MasukTangisan Indira menggema di ruang sidang itu. Suaranya serak, dadanya naik turun menahan amarah dan putus asa yang bertumpuk menjadi satu. Namun hukum tak bekerja dengan air mata, apalagi dugaan tanpa bukti. Hakim mengetuk palu dengan wajah datar, seolah keputusan itu hanyalah formalitas belaka.Para terdakwa akhirnya dijatuhi hukuman sesuai peran mereka. Dua di antaranya mendapat hukuman mati. Sisanya penjara seumur hidup. Ruang sidang riuh sesaat, lalu sunyi kembali. Tepuk tangan tak ada. Kepuasan pun nihil, sebab dalangnya tidak tertangkap. Bahkan dokter yang akan mengaborsinya juga hilang entah kemana. Bebas dari hukuman. Indira berdiri terpaku. Tangannya dingin. Lututnya gemetar.“Bukan itu… bukan itu yang aku mau…” lirihnya nyaris tak terdengar. "Belum cukup." Mereka memang dihukum. Tapi dalangnya bebas. Bella, wanita yang berada di balik semua kebiadaban itu, tak tersentuh sedikit pun. Namanya juga tidak disebut. Keadilan terasa pincang.Dewa menggenggam tangan Indira erat s
"Maumu apa Bella?" tanya Mayang pada akhirnya pasrah. Ia harus menjaga rahasia ini. Kalau Bara sampai tahu, ia terlibat dengan semua ini. Bara pasti akan membencinya.Bella tersenyum miring. "Bantu aku Ma. Ya, anggap saja simbiosis mutualisme. Mama bantu aku, aku bantu Mama.""Jangan berbelit-belit! Ngomong aja mau kamu apa, hah?" sentaknya emosi."Orang-orang suruhanku yang membakar adik-adik Indira dan menculiknya. Jangan biarkan mereka sampai menyebut namaku, Ma.""Bagaimana bisa saya melakukan itu, Bella?" tanya Mayang bingung.Bella mengendikkan kedua bahunya sambil tersenyum penuh arti. Senyuman yang tak dimengerti oleh Mayang. "Mama punya koneksi polisi kan? Mama tinggal bungkam saja mulutnya. Dengan uang atau apapun. Yang penting kita selamat, Ma."Benar, Mayang memang punya koneksi yang cukup dekat ke kepolisian. Namun, jika ia menggunakan koneksi tersebut, maka mungkin saudara mendiang suaminya akan mengetahui hal ini."Mama gak bisa bantu aku? Kalau gitu Bara—""Oke. Saya a
Indira berdiri tegak, meski lututnya bergetar hebat. Tangannya masih menahan pergelangan Bu Mayang di udara. Sentuhan itu dingin, bukan karena lemah—melainkan karena kemarahan yang dipaksa terkunci.“Cukup,” ulang Indira, suaranya serak namun tegas. “Jangan pernah sentuh saya lagi.”Mayang tertawa kecil, sinis. “Berani sekali kamu, ya? Pembantu sepertimu berani melawan?”Indira menatap wanita paruh baya itu lurus-lurus. Untuk pertama kalinya, tidak ada rasa takut. Tidak ada tunduk. Yang ada hanya luka yang sudah terlalu penuh untuk ditahan.“Saya memang miskin,” ucap Indira pelan, tiap katanya seperti disayatkan satu per satu. “Saya memang pembantu. Tapi saya bukan pembunuh. Dan saya bukan sampah seperti yang Ibu katakan.”“Kurang ajar!” Bu Mayang meronta, tapi Indira sudah melepaskan tangannya.Bara melangkah maju. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras. “Indira, jangan kurang ajar sama mama saya.”Indira menoleh. Tatapan mereka bertemu—tatapan yang dulu penuh harap, kini hanya menyisa
"Mas ... tolong bilang kalau ini nggak bener. A-aku pasti cuma mimpi kan? Adik-adikku, mereka masih ada, kan?" tanya Indira dengan buliran air mata yang tak mau berhenti mengalir dari kedua bola matanya. Ia menatap Dewa yang masih duduk di sampingnya.Dewa tidak langsung menjawab, tapi saat raut wajahnya berubah pucat dan matanya yang berkaca-kaca. Indira merasakan sesak "Indira, maafin aku ya?"Indira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak. Andi, Elin, Risa. Mereka pasti masih hidup. Mereka nggak mungkin ninggalin aku, Mas. Ini mimpi, pasti."Tampaknya Indira masih tidak percaya dengan hal yang baru saja menimpanya. Padahal dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat ketiga adiknya terbakar dan tidak bernapas. Akan tetapi, Indira tidak bisa menerima kenyatannya."Indira, kamu harus kuat. Aku tahu ini berat, tapi—""MAS DEWA BOHONG! MAS DEWA JANGAN BICARA BEGITU! ADIK-ADIKKU BAIK-BAIK AJA! MEREKA PASTI LAGI NUNGGU AKU PULANG SEKARANG!" jerit Indira histeris.Dadanya terasa amat sesak, s
Api itu belum sepenuhnya padam ketika Indira berlari terseret langkahnya sendiri. Kakinya terasa bukan miliknya lagi. Dunia berputar, suara sirene bercampur teriakan polisi dan petugas medis menjadi dengungan panjang yang memekakkan telinga. Bau gosong menusuk hidungnya, membuat perutnya mual dan dadanya seperti diremas tangan tak terlihat.“TIDAK… TIDAK…!” teriak Indira sambil berusaha mendekat.Namun, dua anggota polisi menahannya, begitu pula dengan Dewa. Tubuh Indira menggigil hebat, tangannya gemetar tak terkendali. Matanya membelalak menatap sisa-sisa ruangan itu, dinding hangus, lantai hitam, dan sesuatu yang tak sanggup ia namai sebagai manusia lagi.“Bu… tolong tenang,” ucap salah satu petugas medis dengan suara berat, penuh kehati-hatian.Indira menggeleng keras. Rambutnya berantakan, wajahnya pucat seperti tak dialiri darah. “Di mana adik-adik saya? Mereka di sini… mereka tadi di sini!” jeritnya histeris.Tak ada jawaban cepat. Hanya tatapan-tatapan sendu yang saling bertu
Seseorang muncul dari balik pintu besi yang kehadirannya membuat Indira terkejut. "Mas...Dewa?"Ia tidak menyangka Dewa akan berada di sini. Namun, ia merasa lega karena mungkin kedatangan Dewa adalah pertolongan baginya dan adik-adiknya."Siapa kamu, hah?" "Lepaskan mereka. Saya akan bayar berapapun yang kalian inginkan. Tapi jangan sakiti mereka," ucap Dewa dengan pembawaan tenang. Akan tetapi, kedua matanya menjelaskan kalau ia khawatir pada Indira dan ketiga adiknya. "Uang? Kami tidak butuh uang. Ini soal kesetiaan! Kamu nggak bisa nyogok kami dengan uang berapapun!" Indira dan Dewa tersentak kaget, mendengar ucapan pria bertopeng badut yang merupakan pemimpinnya."Ah ya—lebih baik kamu pergi dari sini. Sebelum kami juga menyeret kamu dalam urusan ini." "Saya tidak akan pergi. Sebelum kamu melepaskan mereka. Lebih baik kalian turutin saya, atau berakhir di penjara," ujar Dewa yang mengancam balik keempat pria bertopeng tersebut. Suasana pun semakin mencekam, perdebatan merek







