Share

Bab 6 Bertemu Di Mall

"Ngapain kalian di sini! Nguping?" Aku tersentak mendengar bentakan Ibu. Kelamaan bengong membuatku tak menyadari jika pintu sudah terbuka lebar.

"Ng–nggak kok, Bu. Mila sama Zulfa mau pamit ke toko," ucapku tergagap. Degup jantung belum juga reda akibat kaget karena bentakan Ibu.

"Ya sudah, sana pergi." Ibu mengibaskan tangannya.

 "Zulfa pergi dulu ya, Nek," pamit Zulfa mengulurkan tangannya. Namun Ibu hanya menatap tangan kecil putriku tanpa berniat menyambut. Kutelan cairan dalam mulut. Meski seringkali mendapat perlakuan seperti ini, tapi anakku tak pernah berhenti untuk mencoba. Berharap, suatu saat nanti, hati neneknya akan luluh.

"Hem." Ibu hanya berdeham, tanpa menatap putriku.

"Kasian kamu, Nak," batinku berteriak. Sakit! Perih! Ya Allah anakku.

Kepalaku terangkat menatap Ibu dan juga Iren. Jika dilihat dari pakaian mereka yang sudah rapi, sepertinya kedua wanita beda usia itu mau keluar. Keduanya nampak serasi, seperti Ibu dan anak. Hatiku lagi-lagi berandai-andai. Seandainya dan seandainya.

 Tin! Tin! Tin!

Suara nyaring klakson dari luar, menandakan ojek online pesanku sudah tiba. Ku ulurkan tangan pada Zulfa. Mengajaknya segera berangkat.

  "Sayang salim sama nenek dulu," ucap ku pada zulfa. Lagi putriku mengulurkan tangannya pada Ibu. Namun Ibu hanya menatap tangan anakku datar, tanpa reaksi apapun.

  Aku selalu mengajarkan putriku untuk berlaku sopan pada orang tua. Terlebih pada Ibu dan Mas Hasan, yang notabenenya adalah Ayah dan Neneknya sendiri. Meskipun selama ini, Ibu dan Mas Hasan memperlakukan zulfa seperti orang asing, tapi tanpa kenal lelah putriku tetap melakukannya. Aku yakin, suatu saat Ibu pasti akan luluh hatinya. Batu saja, jika terus menerus tersiram air pasti akan melunak, inikan pula hati manusia.

"Nek, Salim," ucap Zulfa, setelah tak mendapatkan reaksi dari Ibu. Dengan ogah-ogahan, Ibu mengulurkan tangannya pada Zulfa, lalu menariknya cepat. Belum sempurna Zulfa mencium tangannya.

 Aku hanya bisa mengurut dada melihat pemandangan itu. Sakit! Sangat sakit sekali melihat putriku di perlakukan seperti itu.

Iren mengulurkan tangannya pada Zulfa. Wanita itu dengan pongahnya minta di salim putriku. Zulfa menatapku sejenak, setelah mendapatkan anggukan dariku, Zulfa meraih tangan yang di ulurkan Iren lalu menciumnya takzim.

"Aw ... sakit," ucap Iren mendorong tubuh Zulfa hingga putriku terjerembab ke lantai. Aku yang melihat putriku di dorong seperti itu, spontan mendorong Iren, hingga wanita itu berada di posisi yang sama dengan putriku. Duduk di lantai.

"Aduh sakit, Tante," ucap Iren mengadu pada Ibu. Ibu mendelik padaku. Wajahnya sangar seakan ingin menelanku hidup-hidup.

"Mila! Kamu kenapa mendorong Iren!" bentak Ibu. Aku menatap Iren yang masih duduk di lantai.

"Ibu nggak liat dia dorong Zulfa," balasku seraya melangkah menghampiri Zulfa. "Kamu nggak pa-pa, Sayang?" tanyaku pada putriku. Kuangkat tubuh kecil anakku berdiri. Gadis kecilku itu menangis! Entah kerana sakit atau apa, tapi melihat air matanya membuatku menatap Iren dengan tatapan nyalang.

"Dia menggigit tanganku, Tan," ucap Iren. Kupandangi Zulfa yang menundukkan wajahnya. Aku tau, pasti ada penyebabnya jika Zulfa melakukan ini. Dia bukan anak yang nakal. Zulfa tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya.

