Share

Bab 7 Sandiwara Suamiku

Author: Miss_Pupu
last update Last Updated: 2024-05-18 12:48:07

Detik itu pula aku segera memerintah seseorang melalui sambungan telepon. "Tolong ikuti mobil Mas Dani. Sekarang!"

"Baik, Bu."

Gegas aku menurunkan benda pipih itu dari telingaku. Berjalan mondar-mandir dalam keadaan gelisah menanti jawaban dari orang yang aku suruh.

"Mama lagi ngapain?" Meysa yang baru saja kembali usai dari rumah tetangga nampak menatapku aneh. Bagaimana tidak, Meysa melihatku berjalan mondar-mandir tak tentu tujuan sambil memainkan jemari pada layar ponsel.

"Ah tidak apa-apa. Mey, makan siang dulu sana. Tadi Mama sudah masak." Aku mengalihkan perhatian.

Putriku mengangguk. Dia tak lagi bertanya dan langsung melaksanakan perintahku. Namun tak lama setelah Meysa berlalu, putri kecilku itu terdengar berteriak memanggil Santi.

"Mba Santi!"

"Mba...!"

"Mba Santi, dimana?"

Sepertinya Meysa tengah mencari Santi. Aku bergegas menghampirinya di ruang makan.

"Ada apa, Mey? Mama suruh kamu makan, kok malah panggil Mba Santi sih," sahutku.

Meysa terlihat kebingungan di dekat meja makan. "Mba Santi kemana, Ma?" tanyanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliking sudut ruangan.

"Mba Santi sudah pergi. Mba Santi sudah tak kerja lagi di sini," jelasku pelan.

"Oh baguslah, Ma." Meysa menyeringai senang.

"Kok bagus sih?" Aku mengernyitkan dahi.

"Aku gak suka sama Mba Santi, Ma. Masa Mba Santi jarang pake celana dalam, aku kan jiji liatnya," celoteh Meysa. Lagi-lagi anak itu selalu membuat cerita yang mengejutkanku. Aku pikir hanya aku yang pernah melihat Santi tak pakai celana dalam, rupanya Meysa pun sering melihatnya.

"Mey, coba duduklah. Mama jadi penasaran. Apa saja yang kamu ketahui mengenai Mba Santi?" tanyaku segera. Aku penasaran walau isi hati tengah gelisah.

Aku dan Meysa duduk di kursi ruang makan. Kami harus bicara serius.

"Ma, aku kan sudah sering bilang kalau Mba Santi sering mijitin Papa. Sampai-sampai Papa merintih kesakitan. Aku gak suka melihat Mba Santi dan Papa berduaan di kamar belakang. Udah gitu, aku sering melihat Mba Santi gak pakai celana dalam saat Mama tak ada di rumah." Meysa menjelaskan dengan polosnya.

"Dimana kamu melihatnya?" Dengan napas yang semakin panas, aku kembali bertanya pada putri kecilku.

"Waktu lagi mijitin Papa, Ma. Kalau Mba Santi mijitin Papa kan gak pakai celana dalam. Aku lihat pantatnya dari celah pintu," jelas Meysa lagi dengan yakin.

Ya Tuhan, kenapa rasanya cerita Meysa semakin memperjelas kecurigaanku. Di waktu yang bersamaan ponselku berdering, panggilan telepon masuk dari orang suruhanku.

"Mey, makan sendiri ya. Mama harus angkat telepon."

Meysa mengangguk. Aku beranjak dari tempat duduk kemudian berpindah ke ruangan yang lain guna menghindari Meysa. Putri kecilku tak boleh mendengar percakapanku.

"Hallo, Yud. Bagaimana? Apa kamu mendapatkan informasi kemana Mas Dani pergi?" Aku memberondong dua pertanyaan sekaligus pada Yudi—orang suruhanku, setelah ponsel pintar kutempelkan pada telinga.

"Iya, Bu. Di persimpangan jalan saya melihat seorang wanita membawa barang-barang cukup banyak, masuk ke dalam mobil Pak Dani," lapor Yudi dari seberang sana.

"Apa!" Aku terkejut kemudian kembali bertanya, "Siapa wanita itu?"

