Share

Bab 7 Panggilan Sayang Di kamar Iren

Tanpa canggung Iren menggandeng mesra tangan Mas Hasan. Sepertinya sudah biasa mereka melakukan itu, terlihat dari cara mereka melakukannya.

"Kok, ada Nenek sama Tante Iren juga, Bun?" tanya Zulfa. Putriku itu menatap Ayahnya dari kejauhan dengan tatapan yang ... entahlah. Mungkin itu adalah tatapan iri, atau bahkan tatapan kecewa. Selama ini, gadis kecilku itu tak pernah mendapatkan haknya. Jalan bersama Ayahnya, seperti yang sedang ia saksikan di depan mata sekarang.

Aku mengambil ponsel tanpa menjawab pertanyaan Zulfa. Tangan ini lincah memainkan benda persegi empat di tangan. Memotret, siapa tau bisa berguna suatu saat nanti.

"Ayo bunda." Zulfa menarik tanganku, mendekat pada Mas Hasan. Tubuh serasa melayang mendapat perlakuan spontan dari anakku.

"Ayah," panggil Zulfa setelah berada tepat di belakang Ayahnya.

Mas Hasan kaget setelah membalikkan badannya. Pria itu langsung melepas gandengan tangan Iren. Wajahnya menegang ketika mata kami saling bertemu. Kulihat Iren cemberut karena tangannya di lepas spontan oleh Mas Hasan.

"Kamu kenapa di sini? Bukan kah kamu lagi kerja," tanya Ibu. Wajahnya biasa saja, tak ada sekali penyesalan yang ia tampakkan. Apalagi merasa tidak enak denganku. Aku hanya diam dan mengunci pandangan pada Mas Hasan, yang membuat laki-laki itu salah tingkah.

"Permisi." Tanpa menjawab ucapan Ibu, aku menarik tangan Zulfa meninggalkan ketiganya.

"Nggak sopan. Dasar kampungan, main pergi aja." Telingaku masih bisa menangkap ucapan Ibu mengomel. "Ini nih, San. Kenapa Ibu nggak pernah suka dengan sikapnya. Kamu liat sendiri 'kan. Dasar anak kurang ajar," sambungnya lagi. Membuat hatiku semakin tak karuan, patah jadi dua.

Ku teruskan langkah kaki menjauh dari Mas Hasan dan Ibu. Sakit hati di caci oleh Ibu di depan Iren, jauh lebih sakit ketika mendapati Mas Hasan hanya diam membisu. Suami yang seharusnya menjaga perasaanku sebagai istrinya.

Meskipun kejadian seperti ini sudah kudapatkan berulangkali, tapi hati tetap saja sakit menerimanya. Apalagi saat melihat muka Iren yang seolah-olah mengejek. Sungguh perih sekali! Ya Tuhan ... luaskan sabarku, agar bisa menerima semuanya dengan lapang dada. Aku percaya, ini adalah bentuk kasih sayang-Mu padaku, agar hatiku menjadi sekuat baja.

"Bunda, Bunda kenapa nangis?" Suara Zulfa menghentikan langkah kakiku. Kusapu air mata yang menetes satu per satu menjatuhi pipi.

"Nggak pa-pa, Sayang. Bunda nggak pa-pa. Kita pulang ke toko aja ya, Nak. Beli bonekanya lain kali aja." Zulfa menganggukkan kepalanya setuju. Ku usap kepala putriku yang tertutup jilbab penuh penyesalan.

"Kasian kamu, Nak!" batinku menjerit perih! Orang yang seharusnya menjagamu, mencintaimu sepenuh hati, agar kau tak merasakan cinta pertamamu dari orang lain, kini membagi cintanya. Orang yang seharusnya menjagamu, agar kelak kau tidak haus akan kasih sayang seorang laki-laki, tapi kini dia sendirilah yang merampas semua hakmu.

Tapi tidak apa-apa. Meskipun Mas Hasan membagi cintanya, tapi cintaku takkan berkurang, bahkan cintaku akan menutupi semua cinta Mas Hasan yang tak pernah Zulfa rasakan. Sedikitpun takkan kubiarkan anakku kekurangan kasih sayang, aku akan menjadi Ibu sekaligus Ayah buatnya.

Aku membawa Zulfa menuju parkiran, anakku itu tidak menunjukkan raut wajah kecewa, karena keinginannya tidak terpenuhi. Setelah mendudukkan Zulfa, segera aku berlari memutari mobil, lalu masuk dan menutup pintu.

Kupandangi wajah Zulfa yang menunduk seraya memainkan kesepuluh jari tangan. Hatiku tercubit melihat kesedihan yang terpancar di wajahn polosnya. Meskipun putriku itu berusaha menyamarkan dengan menundukkan kepala, tapi tetap saja bisa kulihat raut sedih di wajahnya.

Seharusnya anakku tak perlu merasakan semua ini. Ayahnya di depan mata, tapi selalu tak ada buatnya. Bahkan pria itu bisa menghabiskan separuh dari waktunya untuk orang lain, tapi tidak untuk Zulfa, darah dagingnya sendiri.

