Share

Bab 4 Maaf? Tidak akan!

Setelah melaksanakan sholat isya', aku mengajak Zulfa ke luar kamar untuk makan malam. Sedari tadi, anakku itu sudah mengadu lapar, tapi sudah kebiasaan kami makan setelah sholat isya'.

"Bunda, Zulfa lapar," ucap putriku memegangi perutnya.

"Sabar ya, Nak. Bentar lagi isya'. Habis sholat baru kita makan." Ku elus rambut panjang Zulfa. Bukannya tak mau mengajaknya sekarang, tapi saat ini pasti Ibu dan Mas Hasan lagi makan malam, bahkan, mungkin Iren bersama mereka di sana. Daripada terjadi hal yang tidak enak, apalagi saat ini ada orang lain di rumah, lebih baik aku mengalah. Memang seperti ini juga 'kan sebelumnya.

"Yuk! Sayang, kita makan. Katanya lapar," ajakku pada Zulfa setelah melipat sejadah dan mukenah. Putriku hanya mengangguk tanpa suara.

 Aku dan Zulfa menuju meja makan setelah menutup pintu. Di meja makan sudah tidak ada siapapun, tapi jejak makan mereka masih tertinggal di sana. Kutarik kursi dan menyuruh Zulfa duduk, lalu melangkah ke wastafel, mataku melirik tumpukan piring di sana. Sedih rasanya begini setiap hari. Namun aku yakin akan ada pelangi setelah hujan.

Aku mengelap meja makan yang berantakan. Sisa sambal  berserakan, kuah sup ada di mana-mana. Dalam hati berpikir, tidak bisa kah tamu Ibu itu sekedar mengelap meja. Toh dia juga ikut mengotori.

Aku dan Zulfa makan hanya berdua. Kami tidak boleh makan bersama Ibu dan Mas Hasan, tapi tak mengapa selagi ada Zulfa bersamaku, aku tidak menginginkan apapun lagi. Jika makan berdua putriku adalah sesuatu yang romantis, lantas mengapa aku mengharapkan yang semu.

Makan sepiring berdua dengan anakku sangat menyenangkan. Romantis sekali,  satu hal yang sangat indah jika dilakukan bersama pasangan, tapi tidak denganku. Makan berdua kekasih halal hanyalah sebuah angan-angan yang tidak akan pernah terwujud. Namun aku selalu membujuk hatiku agar mau mengerti. Aku tau, Rabbku, pasti menyediakan balasan terbaik atas semua kesabaranku selama ini.

Aku dan Zulfa makan sambil bercerita. Ada saja pertanyaan ke luar dari mulut putriku itu. "Bunda, nanti Zulfa mau masuk pesantren. Biar jadi seperti Ustadzah Oki." Aku tersenyum mendengar ucapan putriku. Dia sangat mengidolakan Oki Setiana Dewi. Semua isi ceramah Ustadzah Oki dia ikuti, meski hanya lewat YouTube.

"Iya, Nak. Inshaa Allah, niat yang baik pasti dipermudah oleh Allah. Asalkan, Zulfa jangan putus berdoa." Putriku mengangguk senang.

"Zulfa juga mau jadi Dokter. Biar bisa rawat Bunda kalau sakit." Kucubit Pipi anakku gemas. 

"Pintar banget sih, Nak."

"Iya dong," jawabnya cepat.

Mila ....

 Terdengar teriakan Ibu memecah keheningan malam. Dari arah ruang tamu, Ibu memanggilku dengan suara lantang. Aku yang asyik makan sambil bercanda bersama Zulfa kaget, lalu saling pandang.

  "Bunda, Nenek kenapa teriak-teriak? Zulfa jadi takut."  Anakku ketakutan mendengar teriakan neneknya. Aku mengelus dada Zulfa, menetralkan degup jantungnya yang berpacu dengan cepat.

  "Nggak pa-pa,  Sayang.  Ayo cuci tangan,  habis tuh langsung masuk kamar dan jangan ke luar  ya." Aku menyuruh anakku masuk ke kamarnya. Jangan sampai Zulfa mendengar dan melihat kemarahan Ibu, yang sering lepas kendali.

  Zulfa menurut. Putriku, walaupun usianya baru lima tahun, tapi ia tumbuh jadi anak yang penurut dan mandiri.  Menuju wastafel mencuci tangan Zulfa segera berlalu masuk ke kamarnya.

  Milaa ....

