Home / Rumah Tangga / Desahan Dikamar Tamu / Bab 7 Panggilan Sayang Di kamar Iren

Share

Bab 7 Panggilan Sayang Di kamar Iren

Author: Fatmah Ain
last update Last Updated: 2022-07-20 13:16:52

Tanpa canggung Iren menggandeng mesra tangan Mas Hasan. Sepertinya sudah biasa mereka melakukan itu, terlihat dari cara mereka melakukannya.

"Kok, ada Nenek sama Tante Iren juga, Bun?" tanya Zulfa. Putriku itu menatap Ayahnya dari kejauhan dengan tatapan yang ... entahlah. Mungkin itu adalah tatapan iri, atau bahkan tatapan kecewa. Selama ini, gadis kecilku itu tak pernah mendapatkan haknya. Jalan bersama Ayahnya, seperti yang sedang ia saksikan di depan mata sekarang.

Aku mengambil ponsel tanpa menjawab pertanyaan Zulfa. Tangan ini lincah memainkan benda persegi empat di tangan. Memotret, siapa tau bisa berguna suatu saat nanti.

"Ayo bunda." Zulfa menarik tanganku, mendekat pada Mas Hasan. Tubuh serasa melayang mendapat perlakuan spontan dari anakku.

"Ayah," panggil Zulfa setelah berada tepat di belakang Ayahnya.

Mas Hasan kaget setelah membalikkan badannya. Pria itu langsung melepas gandengan tangan Iren. Wajahnya menegang ketika mata kami saling bertemu. Kulihat Iren cemberut karena tangannya di lepas spontan oleh Mas Hasan.

"Kamu kenapa di sini? Bukan kah kamu lagi kerja," tanya Ibu. Wajahnya biasa saja, tak ada sekali penyesalan yang ia tampakkan. Apalagi merasa tidak enak denganku. Aku hanya diam dan mengunci pandangan pada Mas Hasan, yang membuat laki-laki itu salah tingkah.

"Permisi." Tanpa menjawab ucapan Ibu, aku menarik tangan Zulfa meninggalkan ketiganya.

"Nggak sopan. Dasar kampungan, main pergi aja." Telingaku masih bisa menangkap ucapan Ibu mengomel. "Ini nih, San. Kenapa Ibu nggak pernah suka dengan sikapnya. Kamu liat sendiri 'kan. Dasar anak kurang ajar," sambungnya lagi. Membuat hatiku semakin tak karuan, patah jadi dua.

Ku teruskan langkah kaki menjauh dari Mas Hasan dan Ibu. Sakit hati di caci oleh Ibu di depan Iren, jauh lebih sakit ketika mendapati Mas Hasan hanya diam membisu. Suami yang seharusnya menjaga perasaanku sebagai istrinya.

Meskipun kejadian seperti ini sudah kudapatkan berulangkali, tapi hati tetap saja sakit menerimanya. Apalagi saat melihat muka Iren yang seolah-olah mengejek. Sungguh perih sekali! Ya Tuhan ... luaskan sabarku, agar bisa menerima semuanya dengan lapang dada. Aku percaya, ini adalah bentuk kasih sayang-Mu padaku, agar hatiku menjadi sekuat baja.

"Bunda, Bunda kenapa nangis?" Suara Zulfa menghentikan langkah kakiku. Kusapu air mata yang menetes satu per satu menjatuhi pipi.

"Nggak pa-pa, Sayang. Bunda nggak pa-pa. Kita pulang ke toko aja ya, Nak. Beli bonekanya lain kali aja." Zulfa menganggukkan kepalanya setuju. Ku usap kepala putriku yang tertutup jilbab penuh penyesalan.

"Kasian kamu, Nak!" batinku menjerit perih! Orang yang seharusnya menjagamu, mencintaimu sepenuh hati, agar kau tak merasakan cinta pertamamu dari orang lain, kini membagi cintanya. Orang yang seharusnya menjagamu, agar kelak kau tidak haus akan kasih sayang seorang laki-laki, tapi kini dia sendirilah yang merampas semua hakmu.

Tapi tidak apa-apa. Meskipun Mas Hasan membagi cintanya, tapi cintaku takkan berkurang, bahkan cintaku akan menutupi semua cinta Mas Hasan yang tak pernah Zulfa rasakan. Sedikitpun takkan kubiarkan anakku kekurangan kasih sayang, aku akan menjadi Ibu sekaligus Ayah buatnya.

