Share

Bab 6 Ketahuan

Penulis: Miss_Pupu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-17 12:55:18

"Apa yang Bu Tari lakukan di sini?!!"

Aku membeliak terkejut. Santi sudah berdiri di ambang pintu. Napas yang sempat memburu panas tiba-tiba seperti tersengal ditenggorokan. Belum sempat aku mencerna penemuan mengejutkan ini, tapi Santi malah kembali dan kini tampak menatapku nyalang.

"Saya, saya—" Aku sempat kebingungan harus membuat alasan apa.

"Lancang sekali, Bu Tari!"

Secepat kilat, Santi merebut kotak perhiasan dari tanganku. Tapi tunggu, perhiasan itu milikku, berani sekali dia merebutnya. Aku tak bergeming dan langsung merebut kembali kotak perhiasan itu.

"Ini milik saya!" tegasku.

"Bu Tari, apa-apaan sih. Ini milik saya kok." Santi tak mau memberikan. Gadis itu bersi keras mempertahankan kotak perhiasanku.

"Santi! Kalau memaksa, saya akan lapor polisi," ancamku hingga akhirnya reflek Santi melepaskan genggamannya.

Kedua bibir Santi nampak mengerut. Pembantuku itu seperti tengah menahan amarah. Tentu ia tak akan berani melawanku.

"Ini perhiasan saya, Santi. Saya memiliki surat-suratnya. Saya akan lapor polisi atas pencurian ini. Bahkan uang puluhan juta yang berada di laci lemari bisa dijadikan bukti kalau kamu sudah tidak jujur lagi," ancamku lagi. Aku berbicara dengan tegas seiring isi hati yang sudah memanas sedari tadi.

"Saya tidak mencuri, Bu. Jangan main tuduh sembarangan ya!" bantah Santi. Matanya membulat dan dia sudah berani melawanku.

"Kamu pikir perhiasan ini bisa jalan sendiri ke kamarmu?!" sergahku.

"Itu pemberian Bapak untuk saya! Puas?!" Santi menantanhku.

Aku dibuat terkesiap. Aliran darah seakan berhenti. Jantung ini berdegup lemah. Aku mengatur napas berkali-kali. Tetap tenang. Hingga akhirnya Mas Dani menghampiri kami berdua.

"Ada apa sih ribut-ribut?" Mas Dani melemparkan tatapan padaku dan Santi secara bergantian. "Santi, mengapa lama sekali ambil ponselnya?" lanjutnya bertanya pada Santi.

Santi nampak diam. Ia masih menahan amarah. Kulihat kedua tangannya dikepal.

"Mas, aku ingin bicara serius sama kamu," pintaku dengan tegas. Aku menarik tangan Mas Dani untuk mengikuti langkahku menuju kamar pribadiku, meninggalkan Santi yang masih membatu di kamarnya.

"Ada apa ini, Tari? Bukankah aku harus mengantar Santi ke super market?" Mas Dani protes.

Aku masih dengan langkahku menuju ruangan kamar. Sesampainya di sana, pintu kubanting hingga tertutup.

Brugh!

"Tari, apa-apaan ini?" Mas Dani masih saja bertanya seolah tak paham, atau mungkin pura-pura tak paham.

Kusodorkan kotak perhiasan ke hadapan Mas Dani. "Lihat perhiasan ini! Tahun lalu pernah kamu katakan perhiasan ini hilang. Aku menemukan ini di lemari Santi. Kamu telah memberikan perhiasan ini pada gadis tak tahu diri itu!" cercaku. "Aku kecewa sama kamu, Mas!" sambungku.

"Loh, perhiasannya ketemu? Syukurlah." Tanpa merasa berdosa, Mas Dani tampak menyeringai senang. Dia memelukku, namun kuhempaskan.

"Hentikan, Mas. Sandiwara apa lagi yang tengah kamu mainkan?!" sergahku.

"Tari, aku tidak bersandiwara. Aku sangat bahagia karena perhiasanmu telah kembali." Dengan nada suara yang lembut dan manja, Mas Dani tampak meyakinkanku.

"Kata Santi, kamu telah memberikan perhiasan ini kepadanya," tekanku lagi.

"Apa!" Mas Dani menautkan kedua alisnya. "Mana mungkin, Tar. Aku masih waras," bantah Mas Dani terkekeh.

"Katakan yang sebenarnya, Mas? Sebelum aku benar-benar melaporkan Santi ke kantor polisi," tekanku. Kali ini tak main-main.

"Aku tak tahu, Tari. Mana mungkin aku memberikan perhiasanmu pada Santi. Kamu pikir aku gila! Kamu jangan ngaco dong. Jangan tuduh aku yang aneh-aneh," jelas Mas Dani. Dia tetap bersi kukuh membantah tuduhanku.