Sekali lagi Ibu mertua berteriak. Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Segera kucuci tangan dan bergegas menghampiri asal suara 

  "Iya, Bu." Setengah berlari aku menuju ruang tamu. Kucoba mengatur nafas yang masig ngos-ngosan. Baru selesai makan sudah di suruh  lari maraton.

 Mataku liar mengitari sofa ruang tamu. Mas Hasan dan dua wanita beda usia itu sudah duduk di sana. Ketiga orang itu sudah menungguku dengan ekspresi yang berbeda. Ibu matanya melotot melihat ke arahku sambil memeluk kedua tangannya di depan dada. Mas Hasan dengan ekspresi yang entahlah, sukar untuk di tebak. Sementara Iren, wanita itu menangis banjir. Duduk di sofa dengan koper di samping.

Kutatap mereka bergantian. Sembari menunggu Ibu bicara, aku membentengi hatiku dengan doa, agar bisa bersabar dengan cacian yang bakalan kudengar. 

 "Apa yang sudah kamu lakukan pada Iren!  Sampai-sampai  dia mau pergi, hah!" semprot Ibu tanpa ba bi bu. Mataku bergulir pada sosok wanita yang sedang menangis di samping Ibu itu. Alisku bertaut, memikirkan, apa yang wanita ini katakan hingga membuat Ibu murka.

  "Aku nggak melakukan apa-apa, Bu," ucapku bingung. 

  "Mbak Mila ngusir aku Tante. Padahal aku hanya bertanya, kenapa pakaianku tidak dicuci sekalian. Tadi pagi aku lihat Mbak Mila nyuci, tapi pakaianku dipisah," ucap Iren cepat seakan ingin berlomba dengan ucapanku. "Kalau memang nggak mau nyuci, Mbak Mila 'kan bisa ngomong baik-baik. Kalau Mbak merasa keberatan aku di sini, aku bisa pergi kok, Mbak," sambungnya lagi. Aku melongok mendengar setiap kata yang dia ucapkan. Pintar sekali dia bersilat lidah.

  Aku terpaku. Astaga pintar sekali dia memfitnahku. Rasanya ingin berlari ke arahnya, lalu merobek mulut busuknya itu. Kutatap Iren yang masih menangis sesegukan. 

  "Apa hakmu mengusir Iren, hah?" ucap Ibu mertua lantang. Kulempar tatapan pada  Mas Hasan. Pria itu menatapku dengan tatapan mematikan. Terpancar kemarahan di sorot matanya. Entah apa yang di katakan Iren, sehingga membuat Ibu dan Mas Hasan marah besar seperti ini.

  "Bu, Mila nggak pernah mengusir Iren," ucapku membela diri. Aku tidak bersalah di sini. Wanita yang mengaku tamu mertuaku itu sudah memfitnahku. 

  "Tadi kata Mbak Mila. Aku hanya numpang di sini, jadi harus tau diri," ucap Iren masih dengan air mata buayanya. Wanita itu lagi-lagi menimpali ucapanku. Di setiap kata-katanya, terselip hasutan.

  Ibu menatapku tajam. Nenek dari putriku itu berdiri dari duduknya. "Kamu itu hanya perempuan yang dinikahi oleh Hasan sebagai penebus hutang. Jadi jangan berlagak jadi Nyonya di rumah ini," ucap Ibu mertua lagi menusuk langsung ke jantungku. Kulirik Iren tersenyum mengejek.

  Ya Allah hatiku sakit sekali, tapi sebisa mungkin air mata ini ku tahan agar tidak jatuh.

   Mataku mengunci sosok Iren yang tersenyum penuh kemenangan. Sabarlah wahai hatiku, walau kau sudah hancur berkeping-keping, tapi yakinlah bahwa kau kuat.

"Aku tidak pernah mengusir Iren dari sini!" ucapku dengan suara tegas. "Jika memang aku hanya penebus hutang, maka aku rasa enam tahun pernikahan, sudah cukup untuk melunasi semua hutang orang tuaku," sambungku lagi. Sontak Mas Hasan dan Ibu menatapku.

"Apa maksudmu?" teriak Ibu.

"Jika memang aku tidak berarti di sini, suruh anakmu melepaskanku." Ibu terperangah mendengar kata demi kata yang keluar dari bibirku. Selama ini aku selalu diam, tak menjawab semua perkataannya. Itu karena aku menyayangi beliua. Namun, jika harga diriku di injak di depan orang lain, maka aku harus mempertahankannya. Apalagi, aku tau Iren sengaja ingin menjatuhkan ku.

