MasukIndira terdiam membeku, mendengar kata-kata perintah dari Bara untuk mengangkat kepalanya. Suara Bara malah membuatnya teringat kejadian semalam. Bahkan rasa sakit karena kegiatan semalam saja, masih belum hilang.
"Aku tidak boleh mengangkat kepalaku," gumam Indira dalam hatinya. "Kamu tuli?!" Suara Bara terdengar meninggi. Pertanda bahwa perintahnya tak boleh dibantah. Tuti langsung menyenggol lengan Indira, kemudian berbisik, "Indira, Tuan bicara sama kamu. Cepat lakukan apa yang dia katakan!" Dengan ragu, Indira mendongakkan kepalanya perlahan-lahan. Hingga akhirnya sepasang matanya yang berwarna coklat muda itu bertemu dengan sepasang mata berwarna abu-abu milik Bara. "Siapa namamu?" tanya Bara. Indira menjawab terbata-bata."Na-nama saya Indira, Tu-tuan." Terjawab sudah pertanyaan Bara pagi ini, ketika ia mendengar suara Indira. Kilatan ingatan semalam yang samar-samar mulai muncul di kepalanya. "Tu-tuan, tolong le-lepaskan saya. Saya bukan nyonya Bella. Saya Indira, Tuan. Sa-saya pelayan baru di rumah ini. Tu-tuan salah orang." "Tuan, saya mohon hentikan!" Suara-suara yang terngiang di kepalanya, adalah suara wanita semalam yang tidur dengannya. "Jadi dia wanita tadi malam?" Pikirnya dalam hati dengan yakin. "Kamu mau keluar dari pekerjaan ini, Indira?" tanya Bara yang sedang berusaha mempertahankan sikapnya seperti biasa. Meskipun pikirannya ruwet dan dipenuhi rasa takut, serta rasa bersalah. "I-iya Tuan." "Saya akan setuju. Asal kamu ikut saya dulu, mari kita bicara." "Ta-tapi Tuan, sa-saya—" Belum sempat Indira menyelesaikan ucapannya, Bara sudah lebih dulu melangkah pergi menaiki tangga ke lantai atas. Lelaki itu tidak bicara apa-apa, tapi sikapnya sangat dingin dan tegas. "Kamu ikuti Tuan. Cepat, Indira!" titah Tuti. Mau tak mau, dengan terpaksa, Indira mengikuti tuannya yang sudah naik ke lantai atas. Dalam hati ia berdoa, agar tidak terjadi sesuatu kepadanya. Mereka berdua pun berhenti di dalam ruang kerja Bara. "Tutup pintunya," titah Bara setelah ia duduk di atas kursi yang ada di sana. "I-iya Tuan." Indira menurut dan menutup pintu ruangan itu dengan perlahan-lahan. Namun, setelahnya, ia malah berdiri di depan pintu dan tidak bergerak. "Kemari." "Sa-saya disini saja Tuan.Silakan kalau tuan mau bicara." "Kamu membantah saya?" Bara mendengus. Kesal sekali dengan wanita dihadapannya ini. "Jangan sampai saya berkata dua kali." Indira bergerak mendekati Bara dan duduk di kursi yang berhadapan dengan tempat duduk lelaki itu. Kepalanya tetap menunduk. "Kamu tidak akan bicara apa-apa pada saya?" Setiap pertanyaan dingin dari pria itu, membuat jantung Indira berdegup kencang. "Saya hanya ingin keluar dari pekerjaan ini, Tuan. Tidak apa-apa meski tidak dibayar, karena saya juga belum mulai bekerja." "Kenapa?" tanyanya lagi seraya menatap tajam wanita itu. "Saya akan cari pekerjaan lain di kampung saya, a-agar saya bisa dekat dengan keluarga saya." Indira berusaha tersenyum dan terlihat baik-baik saja. Namun, matanya tak bisa berbohong. "Bukan karena kejadian semalam?" Jantung Indira seperti tercabut dari raganya saat mendengar pertanyaan Bara berikutnya yang membuat dirinya tercengang. Kedua matanya melebar, tangannya gemetaran hebat. "Tu-tuan ..." "Kamu wanita semalam yang datang ke kamar saya dan tidur dengan saya, kan?" Lidah Indira kelu, ia tidak mengira kalau Bara akan menanyakan ini. Bukannya mengelak, Bara terkesan mengakuinya. "Saya tidak suka