Aku membawa Zulfa menuju parkiran, anakku itu tidak menunjukkan raut wajah kecewa, karena keinginannya tidak terpenuhi. Setelah mendudukkan Zulfa, segera aku berlari memutari mobil, lalu masuk dan menutup pintu.

Kupandangi wajah Zulfa yang menunduk seraya memainkan kesepuluh jari tangan. Hatiku tercubit melihat kesedihan yang terpancar di wajahn polosnya. Meskipun putriku itu berusaha menyamarkan dengan menundukkan kepala, tapi tetap saja bisa kulihat raut sedih di wajahnya.

Seharusnya anakku tak perlu merasakan semua ini. Ayahnya di depan mata, tapi selalu tak ada buatnya. Bahkan pria itu bisa menghabiskan separuh dari waktunya untuk orang lain, tapi tidak untuk Zulfa, darah dagingnya sendiri.

" Tega kamu, Mas!"

"Sayang, kita ke toko dulu ya. Nggak apa-apa 'kan?" tanyaku lembut.

"Iya Bunda," jawabnya seraya menganggukkan kepalanya, tanpa protes.

Syukurlah, meskipun aku tau Zulfa kecewa, tapi putriku itu tidak terlalu banyak bertanya. Aku sendiri bingung, bagaimana menjelaskannya jika Zulfa bertanya tentang Ayahnya dan Iren. Mengapa mereka bisa jalan berdua. Karena, aku juga tidak tau ada apa Antara mereka berdua.

Sampai di toko kuparkir mobil di tempat biasa, tempat selama ini dia bersembunyi. Kugandeng tangan Zulfa melangkah masuk menuju ruko dua lantai. Tempat yang selama ini menjadi tempat ternyaman bagiku dan Zulfa.

Setelah mendorong pintu kaca, kuseret kaki masuk menghampiri meja kasir. Menyimpan kunci mobil di tempat biasa.

"Lit, saya mau istirahat sebentar di atas ya. Kalau perlu apa-apa sama saya, panggil aja," ucapku pada Lita. Gadis bermata bulat itu mengacungkan kedua jempol nya.

Lita adalah orang yang aku percaya mengurus toko roti ini. Mulai dari sewaktu masih menyewa sepetak toko kecil dulu. Dialah yang selalu mendukung setiap langkahku. Dia bukan saja karyawan bagiku, tapi sudah ku anggap seperti adik perempuan yang selama ini tidak aku miliki.

"Bunda ... Bunda." Samar-samar kudengar suara Zulfa memanggil, sambil menepuk-nepuk pipiku pelan. Ku paksakan membuka mata.

"Iya, Sayang." Aku mengerjapkan mata berulangkali, seraya melirik jam di dinding. Dengan nyawa yang masih belum sempurna. "Jam berapa ini, Sayang," tanyaku lagi. Zulfa tersenyum memperlihatkan kedua lesung pipinya.

"Sudah setengah empat, Bunda," ucapnya. Aku terlonjak kaget, sudah setengah empat. Ternyata aku tertidur hampir dua jam lamanya.

Kenapa Lita tidak membangunkanku? Setelah merenggangkan otot-otot tangan, aku bangun dari tempat tidur menuju kamar mandi.

"Sayang, siap-siap gih. Sholat, lepas itu kita pulang." Aku menyuruh Zulfa bersiap sebelum menutup kamar mandi.

"Iya, Bunda. Ufa sudah sholat." Masih bisa kudengar jawaban Zulfa sebelum pinta tertutup rapat.

Anakku memang anak yang pintar dan mandiri. Meskipun usianya masih dini, tapi mengurus diri sendiri bukanlah hal yang sulit baginya.

Kami bersiap di kamar masing-masing. Setelah itu bergegas untuk pulang ke rumah.

Setengah lima sore aku dna Zulfa sudah sampai di rumah. Membuka pagar, aku dan purtriku bergandengan menuju pintu utama.

Kulihat mobil Mas Hasan sudah terparkir di halaman. Menandakan jika yang punya sedang berada di rumah. Tidak biasanya pria itu pulang secepat ini. Biasanya dia akan pulang ke rumah setelah jam kantor berakhir.

"Assalamu'alaikum," salamku, tapi tidak ada jawaban. Tanganku menggapai handle pintu dan memutarnya. Rupanya pintu dikunci dari dalam. Aku mengintip di selah jendela, tapi di ruang tamu juga terlihat sepi.