"Beraninya kau, Mila!" bentak Ibu. Aku menarik nafas lalu menghelanya. Kalau memang sudah tidak mau, mengapa tidak membiarkan pergi. Bisa saja aku pergi dari sini bersama putriku. Namun, aku tidak mau menanggung penyesalan, karena pernikahan ini adalah titipan Ayah, tapi jika Mas Hasan yang melepasnya, aku akan pergi.

"Maaf, Bu. Dengan Ibu menghadirkan tamu di rumah ini, itu sama saja ibu menciptakan neraka di dalamnya. Neraka yang siap membakar seisi rumah. Jadi sebelum semuanya hancur, suruh anak lelakimu menceraikanku!" 

Aku tau, tidak baik mengucap kata cerai di saat sedang marah, tapi ini semua lantaran Mas Hasan tidak bisa menempatkan dirinya sebagai suami. Menghadirkan Iren diantara kami, adalah neraka. Meskipun sebelumnya rumah ini sudah seperti neraka bagiku, tapi kehadiran Iren adalah neraka baru.

"Berapa kali Ibu bilang, Mila. Iren di sini hanya sebentar. Dia lagi dapat musibah." Ibu berucap dengan penuh penekanan. Tidak habis pikir, bagaimana cara Ibu berpikir. Mau sebentar atau tidak, tetap saja tidak bisa, Ibu membiarkan dua orang dewasa yang bukan muhrim tinggal dalam satu rumah.  

"Terserah Ibu, toh ini rumah Ibu. Mila hanya penebus hutang di sini. Bukan siapa-siapa–"

"Baguslah jika kamu tau diri. Jadi jangan sok-sokan di sini. Apalagi, dengan lancang mengusir tamu saya," ucap ibu memotong ucapanku. 

Kutarik nafas panjang, meraup sebanyak-banyaknya udara. Kulirik Mas Hasan yang masih setia diam. Seharusnya, pria itu membela harga diriku sebagai istrinya, tapi nampaknya itu hanya tinggal harapan. Laki-laki yang telah menghalalkanku itu, sedikitpun tak berkutik dengan ucapan Ibunya. 

"Sekarang minta maaf sama Iren!" Aku terperangah mendengar permintaan Ibu. Apa tidak salah, aku di suruh minta maaf. Kulihat Iren mengangkat kepalanya dengan senyum kemenangan. Emosi yang sedari tadi kutahan, rasanya naik sampai ke ubun-ubun.

Ku ucap istighfar berulangkali. Jangan sampai setan menguasai diri. Sungguh Iren, bagaikan setan jelmaan manusia, yang selalu menjadi penyebab hancurnya sebuah rumah tangga.

Aku tersenyum pilu. Kutatap lekat kedua mata Ayah dari putriku itu. Pria itu hanya menunjukkan sikap datar dan cuek, bahkan saat harga diri ini benar-benar di lecehkan, laki-laki itu hanya diam. Aku mentertawakan diri dalam hati, berharap pada yang mustahil!

"Kenapa aku harus minta maaf?" tanyaku menatap Mas Hasan, lalu beralih menatap Iren.

"Karena hanya itu yang bisa mencegah Iren pergi." Hatiku bagai di perasi jeruk nipis. Perih sekali!

"Maaf, Bu. Mila nggak pernah mengusirnya, jadi buat apa minta maaf untuk menahannya di sini. Jika memang mau pergi, silahkan pergi, nggak usah pake drama!" ucapku tegas, yang membuat semua mata menatap tajam. Apalagi Iren, wanita itu melebarkan kelopak matanya, hingga biji matanya seakan ingin melompat keluar.

 Kubalikkan badan dan menyeret langkah kaki menuju kamar Zulfa. Terserah, apa yang akan terjadi, tapi yang pasti, aku tidak akan pernah meminta maaf pada Iren. 

"Mila ...." teriak Ibu lantang. "Mila, minta maaf sama Iren," ucapnya lagi.  Aku tidak menghiraukan teriakannya, kakiku terus saja melangkah.

Saat sudah di pintu pembatas antara ruang tamu dan ruang nonton, aku menoleh ke arah ruang tamu. Mataku  menangkap pemandangan menyakitkan. Di depan sana, Ibu mertuaku sibuk untuk menenangkan dan mencegah Iren pergi. Miris sekali!

Sebelum menutup pintu, air mataku tumpah melihat Iren mengangkat tubuhnya dan mendekat pada Mas Hasan. Wanita itu bergelayut di lengan suamiku dengan bibir. komat–kamit. Entah apa yang di ucapkan olehnya. Aku tak bisa mendengar, dan tak mau dengar juga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status