Setelah melaksanakan sholat isya', aku mengajak Zulfa ke luar kamar untuk makan malam. Sedari tadi, anakku itu sudah mengadu lapar, tapi sudah kebiasaan kami makan setelah sholat isya'.
"Bunda, Zulfa lapar," ucap putriku memegangi perutnya.
"Sabar ya, Nak. Bentar lagi isya'. Habis sholat baru kita makan." Ku elus rambut panjang Zulfa. Bukannya tak mau mengajaknya sekarang, tapi saat ini pasti Ibu dan Mas Hasan lagi makan malam, bahkan, mungkin Iren bersama mereka di sana. Daripada terjadi hal yang tidak enak, apalagi saat ini ada orang lain di rumah, lebih baik aku mengalah. Memang seperti ini juga 'kan sebelumnya.
"Yuk! Sayang, kita makan. Katanya lapar," ajakku pada Zulfa setelah melipat sejadah dan mukenah. Putriku hanya mengangguk tanpa suara.
Aku dan Zulfa menuju meja makan setelah menutup pintu. Di meja makan sudah tidak ada siapapun, tapi jejak makan mereka masih tertinggal di sana. Kutarik kursi dan menyuruh Zulfa duduk, lalu melangkah ke wastafel, mataku melirik tumpukan piring di sana. Sedih rasanya begini setiap hari. Namun aku yakin akan ada pelangi setelah hujan.
Aku mengelap meja makan yang berantakan. Sisa sambal berserakan, kuah sup ada di mana-mana. Dalam hati berpikir, tidak bisa kah tamu Ibu itu sekedar mengelap meja. Toh dia juga ikut mengotori.
Aku dan Zulfa makan hanya berdua. Kami tidak boleh makan bersama Ibu dan Mas Hasan, tapi tak mengapa selagi ada Zulfa bersamaku, aku tidak menginginkan apapun lagi. Jika makan berdua putriku adalah sesuatu yang romantis, lantas mengapa aku mengharapkan yang semu.
Makan sepiring berdua dengan anakku sangat menyenangkan. Romantis sekali, satu hal yang sangat indah jika dilakukan bersama pasangan, tapi tidak denganku. Makan berdua kekasih halal hanyalah sebuah angan-angan yang tidak akan pernah terwujud. Namun aku selalu membujuk hatiku agar mau mengerti. Aku tau, Rabbku, pasti menyediakan balasan terbaik atas semua kesabaranku selama ini.
Aku dan Zulfa makan sambil bercerita. Ada saja pertanyaan ke luar dari mulut putriku itu. "Bunda, nanti Zulfa mau masuk pesantren. Biar jadi seperti Ustadzah Oki." Aku tersenyum mendengar ucapan putriku. Dia sangat mengidolakan Oki Setiana Dewi. Semua isi ceramah Ustadzah Oki dia ikuti, meski hanya lewat YouTube.
"Iya, Nak. Inshaa Allah, niat yang baik pasti dipermudah oleh Allah. Asalkan, Zulfa jangan putus berdoa." Putriku mengangguk senang.
"Zulfa juga mau jadi Dokter. Biar bisa rawat Bunda kalau sakit." Kucubit Pipi anakku gemas.
"Pintar banget sih, Nak."
"Iya dong," jawabnya cepat.
Mila ....
Terdengar teriakan Ibu memecah keheningan malam. Dari arah ruang tamu, Ibu memanggilku dengan suara lantang. Aku yang asyik makan sambil bercanda bersama Zulfa kaget, lalu saling pandang.
"Bunda, Nenek kenapa teriak-teriak? Zulfa jadi takut." Anakku ketakutan mendengar teriakan neneknya. Aku mengelus dada Zulfa, menetralkan degup jantungnya yang berpacu dengan cepat.
"Nggak pa-pa, Sayang. Ayo cuci tangan, habis tuh langsung masuk kamar dan jangan ke luar ya." Aku menyuruh anakku masuk ke kamarnya. Jangan sampai Zulfa mendengar dan melihat kemarahan Ibu, yang sering lepas kendali.