bertanya dua kali." "I-iya Tuan. Saya wanita semalam yang—" Indira tak mampu melanjutkan kata-katanya. Tangan Bara terkepal usai mendengar jawaban yang tak ingin ia akui itu. Gurat emosi tampak jelas diwajahnya. "Lancang sekali kamu masuk ke kamar saya malam-malam. Kamu sengaja menggoda saya atau bagaimana?" Mendengar tuduhan itu, Indira langsung menggeleng-gelengkan kepalanya dan kedua matanya mulai berkaca-kaca. "Itu tidak benar, Tuan. Semalam saya disuruh mbok Tuti untuk menemui Tuan dan memperkenalkan diri. Ta-tapi baru saja saya masuk ke dalam kamar, Tuan langsung menarik saya dan—" "Jangan dilanjutkan! Saya tahu kamu pasti akan menyalahkan saya." Bara bangkit dari tempat duduknya, kemudian mengambil sesuatu dari bawah mejanya. Indira tak melihat apa yang diambilnya, karena terhalang oleh meja kerja. "Ambil ini dan tutup mulut selamanya!" Prak! Indira terkejut, kala Bara melempar amplop coklat besar ke hadapannya. Beberapa lembar uang seratus ribuan terlihat keluar dari amplop itu. "Apa maksud Tuan?" tanya wanita muda itu dengan polosnya. "Kamu bisa pergi, setelah kamu ambil uang ini, tapi kamu harus tutup mulut. Jangan sampai ada siapapun tahu tentang kejadian semalam. Paham?" Indira tidak mengambil uang di dalam amplop yang diberikan padanya. Ia malah beranjak dari tempat duduk itu dengan perasaan berkecamuk. "Tuan tenang saja. Saya akan tutup mulut tentang hal semalam dan saya juga tidak akan menerima uang dari Tuan." "Tidak usah sok jual mahal. Saya tahu tujuan kamu datang ke kamar saya untuk menggoda saya!" Bara tetap berpikir demikian tentang Indira. Bahwasanya wanita itu sengaja menggodanya. "Dan—kamu pasti mau uang. Sudah saya tebak, bagaimana pikiran orang rendahan seperti kamu," lanjutnya dengan sarkas. Seketika Indira tercekat, ia menatap Bara dengan kedua matanya yang memerah dan sudah dipenuhi cairan bening. "Terserah apa yang Tuan pikirkan. Ta-tapi saya tidak akan menerima uang itu." "Saya janji, saya tidak akan memberitahukan hal ini kepada siapapun juga. Toh, saya juga akan pergi sekarang," kata Indira lagi dengan suara parau yang membuat hati Bara terasa aneh. "Kelak ...saya juga tidak akan meminta pertanggungjawaban pada Tuan." Setelah mengatakan apa yang ingin ia katakan, Indira keluar dari ruang kerja Bara. Tanpa mengambil uang sepeserpun yang akan semakin merendahkan harga dirinya. Ia memutuskan untuk melupakan semuanya dan menganggap tidak pernah terjadi apa pun. Bara juga acuh, ia tidak ada niatan menahan Indira. Biarlah wanita itu pergi, pastinya ia juga tidak akan berani macam-macam. "Jangan pikirkan dia Bara! Jangan pikirkan dia." Bara berusaha mengenyahkan Indira dari pikirannya. Meskipun sebenarnya di lubuk hatinya yang terdalam, ia merasa bersalah, karena sudah mengambil kehormatan Indira. Namun, di sisi hatinya yang lain, ia merasa kalau wanita itu memang sengaja menggodanya. *** Mentari berganti menjadi rembulan. Hari sudah malam, tapi Indira masih berada di ibu kota. Wanita itu tampak kebingungan. "Mbok Tuti benar-benar nggak kasih uang sepeserpun buat aku. Padahal aku butuh ongkos buat pulang ke kampung. Mbok Tuti bener-bener marah sama aku. Gimana ini?" gumam Indira gelisah, sambil duduk di halte bus terdekat di sana. Indira melihat uang di dompet kecilnya yang sisa 20 ribu. "Aku juga belum makan. Laper." Ia pun memutuskan untuk mencari pedagang disekitar sana terlebih dahulu, guna mengganjal perutnya yang sedari tadi