"Saya tidak kenal, Bu. Tapi saya sempat memotret dengan kamera ponsel. Saat ini saya sudah kehilangan jejak Pak Dani karena mobil beliau telah masuk jalan tol," jelas Yudi lagi.

"Kirimkan potonya sekarang." kuturunkan benda pipih itu dari telinga.

Napasku terasa sesak namun masih berusaha kuperbaiki. Aku terduduk di atas kursi guna menenangkan perasaan yang kian terasa panas bak terbakar api yang menyala. Siapa wanita itu?

Tak perlu menunggu waktu lama, beberapa detik kemudian Yudi mengirimkan pesan gambar melalui aplikasi pesan berwarna hijau.

Gegas kubuka dan kulihat. Sebelah telapak tangan reflek menutup mulut yang menganga karena terkejut. Degup jantung terasa melemah. Bulir bening seketika merembes di pipi setelah melihat kiriman poto dari Yudi.

Jelas terlihat Santi masuk ke dalam mobil Mas Dani. Dengan perhatiannya Mas Dani memasukan barang-barang Santi ke dalam mobilnya.

Bagai tersampai petir, seketika hatiku hancur berkeping-keping. Sepuluh tahun sudah aku menjaga pernikahan suci ini. Sepuluh tahun Mas Dani membuat aku sangat yakin dan percaya. Tapi hari ini, kepercayaanku hancur lebur. Sandiwara apa yang tengah Mas Dani mainkan? Tega sekali dia bermuka dua. Ada hubungan apa Mas Dani dengan Santi?

Tenang, Tari. Tenanglah, jangan gegabah. Harus tetap tenang walau isi hati serasa mau mati.

Dengan jemari tangan yang masih gemetar, aku menguatkan diri untuk mengetik pesan pada Yudi melalui aplikasi pesan berwarna hijau.

Aku: [Yud, cari posisi Mas Dani saat ini. Saya tidak mau tahu bagaimana pun caranya kamu harus mendapatkan keberadaan Mas Dani saat ini!]

Selang lima detik Yudi membalas pesanku.

Yudi: [Baik, Bu.]

Benda pipih itu terjatuh sendiri ke atas sofa. Aku kehilangan tenaga. Kepala menyender ke bahu sofa, sementara air mataku lagi-lagi merembes di pipi.

"Ya Tuhan, aku belum mendapatkan bukti apa-apa, tapi rasanya sangat sakit. Hatiku sakit," pekikku sendirian. Sebelah tangan menekan dada yang melemah. Hati kecil masih berharap Mas Dani setia.

"Ma!" Tak kusadari, Meysa sudah duduk di sampingku. Nampaknya dia terkejut saat melihatku menangis.

"Mama kenapa, Ma? Kenapa menangis?" tanyanya. Meysa bahkan sempat mengusap pipiku yang sudah basah oleh air mata.

Aku yang terkejut dengan kedatangan Meysa, bergegas mengeringkan air mata walau sulit. "Mama mendapat kabar buruk dari teman Mama. Mama harus pergi, Meysa akan Mama titipkan ke rumah tante ya," jawabku.

Aku tak bisa menjelaskan pada putriku. Masih terlalu kecil bagi Meysa untuk memahami.

Kebetulan Meysa tak suka membantah, putriku selalu menuruti perintahku. Aku segera menitipkannya pada sepupuku. Sementara dalam keadaan hati yang masih tak menentu, aku segera menelepon Gina—sahabatku. Aku meminta Gina datang ke rumahku untuk membantu.

Bebera jam kemudian ketika Gina sudah datang dan menenangkanku, benda pipih milikku kembali berdering. Panggilan masuk datang dari Yudi.

"Hallo, Yud. Bagaimana?" Suaraku masih bergetar saat bertanya pada Yudi melalui sambungan telepon.

"Pak Dani dan wanita itu saat ini berada di daerah Bogor timur." Yudi melapor. Pintar sekali dia mencari jejak suamiku.

"Share location, Yudi. Saya akan segera ke sana sekarang juga!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 117 Gelora di Malam Pertama

    "Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 116 Hari Pernikahanku

    Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 115 Jatuh Cinta Lagi

    Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 114 Tatapannya Berbinar

    "Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 113 Siapa Yang Meninggal?

    "Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 112 Ibu Yang Bijaksana

    "Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status