Zulfa menurut. Putriku, walaupun usianya baru lima tahun, tapi ia tumbuh jadi anak yang penurut dan mandiri. Menuju wastafel mencuci tangan Zulfa segera berlalu masuk ke kamarnya.
Milaa ....
Sekali lagi Ibu mertua berteriak. Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Segera kucuci tangan dan bergegas menghampiri asal suara
"Iya, Bu." Setengah berlari aku menuju ruang tamu. Kucoba mengatur nafas yang masig ngos-ngosan. Baru selesai makan sudah di suruh lari maraton.
Mataku liar mengitari sofa ruang tamu. Mas Hasan dan dua wanita beda usia itu sudah duduk di sana. Ketiga orang itu sudah menungguku dengan ekspresi yang berbeda. Ibu matanya melotot melihat ke arahku sambil memeluk kedua tangannya di depan dada. Mas Hasan dengan ekspresi yang entahlah, sukar untuk di tebak. Sementara Iren, wanita itu menangis banjir. Duduk di sofa dengan koper di samping.
Kutatap mereka bergantian. Sembari menunggu Ibu bicara, aku membentengi hatiku dengan doa, agar bisa bersabar dengan cacian yang bakalan kudengar.
"Apa yang sudah kamu lakukan pada Iren! Sampai-sampai dia mau pergi, hah!" semprot Ibu tanpa ba bi bu. Mataku bergulir pada sosok wanita yang sedang menangis di samping Ibu itu. Alisku bertaut, memikirkan, apa yang wanita ini katakan hingga membuat Ibu murka.
"Aku nggak melakukan apa-apa, Bu," ucapku bingung.
"Mbak Mila ngusir aku Tante. Padahal aku hanya bertanya, kenapa pakaianku tidak dicuci sekalian. Tadi pagi aku lihat Mbak Mila nyuci, tapi pakaianku dipisah," ucap Iren cepat seakan ingin berlomba dengan ucapanku. "Kalau memang nggak mau nyuci, Mbak Mila 'kan bisa ngomong baik-baik. Kalau Mbak merasa keberatan aku di sini, aku bisa pergi kok, Mbak," sambungnya lagi. Aku melongok mendengar setiap kata yang dia ucapkan. Pintar sekali dia bersilat lidah.
Aku terpaku. Astaga pintar sekali dia memfitnahku. Rasanya ingin berlari ke arahnya, lalu merobek mulut busuknya itu. Kutatap Iren yang masih menangis sesegukan.
"Apa hakmu mengusir Iren, hah?" ucap Ibu mertua lantang. Kulempar tatapan pada Mas Hasan. Pria itu menatapku dengan tatapan mematikan. Terpancar kemarahan di sorot matanya. Entah apa yang di katakan Iren, sehingga membuat Ibu dan Mas Hasan marah besar seperti ini.
"Bu, Mila nggak pernah mengusir Iren," ucapku membela diri. Aku tidak bersalah di sini. Wanita yang mengaku tamu mertuaku itu sudah memfitnahku.
"Tadi kata Mbak Mila. Aku hanya numpang di sini, jadi harus tau diri," ucap Iren masih dengan air mata buayanya. Wanita itu lagi-lagi menimpali ucapanku. Di setiap kata-katanya, terselip hasutan.
Ibu menatapku tajam. Nenek dari putriku itu berdiri dari duduknya. "Kamu itu hanya perempuan yang dinikahi oleh Hasan sebagai penebus hutang. Jadi jangan berlagak jadi Nyonya di rumah ini," ucap Ibu mertua lagi menusuk langsung ke jantungku. Kulirik Iren tersenyum mengejek.
Ya Allah hatiku sakit sekali, tapi sebisa mungkin air mata ini ku tahan agar tidak jatuh.
