Share

Bab 3 Bu bidan penasaran

"Aku gak mau tahu ya, Mas. Kalau Mbak Salma beneran hamil, kamu harua tetep nikahin aku dan jangan sampai perhatian kamu ke aku berkurang."

Tespek dalam genggaman ku remas hingga sedikit lecek karena tespek yang bidan Siska berikan padaku tadi tipe tespek yang kecil dan bukan tespek digital dengan bahan yang kuat.

Ayu benar-benar keterlaluan. Sudah seberapa jauh hubungan mereka hingga sepertinya Ayu sangat lengket pada suamiku. Kedua manusia itu terdiam saat aku kembali dari kamar mandi dan memberikan hasil tes itu kepada bidan Siska.

"Ini, Bu. Garis dua," ucapku datar. Entah kenapa, aku tidak merasa bahagia sama sekali. Mungkin sedikit, ya, sangat sedikit hingga tak bisa ku gambarkan dalam wajahku.

Padahal, momen ini adalah yang paling ku nanti selama lima tahun pernihakan dengan mas Amar. Tapi, kenyataan pahit itu membuat kabar bahagia ini kehilangan rasa. Hambar dan aki cenderung tak menyambutnya dengan rasa suka.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu hamil, Salma."

Mas Amar bangkit dari duduknya dan nyaria memelukku jika saja tanganku tak dengan cepat menepis dan tubuhku yang bergerak menjauh. Bidan Siska yang duduk di hadapanku tersenyum kikuk. Mungkin ia merasa heran dengan reaksiku.

"Selamat, ya, Mbak Salma. Mbak Salma positif mengandung. Saya bahkan sudah bisa merabanya di perut Mbak Salma. Untuk menentukan usianya, saya harus tahu kapan terakhir kali Mbak Salma haid? Hari pertama keluar darah di haid terakhir."

Bidan Salma mengeluarkan buku

berwarna merah muda dengan gambar seorang laki-laki dan perempuan yang sedang mengandung dan menggandeng seorang bocah perempuan. Mungkin itu yang biasa orang-orang sebut sebagai 'buku pink'.

"Saya lupa, Bu Bidan. Sayah hanya ingat bulannya saja. Bulan Nopember."

Bidan Siska terlihat menulis di buku berwarna merah muda tersebut setelah mengutak-atik benda berbentuk seperti cakram yang aku sendiri tak tahu benda apa itu.

"Baik, Mbak. Sesuai perkiraan dari HPHT atau hari pertama haid terakhir, HPL atau hari perkiraan lahirnya yaitu bulan Agustus tahun ini. Jadi, sekarang usianya sudah sekitar tiga bulan. Kalau Mbak Salma ini lebih akurat lagi, Mbak Salma bisa

langsung ke dokter kandungan untuk melakukan USG."

"Baik, Bu."

Terdengar seperti suara hentakan kaki, aku sedikit menoleh dan rupanya itu suara kaki Ayu yang dihentakkan kasar ke atas lantai sebelum ia berlalu dari sana. Mas Amar tanpa memikirkan perasaanku, ia justru memilih untuk mengejar Ayu yang

sedang merajuk.

"Ini, Bu. Garis dua," ucapku datar. Entah kenapa, aku tidak merasa bahagia sama sekali. Mungkin sedikit, ya, sangat sedikit hingga tak bisa ku gambarkan dalam wajahku.

Padahal, momen ini adalah yang paling ku nanti selama lima tahun pernihakan dengan mas Amar. Tapi, kenyataan pahit itu membuat kabar bahagia ini kehilangan rasa. Hambar dan aki cenderung tak menyambutnya dengan rasa suka.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu hamil, Salma."

Mas Amar bangkit dari duduknya dan nyaria memelukku jika saja tanganku tak dengan cepat menepis dan tubuhku yang bergerak menjauh. Bidan Siska yang duduk di hadapanku tersenyum kikuk. Mungkin ia merasa heran dengan reaksiku.

"Selamat, ya, Mbak Salma. Mbak Salma positif mengandung. Saya bahkan sudah bisa merabanya di perut Mbak Salma. Untuk menentukan usianya, saya harus tahu kapan terakhir kali Mbak Salma haid? Hari pertama keluar darah di haid terakhir."

Bidan Salma mengeluarkan buku berwarna merah muda dengan gambar seorang laki-laki dan perempuan yang sedang mengandung dan menggandeng seorang bocah perempuan. Mungkin itu yang biasa orang-orang sebut sebagai 'buku pink'.

"Saya lupa, Bu Bidan. Sayah hanya ingat bulannya saja. Bulan Nopember."

Bidan Siska terlihat menulis di buku berwarna merah muda tersebut setelah mengutak-atik benda berbentuk seperti cakram yang aku sendiri tak tahu benda apa itu.

"Baik, Mbak. Sesuai perkiraan dari HPHT atau hari pertama haid terakhir, HPL atau hari perkiraan lahirnya yaitu bulan Agustus tahun ini. Jadi, sekarang usianya sudah sekitar tiga bulan. Kalau Mbak Salma ini lebih akurat lagi, Mbak Salma bisa langsung ke dokter kandungan untuk melakukan USG."

