Lestari Hardianti tak pernah menyangka kalau pernikahannya akan hancur oleh orang ketiga. Berkat cerita anaknya ia bisa mengetahui kebohongan Dani Argantara—sang suami. Perjalanan wanita yang kerap disapa Tari dalam mencari keadilan tidaklah mudah. Semua aset telah diambil alih oleh Dani saat dirinya berhasil dilumpuhkan. Sang suami pergi bersama wanita idaman lain, membawa semua aset yang telah direnggut darinya. Tari bukanlah wanita lemah. Dengan bantuan sahabatnya—Bastian, dia akan membuktikan pada mereka yang menyakitinya tentang sebuah penyesalan.
Lihat lebih banyakAir mata mantan ibu mertua kian terlihat deras. Ia melonggarkan pelukan sambil sesekali mengusap pipinya yang basah. "Mama tidak habis pikir dengan penyakit Dani. Katanya hanya penyakit jantung, tapi beberapa kulitnya hitam dan melepuh bagai terbakar api. Dosa apa yang telah diperbuatnya, hingga kemaluannya pun tercium bau busuk dan bernanah," ungkapnya sambil sesegukan.Miris mendengar cerita mantan ibu mertua yang cukup mengerikan tentang Dani. Dalam hati hanya berdo'a, semoga Tuhan mengampuni dosanya."Sabar ya, Ma. Kita berdo'a saja untuk papanya Meysa," ucapku seraya mengelus punggung tangan mantan mertua.Tak lama, mayit seselai dimandikan. Meysa nampak kembali ke dekatku sambil sesegukan. "Sabar, Mey. Kamu harus kuat. Ikhlaskan papa, agar tenang di akhirat sana," ucapku kali ini pada Meysa yang masih belum menyudahi tangisan."Semua ini gara-gara Santi!" tiba-tiba mantan ibu mertua terlihat geram ketika Santi kembali ke ruang tengah, duduk di dekat mayit.Aku segera menenangkan
Setelah hari itu, tak pernah lagi kudengar gosip-gosip murahan di sekitar rumahku. Namun dampak negatifnya, tak ada yang mau berteman denganku. Tak mengapa. Bagiku saat ini fokus membesarkan Meysa. Aku juga harus fokus membesarkan perusahaan almarhum papaku. Aku berhutang budi cukup banyak pada Bastian dan mamanya—Bu Yunita yang telah menyelamatkan perusahaan Haryanto.Seperti pagi ini, aku sudah berada di kantor Bu Yunita. Bukan untuk kembali bekerja di sana, melainkan untuk mengemas barang-barang milikku yang harus kupindahkan ke kantor Haryanto."Punya pelet apa sih kamu?" Samar-samar terdenhar suara sopran bericara dari belakangu.Aku segera menoleh. Rupanya sekertaris Bu Yunita sudah berdiri di ambang pintu ruanganku. Dia berdiri seraya berpangku tangan.Aku tak mengerti maksud ucapannya. "Maaf, Anda barusan bicara apa?" tanyaku pada wanita yang berpakaian serba ketat itu. Pura-pura tak dengar.Sekertaris Bu Yunita melayangkan tatapan sinis padaku. "Tari, kamu telah berani mengam
"Katanya dia gak bisa makan malam sama aku, sebab sedang makan bersama mama dan calon istrinya." Gina bercerita dengan raut wajah sendu. Bola matanya masih berkaca-kaca, seperti ada kesedihan yang tengah dibendungnya.Aku sedikit mengernyitkan dahi. Seharian kemarin sampai menjelang malam tiba, Bastian terus bersamaku. Lalu, mengapa Bastian berbohong pada Gina? "Memangnya Bastian sudah punya calon istri?" tanyaku pada Gina.Namun Gina segera menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, Tar. Selama ini yang aku tahu, Bastian tak punya kekasih. Tapi jawaban kemarin sore serasa menusuk ulu hati," jawabnya.Lalu, siapa calon istri yang Bastian maksud? Aku rasa Bastian tengah berbohong pada Gina."Kamu menyukai Bastian?" Tatapanku menelaah pada Gina. Seketika sahabatku itu menurunkan tatapan sendunya. "Gin, jujurlah. Aku bisa merasakan kalau kamu menyukai Bastian," imbuhku.Tanpa ragu, Gina menganggukan kepala. "Sudah lama aku menyukai Bastian. Tapi dia seakan tak menyadari perasaanku. Dia sel