Mataku mengunci sosok Iren yang tersenyum penuh kemenangan. Sabarlah wahai hatiku, walau kau sudah hancur berkeping-keping, tapi yakinlah bahwa kau kuat.
"Aku tidak pernah mengusir Iren dari sini!" ucapku dengan suara tegas. "Jika memang aku hanya penebus hutang, maka aku rasa enam tahun pernikahan, sudah cukup untuk melunasi semua hutang orang tuaku," sambungku lagi. Sontak Mas Hasan dan Ibu menatapku.
"Apa maksudmu?" teriak Ibu.
"Jika memang aku tidak berarti di sini, suruh anakmu melepaskanku." Ibu terperangah mendengar kata demi kata yang keluar dari bibirku. Selama ini aku selalu diam, tak menjawab semua perkataannya. Itu karena aku menyayangi beliua. Namun, jika harga diriku di injak di depan orang lain, maka aku harus mempertahankannya. Apalagi, aku tau Iren sengaja ingin menjatuhkan ku.
"Beraninya kau, Mila!" bentak Ibu. Aku menarik nafas lalu menghelanya. Kalau memang sudah tidak mau, mengapa tidak membiarkan pergi. Bisa saja aku pergi dari sini bersama putriku. Namun, aku tidak mau menanggung penyesalan, karena pernikahan ini adalah titipan Ayah, tapi jika Mas Hasan yang melepasnya, aku akan pergi.
"Maaf, Bu. Dengan Ibu menghadirkan tamu di rumah ini, itu sama saja ibu menciptakan neraka di dalamnya. Neraka yang siap membakar seisi rumah. Jadi sebelum semuanya hancur, suruh anak lelakimu menceraikanku!"
Aku tau, tidak baik mengucap kata cerai di saat sedang marah, tapi ini semua lantaran Mas Hasan tidak bisa menempatkan dirinya sebagai suami. Menghadirkan Iren diantara kami, adalah neraka. Meskipun sebelumnya rumah ini sudah seperti neraka bagiku, tapi kehadiran Iren adalah neraka baru.
"Berapa kali Ibu bilang, Mila. Iren di sini hanya sebentar. Dia lagi dapat musibah." Ibu berucap dengan penuh penekanan. Tidak habis pikir, bagaimana cara Ibu berpikir. Mau sebentar atau tidak, tetap saja tidak bisa, Ibu membiarkan dua orang dewasa yang bukan muhrim tinggal dalam satu rumah.
"Terserah Ibu, toh ini rumah Ibu. Mila hanya penebus hutang di sini. Bukan siapa-siapa–"
"Baguslah jika kamu tau diri. Jadi jangan sok-sokan di sini. Apalagi, dengan lancang mengusir tamu saya," ucap ibu memotong ucapanku.
Kutarik nafas panjang, meraup sebanyak-banyaknya udara. Kulirik Mas Hasan yang masih setia diam. Seharusnya, pria itu membela harga diriku sebagai istrinya, tapi nampaknya itu hanya tinggal harapan. Laki-laki yang telah menghalalkanku itu, sedikitpun tak berkutik dengan ucapan Ibunya.
"Sekarang minta maaf sama Iren!" Aku terperangah mendengar permintaan Ibu. Apa tidak salah, aku di suruh minta maaf. Kulihat Iren mengangkat kepalanya dengan senyum kemenangan. Emosi yang sedari tadi kutahan, rasanya naik sampai ke ubun-ubun.
Ku ucap istighfar berulangkali. Jangan sampai setan menguasai diri. Sungguh Iren, bagaikan setan jelmaan manusia, yang selalu menjadi penyebab hancurnya sebuah rumah tangga.
Aku tersenyum pilu. Kutatap lekat kedua mata Ayah dari putriku itu. Pria itu hanya menunjukkan sikap datar dan cuek, bahkan saat harga diri ini benar-benar di lecehkan, laki-laki itu hanya diam. Aku mentertawakan diri dalam hati, berharap pada yang mustahil!