Ku rogoh tas untuk mencari kunci serep dan dapat. Masi g-masing penghuni rumah ini memiliki kunci cadangan, kecuali Iren. Dia tidak punya, karena dia memang adalah tamu yang akan segera pergi.

"Assalamu'alaikum." Aku mengulang salam sekali lagi setelah pintu terbuka, tapi tetap tidak ada jawaban. Ku ajak Zulfa masuk dan langsung menuju kamar.

Saat melewati kamar Iren, sayup-sayup aku mendengar orang sedang ngobrol.

"Sayang, ku langsung masuk kamar ya." Aku menunduk dan berbisik di telinga Zulfa. Jangan sampai anakku tau, jika di dalam sana Ayahnya sedang berdua-duaan dengan Iren.

"Iya, Bunda." Zulfa menganggukkan kepalanya mengerti, lalu membawa langkahnya pelan masuk ke dalam kamarnya.

Setelah Zulfa masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Aku mendekatkan kupingku ke pintu kamar Iren. Penasaran apa yang sedang mereka bicarakan di dalam sana.

"Mas, kapan sih kamu mau terus terang sama Mbak Mila? Aku capek begini terus." Telingaku menangkap suara manja Iren. Hatiku dag-dig-dug menunggu jawaban dari lawan bicara Iren.

"Sabar ya, Sayang. Nanti kalau sudah tiba saatnya, aku pasti terus terang."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 89 Tingkah Aneh Pak Reva

    Aku duduk sendiri di balkon yang ada di lantai atas sembari menikmati bintang yang berkedip di tengah pekatnya malam. Masih dengan memakai mukenah, kunikmati saat terakhirku tinggal di toko ini. Rencananya, besok aku akan pindah kembali ke rumah orang tuaku.Ketegangan yang terjadi akhir-akhir ini terobati dengan melihat cahaya bintang yang berkedip. Dari dulu, aku suka sekali menengadah ke langit melihat benda yang terlihat kecil berkelap–kelip itu. Dengan melihat bintang, aku bisa mengalihkan rasa sakit untuk sementara.Aku meminta Lita ikut tinggal menemaniku di rumah itu nanti. Dalam keadaanku yang sudah hamil besar seperti ini, memang harus ada yang menemaniku di rumah. Takut nanti ada apa-apa di malam hari, jika aku hanya tinggal berdua dengan Zulfa."Iya, Bu, aku mau. Aku nggak mau, nanti nenek lampir itu ke sini trus ngapa-ngapain Ibu," ucapnya tadi siang saat ku ajak tinggal bersamaku. Hatiku geli mengingat Lita memberi gelar Mak Lampir pada Iren. Katanya nama itu cocok s

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 88 Meminta Bantuan Maya

    Maya! Saat teringat nama Maya, cepat kurogoh tas mencari ponselku. Sembari menunggu Mas Hasan, aku akan menghubungi Maya. Kemarin di toilet hotel, aku sempat menyimpan nomernya.Kutekan nomer Maya lalu menempelkan benda pipihku ke telinga. Tut! Tut! Tut! Nada dering terdengar menyapa indera pendengaranku."Halo," sapa suara di ujung sana. Suaranya terdengar malas-malasan."Halo ... ini aku, Iren," balasku tanpa basa–basi."Iya, aku tau. Ada apa? Kamu sudah berhasil menyingkirkan Mila?" tanyanya to the point. Aku mencabik bibir. Dasar ... pantas saja tidak dilirik Revan, sinisnya minta ampun."Belum ... justru aku menghubungimu untuk membuat kerjasama.""Kerjasama?" tanyanya. Sejenak aku terdiam. Mataku menatap ke jalan raya. Dari jauh, kulihat Mas Hasan muncul dengan memapah Ibu, tapi tunggu! Kenapa dia sama Aina.Hem!"Aku tidak bisa memberitahu sekarang. Rencana ini tidak bisa dibicarakan di telpon harus bertemu.""Oke ... ketemu di mana?" tanya Maya."Terserah kamu," balasku cep