"Baik, Bu."

"Maaf, Mbak Salma. Itu Ayu adiknya Mbak Salma, kan? Kenapa terlihat dekat sekali dengan suaminya Mbak Salma?"

Aku bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin aku mengumbar aib rumah tanggaku sendiri disini, di kampungku sendiri. Apa nanti kata orang-orang kalau tahu Ayu selingkuh dengan kakak iparnya sendiri. Tentu bukan hanya Ayu yang malu, melainkan aku dan juga ibu.

Mengingat ibu, hatiku kembali terasa ngilu. Kenapa selama ini ibu tidak jujur dengan statusku. Kalaupun aku tahu, tidak mungkin juga aku akan meninggalkan ibu yang sudah merawatku sejak aku masih bayi merah. Tentu aku akan tetap berbakti padanya.

"Emm, itu, Bu. Ayu selama di kuliah di kota, kan, memang tinggal di rumah saya. Jadi, mereka memang sudah akrab seperti saudara sendiri."

"Sebelumnya maaf, ya, Mbak. Tapi, gak baik lho kalau kita yang sudah berkeluarga tinggal bareng saudara ipar. Apalagi iparnya masih bujangan. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."

Aku tersenyum canggung. Tak ku balas ucapannya. Bidan Siska kembali menuliskan entah apa di buku catatan besarnya. Setelah itu berdiri untuk mengambil obat di lemari besar tempat khusus penyimpanan obat.

"Ini ada tablet tambah darah. Tolong dihabiskan ya, Mbak."

Bidan Siska menyerahkan buku pink beserta satu strip tablet tambah darah. Tak ingin berlama-lama disana, aku segera keluar. Rupanya, Ayu dan mas Amar masih di depan. Sepertinya Ayu benar-benar merajuk. Aku memutuskan untuk diam di belakang mereka yang sedang membicarakan sesuatu.

"Kalau dia beneran hamil, berarti kamu gak jadi cerai dong, Mas, sama dia."

Bisa ku lihat bibirnya yang mengerucut sebal. Rasanya ingin ku ikat dengan karet gelang moncong adikku itu.

"Ya, kan, Mas juga gak bilang mau cerai sama Salma. Mas gak bisa, Yu."

"Kenapa, sih? Katanya kamu cinta sama aku. Aku udah ngasih kamu apa yang kamu harap-harapkan dari Mbak Salma, lho. Ini udah ada anak kami disini," ucap Ayu sembari mengusap perutnya yang masih rata.

"Tapi, sekarang Salma juga sudah hamil anak aku. Gimana, dong?"

"Tanpa kamu ceraikan, aku yang akan lebih dulu menggugat kamu, Mas," ucapku menghampiri keduanya. Mas Amar sedikit terkejut dengan kehadiranku.

"S-salma? Tapi, Sal. Kamu lagi hamil sekarang, kita gak bisa cerai, lho. Aku juga cinta mati sama kamu."

"Mas!" Sentak Ayu. Sepertinya ia tidak terima jika mas Amar mengaku masih mencintaiku.

"Cinta mati tapi selingkuh. Kamu mau mati di tanganku?"

Aku mendelik dan mas Amar terlihat menelan ludahnya susah payah. Tak ku hiraukan dua manusia itu, ku rebut kunci mobil di tangan mas Amar dan segera masuk ke dalam mobil. Pusinhku sudah jauh berkurang. Mengendarai mobil ini sampai rumah ibu rasanya tak begitu susah.

"Heh, Mbak, tunggu! Kamu mau ninggalin kami disini?" teriak Ayu yang sadar jika pintu mobil sudah ku kunci dan roda kendaraan ini mulai meninggalkan pekarangan rumah bidan Siska.

"Maaf, Ayu. Tapi aku tidak sudi berada satu mobil dengan manusia-manusia bejat macam kalian. Rumah ibu hanya berjarak satu kilo meter dari sini. Jalan kaki tidak akan membuatmu pingsan," ucapku sebelum benar-benar meninggalkan mereka berdua.

Suara Ayu masih terdengar tapi tak ku pedulikan. Jika saja tadi aku tidak dalam kondisi pingsan, aku juga tidak sudi mereka membawa tubuhku ke tempat ini.

"Dasar jahat, gak punya hati! Aku ini

sedang hamil, ku sumpahi mobilmu itu nabrak pohon sekalian!" teriak Ayu dan Amar segera menutup mulut selingkuhannya dengan tangannya yang besar.

"Kamu ini apa-apaan, sih, Mas?!"

"Kamu jangan teriak-teriak gitu, dong. Kalau kedengeran orang gimana? Orang-orang kampung sini kan tahunya kamu masih kuliah, Yu."

Ayu tertegun sejenak. Karena rasa kesal pada sang kakak, ia tidak sadar sudah membuka aibnya sendiri. Untung saja tidak ada orang lain disana, kecuali bidan Siska yang rupanya masih penasaran dengan keluarga Salma dan berdiri tak jauh dari pintu agar bisa melihat apa yang terjadi di

depan rumahnya.

"Ooh, jadi si Ayu hamil. Jangan-jangan, benar dugaanku kalau Ayu ada main sama suaminya mbak salma.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status