"Kenapa aku harus minta maaf?" tanyaku menatap Mas Hasan, lalu beralih menatap Iren.
"Karena hanya itu yang bisa mencegah Iren pergi." Hatiku bagai di perasi jeruk nipis. Perih sekali!
"Maaf, Bu. Mila nggak pernah mengusirnya, jadi buat apa minta maaf untuk menahannya di sini. Jika memang mau pergi, silahkan pergi, nggak usah pake drama!" ucapku tegas, yang membuat semua mata menatap tajam. Apalagi Iren, wanita itu melebarkan kelopak matanya, hingga biji matanya seakan ingin melompat keluar.
Kubalikkan badan dan menyeret langkah kaki menuju kamar Zulfa. Terserah, apa yang akan terjadi, tapi yang pasti, aku tidak akan pernah meminta maaf pada Iren.
"Mila ...." teriak Ibu lantang. "Mila, minta maaf sama Iren," ucapnya lagi. Aku tidak menghiraukan teriakannya, kakiku terus saja melangkah.
Saat sudah di pintu pembatas antara ruang tamu dan ruang nonton, aku menoleh ke arah ruang tamu. Mataku menangkap pemandangan menyakitkan. Di depan sana, Ibu mertuaku sibuk untuk menenangkan dan mencegah Iren pergi. Miris sekali!
Sebelum menutup pintu, air mataku tumpah melihat Iren mengangkat tubuhnya dan mendekat pada Mas Hasan. Wanita itu bergelayut di lengan suamiku dengan bibir. komat–kamit. Entah apa yang di ucapkan olehnya. Aku tak bisa mendengar, dan tak mau dengar juga.
Setelah kejadian malam itu, sikap Iren semakin menjadi-jadi. Kerana mendapat pembelaan dari Ibu, wanita itu merasa seperti di atas angin. Bersikap seenaknya saja, tak seperti tamu, tapi pemilik rumah. Sebenarnya, aku sudah muak dengan semua tingkahnya, tapi masih kutahan. Wanita itu pasti dibela Ibu, jika kami berselisih. Jadi menghindar adalah opsi terbaik saat ini. Bak kata pepatah, mengalah untuk menang. Jam empat subuh aku terbangun dari tidur. Melirik ke samping, hatiku pilu mendapati hanya tidur sendiri di sini. Namun itu sudah biasa bagiku. Bukan sekali ini saja Mas Hasan tidak tidur di sini. Laki-laki itu bahkan memiliki kamar pribadinya sendiri. Hanya sesekali saja, jika dia mau berhubungan barulah akan tidur di kamar ini bersamaku. Sesuka hati, jika ingin maka pria itu akan datang, jika tidak, ya ... beginilah. Baju dan barang pribadinya juga hanya sedikit yang di simpan di kamar ini.Namun sejak kedatangan Iren, Mas Hasan tidak lagi pernah masuk ke kamar ini. Dia bah
"Ngapain kalian di sini! Nguping?" Aku tersentak mendengar bentakan Ibu. Kelamaan bengong membuatku tak menyadari jika pintu sudah terbuka lebar."Ng–nggak kok, Bu. Mila sama Zulfa mau pamit ke toko," ucapku tergagap. Degup jantung belum juga reda akibat kaget karena bentakan Ibu."Ya sudah, sana pergi." Ibu mengibaskan tangannya. "Zulfa pergi dulu ya, Nek," pamit Zulfa mengulurkan tangannya. Namun Ibu hanya menatap tangan kecil putriku tanpa berniat menyambut. Kutelan cairan dalam mulut. Meski seringkali mendapat perlakuan seperti ini, tapi anakku tak pernah berhenti untuk mencoba. Berharap, suatu saat nanti, hati neneknya akan luluh."Hem." Ibu hanya berdeham, tanpa menatap putriku."Kasian kamu, Nak," batinku berteriak. Sakit! Perih! Ya Allah anakku.Kepalaku terangkat menatap Ibu dan juga Iren. Jika dilihat dari pakaian mereka yang sudah rapi, sepertinya kedua wanita beda usia itu mau keluar. Keduanya nampak serasi, seperti Ibu dan anak. Hatiku lagi-lagi berandai-andai. Seandain