" Tega kamu, Mas!"

"Sayang, kita ke toko dulu ya. Nggak apa-apa 'kan?" tanyaku lembut.

"Iya Bunda," jawabnya seraya menganggukkan kepalanya, tanpa protes.

Syukurlah, meskipun aku tau Zulfa kecewa, tapi putriku itu tidak terlalu banyak bertanya. Aku sendiri bingung, bagaimana menjelaskannya jika Zulfa bertanya tentang Ayahnya dan Iren. Mengapa mereka bisa jalan berdua. Karena, aku juga tidak tau ada apa Antara mereka berdua.

Sampai di toko kuparkir mobil di tempat biasa, tempat selama ini dia bersembunyi. Kugandeng tangan Zulfa melangkah masuk menuju ruko dua lantai. Tempat yang selama ini menjadi tempat ternyaman bagiku dan Zulfa.

Setelah mendorong pintu kaca, kuseret kaki masuk menghampiri meja kasir. Menyimpan kunci mobil di tempat biasa.

"Lit, saya mau istirahat sebentar di atas ya. Kalau perlu apa-apa sama saya, panggil aja," ucapku pada Lita. Gadis bermata bulat itu mengacungkan kedua jempol nya.

Lita adalah orang yang aku percaya mengurus toko roti ini. Mulai dari sewaktu masih menyewa sepetak toko kecil dulu. Dialah yang selalu mendukung setiap langkahku. Dia bukan saja karyawan bagiku, tapi sudah ku anggap seperti adik perempuan yang selama ini tidak aku miliki.

"Bunda ... Bunda." Samar-samar kudengar suara Zulfa memanggil, sambil menepuk-nepuk pipiku pelan. Ku paksakan membuka mata.

"Iya, Sayang." Aku mengerjapkan mata berulangkali, seraya melirik jam di dinding. Dengan nyawa yang masih belum sempurna. "Jam berapa ini, Sayang," tanyaku lagi. Zulfa tersenyum memperlihatkan kedua lesung pipinya.

"Sudah setengah empat, Bunda," ucapnya. Aku terlonjak kaget, sudah setengah empat. Ternyata aku tertidur hampir dua jam lamanya.

Kenapa Lita tidak membangunkanku? Setelah merenggangkan otot-otot tangan, aku bangun dari tempat tidur menuju kamar mandi.

"Sayang, siap-siap gih. Sholat, lepas itu kita pulang." Aku menyuruh Zulfa bersiap sebelum menutup kamar mandi.

"Iya, Bunda. Ufa sudah sholat." Masih bisa kudengar jawaban Zulfa sebelum pinta tertutup rapat.

Anakku memang anak yang pintar dan mandiri. Meskipun usianya masih dini, tapi mengurus diri sendiri bukanlah hal yang sulit baginya.

Kami bersiap di kamar masing-masing. Setelah itu bergegas untuk pulang ke rumah.

Setengah lima sore aku dna Zulfa sudah sampai di rumah. Membuka pagar, aku dan purtriku bergandengan menuju pintu utama.

Kulihat mobil Mas Hasan sudah terparkir di halaman. Menandakan jika yang punya sedang berada di rumah. Tidak biasanya pria itu pulang secepat ini. Biasanya dia akan pulang ke rumah setelah jam kantor berakhir.

"Assalamu'alaikum," salamku, tapi tidak ada jawaban. Tanganku menggapai handle pintu dan memutarnya. Rupanya pintu dikunci dari dalam. Aku mengintip di selah jendela, tapi di ruang tamu juga terlihat sepi.

Ku rogoh tas untuk mencari kunci serep dan dapat. Masi g-masing penghuni rumah ini memiliki kunci cadangan, kecuali Iren. Dia tidak punya, karena dia memang adalah tamu yang akan segera pergi.

"Assalamu'alaikum." Aku mengulang salam sekali lagi setelah pintu terbuka, tapi tetap tidak ada jawaban. Ku ajak Zulfa masuk dan langsung menuju kamar.

Saat melewati kamar Iren, sayup-sayup aku mendengar orang sedang ngobrol.

"Sayang, ku langsung masuk kamar ya." Aku menunduk dan berbisik di telinga Zulfa. Jangan sampai anakku tau, jika di dalam sana Ayahnya sedang berdua-duaan dengan Iren.

"Iya, Bunda." Zulfa menganggukkan kepalanya mengerti, lalu membawa langkahnya pelan masuk ke dalam kamarnya.

Setelah Zulfa masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Aku mendekatkan kupingku ke pintu kamar Iren. Penasaran apa yang sedang mereka bicarakan di dalam sana.

"Mas, kapan sih kamu mau terus terang sama Mbak Mila? Aku capek begini terus." Telingaku menangkap suara manja Iren. Hatiku dag-dig-dug menunggu jawaban dari lawan bicara Iren.

"Sabar ya, Sayang. Nanti kalau sudah tiba saatnya, aku pasti terus terang."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status