mengenai target yang tengah dimata-matai. Target itu tak lain merupakan anak bos besar dari bos mereka. Meski belum berkesempatan untuk sangat akrab karena perbedaan kasta yang begitu jauh, tetapi kedua sahabat sejati itu tahu betul dengan bos Anwar. Kalau permintaannya tak segera dikerjakan, bisa-bisa pinjaman utang yang dia berikan pada Ilham macet. Itu artinya, gaji serta insentif Dul dan Karim bakal kena imbas juga. Mereka tak menginginkan hal tersebut. Jadi, lapar dan penat pun siap mereka hadapi, asal keduanya bisa memberikan informasi paling akurat mengenai Bayu, si
BAGIAN 50POV AUTHOR Dul dan Karim langsung naik ke atas motor. Keduanya menatap ke arah Maisara yang kini melesat dengan sepeda motornya, hingga punggung wanita bergamis hitam itu lenyap dari pandangan mata. Kini, tatapan Dul beralih ke rumah milik Bayu. Terlihat kondisi sangat sepi di sana. Juga gelap. Lampu teras dan ruang tamu masih belum juga dinyalakan. Mereka pun kini bertanya-tanya, sebenarnya ada apa di sana? “Dul, ayo lekas telepon bos Ilham,” ucap Karim menepuk pundak kawannya. Dul yang baru saja hendak memakai helm, mendadak menghentikan aktifitasnya. Menyangkutkan kembali helm hitam bulukan itu ke atas spion motor
BAGIAN 51POV AUTHORMAYAT, DARAH, DAN JERITAN “Pak, Bu, ini pasti salah paham,” ucap Karim buru-buru sambil berjalan cepat. Tanpa dipersilakan, pria dengan tinggi hanya 158 sentimeter dan berambut depan agak botak itu naik ke atas teras Pak Wardoyo. Ketua RT sekaligus pensiunan guru itu menatap si Karim dengan mata menyelidik. Apalagi Maisara. Janda 40 tahun tersebut segera jaga jarak karena masih ketakutan akan pikirannya sendiri tentang Dul dan Karim yang dia kira penjahat. “Siapa Anda?” tanya Bu Wardoyo yang berdiri di sebelah suaminya. Bahkan, mukena putih yang dia pakai belum sempat dicopot, saking terburu-buru sebab mendengarkan ketukan pintu oleh Maisara. “Saya Kar