"Santi yang katakan, perhiasan ini adalah pemberianmu. Bahkan parahnya, isi lemari Santi penuh dengan brand pakaian yang mahal. Brand pakaian yang aku miliki! Uang bernilai puluhan juta yang tak mungkin dimiliki pembantu. Belum lagi beberapa lembar pil KB. Apa maksud semua ini, Mas?!" setengah emosi aku berbicara. Hingga tubuh lemasku terduduk di atas kursi rias. Aku menekan dada yang bergetar lesu.

"Aku pun tidak tahu, Tari. Aku pun tak mengerti semua ini." Mas Dani masih membantah. Tapi kenapa rasanya aku jadi kesulitan percaya padanya. Siapa yang harus aku percaya. Aku tak pernah melihat rekaman yang aneh pada CCTV rumah.

"Jangan-jangan Santi yang mencuri semuanya ini, Tari," lanjut Mas Dani mengeluarkan tuduhan.

Aku mendongak terkejut. Masih dalam keadaan isi dada bergetar. "Mencuri?"

"Iya, Tar. Bisa saja Santi mencurinya. Ini tak boleh dibiarkan. Kita tak bisa menyimpan pencuri di rumah ini." Kali ini wajah Mas Dani terlihat emosi.

"Sepertinya kita harus benar-benar lapor polisi," tantangku.

"Jangan, Tari. Cukup kita usir saja Santi dari rumah ini," tolak Mas Dani.

"Belum tentu Santi jera." Aku terkekeh. "Kita laporkan saja ke kantor polisi," sambungku menekan.

"Urusannya akan panjang, Tari. Aku tidak mau berurusan dengan Polisi." Mas Dani bersi kukuh menolak.

"Kenapa? Kamu takut berurusan dengan penegak hukum?" Aku berkacak pinggang saat menantangnya.

"Bukan takut, Tar. Urusan kantor sudah menyita waktu, aku tidak mau menambah dengan urusan yang lebih rumit. Lagi pula, aku tidak mau rumah kita jadi sorotan. Percaya padaku, Tari. Kita usir saja Santi dari sini. Kita tak bisa memelihara pencuri di rumah ini."

Setelah pertimbangan panjang, akhrnya aku menyetujui saran dari Mas Dani. Sepertinya aku akan mengusir Santi dari rumah ini. Entah kenapa suara lembut Mas Dani yang selalu memasihatiku selalu saja melemahkan ego. Aku tak paham dengan diri yang selalu saja tunduk padanya.

Aku dan Mas Dani keluar dari kamar usai perdebatan, kami berdua menuju kamar Santi. Pintu kamar pembantu itu nampak masih terbuka. Tak ada Santi di dalamnya.

"Santi!" Suara bariton Mas Dani dengan lantang memanggil nama gadis itu.

Kulihat ke sekeliling sudut tak nampak Santi dimana-mana. Kami berdua masuk ke dalam kamar Santi, hingga menemukan secarik kertas berisi tulisan Santi.

"Ibu Tari, Bapak Dani. Saya sudah mendengar niat kalian yang akan mengusir saya. Saya bukan pencuri, saya tidak terima tuduhan ini. Saya memilih pergi sebelum kalian usir."

Aku tercengang usai membaca surat dari Santi. Gegas kubuka isi lemari yang ternyata sudah kosong. Santi telah membawa semua barang-barangnya termasuk uang puluhan juta itu. Beruntung perhiasanku telah aku amankan. Tapi, Santi tetap tak mau mengakui kesalahannya.

"Biarkan Santi pergi, jadi kita tak usah repot-repot mengusirnya." Dengan santainya Mas Dani berucap.

"Tapi Santi bersi keras tak mau disalahkan," timpalku.

"Mana ada pencuri ngaku, kalau ada pencuri ngaku, maka penjara akan cepat penuh." Mas Dani gegas meninggalkan kamar Santi. Aku pun mengikuti langkahnya.

Ya Tuhan, apa yang sebenanya terjadi. Rasanya aku kesulitan menerka semuanya. Mas Dani terlihat santai sampai kembali pergi dengan kendaraan roda empatnya.

Detik itu pula aku segera memerintah seseorang melalui sambungan telepon. "Tolong ikuti mobil Mas Dani. Sekarang!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Roroh Siti Rochmah
hah bikin emosi z nih sm tari, kbngetan bloonny. kterlaluan
goodnovel comment avatar
Tari Emawan
istri kebangetan gobloknya. thor ngarang ceritanya lebay absurd
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
blooon kelamaan tari
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 117 Gelora di Malam Pertama

    "Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 116 Hari Pernikahanku

    Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 115 Jatuh Cinta Lagi

    Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 114 Tatapannya Berbinar

    "Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 113 Siapa Yang Meninggal?

    "Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 112 Ibu Yang Bijaksana

    "Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 111 Menjelang Pernikahan

    "Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 110 Surat Dari Bastian

    "Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 109 Kesedihanku

    Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status