Tanpa sadar aku telah memeluk Bastian karena terharu. "Maaf, Bas." Aku tersipu malu dan segera melepaskan pelukan."Tidak apa-apa, Tar. Aku merasa sangat bahagia saat kamu bahagia. Satu hal yang harus kamu tahu, kita adalah sahabat. Seorang sahabat akan selalu saling membantu, saling melindungi tanpa saling berhutang," kata Bastian terdengar lembut di telinga."Kamu sahabat baikku, Bas." Aliran napas di dalam dada, kini terasa lancar. "Katakan padaku, Bas. Dari mana kamu dapat uang sebanyak ini? Saham di perushaaan ini bukan seharga tahu bulat. Semudah itukah kamu membelinya?" Aku melayangkan tatapan nanar, penuh tanda tanya pada Bastian.Sejenak Bastian membisu, hingga akhirnya dia kembali bersuara. "Bu Yunita yang mendanai," jawabnya."Apa! Bu Yunita?" Aku merasa aneh. "Apa iya Bu Yunita yang tegas itu bisa dengan mudah percaya padamu, Bas," imbuhku ragu."Sangat mudah, Tar." Bastian dengan entengnya."Kamu bergurau, Bas." Aku kembali ke tempat dudukku."Bu Yunita selalu percaya pad
Aku segera berlari menuju ruang makan. Aku harus memastikan keadaan putriku. Ternyata mereka telah berpindah ke ruang keluarga. Di atas lantai ruang keluarga, nampak pecahan beling berserakan. Wajah Dani nampak marah. Pun dengan Santi.Segera kuraih pergelangan tangan Meysa, kutarik pelan dia kepangkuanku. Kutelaah seluruh tubuh putriku guna memastikan dia baik-baik saja."Kamu tidak kenapa-kenapa 'kan?" tanyaku pada Meysa.Bibir Meysa bergetar. "Aku baik-baik saja, Ma," jawabnya seraya melirik cemas pada papanya.Kupeluk Meysa kemudian pamit pada Dani dan Santi. "Kami permisi pulang."Tak ada jawaban apa pun dari mereka berdua. Aku tak perduli dengan masalah mereka yang menyebabkan pecahan beling berserakan di atas lantai.Langkah kaki ini telah sampai di depan rumah. Pesanan taksi online pun tiba pada waktunya. Aku dan Meysa segera masuk. Kami harus segera pulang. "Jalan, Pak."Setelah di dalam taksi online. "Mey, apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu ketakutan?" Aku mengusap kedua
Aku dan Meysa mematung tercengang dari balik pintu dapur rumah Dani. Aku menarik pelan pergelangan tangan Meysa untuk kembali ke teras depan."Mey, apa kamu yakin ingin tetap bertemu Papa? Sepertinya waktunya kurang pas," tanyaku pada Meysa untuk sekedar memastikan. Aku hanya ragu untuk bertamu malam ini."Kita sudah sampai, Ma. Sayang sekali kalau tak jadi jenguk Papa. Aku tetap ingin bertemu dengan Papa," rengek Mesya layaknya anak kecil pada umumnya.Aku memperbaiki napas kemudian menganggukan kepala. Mana bisa menolak permintaan Meysa. Gegas kutekan bell yang menempel di dinding dekat pintu sebanyak tiga kali, setelah itu menunggu sang pemilik rumah keluar."Mau ngapain ke sini malam-malam?" Santi langsung menyambut kedatangan kami dengan pertanyaan ketika pintu telah dibuka, bola matanya menatap nyalang wajahku dan Meysa secara bergantian.Aku menelaah pakaian Santi berbanding jauh dari sebelumnya, ia memakai daster kumel dan rambut yang digelung ke belakang."Aku mau ketemu deng
