Share

Bab 3 Aku Istri Sah!

Berada di toko adalah dunia menyenangkan bagiku. Bermain dengan adonan, adalah sesuatu yang sangat ku gemari. Berawal dari rasa suka, hingga akhirnya terciptalah toko ini. Alhamdulillah. 

Menciptakan bermacam-macam kue dan roti tidak hanya butuh keahlian, tapi kita harus mencintainya dulu, baru bisa memberikan hasil yang sempurna. Bagiku membuat kue atau roti bukan hanya profesi tetapi juga sebuah hobi.

"Bu, ini bisa di oven sekarang? tanya Ningsi. Kuamati roti sobek yang berada di dalam pengembang. 

"Kayaknya sudah bisa, Ning. Sudah kembang itu," balasku seraya tangan menari bersama adonan. 

Hari ini kami hurus berkerja ektra, karena banyak pesanan untuk besok. Berkerja dalam canda sungguh membuat waktu cepat berputar, hingga tak terasa hari sudah menjelang sore.

  Kulirik jam yang tergantung di dinding. Sudah jam empat sore, sudah waktunya aku dan Zulfa pulang. Karena jika terlambat, pasti Ibu akan mengomel panjang. Untuk saat ini, aku tidak mau membuat Ibu marah, karena wanita yang melahirkan suamiku itu pasti akan melakukannya di depan tamunya. Bukan takut atau apa, tapi aku hanya ingin menjaga hatiku.

 Bersiap hendak pulang,  kuambil gawai di dalam tas lalu memesan ojek online. 

Setengah lima sore aku sampai di rumah. Turun dari ojek lalu membayar ongkos.  Kubuka pagar dengan satu tangan,  karena tangan yang lainnya sedang menggandeng tangan mungil Zulfa.

  "Assalamu'alaikum." salamku seraya memutar gagang pintu. Namun sepi, tidak ada sahutan. Entah kemana dua wanita berbeda generasi itu. 

Tidak mendengar  jawaban, pelan tangan ini mendorong daun pintu yang ternyata tidak dikunci. Aku berjongkok membuka sepatu  Zulfa, meletakan di rak sepatu samping pintu, lalu membuka sepatuku dan meletakkannya di samping sepatu Zulfa.

  "Ayo masuk, Sayang. Mandi habis itu istirahat ya." Aku sengaja selalu mengarahkan putri, walaupun tetap masih aku yang melakukannya. Karena nanti di saat Zulfa sudah mengerti, dia sudah tau dan bisa melakukannya sendiri.

Setelah membersihkan tubuh Zulfa, ku tinggalkan putriku itu bermain dengan bonekanya, dan melangkah ke arah pintu. Aku ingin ke kamar untuk  membersihkan diri sendiri. Capek seharian bertempur dengan tepung dan teman-temannya, untuk pesanan besok. Mungkin dengan di guyur air lelah akan sedikit berkurang.

Pelan kututup pintu kamar putriku, lalu menyeret langkah pelan menuju kamar. Saat melewati ruang keluarga, aku melihat pemandangan yang sangat menyesakkan dada. Entah sejak kapan tiga orang itu berada di sana. Di depan mataku, suami dan mertua sedang duduk bercengkrama dengan Iren. Sejenak tatapanku bertemu dengan mata Mas Hasan, hingga pria yang masih memakai baju kerja itu membuang pandangannya ke lantai.

Lama aku memandangi mereka yang diam tanpa kata. Entahlah, kenapa mendadak ketiga manusia itu bungkam. Mungkin tidak mau jika aku mendengar obrolan mereka. Hanya Ibu yang sesekali tersenyum pada tamunya, seraya mengelus lembut tangan wanita itu.

"Mas, makasih ya udah belikan pesanan aku. Aku tuh memang dari kemarin pengen makan ini. Apalagi, seharian ini perutku sakit sekali," ucap Iren manja, yang ditanggapi anggukan kecil oleh Mas Hasan. Wanita itu melirikku sinis. Wajahnya terlihat pucat. Sepertinya virus cinta dalam susu, berkerja dengan baik. Mungkin seharian ini Iren, merasakan sensasinya. Sesaat hatiku tertawa jahat.

