Aku duduk sendiri di balkon yang ada di lantai atas sembari menikmati bintang yang berkedip di tengah pekatnya malam. Masih dengan memakai mukenah, kunikmati saat terakhirku tinggal di toko ini. Rencananya, besok aku akan pindah kembali ke rumah orang tuaku.Ketegangan yang terjadi akhir-akhir ini terobati dengan melihat cahaya bintang yang berkedip. Dari dulu, aku suka sekali menengadah ke langit melihat benda yang terlihat kecil berkelap–kelip itu. Dengan melihat bintang, aku bisa mengalihkan rasa sakit untuk sementara.Aku meminta Lita ikut tinggal menemaniku di rumah itu nanti. Dalam keadaanku yang sudah hamil besar seperti ini, memang harus ada yang menemaniku di rumah. Takut nanti ada apa-apa di malam hari, jika aku hanya tinggal berdua dengan Zulfa."Iya, Bu, aku mau. Aku nggak mau, nanti nenek lampir itu ke sini trus ngapa-ngapain Ibu," ucapnya tadi siang saat ku ajak tinggal bersamaku. Hatiku geli mengingat Lita memberi gelar Mak Lampir pada Iren. Katanya nama itu cocok s
"Mila, ini Iren, anak teman Ibu. Iren akan tinggal di sini sementara waktu, karena rumahnya baru saja kebakaran," ucap Ibu mertua. Bibirnya tersenyum sumringah menyambut tamu wanita dengan koper super gede yang berdiri tegak di sampingnya. "Iya bu," jawabku singkat, lalu ikut tersenyum tipis pada wanita berambut sebahu itu, tapi wanita itu hanya menatap sekilas lalu membuang pandangannya pada Ibu. "Ayo masuk, Sayang," ucap Ibu lembut, seraya menarik tangan tamunya.Hati bagai di cubit, melihat kedekatan Ibu mertua dan wanita yang memakai baju sedikit kurang bahan, sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya. Hal yang tak pernah terjadi antara aku dan Ibu sejak dahulu. Aku hanya bisa protes dalam hati. Aku hanyalah seorang menantu yang kehadirannya tidak diakui oleh mertua. Seorang istri yang tak pernah dianggap oleh suami. Selama menjadi menantu, tak sekalipun beliau bersikap manis padaku, selalu saja bersikap jutek, dan menjaga jarak, meskipun aku sudah mencoba mendekat. Berbeda
Seperti biasa setelah sholat subuh, aku bergegas ke dapur menyiapkan sarapan, lalu mengerjakan pekerjaan rumah layaknya pembantu.Setelah selesai memasak dan menatanya di meja makan, aku membersihkan peralatan masak lalu memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci. Begitulah yang setiap hari aku lakukan. Namun aku melakukannya dengan ikhlas, dengan niat ibadah. Meskipun tak pernah dianggap begitu.Jarum jam menunjukankan angka kurang sepuluh menit jam tujuh pagi. Sedang asyik berkutat dengan sapu, menyapu halaman depan, teriakkan lantang Ibu membuat jantungku berdegup dua kali lebih cepat, aku kaget. Dengan langkah tertatih kuhampiri meja makan yang sudah duduk dua orang wanita berbeda usia layaknya nyonya besar yang minta di layani. "Iya Bu, ada apa?" tanyaku basa–basi, padahal aku sudah tau kenapa ibu mertua memanggilku. Apalagi kalau bukan minta dilayani layaknya ratu. "Mana sarapannya. Ibu sama Iren sudah lapar," ucap Ibu mertua sinis."Itu ... sudah Mila siapin di atas meja, Bu
Berada di toko adalah dunia menyenangkan bagiku. Bermain dengan adonan, adalah sesuatu yang sangat ku gemari. Berawal dari rasa suka, hingga akhirnya terciptalah toko ini. Alhamdulillah. Menciptakan bermacam-macam kue dan roti tidak hanya butuh keahlian, tapi kita harus mencintainya dulu, baru bisa memberikan hasil yang sempurna. Bagiku membuat kue atau roti bukan hanya profesi tetapi juga sebuah hobi."Bu, ini bisa di oven sekarang? tanya Ningsi. Kuamati roti sobek yang berada di dalam pengembang. "Kayaknya sudah bisa, Ning. Sudah kembang itu," balasku seraya tangan menari bersama adonan. Hari ini kami hurus berkerja ektra, karena banyak pesanan untuk besok. Berkerja dalam canda sungguh membuat waktu cepat berputar, hingga tak terasa hari sudah menjelang sore. Kulirik jam yang tergantung di dinding. Sudah jam empat sore, sudah waktunya aku dan Zulfa pulang. Karena jika terlambat, pasti Ibu akan mengomel panjang. Untuk saat ini, aku tidak mau membuat Ibu marah, karena wanita yang