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 87 Wanita Dari Masa Lalu

    "Tidak, Mas! Aku nggak mau turun, aku nggak mau tinggal di sini! Di sini itu sempit, Mas!" Suaraku mulai meninggi. Mana mungkin aku mau tinggal di tempat sempit seperti ini. Dapur di rumah yang dulu saja masih luas dari rumah ini."Ya sudah ... kalau kamu nggak mau sana jadi gembel, tinggal di jalan." Ibu berucap dengan nada sinis. Aku meneguk ludahku. Gembel ... tidak! Aku tidak mau jadi gembel."Ini semua gara-gara Mbak Mila! Dia sudah janji tidak akan mengambil apa-apa, tapi dia bohong. Lihat saja aku akan buat perhitungan dengannya!""Sudahlah, Ren. Kamu jangan menyalakan Mila ... itu harta orang tuanya wajar dia ambil. Jangan coba-coba kamu ngelakuin hal bodoh, Ren. Mila sedang hamil anakku."Kupingku rasanya panas! Bisa-bisanya Mas Hasan masih memikirkan Mila, sedangkan nasib kami sudah seperti ini. "Tidak, Mas! Semua itu berkat kamu! Kamu yang buat perusahaan itu maju. Jadi sudah sepantasnya itu jadi milik kamu. Kamu jangan terlalu bodoh jadi orang. Jangan karena terlalu mem

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 86 What! Aku Harus Tinggal Di sini?

    Saat Kulihat Lita muncul dari balik gorden, cepat kuangkat badanku berdiri dan berjalan menuju pintu utama.Di sini aku berdiri saat pertama kali Iren datang, di sini jugalah aku berdiri untuk menyaksikannya pergi."Aku akan membalasmu wanita sialan!" ucap Iren saat melewatiku. Dia berbalik lalu mendorong hingga kepalaku terbentur daun pintu. Dengan cepat Lita menghampiri. " Ibu nggak apa-apa?" tanyanya. Kugelengkan kepala berbohong, padahal kepalaku terasa pusing akibat benturan. "Pergi sana." Lita mendorong bahu Iren hingga mantan maduku itu terhuyung ke belakang lalu dengan cepat menarik tanganku masuk lalu menutup pintu. Aku mengintip dari balik tirai. Di teras rumah Iren terus saja berteriak memaki, meskipun suaminya sudah memintanya untuk masuk ke dalam mobil, tapi wanita itu tetap berteriak histeris memakiku.Astaghfirullah ... aku mengucap istighfar sembari mengurut dada."Begitulah, Bu ... kalau berteman dengan setan ... ya akhirnya jadi hantu 'kan!"Miris sekali! Begitulah

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 85 Membungkam Mulut Iren

    "Sejak kapan kamu menjadi pemilik rumah ini? Kamu lupa, kamu datang ke sini sebagai tamu dan akan keluar dari rumah ini juga sebagai tamu," ucapku santai sembari melipat kedua tangan di dada. Menghadapi orang seperti Iren tidak harus dengan cara bar-bar. Lagipula, aku bukan dia yang dikit- dikit emosi."Aku sekarang istri sah Mas Hasan. Jadi jelas aku nyonya di sini. Nggak usah banyak cing–cong cepat kalian pergi dari sini" ucapnya mengusirku lagi dan Lita. Kasian sekali, sebegitu pinginnya di akui Nyonya.Dari arah dalam muncul sosok mantan mertua. Mungkin mendengar teriakan Iren yang seperti suara Nenek Lampir itu."Mi–Mila ...." Ucapannya tergantung. Mungkin saking kagetnya melihatku hingga wanita paruh baya itu kehabisan kata-kata."Iya, Bu. Ini Mila. Ibu apa kabar?" tanyaku seraya menyungging senyum manis untuknya."Ma–mau ngapain kamu ke sini?" ucapnya tergagap, suaranya bergetar. Meskipun berusaha terlihat baik, tapi aku atau dalam hatinya sangat resah sekali."Mila datang in

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 84 Akan Kuambil Kembali Semuanya

    "Kamu ...."Ucapan pak Ilham terputus. Baru saja pria paruh baya itu mau menjelaskan, Lita datang dengan nampan di tangannya. Laki-laki paruh baya yang baru kutau adalah teman Ayahku itu, terpaksa menutup kembali mulut menghentikan ucapan."Silahkan diminum, Pak,' ucap Lita sopan. Aku tersenyum melirik Lita. Gadis itu sedikit menunduk dan berlalu meninggalkan aku dan Pak Ilham.Pak Ilham membetulkan posisi duduknya, lalu berdeham sebelum melanjutkan bicara. "Semua aset yang ada itu milik Pak Gunawan, Ayah Kamu. Apa Pak Hasan tidak memberitahumu?" Aku menggeleng pelan. Dalam hati rasanya ingin memaki. Teganya mereka!"Aku tidak tau, Om. Kata mereka Ayah tidak mampu membayar hutang-hutangnya, maka semua harta jatuh ke tangan Mas Hasan.""Astagfirullah," ucap Pak Ilham sembari memegang dadanya. Mungkin dia kaget, sama sepertiku."Semua itu milik Ayahmu, termasuk rumah yang sekarang masih mereka tempati. Pak Hasan hanya diberi kuasa mengelolanya saja, tapi tetap milik kamu sebagai ahli w

