Bara terlelap dalam damai setelah percintaan panasnya dengan Indira. Sementara wanita itu, ia kembali ke kamarnya dengan perasaan hancur. Ia berjalan masuk ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya yang masih memakai pakaian lengkap dengan air yang mengalir.
"Aku sudah kotor, a-aku kotor, ibu ...," lirih Indira seraya menggaruk-garuk tubuhnya dengan frustasi. "Aku kotor ..." "Aku tidak bisa menjaga diriku. Aku gagal menjaganya." Tak pernah Indira duga, di hari pertamanya bekerja, ia harus mengalami kejadian mengerikan ini. Akan tetapi, ia tidak bisa terus terpuruk seperti ini. Semuanya sudah terjadi. Meski tubuhnya sakit, seperti terasa remuk. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan dosa yang sudah ia lakukan. "Aku harus resign dari sini. Aku nggak bisa bekerja di rumah ini lagi. Aku harus pergi," gumam Indira disela-sela isak tangisnya yang terdengar pilu, menggema di kamar mandi itu. "Indira. Kamu kemana? Saya nyariin kamu dari tadi." Indira terkejut, manakala ia mendapati Tuti, kepala pelayan yang mengajaknya bekerja di rumah ini ada di kamarnya sekarang. Tepat saat Indira keluar dari kamar mandi. "Sa-saya habis dari kamar tuan Bara, tadi. Mbok. Te-terus tadi saya ke halaman belakang sebentar," jelas Indira beralibi. "Oh. Jadi kamu sudah beres-beres kamarnya? Baguslah. Saya kira kamu kemana." Tuti, wanita paruh baya itu menatap Indira dengan heran. Tatapannya tertuju pada rambut Indira yang basah dan wajah pucat wanita itu. "Eh, kamu habis mandi? Kamu mandi tengah malam seperti ini?" Indira tidak bisa menyembunyikan kegelisahan dan kegugupannya. Tubuhnya tampak gemetaran. "Sa-saya gerah tadi, Mbok. Ja-jadi saya mandi." Tuti mengerutkan keningnya, usai mendengar penjelasan Indira yang tidak masuk akal. Di cuaca sedingin ini, bahkan hujan deras disertai petir di luar sana, tapi Indira merasa gerah. "Ya sudah. Kamu tidur saja. Nanti pagi dan seterusnya kamu akan banyak pekerjaan. Kamu harus melayani tuan Bara dan mengurus lantai dua." Indira hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Tanpa melihat ke arah Tuti. Sebab, sedari tadi ia menyembunyikan wajahnya dengan menundukkan kepala. Setelah kepergian Tuti, Indira menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang kamarnya. "Besok aku harus resign. Aku nggak peduli dengan gajinya. Aku harus pergi. Aku nggak mau di sini." Ia sudah bertekad untuk pergi dari rumah ini, karena kejadian buruk yang terjadi padanya beberapa jam lalu. *** Sementara itu, cahaya yang menembus melalui celah-celah jendela kamarnya, membuat Bara terpaksa membuka matanya. Ia merasa fresh setelah kegiatan yang ia lakukan semalam bersama Indira. Wanita yang dipikirnya adalah Bella. "Aku nggak nyangka, Bella ternyata tidak jadi pergi dan dia melayaniku semalam," ucap Bara sambil senyum-senyum sendiri, mengingat sedikit permainannya dengan Bella yang sangat panas. Bahkan dengan sengaja, Bara menumpahkan semua cairan vanila miliknya agar segera menjadi kehidupan di rahim istrinya. "Semalam Bella sempit sekali," gumamnya dengan senyuman penuh kepuasan terpatri dibibirnya. Lelaki bertubuh tegap itu beranjak duduk di atas ranjang, dengan perasaan bahagia. Disampingnya sudah tidak ada siapa-siapa. "Pasti semalam