Setelah melaksanakan sholat isya', aku mengajak Zulfa ke luar kamar untuk makan malam. Sedari tadi, anakku itu sudah mengadu lapar, tapi sudah kebiasaan kami makan setelah sholat isya'."Bunda, Zulfa lapar," ucap putriku memegangi perutnya."Sabar ya, Nak. Bentar lagi isya'. Habis sholat baru kita makan." Ku elus rambut panjang Zulfa. Bukannya tak mau mengajaknya sekarang, tapi saat ini pasti Ibu dan Mas Hasan lagi makan malam, bahkan, mungkin Iren bersama mereka di sana. Daripada terjadi hal yang tidak enak, apalagi saat ini ada orang lain di rumah, lebih baik aku mengalah. Memang seperti ini juga 'kan sebelumnya."Yuk! Sayang, kita makan. Katanya lapar," ajakku pada Zulfa setelah melipat sejadah dan mukenah. Putriku hanya mengangguk tanpa suara. Aku dan Zulfa menuju meja makan setelah menutup pintu. Di meja makan sudah tidak ada siapapun, tapi jejak makan mereka masih tertinggal di sana. Kutarik kursi dan menyuruh Zulfa duduk, lalu melangkah ke wastafel, mataku melirik tumpukan pir
Setelah kejadian malam itu, sikap Iren semakin menjadi-jadi. Kerana mendapat pembelaan dari Ibu, wanita itu merasa seperti di atas angin. Bersikap seenaknya saja, tak seperti tamu, tapi pemilik rumah. Sebenarnya, aku sudah muak dengan semua tingkahnya, tapi masih kutahan. Wanita itu pasti dibela Ibu, jika kami berselisih. Jadi menghindar adalah opsi terbaik saat ini. Bak kata pepatah, mengalah untuk menang. Jam empat subuh aku terbangun dari tidur. Melirik ke samping, hatiku pilu mendapati hanya tidur sendiri di sini. Namun itu sudah biasa bagiku. Bukan sekali ini saja Mas Hasan tidak tidur di sini. Laki-laki itu bahkan memiliki kamar pribadinya sendiri. Hanya sesekali saja, jika dia mau berhubungan barulah akan tidur di kamar ini bersamaku. Sesuka hati, jika ingin maka pria itu akan datang, jika tidak, ya ... beginilah. Baju dan barang pribadinya juga hanya sedikit yang di simpan di kamar ini.Namun sejak kedatangan Iren, Mas Hasan tidak lagi pernah masuk ke kamar ini. Dia bah
"Ngapain kalian di sini! Nguping?" Aku tersentak mendengar bentakan Ibu. Kelamaan bengong membuatku tak menyadari jika pintu sudah terbuka lebar."Ng–nggak kok, Bu. Mila sama Zulfa mau pamit ke toko," ucapku tergagap. Degup jantung belum juga reda akibat kaget karena bentakan Ibu."Ya sudah, sana pergi." Ibu mengibaskan tangannya. "Zulfa pergi dulu ya, Nek," pamit Zulfa mengulurkan tangannya. Namun Ibu hanya menatap tangan kecil putriku tanpa berniat menyambut. Kutelan cairan dalam mulut. Meski seringkali mendapat perlakuan seperti ini, tapi anakku tak pernah berhenti untuk mencoba. Berharap, suatu saat nanti, hati neneknya akan luluh."Hem." Ibu hanya berdeham, tanpa menatap putriku."Kasian kamu, Nak," batinku berteriak. Sakit! Perih! Ya Allah anakku.Kepalaku terangkat menatap Ibu dan juga Iren. Jika dilihat dari pakaian mereka yang sudah rapi, sepertinya kedua wanita beda usia itu mau keluar. Keduanya nampak serasi, seperti Ibu dan anak. Hatiku lagi-lagi berandai-andai. Seandain
Tanpa canggung Iren menggandeng mesra tangan Mas Hasan. Sepertinya sudah biasa mereka melakukan itu, terlihat dari cara mereka melakukannya. "Kok, ada Nenek sama Tante Iren juga, Bun?" tanya Zulfa. Putriku itu menatap Ayahnya dari kejauhan dengan tatapan yang ... entahlah. Mungkin itu adalah tatapan iri, atau bahkan tatapan kecewa. Selama ini, gadis kecilku itu tak pernah mendapatkan haknya. Jalan bersama Ayahnya, seperti yang sedang ia saksikan di depan mata sekarang. Aku mengambil ponsel tanpa menjawab pertanyaan Zulfa. Tangan ini lincah memainkan benda persegi empat di tangan. Memotret, siapa tau bisa berguna suatu saat nanti. "Ayo bunda." Zulfa menarik tanganku, mendekat pada Mas Hasan. Tubuh serasa melayang mendapat perlakuan spontan dari anakku."Ayah," panggil Zulfa setelah berada tepat di belakang Ayahnya. Mas Hasan kaget setelah membalikkan badannya. Pria itu langsung melepas gandengan tangan Iren. Wajahnya menegang ketika mata kami saling bertemu. Kulihat Iren cembe