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 83 Penjelasan Pengacara

    Senyum sinis terukir di bibirnya yang merah menyala itu. Beraninya dia mengancam! "Terserah kamu, Ren. Aku tetap akan rujuk sama Mila. Jika kamu tidak setuju, kita bercerai saja."Mendengar kata cerai dari mulut Hasan spontan aku menoleh pada anak laki-lakiku itu."Kamu serius?" tanyaku menatap lekat matanya. Aku ingin mencari kebenaran di dalam sana. Dulu dia sangat mencintai Iren. Iren adalah cinta pertamanya, tapi kenapa sekarang dengan mudah ingin melepaskan wanita itu.Kutarik nafas panjang saat mendapati sesuatu di mata anakku. Memang tak ada lagi cinta untuk Iren di sana. Sebenarnya, aku sudah lama curiga, tepatnya saat Mila pergi dari rumah ini. Saat itu aku tau Hasan sudah mulai mencintai anak dari temanku itu."Tidak, Mas! Kamu tidak bisa memperlakukanku seperti ini. Kamu jahat, Mas! Kamu jahat!"Iren mengamuk membanting semua barang yang ada di dekatnya. Sesekali dia menjambak rambut pirangnya, hingga rambut sebahu itu menjadi acak-acakan. Aku sampai ngeri melihatnya seper

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 82 Ancaman Iren

    "Bentar, Bu Mila." Suara berat Pak Ilham spontan menghentikan langkahku. Aku membalikkan badan, lalu menatap pada lelaki yang baru kutahu adalah teman Ayahku. Kubalas tatapan teduhnya dengan seulas senyum tipis."Iya, Om.""Hati-hati ya, Nak. Jaga kandungan kamu."Senyumku melebar mendengar kata perhatiannya. "Iya, Om, terimakasih," balasku.Kupandangi semua yang ada di depan mata satu per satu. Mulai dari Ibu yang wajahnya terlihat tegang. Entah kenapa wajahnya seperti itu, padahal dulu wajah tua itu selalu saja angkuh. Mas Hasan yang menatapku dengan tatapan lembut, entahlah ... mungkin itu perasaanku saja, lagipula, aku sudah tidak berharap lagi. Iren ... apalagi wanita itu, dia menatapku dengan senyum penuh kemenangan. Seperti baru saja mendapat piala Oscar.Setelah puasa menatap, aku membalikkan badan sebelymnya mengucap salam. Kulangkahkan kaki seraya menggandeng tangan Zulfa keluar melewati pintu."Pak bisa pulang. Terimakasih sudah menunggu saya," ucapku pada Pak Asep yang se

  • Desahan Dikamar Tamu   Bab 81 Rahasia Yang Terbongkar

    "Mila sehat aja, Pak. Dia dan Hasan lagi menunggu bayi mereka yang sebentar lagi lahir." Bukan aku yang menjawab tapi Ibu. Wanita bertubuh sedikit berisi itu tersenyum sumringah pada Pak Ilham. Seolah bahagia menunggu kehadiran cucu. Kubuang pandangan pada Mas Hasan, pria itu hanya menunduk."Saya hanya ingin memastikan saja. Apakah Bu Mila bahagia.""Jelaslah bahagia, Pak. Orang sudah hamil besar begitu, kenapa pula tidak bahagia." Lagi-lagi Ibu yang menjawab.Aku menatap Pak Ilham. Dia sudah tau, jika aku dan Mas Hasan sudah bercerai, tapi kenapa masih berpura-pura."Baguslah, Bu, jika Bu Mila bahagia. Sesuai dengan keinginan Pak Gunawan."Kulihat Ibu tersenyum tipis. Senyuman tidak ikhlas. "Maaf, Om. Sebenarnya apa maksud saya dipanggil ke sini?" Kulirik dari ekor mata Ibu menatapku tajam, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu, apa maksud mereka menyuruhku datang dan berpura-pura seolah masih suami istri dengan Mas Hasan."Loh ... bukankah ini rumah Bu Mila? Apa maksudnya

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status