Bella datang, karena merasa bersalah padaku. Tapi sekarang dia sudah pergi lagi untuk pekerjaannya itu." Pikir Bara demikian. Istrinya memang selalu sibuk dengan kegiatan modelingnya. Tidak mengenal, pagi, siang atau malam. Akan tetapi, semalam Bara sudah cukup terpuaskan dengan service istrinya. Namun, pikiran itu segera lenyap, ketika Bara menyingkap selimut dan melihat ada bercak darah di atas seprai yang didominasi oleh warna biru tersebut. "Apa ini darah Bella? Apa mungkin semalam ia datang bulan?" Bara bertanya-tanya. Sampai ponselnya berdering disamping nakas. Bara mengambil ponsel tersebut dan membukanya. My Wife : [Send Picture] My Wife : [Sayang, maaf ya kemarin sore aku terpaksa pergi. Perjalananku ke Paris ternyata bukan cuma 3 hari tapi seminggu. Jangan marah ya sayang. Nanti setelah pulang, aku janji ...akan penuhi semua yang kamu mau, love you Bara Sayang] Kening Bara mengerut, kala melihat isi pesan istrinya itu. Pesan tersebut menunjukkan kalau istrinya benar-benar pergi dari kemarin sore dan foto itu juga menunjukkan kalau ia sudah dipesawat tadi malam. Jadi, siapa wanita semalam yang memuaskan dahaganya itu, jika bukan Bella? "Sial!" Guna menghilangkan pikiran yang berkecamuk di kepalanya, Bara segera melangkah pergi dari ranjangnya dan membasuh tubuhnya dibawah guyuran air. Kepalanya masih terasa panas, memikirkan siapa yang bermain dengannya semalam? "Siapa wanita kurang ajar yang sudah berani masuk ke dalam kamarku dan Bella? Beraninya dia menggodaku!" Tangan Bara terkepal dan memukul tembok kamar mandi dengan tangan kosongnya itu. Sialnya, ia tidak tahu wajah wanita semalam yang masih sempit itu. "Bagaimana jika Bella tahu kalau aku bermain dengan wanita lain?" Walaupun hubungannya dan Bella tidak berjalan mulus akhir-akhir ini, tapi ia sangat mencintai Bella. Ia tak pernah berpaling dari wanita itu sekalipun, meski minuman keras menjadi temannya saat gundah. Namun, semalam, ia sepertinya sudah melakukan kesalahan besar. Usai mandi dan membereskan seprai bekas percintaannya semalam, ke atas keranjang cucian. Bara mengganti pakaiannya dengan pakaian kerja. Setelan jas berwarna hitam dan kemeja rapi. Ia pun bergegas berjalan menuruni tangga, menuju ke ruang makan. Di mana para pelayannya sudah menyiapkan sarapan pagi di sana. "Kenapa kamu mau keluar dari sini, Indira? Kamu belum dua puluh empat jam bekerja di sini dan juga ...kamu bahkan belum berkenalan dengan tuan Bara!" Suara keras kepala pelayan di rumahnya, membuat Bara menghentikan langkahnya di anak tangga terakhir yang ia pijaki. Ia melihat Tuti sedang bersama seorang wanita yang membawa tas besar ditangannya. "Kamu butuh uang kan? Kamu yang minta pekerjaan sama saya, Indira. Terus kenapa sekarang kamu malah seperti ini?" Tuti terdengar marah, suaranya keras dan membentak. "Maafkan saya Mbok. Sa-saya harus pergi. Sa-saya tidak bisa bekerja di sini lagi. Sa-saya ..." "Ada apa ini, kenapa pagi-pagi sudah ribut?" Suara bariton rendah milik lelaki itu, sontak saja membuat Indira gemetaran. Buru-buru wanita itu menundukkan kepalanya. Jantungnya berdegup kencang. Tuti menundukkan kepalanya, seraya memberi hormat pada tuannya itu. "Selamat pagi, Tuan." "Dia siapa, Mbok?" Bara tidak menjawab sapaan