Tanpa canggung Iren menggandeng mesra tangan Mas Hasan. Sepertinya sudah biasa mereka melakukan itu, terlihat dari cara mereka melakukannya. "Kok, ada Nenek sama Tante Iren juga, Bun?" tanya Zulfa. Putriku itu menatap Ayahnya dari kejauhan dengan tatapan yang ... entahlah. Mungkin itu adalah tatapan iri, atau bahkan tatapan kecewa. Selama ini, gadis kecilku itu tak pernah mendapatkan haknya. Jalan bersama Ayahnya, seperti yang sedang ia saksikan di depan mata sekarang. Aku mengambil ponsel tanpa menjawab pertanyaan Zulfa. Tangan ini lincah memainkan benda persegi empat di tangan. Memotret, siapa tau bisa berguna suatu saat nanti. "Ayo bunda." Zulfa menarik tanganku, mendekat pada Mas Hasan. Tubuh serasa melayang mendapat perlakuan spontan dari anakku."Ayah," panggil Zulfa setelah berada tepat di belakang Ayahnya. Mas Hasan kaget setelah membalikkan badannya. Pria itu langsung melepas gandengan tangan Iren. Wajahnya menegang ketika mata kami saling bertemu. Kulihat Iren cembe
Hatiku hancur mendengar suara pria yang bersama Iren di dalam sana. Sungguh tidak menyangka, laki-laki yang mengucap janji di depan Allah dan Ayahku itu tidak punya harga diri sama sekali. Pria beristri masuk ke kamar tamu ibunya, apakah masih punya harga diri?Aku tidak menyangka Mas Hasan berani berbuat seperti ini. Berduan dengan wanita yang tidak halal baginya. Pria dna wanita dewasa berduan di dalam ruang tertutup, banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Astagfirullah! Aku mengusap dadaku yang terasa sesek. Apa yang Mas Hasan lakukan di kamar Iren? Apa tadi, dia panggil Iren? Sayang? Siapa sebenarnya Iren ini? Bermacam pertanyaan menyinggahi pikiranku. Terbesit pikiran kotor, jangan-jangan di dalam sana mereka melakukan? Astagfirullah, aku beristigfar berulangkali untuk menenangkan hati."Hehehe ... Mas geli. Kamu ini, aku mau terkencing. Lepas!" Kutarik nafas panjang lalu menghembusnya perlahan. Mengaturnya emosi agar akal tetap waras. Mengumpulkan kesadaran agar tidak bertidak
Tak terasa air mata jatuh tanpa bisa di ku cegah lagi. Aku bisa terlihat kuat dan bersikap biasa saja di hadapan Ibu dan Mas Hasan, tapi sebenarnya aku sangat rapuh dan terpuruk. Hampir enam tahun menikah, walaupun pernikahan tanpa di dasari cinta, tapi bohong jika aku bilang tidak mencintai suamiku. Tanpa bisa di cegah, cinta itu tumbuh dan semakin mekar menguasai hati semenjak kehadiran Zulfa. Namun tidak dengan Mas Hasan. Kehadiran putriku pun tidak dapat mencairkan bongkahan es yang membekukan hati pria yang menghalalkanku di depan Ayah dan juga Tuhan itu. Dan sekarang, dia menambah daftar perbuatannya yang membuatku sakit dengan menghadirkan Iren di antara kami. Meskipun aku tidak tahu siapa Iren, dan apa hubungan mereka, tapi panggilan Sayangnya tadi, bisa kupastikan ada hubungan manis antara meraka berdua. "Aku bisa terima dengan semua perlakuanmu selama ini, Mas. Aku mohon jangan berkhianat. Karena, aku tidak bisa menerimanya. Aku bisa memaafkan apapun kecuali pengkhiana