berbunyi. Namun, ditengah perjalanan, di jalanan yang sepi. Ia melihat tiga orang laki-laki mengikutinya dari belakang. "Siapa mereka?" Merasakan firasat tidak baik. Indira memutuskan untuk berlari cepat. Benar saja, tiga orang pria itu mengejarnya. "Hey, mau kemana kamu? Berhenti!" Indira berlari semakin cepat, ia panik dan kepanikan itu malah membuatnya jatuh tersungkur ke jalanan beraspal itu. "Kamu tidak akan bisa kemana-mana." "Ayo ikut kami!" Ketiga pria itu sudah menghadangnya, sebelum ia sempat berdiri, apalagi melarikan diri. Keringat dingin membasahi wajah Indira. "To-tolong lepaskan saya." Tiga orang pria itu menarik kasar tangan Indira, menyeretnya pergi. Tak peduli Indira memberontak sekalipun. "TOLONG! TOLONG!" Teriakan lantang seorang pria sontak saja membuat waktu seakan terhenti. "LEPASKAN DIA!" Bersambung...Langit malam itu tampak suram, redup tanpa bintang. Jalan kampung yang mereka lalui masih becek, air hujan belum benar-benar surut. Bara berjalan di sisi kanan, sementara Andi, remaja berusia enam belas tahun itu, berjalan di kiri sambil menendang-nendang kerikil yang tergenang lumpur. Suara jangkrik bercampur desah angin malam membuat suasana terasa lebih sepi.Andi sesekali menatap Bara dengan ragu, tapi kemudian mulai berbicara. “Pak, maaf ya kalau di rumah tadi agak berantakan. Kami memang nggak punya banyak barang. Kak Indira bilang, rumah kecil tapi hati harus luas.”Bara tersenyum tipis. “Kamu mirip kakakmu kalau bicara.”Andi terkekeh kecil. “Kata Ibu juga begitu, Pak. Tapi Ibu sekarang udah gak ada. Kalau nggak ada Kak Indira, entah gimana nasib kami.”Bara mengerutkan kening. “Hem, ibu kalian sakit-sakitan? Sudah lama?”Langkah Andi terhenti sejenak. Ia menatap ke depan, ke arah jalan gelap yang hanya diterangi satu lampu jalan yang berkedip. “Sudah lama banget, Pak. Sejak B
Bara sontak berdiri dari kursinya. Cangkir kopi di tangannya hampir jatuh ketika mendengar suara Elin yang memanggil dari dalam rumah. Dadanya berdetak cepat.“Dia... dia sudah sadar?” Bara memastikan dengan suara tercekat.“Iya, Kak. Tapi kelihatannya Kakak dia masih lemah,” jawab Elin cepat, lalu berlari lagi ke dalam rumah.Andi menatap Bara sejenak sebelum tersenyum tipis. “Ayo, Pak. Kakak pasti mau lihat Bapak.”Dengan langkah ragu, Bara mengikuti Andi masuk ke dalam rumah sederhana itu. Di dalam kamar, ia melihat Indira masih terbaring dengan kedua matanya yang terbuka, wajahnya tampak pucat dan ia ditemani oleh Risa, adiknya yang paling kecil.“Tuan Bara...” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.Bara menghampiri pelan, menahan napasnya agar tidak terdengar gemetar. “Iya, Indira. Aku di sini.”Indira tersenyum samar. Tidak ada jawaban darinya. Namun, tangannya menyentuh perutnya sendiri."Kamu cuma butuh istirahat. Nanti begitu kita kembali ke kota, kamu harus diperiksa."Indi
Ucapan itu membuat dada Bella serasa diremas.Jantungnya seakan berhenti berdetak.Mayang menatapnya dingin, lalu berjalan menuju tangga. Namun sebelum naik, ia menoleh. “Dan satu hal lagi. Kalau kamu masih punya harga diri, berhentilah hidup dengan topeng bahagia. Bara bukan lelaki bodoh, cepat atau lambat, dia akan tahu siapa kamu sebenarnya. Oh iya ... jangan salahkan anakku kalau dia mencari kehangatan di luar sana."Lagi-lagi Mayang menekankan kata itu yang membuat Bella terperangah. 'Mencari kehangatan?' Tidak! Bara tak akan melakukan itu. Bara cinta mati padanya.Langkah kaki Mayang menjauh, meninggalkan Bella yang berdiri terpaku di tengah ruang tamu yang tiba-tiba terasa begitu sunyi.Tas-tas belanja itu tergeletak di lantai, dan di antara isak tangisnya, Bella berbisik lirih, “Bara… pulanglah malam ini. Tolong jangan biarin aku ngerasa kalau kamu mencari kehangatan di luar sana."Namun, malam justru semakin pekat. Bara masih bersama dengan Indira di desa, menunggu wanita itu