Tuti, tapi malah bertanya siapa wanita yang ada di depan Tuti. Tatapan Bara tertuju pada Indira yang menundukkan kepalanya, sambil memainkan kuku-kuku tangannya sendiri. "Dia pembantu baru di rumah ini, Tuan. Menggantikan mbok Yeni." Bara mendekat ke arah Indira dan ia mencium sesuatu dari wanita itu. "Wangi ini? Ini kan wangi yang ..." kata Bara dalam hatinya. Lelaki itu terkejut, matanya tercekat saat mencium aroma tubuh Indira. "Angkat kepala kamu!" Bersambung...Tanpa mempedulikan istrinya yang akan mengomel seperti biasa, Bara melangkah pergi dari sana. Ia harus sarapan dan segera ke kantor. Sebelum ke kantor, ia juga harus mengantar Celine ke sekolah."Kenapa Bella tidak minta maaf sama aku? Setelah dia meninggalkanku begitu saja malam itu, tanpa pamit."Lelaki itu rupanya masih kesal, karena teringat pertengkaran mereka terakhir kali. Di mana Bella sangat keras kepala, meski dilarang pergi oleh Bara, wanita itu tetap pergi meninggalkannya."Sial! Kenapa sekarang aku malah ingat kejadian malam itu?" Bara mengumpat, karena ia malah ingat kejadian malam panas bersama pembantu cantik di rumahnya, beberapa hari lalu.Ketika Bara sampai di lantai bawah, ia melihat pemandangan yang kurang menyenangkan dan etis menurutnya. Indira yang sedang duduk di kursi meja makan dan bersampingan dengan Celine. Hal yang tak seharusnya dilakukan pembantu."Apa yang kamu lakukan?"Sontak saja Indira terperanjat melihat sosok Bara sudah ada dibelakangnya. Suara l
Bara dan Indira terkejut melihat kedatangan seorang wanita cantik berambut panjang dan bertubuh proposional yang menatap mereka dengan sepasang mata birunya membara."Wanita jalang! Beraninya kamu menggoda suamiku!" bentak wanita itu seraya menarik rambut Indira dengan kasar. Sehingga Indira menjauh dari Bara."Aakkh. Tolong lepaskan saya. Sa-sakit..." Indira meringis kesakitan, ketika merasakan tarikan kuat pada rambutnya yang dicepol itu. Seakan-akan rambutnya akan copot dari kepalanya detik itu juga.Cepol rambut Indira lepas dan membuat rambut panjangnya yang berwarna hitam tergerai."Berani ya kamu menggoda suami saya, hah?" sentak Bella emosi, tanpa melepaskan tangannya dari rambut Indira."Nyo-nyonya salah paham. Sa-saya tidak—aaakhh.""Sayang, kamu salah paham." Bara memegang tangan Bella dan berusaha menghentikan istrinya itu.Bella menatapnya tajam. "Salah paham apa? Jelas-jelas kamu pelukan sama dia, Bara! Kamu ada main sama wanita jalang ini, kan?" sungutnya."Lepaskan dia
Sontak saja wajah Bara dan Indira memucat, usai mereka mendengar suara yang ada di depan pintu.Mereka lebih terkejut lagi saat melihat seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruangan tersebut dan tiba-tiba wanita itu berada di tengah-tengah mereka."Apa sudah mulai ada kabar baik, Bar? Apa mantu mamih sudah mengandung?" tanya Mayang seraya menatap ke arah putranya. Dengan tatapan berbinar-binar yang penuh dengan harapan.Bara buru-buru menepis pertanyaan dari Mayang. Sebelum wanita itu kembali berharap akan datangnya seorang cucu darinya dan Bella. "Tidak Mih. Bukan begitu."Kemudian tatapan Mayang tertuju tajam ke arah Indira. Seorang wanita asing yang sedang bersama dengan putranya, di dalam ruangan yang tertutup."Dan kamu—siapa? Kenapa kamu bisa bersama dengan anak saya di sini?" tanyanya dengan nada yang datar.Sebelum Bara menjawabnya. Indira menjawab lebih dulu pertanyaan dari Mayang. "Sa-saya pembantu baru di rumah ini, Nyonya. Nama saya Indira.""Oh ... jadi kamu pembantu b