Bastian langsung berdiri. wajahnya masih dalam keadaan tercengang."Bas..." Setengah berbisik aku memanggil Bastian yang masih membatu dalam keterkejutan.Sementara dengan raut wajah Bu Yunita, tatapannya begitu tajam ke arahku dan Bastian. "Ikut sekarang!" Pergelangan tangan Bastian ditarik wanita itu."Aku jelaskan nanti ya," desis Bastian padaku sebelum langkahnya menjauhiku bersama Bu Yunita.Aku tercengang sendirian. Ada apa dengan Bastian? Dia tak terlihat ketakutan, tapi kedatangan Bu Yunita seakan membungkam mulutnya.Aku kembali terduduk lesu menatap sisa-sisa makanan di atas meja. Jam makan siang hampir usai, aku melambaikan tangan memanggil pelayan restaurant kemudian meminta catatan pembayarannya.Total yang harus dibayar bernilai satu juta membuat bola mataku terbelalak. Harusnya aku tak heran, sebab harga itu memang sudah biasa. Namun di dalam dompet hanya tersisa lima lembar uang kertas berwarna merah, masih kurang lima lembar lagi Aku menelan saliva resah. 'Bagaimana
Ketiga wanita itu telah berlalu dari ruanganku. Lututku bergetar lemas. Resah rasanya dengan keputusan penguasa di kantor ini.Aku mengusap kening yang tiba-tiba berkeringat, padahal di ruanganku terdapat mesin pendingin."Mba Tari, kenapa? Kok melamun di ambang pintu begini?" Salah seorang karyawan yang kebetulan lewat di depanku bertanya sekedar menyapa."Tiba-tiba saja Ibu Presdir beserta asisten dan sekertarisnya mendatangi ruangan saya. Beliau marah ketika mendapati saya bermain ponsel saat jam kerja. Saya khilaf, saya memang salah," sesalku seiring hembusan napas yang lesu dari dalam dada."Setiap ruangan di kantor ini memiliki kamera pemantau, Mba. Apa pun yang tengah kita lakukan selalu dipantau CCTV. Jadi, saya tak heran ketika terjadi blusukan seperti itu," balas wanita itu. Dia kemudian mengusap bahuku. "Saya do'akan semoga Mba Tari bernasib baik hari ini."Wanita itu kembali pergi. Mungkin karena jam kerja membuatnya tak bisa berlama-lama bicara denganku.Aku kembali resah
"Apa!" Bastian menoleh padaku. "Benarkah itu, Tar?""Ya enggak, Bas. Mana mungkin!" bantahku dengan tegas."Bohong!" Wanita di depanku masih bersi kukuh dengan tuduhannya. Ia langsung memainkan layar ponselnya. "Lihat ini!" Disodorkannya layar ponsel ke hadapanku dan Bastian.Pada layar ponsel wanita itu, diputarnya rekaman video semalam ketika pria tetanggaku datang dan memberikan hadiah padaku."Ini bisa saya jelaskan," bantahku segera."Jelaskan sekarang! Untuk apa suami saya datang ke sini malam-malam?! Barang apa yang suami saya berikan semalam?!" Wanita di depanku itu nampak semakin terbakar emosi."Saya tidak tahu tujuan suami Anda!" Aku segera mengambil barang berupa tas branded pemberian tetanggaku semalam. "Suami Anda memberikan barang ini dengan dalih salam perkenalan tetangga. Ambil barang ini kembali, karena saya tidak butuh. Satu hal lagi, jangan main tampar sembarangan ya, karena saya tidak terima ini. Silahkan pergi dari rumah saya sebelum saya berubah pikiran." Aku se
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.