Kupandangi kantong plastik transparan di tangan Iren. Entah apa isinya, aku tak tahu tapi yang jelas membuat hatiku bagai di cubit. Bagaimana bisa, laki-laki yang masih sah bergelar suamiku itu, membelikan sesuatu pada Iren saat pulang kerja, sementara padaku dan Zulfa, selama ini  tak pernah sekalipun pria itu membawakan oleh-oleh sepulang kerja. Bukan iri, tapi memang seharusnya, aku dan Zulfa lah yang lebih berhak.

Untuk menjaga hatiku, kulanjutkan kembali langkah menuju kamar. Biarlah, apa yang ingin mereka lakukan. Terserah! Selama tidak menyalahi agama, dan Mas Hasan tidak melanggar batasannya, aku mencoba bersikap acuh. 

"Lakukanlah apa yang kau inginkan, Mas! Aku akan mencoba bertahan semampuku. Namun jika kau berbuat di luar batas, maka aku akan pergi dan tidak akan pernah kembali," ucap hati kecilku seiring langkah kaki.

  Aku masuk ke kamarku lalu menutup dan mengunci pintu. Setelah meletakkan tas di atas meja rias, aku masuk ke kamar mandi menguyur seluruh tubuh dengan air, agar lelah badan dan pikir terefresh. 

Keluar kamar setelah mandi dan berganti pakaian, ku ayunkan langkah menuju dapur untuk memasak. Ini adalah mutlak tugasku setiap hari. Meskipun capek seharian di toko, tapi aku wajib untuk memasak makan malam seisi rumah. Jika aku absen sekali saja, maka Ibu akan mengomel panjang dengan cacian.

Untuk menu makan malam, aku membaut sup bakso dan udang goreng tepung, permintaan putriku. Sementara untuk Ibu dan Mas Hasan, aku akan memasak ikan nila goreng, tahu dan tempa plus sambal terasi. Karena di kulkas memang hanya ada ikan, tahu, dan tempe, sementara daging beku, prosesnya lama, jadi hanya itu yang bisa kusajikan untuk mereka. Sementara Iren, terserah wanita itu mau makan apa, makan angin juga tidak apa-apa.

 

  "Mbak, tadi pagi Mbak nyuci, kenapa baju-baju aku nggak Mbak cuci sekalian sih," ucap Iren dengan nada ketus. Tiba-tiba saja tamu nggak ada akhlak itu sudah berdiri di belakangku sambil berkacak pinggang. Dasar!

Spontan kuputar badan menghadap wanita berambut pirang, dengan pakaian kurang bahan itu. Kutatap lekat matanya hingga tamu Ibu itu merasa kikuk.

  "Maaf ya, Ren.  Kamu 'kan punya tangan.  Kenapa nggak kamu cuci sendiri, biar tangan kamu itu ada manfaatnya. Lagian itu 'kan baju kamu, kenapa harus aku yang cuci," balasku, lalu membalikkan kembali badan  menghadap kompor. 

  "Tapi aku 'kan tamu di sini, Mbak! Sudah seharusnya aku di layani! Termasuk mencucikan baju-bajuku!" Dasar tamu nggak punya etika. Seenaknya saja kalau berucap, seperti tidak pernah merasakan bangku sekolah.  Dia tau, dia sebagai tamu di sini, kenapa bertingkah seperti ratu.

  "Masih tamu 'kan? Bukan raja! Justru karna kamu tamu, makanya kamu harus tau diri," ucapku telak. Kata-kata yang aku tau menusuk sampai ke jantungnya. Entah seperti apa reaksinya mendengar ucapanku.

Kubalikkan kembali badan menghadapnya.  "Oh ya, Ren.  Harus kamu ingat, saya istri sah di sini bukan pembantu! Jadi jaga sikap kamu. Bersikaplah sebagai tamu, bukan ratu,"  ucapku lagi tanpa memberi Iren kesempatan membalas.

 muka Iren merah bak tomat busuk, antara marah dan malu. Wanita itu mendelik, dengan mengeratkan gigi-giginya. Terlihat sekali jika dia sedang menahan emosi.

"Berani kamu sama aku, Mbak?" tanyanya melotot, biji matanya seakan ingin meloncat keluar dari tempurungnya. 