Indira tercekat, ketika ia melihat dengan jelas siapa yang berdiri tak jauh darinya. "Tuan Bara?" gumamnya pelan. Seakan tak percaya kalau ada Bara di sini."Jangan ikut campur, kalau tidak mau babak belur!"Bara tersenyum tipis, ia memandang ketiga pria bertubuh besar itu dengan remeh. Kemudian berkata tanpa rasa takut. "Kalian yang akan babak belur, kalau berurusan dengan saya!""Kamu nantangin kita hah!"Kedua pria itu mendekati Bara dengan emosi, sementara satu pria lainnya masih memegang tangan Indira dengan kuat. Akhirnya terjadi perkelahian yang melibatkan baku hantam di sana. Dengan mudahnya, hanya dengan hitungan detik, Bara berhasil melumpuhkan keduanya. Mereka yang semula menantangnya, kini terkapar di atas aspal dengan ringisan kesakitan yang keluar dari bibir mereka."A-ampun ...jangan pukuli kami lagi.""Sudah cukup, ini sakit sekali," kata pria berkepala plontos itu sambil memegang perutnya yang terasa sakit seperti diremas-remas. Akibat ulah Bara."Saya kan sudah bilan
Indira terdiam membeku, mendengar kata-kata perintah dari Bara untuk mengangkat kepalanya. Suara Bara malah membuatnya teringat kejadian semalam. Bahkan rasa sakit karena kegiatan semalam saja, masih belum hilang. "Aku tidak boleh mengangkat kepalaku," gumam Indira dalam hatinya. "Kamu tuli?!" Suara Bara terdengar meninggi. Pertanda bahwa perintahnya tak boleh dibantah. Tuti langsung menyenggol lengan Indira, kemudian berbisik, "Indira, Tuan bicara sama kamu. Cepat lakukan apa yang dia katakan!" Dengan ragu, Indira mendongakkan kepalanya perlahan-lahan. Hingga akhirnya sepasang matanya yang berwarna coklat muda itu bertemu dengan sepasang mata berwarna abu-abu milik Bara. "Siapa namamu?" tanya Bara. Indira menjawab terbata-bata."Na-nama saya Indira, Tu-tuan." Terjawab sudah pertanyaan Bara pagi ini, ketika ia mendengar suara Indira. Kilatan ingatan semalam yang samar-samar mulai muncul di kepalanya. "Tu-tuan, tolong le-lepaskan saya. Saya bukan nyonya Bella. Saya Indira, Tuan.
Bara terlelap dalam damai setelah percintaan panasnya dengan Indira. Sementara wanita itu, ia kembali ke kamarnya dengan perasaan hancur. Ia berjalan masuk ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya yang masih memakai pakaian lengkap dengan air yang mengalir."Aku sudah kotor, a-aku kotor, ibu ...," lirih Indira seraya menggaruk-garuk tubuhnya dengan frustasi. "Aku kotor ...""Aku tidak bisa menjaga diriku. Aku gagal menjaganya."Tak pernah Indira duga, di hari pertamanya bekerja, ia harus mengalami kejadian mengerikan ini. Akan tetapi, ia tidak bisa terus terpuruk seperti ini. Semuanya sudah terjadi.Meski tubuhnya sakit, seperti terasa remuk. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan dosa yang sudah ia lakukan. "Aku harus resign dari sini. Aku nggak bisa bekerja di rumah ini lagi. Aku harus pergi," gumam Indira disela-sela isak tangisnya yang terdengar pilu, menggema di kamar mandi itu."Indira. Kamu kemana? Saya nyariin kamu dari tadi."Indira terkejut, manakala ia mendapati Tuti, k