  "Ayo, Sayang." Aku menggandeng tangan Zulfa menuntunnya ke luar, tanpa menanggapi ucapan Iren. Ku genggam erat setiap jemari anakku. Mengatakan lewat genggaman, kusampaikan padanya, tidak apa-apa, aku percaya padanya

"Dasar anak sama ibu sama saja. Barbar." Aku masih bisa mendengar cacian Ibu sebelum melewati pintu.

 Tak peduli apa yang ingin mereka lakukan, dan mau kemana. Kutapaki setiap lantai menuju pintu sampai ke pagar rumah, menaiki ojek yang siap membawaku ke toko. Toko yang membuat aku merasa menjadi diriku sendiri, bebas mengeluarkan keinginan.

Sampai di toko, aku mengerjakan pekerjaan seperti biasa. Zulfa sudah naik ke lantai atas ruko diantar oleh Lita. Jika di rumah kami bukanlah siapa-siapa, tapi di sini di ruko dua lantai ini, aku dan anakku adalah seorang bos. Meskipun aku tak pernah berpikiran seperti itu. Aku menganggap semua karyawanku seperti saudara. Namun kenyataannya, aku adalah atasan mereka.

 Ruko berlantai dua ini adalah rumah kedua bagiku. Di lantai atas dilengkapi dengan fasilitas lengkap layaknya sebuah rumah, dan di sini juga aku menyembunyikan semua yang ku miliki dari Mas Hasan dan Ibu, suami dan mertuaku. Belum saatnya mereka tahu. Biarlah mereka berfikir, jika aku hanya menantu yang miskin.

  "Bunda ...." panggil Zulfa berlari menuruni anak tangga.

  "Jangan lari-lari, Sayang. Nanti jatuh," ucapku saat melihat Zulfa menuruni anak tangga dengan sedikit belari. 

  "Bunda. Ayuk kita jalan-jalan. Ufa bosan, " rengek putriku manja sambil menarik-narik lenganku. Kulihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Hampir jam sebelas.

  "Hmm .. mau jalan kemana, Nak?" tanyaku seraya mencubit gemas pipi gembulnya. Melihatnya merengek seperti ini, sangat membuatku merasa senang. Soalnya Zulfa adalah anak yang pengertian. Jarang sekali dia merengek minta jalan seperti ini.

  "Ke mol aja. Ufa mau beli boneka besar, Bunda," ucapnya antusias seraya menaikkan kedua tangannya ke atas seakan menggambarkan besar bonekanya.

  "Ok, Sayang. Bentar Bunda siap-siap, Zulfa tunggu di sini dulu." Jari menunjuk kursi dan menyuruhnya duduk disitu sembari menungguku bersiap.

Aku membuka laci mengambil kunci mobil, berniat memanasi mobil yang sudah lama terbungkus di samping ruko. Mobil yang jarang sekali kupakai. Bukannya tidak mau memakainya, sebagai transportasi bolak–balik rumah dan toko, tapi belum waktunya aku memperlihatkan siapa aku sebenarnya. Wanita miskin, yang di nikahi hanya sebagai penebus hutang.

Setelah menghidupkan mesin mobil, aku masuk kembali ke dalam ruko. Mengambil tas, dan mengajak Zulfa yang sedang duduk sendiri.

"Yuk! Sayang. Kita jalan sekarang ya," ajakku padanya. Zulfa mengangguk cepat lalu mengangkat tubuhnya dari atas kursi. Kami jalan beriringan menuju pintu.

"Lit, saya tinggal dulu ya. Mau ngajak tuan putri jalan," pamitku pada Lita. Gadis berjilbab ungu itu mengangguk seraya menyatukan jari jempol dan jari telunjuk, menjadi lingkaran.

  Sampai di mall aku langsung memarkirkan mobilku di parkiran mall, lalu turun dan memutari mobil menuju pintu sebelah.

Aku dan Zulfa memasuki mall dengan bergandengan tangan. Seiring langkah kaki, putri tersenyum riang. Sesekali dia bercerita jika ingin membeli boneka besar, untuk di jadikan teman baru.

  "Bunda itu 'kan Ayah," tunjuk Zulfa ke seberang toko dari tempat kami memilih boneka.

Mataku liar mengikuti jari telunjuk Zulfa, dan benar saja di seberang sana, Mas Hasan sedang berdiri sendiri. Tak lama kemudian Ibu dan Iren keluar dari butik. Dua wanita beda generasi itu sepertinya baru saja selesai belanja. Terlihat dari banyaknya paper bag yang sedang bergantung di tangan keduanya.

  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status