"Kenapa aku harus takut padamu, Ren. Aku diam bukan karena takut padamu. Aku hanya nggak mau ada keributan, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya padaku. Apalagi menggantikan posisiku menjadi ratu di rumah ini. Ingat! Kamu itu hanya tamu! Hanya tamu! Yang suatu saat akhirnya akan pergi."

"Hahaha. Mbak, Mbak, aku tidak akan pergi dari sini. Aku bahkan bisa tinggal selamanya di rumah ini jika aku mau," ucapnya pongah. Wanita itu tertawa sambil memegangi perutnya. Benar-benar tidak tahu diri.

"Apa maksudmu," tanyaku.

"Pikir aja sendiri," ucap Iren dengan senyum mengejek. Sesaat kemudian, wanita itu melenggang pergi meninggalkanku dengan seribu tanda tanya.

Kuelus dada yang tertutup hijab instan. Otakku terus saja mencerna, apa maksud ucapan Iren. Apakah wanita itu berniat tinggal di sini selamanya?

"Astagfirullah ... nggak mungkin," kugelengkan kepala berulang kali, mengusir pikiran jelek yang singgah d otak.

"Ibu dan Mas Hasan, nggak mungkin ngizinin Iren tinggal di sini selamanya," lirihku. Ibu mungkin tidak menyukaiku, tapi aku tau, mertuaku itu tidak akan membiarkan wanita yang bukan muhrim anaknya tinggal lama di rumah ini. 

Setelah menyusun semua makanan di atas meja, dan menutupnya dengan tudung saji, kutinggalkan ruang makan. Adzan magrib sudah dari tadi berlalu. Setelah melaksanakan sholat magrib, aku ingin bercengkrama dengan putriku, agar emosi yang di picu Iren tidak masuk ke hati dan merusak segumpal daging yang bernama hati.

Tak perlu memanggil penghuni rumah ini untuk makan, karena kata Ibu, tugasku hanya menyiapkan, tidak perlu memanggil. Mereka akan makan sendiri.

"Tugas kamu itu, hanya masak dan taruh di atas meja! Nggak usah sok-sokan manggil, kami akan makan dengan sendirinya.  Oh ya ... jangan keluar dari kamar selagi kami makan." Itulah kalimat dari Ibu, saat di awal-awal aku menginjak rumah ini. Waktu itu setelah memasak, aku memanggilnya dan Mas Hasan yang lagi ngobrol di kamar Ibu untuk makan, tapi bukan terimakasih yang kudapat atau kata 'iya', melainkan ucapan yang merobek hatiku.

"Sudah sholat, Nak," sapaku pada Zulfa saat pintu terbuka. Anakku itu sedang duduk di bibir ranjang bersama Ketty.

"Sudah, Bunda," ucapnya seraya mengangguk-angukkan kepala.

"Wah ... Bunda ketinggalan nih. Ya sudah, Zulfa tunggu dulu ya, Bunda sholat bentar. Aku menutup kembali pintu setelah melihat anggukan Zulfa.

Dengan langkah pelan, aku menyeret kaki menuju kamarku. Langkahku terhenti saat tubuh ini hampir bertabrakan dengan Mas Hasan. Kuangkat kepala menatap pria yang sudah berdiri bak patung di depanku.

"Mau makan, Mas?" tanyaku basa-basi. Terserah mau dijawab atau tidak.

"Hem." Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Benar-benar irit bicara. Padahal aku adalah istrinya sendiri. Jika dia mengerti, pasti dia tau betapa banyaknya pahala yang didapat hanya dengan mengajak istri bicara atau bercanda.

"Kusiapin kah, Mas?" tanyaku lagi. Meskipun aku tau apa jawabannya, tapi itu sering aku lakukan. Berharap ada keajaiban. Kenapa tidak? Aku percaya kesabaran itu akan mengalahkan segalanya.

"Nggak usah," balasnya datar, seraya melangkahkan kaki menuju dapur. Kutarik nafas panjang lalu menghelanya, lalu ikut menyambung langkahku. "Kamu kalau jalan pakai mata. Nanti kamu tabrak lagi, itu semua barang dibeli pake uang." Langkahku terhenti, namun ucapan pria itu mencubit hatiku. Perih!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status