Bara panik. Jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat ketika tubuh Indira terkulai lemas di pelukannya. Wajah pucat gadis itu semakin membuat darahnya berdesir cepat. Ia menepuk pipi Indira perlahan.“Indira! Hei… buka matamu!” suaranya serak, penuh nada cemas yang tak mampu ia sembunyikan lagi.Namun, Indira tak juga bergerak. Kedua matanya terpejam rapat, napasnya tersengal pelan. Bara segera menggendong tubuh mungil itu, berlari ke ruang tengah dengan langkah besar dan terburu.“Radit! Celine! Tolong!” serunya lantang.Celine yang sedang berbincang dengan adik-adik Indira langsung melonjak kaget. “Kak Indi?! Astaga!”Radit ikut berdiri, mendekat dengan cepat. “Apa yang terjadi, Bara?”“Dia pingsan,” jawab Bara cepat, suaranya berat. “Cepat, di mana kamar tidurnya?”Elin dan Risa yang ketakutan menunjuk ke arah sebuah pintu kecil di sisi kiri ruang tamu. “Di sana, Kak… di kamar Ibu.”Tanpa banyak bicara, Bara melangkah masuk ke kamar yang ditunjuk. Kamar itu sempit dan sederhana,ha
Air mata Indira kini tertahan. Ia ingin bicara dan menjawab pertanyaan Bara, tapi bibirnya malah gemetar. Semua kata tertelan di tenggorokan, kala ia melihat Bara berdiri dihadapannya. Ia terkejut melihat kedatangan Bara, Celine dan Radit ke rumahnya.Celine pun mendekat dan memeluknya. “Kak Indi… kami semua khawatir sama kak Indi. Apalagi Om Bara."Bara menatap luka di pelipis Indira, memandang wajah lelahnya, lalu ke arah foto mendiang ibunya yang masih terpajang di dinding rumah tua itu."Apa yang terjadi selama dia di sini? Setahuku tak ada luka itu sebelum dia pergi." Pertanyaan itu hanya Bara simpan dalam hati. Ia takut dianggap terlalu peduli pada pelayannya sendiri."Hai Non Celine. Apa kabar?" tanya Indira seraya memasang senyum palsunya."Aku baik," ucap Celine. Tak lama kemudian ia menggelengkan kepalanya. "Eh—tapi nggak baik-baik aja karena kak Indi lama pulangnya!""Indira, maaf kalau kedatangan kami kemari mengagetkan kamu. Kami ke sini hanya ingin melihat keadaan kamu k
Bara terpaku. Kata-kata Radit seolah menggema tanpa henti di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak. Ia menatap kosong ke arah meja kerjanya yang penuh berkas, namun pikirannya melayang jauh, pada wajah Bella, ke setiap senyum dan tatapan lembut istrinya yang dulu membuatnya yakin telah menemukan rumah.Namun, sekarang… benarkah Bella sanggup mengkhianatinya seperti itu? Bella sangat mencintainya dan ia tahu itu.Suara Radit kembali terdengar di ujung telepon, pelan tapi tegas.“Bar, aku nggak ngomong sembarangan. Aku lihat langsung di lampu merah. Aku nggak tahu mereka udah sejauh apa, tapi…”Ia terhenti sejenak, seolah ragu melanjutkan. “Sepertinya mereka udah deket banget. Terlalu deket untuk sekadar hubungan kerja. Aku sangat yakin mereka berciuman."Bara menutup mata, mencoba menahan diri agar tidak langsung meledak.“Enggak,” katanya pelan tapi penuh penolakan. “Bella nggak seperti itu. Dia nggak mungkin selingkuh. Aku kenal dia, Radit.”Namun, kalimat itu terdengar rapuh bahka