Pikiran berkelana pada kejadian tadi siang di mall, dan percakapan antara Iren dan Mas Hasan. Apa maksud Iren berterus terang padaku. Apa sebenarnya yang terjadi pada mereka berdua. Sejak kapan mereka saling mengenal, kenapa terlihat begitu akrab sekali."Nanti dulu, apa seharian ini Mas Hasan tidak ke kantor." Aku mengingat sesuatu. Tidak biasanya pria pulang awal sebelum jam kerja berakhir. "Apa seharian ini Mas Hasan di rumah," batinku. Kugelengkan kepala mengusir rasa curiga, tapi rasa itu tetap memaksa masuk.Kejadian sewaktu aku melihat Mas Hasan keluar dari kamar Iren, dan kejadian di mall tadi, mengganggu pikiran. Seperti film berputar silih berganti di kelopak mata. Aku butuh penjelasan, ingin bertanya tapi takut malah akan memicu pertengkaran. Selain hanya curiga, aku juga belum punya bukti yang kuat tentang apa hubungan mereka. Bisa-bisa nanti malah kesalahan berbalik menyerangku. Mas Hasan bisa saja berkelit, dengan alasan di suruh Ibu. Apalagi sikap Ibu yang terlalu
Mecoba TegarAir mata tak lagi bisa kutahan. Rasa sakit yang Mas Hasan tancapkan di hati ini, menjalar ke seluruh anggota tubuh, hingga air mata terjun bebas berlomba keluar dari tempurungnya. Suami yang selama ini kucintai dan ku pertahankan dengan segenap jiwa, meskipun dia selalu dingin dan tak menganggapku ada. Kini laki-laki itu telah mematahkan hatiku menjadi dua. Menyakitiku tanpa ampun luar dan dalam. Walaupun tak berdarah tapi sakitnya luar biasa."Lantas ... kenapa kau tidak menceraikanku, Mas? Kenapa tidak melepaskanku jika memang aku bukanlah pemilik hatimu." Ku hapus kasar air mata. Meski hatiku hancur, tapi aku harus kuat. Aku hanya sendiri di dunia ini, jika aku tidak kuat, maka mereka akan semena-mena.Mas Hasan menatapku penuh amarah. Ke balas tatapannya dengan raut menantang. "Ceraikan! Ceraikan aku ... maka aku tidak akan butuh penjelasan darimu, dan aku tidak akan mencampuri urusanmu." Dia menyentak nafasnya kasar. "Belum saat," ucapnya datar, lalu membalikkan bad
Gagas kudorong daun pintu setelah memutar gagang. Setelah pintu kamar terbuka, kulihat Zulfa sedang duduk lesehan beralaskan karpet bulu memeluk boneka hello kittynya. Katanya itu boneka kesayangan. Ku kunci pintu untuk berjaga-jaga, jika nanti ada yang masuk. Meskipun aku tidak yakin ada yang ingin masuk ke sini. "Sayang, lagi apa?" tanyaku mendekat. "Lagi main sama Ketty, Bunda." Zulfa mengangkat kepalanya. Putriku itu mengelus kepala bonekanya. "Andai Ufa jadi Ketty, pasti enak. Pasti banyak yang sayang." Hatiku terenyuh mendengar kalimat terakhirnya. "Makan dulu, Nak. Ufa 'kan belum makan malam." Aku berjongkok, lalu melabuhkan tubuh di atas karpet, mengalihkan pikirannya, ikut duduk di sebelah anakku. Ia menganggukkan kepalanya pelan."Bunda sayang kok sama Zulfa. Bunda akan menutup semua ruang kosong di hati Zulfa dengan cinta dan kasih Bunda. Jadi, Zulfa nggak usah takut." Ku suap makanan, ke mulut anakku dengan perasaan hancur. Ibu mana yang tidak hancur melihat put