تسجيل الدخولNala mendongak, menatap seseorang yang tanpa sengaja ia tabrak, tapi membuatnya terjatuh. Tampak seorang pria bertubuh tinggi, memakai setelan jas rapi berwarna navy, berdiri dihadapannya."Wow, Om tinggi banget! Ganteng lagi, hihi." Nala terkagum-kagum melihat pria didepannya."Ayo sini, saya bantu berdiri, Nak." Tangan pria dewasa itu terulur dan membantu Nala berdiri. Tatapannya terkunci pada sepasang mata Nala yang tidak asing, mengingatkannya pada seseorang."Pak Bara, apa bapak tidak apa-apa?" tanya Rudi pada bosnya itu."Saya baik-baik saja, Rudi."Rudi pun melihat ke arah Nala. Ia mengernyitkan keningnya, saat melihat senyuman Nala yang familiar."Om dari Indonesia juga ya?" tanya Nala ramah."Iya. Ini saya bicara bahasa Indonesia sama kamu."Rudi terheran-heran saat Bara menjawab pertanyaan gadis kecil itu dengan ramah. Bosnya yang terkenal dingin, mau bicara dengan anak kecil?"Om bisa anter Nala gak ke sana! Nala mau balon, Om." Tunjuk Nala pada pedagang balon yang masih ad
Panggilan masuk dari Dewa membuat Indira tersenyum kecil. Sudah hampir enam tahun, pria itu selalu konsisten menanyakan kabar anak-anaknya. Bukan sekadar basa-basi, tapi perhatian yang tulus dan tidak memaksa.“Assalamualaikum, Indira,” suara Dewa terdengar hangat di seberang sana.“Waalaikumsalam, Mas. Gimana kabarnya?” tanya Indira sambil duduk di tepi ranjang.“Aku baik. Aku mau nanya… Nathan sama Nala gimana? Kesehatan mereka?”Indira menghela napas lega. “Baik. Nala sempat kecapekan kemarin, tapi sekarang sudah stabil. Nathan seperti biasa, dia bicara seperti orang dewasa,” ujarnya sambil tersenyum.Dewa ikut tertawa kecil. “Syukurlah. Oh iya… kamu ingat kan? Minggu depan ulang tahun mereka yang ke enam.”Indira terdiam sejenak. Jantungnya berdenyut pelan. “Aku sadar. Bahkan sudah aku tandai di kalender. Kamu selalu ingat ulang tahun mereka ya, Mas?" “Aku cuma mau ingetin, dan aku sudah anggap mereka seperti anakkku sendiri. Dan… ya, aku mau bilang terima kasih juga, Dir. Kamu k
"Nala! Jangan lari-lari, nanti dimarahin Mama! Diem disini, Nala!" ujar seorang anak laki-laki berparas tampan, hidung mancung, kepada seorang anak perempuan yang rambutnya dikuncir dua. Anak perempuan itu berlari-lari di tengah rumah."Mama kan ndak ada. Mama ndak akan marah."Anak perempuan itu tersenyum santai sambil berlari-lari lagi dan memainkan bonekanya. Ia terlihat manis, menggemaskan, ceria. Berbeda dengan anak laki-laki yang lebih kalem dan santai duduk di atas sofa sambil memegang buku.Ia tampak sakit kepala melihat saudara kembarnya terus berlari-lari. Nathan, ia adalah nama anak laki-laki itu dan Nala adalah saudarinya."Nanti kamu kecapean, kambuh lagi, gimana Nala? Jangan bandel deh!" tegur Nathan pada saudarinya."Gak akan!" tegas Nala dengan bibir mencebik dan lidah menjulur keluar, mengejek saudaranya.Nathan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya udah. Terserah kamu deh. Bandel emang.""Nathan ndak asyik, ndak suka main sama Nathan," kata Nala sebal."Nala juga
Tangisan Indira menggema di ruang sidang itu. Suaranya serak, dadanya naik turun menahan amarah dan putus asa yang bertumpuk menjadi satu. Namun hukum tak bekerja dengan air mata, apalagi dugaan tanpa bukti. Hakim mengetuk palu dengan wajah datar, seolah keputusan itu hanyalah formalitas belaka.Para terdakwa akhirnya dijatuhi hukuman sesuai peran mereka. Dua di antaranya mendapat hukuman mati. Sisanya penjara seumur hidup. Ruang sidang riuh sesaat, lalu sunyi kembali. Tepuk tangan tak ada. Kepuasan pun nihil, sebab dalangnya tidak tertangkap. Bahkan dokter yang akan mengaborsinya juga hilang entah kemana. Bebas dari hukuman. Indira berdiri terpaku. Tangannya dingin. Lututnya gemetar.“Bukan itu… bukan itu yang aku mau…” lirihnya nyaris tak terdengar. "Belum cukup." Mereka memang dihukum. Tapi dalangnya bebas. Bella, wanita yang berada di balik semua kebiadaban itu, tak tersentuh sedikit pun. Namanya juga tidak disebut. Keadilan terasa pincang.Dewa menggenggam tangan Indira erat s
"Maumu apa Bella?" tanya Mayang pada akhirnya pasrah. Ia harus menjaga rahasia ini. Kalau Bara sampai tahu, ia terlibat dengan semua ini. Bara pasti akan membencinya.Bella tersenyum miring. "Bantu aku Ma. Ya, anggap saja simbiosis mutualisme. Mama bantu aku, aku bantu Mama.""Jangan berbelit-belit! Ngomong aja mau kamu apa, hah?" sentaknya emosi."Orang-orang suruhanku yang membakar adik-adik Indira dan menculiknya. Jangan biarkan mereka sampai menyebut namaku, Ma.""Bagaimana bisa saya melakukan itu, Bella?" tanya Mayang bingung.Bella mengendikkan kedua bahunya sambil tersenyum penuh arti. Senyuman yang tak dimengerti oleh Mayang. "Mama punya koneksi polisi kan? Mama tinggal bungkam saja mulutnya. Dengan uang atau apapun. Yang penting kita selamat, Ma."Benar, Mayang memang punya koneksi yang cukup dekat ke kepolisian. Namun, jika ia menggunakan koneksi tersebut, maka mungkin saudara mendiang suaminya akan mengetahui hal ini."Mama gak bisa bantu aku? Kalau gitu Bara—""Oke. Saya a
Indira berdiri tegak, meski lututnya bergetar hebat. Tangannya masih menahan pergelangan Bu Mayang di udara. Sentuhan itu dingin, bukan karena lemah—melainkan karena kemarahan yang dipaksa terkunci.“Cukup,” ulang Indira, suaranya serak namun tegas. “Jangan pernah sentuh saya lagi.”Mayang tertawa kecil, sinis. “Berani sekali kamu, ya? Pembantu sepertimu berani melawan?”Indira menatap wanita paruh baya itu lurus-lurus. Untuk pertama kalinya, tidak ada rasa takut. Tidak ada tunduk. Yang ada hanya luka yang sudah terlalu penuh untuk ditahan.“Saya memang miskin,” ucap Indira pelan, tiap katanya seperti disayatkan satu per satu. “Saya memang pembantu. Tapi saya bukan pembunuh. Dan saya bukan sampah seperti yang Ibu katakan.”“Kurang ajar!” Bu Mayang meronta, tapi Indira sudah melepaskan tangannya.Bara melangkah maju. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras. “Indira, jangan kurang ajar sama mama saya.”Indira menoleh. Tatapan mereka bertemu—tatapan yang dulu penuh harap, kini hanya menyisa







