Share

Desember Ke-30
Desember Ke-30
Penulis: Aeza

Pindah

“Ke Semarang. Kana rencananya ingin pindah ke Semarang.”

Akhirnya aku mengatakannya juga, setelah berlatih beberapa hari mengucapkan kalimat tersebut di depan cermin, akhirnya aku mengatakannya tanpa berlinang air mata. Keputusan kali ini lebih berat, walaupun aku pergi tidak lebih jauh daripada kepindahan sementaraku empat tahun lalu.

“Sudah dapat tempat di sana?” tanya abangku.

Aku tidak berharap dia orang pertama yang menyambut pernyataanku, aku ingin dia bersikap biasa seperti yang dia lakukan kalau kami sedang melakukan pembicaraan serius. Diam dan hanya bicara kalau memang perlu bicara. Jantungku jadi berdetak sangat kencang dan tidak karuan sekarang.

“Sudah,” sahutku dengan suara dan bibir yang sedikit bergetar.

“Kamu dapat kerja di sana, Dek? Tumben enggak cerita sama kita,” sambung Kak Dinah. 

“Kana perlu persiapan yang matang untuk benar-benar pindah,” sahutku masih dengan mulut bergetar.

Aku kemudian meminum segelas air dingin di depanku, mengurasi rasa tegang yang sudah menguasai seluruh tubuhku malam ini.

“Kalau begitu kalimatnya enggak ‘Kana rencananya ingin pindah ke Semarang’ lagi, tapi sudah ‘Kana akan pindah ke Semarang’.” Bang Ridwan ternyata menatapku, dan aku baru sadar kalo posisi duduknya tidak berubah semenjak aku mengatakan ingin pindah beberapa menit yang lalu.

Kak Dinah menghentikan gerakan tangannya yang akan menyantap sate ayam, begitu juga dengan Kak Maya yang segera menghentikan kerepotannya mengatur tempat duduk batitanya yang tidak bisa diam.

“Mau jalan-jalan seperti biasa atau pindah?” Bang Ridwad bertanya dengan muka serius. 

Aku menggenggam tanganku erat, mencoba menguatkan hati untuk segera bicara pada mereka. Aku tidak mungkin menyembunyikannya terlalu lama, aku tidak bisa lagi hanya memendamnya sendiri. 

“Kana mau jalan-jalan, juga mau beli apartemen atau rumah di Semarang,” ucapku dengan mantap setelah menyampingkan rasa sakit kepala yang mulai menggoda.

“Atau kamu sudah punya calon di sana, ya, Dek?” Suami Kak Dinah mencoba bercanda, menggodaku seperti biasa. 

“Kana sendiri yang mau pindah. Kana perlu pengobatan lebih lanjut, dan Kana memilih Semarang.”

Aku mengatakan kalimat menyakitkan kedua itu dengan mulus, bahkan aku tidak ingat lagi bagaimana rasa perih yang sering aku lakukan untuk menahan agar air mataku tidak keluar.

“Pengobatan? Untuk kamu? Kamu sakit, Dek,” ucap Kak Maya. 

“Sedikit ….” Ucapanku terhenti, aku mencoba mengendalikan rasa sakit di kepala dan dadaku yang menyerang secara bersamaan saat ini.

“Bisa tinggalkan kami sebentar,” pinta Bang Ridwan kepada istri dan anaknya, kemudian dia mengalihkan pandangannya pada suami Kak Dinah.

Kak Puspa–istrinya Bang Ridwan, segera mengerti, kemudian membawa kedua anaknya keluar, begitu juga dengan Bang Diki–suami Kak Dinah yang segera memberi kode pada anak semata wayangnya untuk melanjutkan menyantap sate ayam di luar ruangan seraya menggendong si kecil Mega–anak Kak Maya, karena suami Kak Maya tidak bisa ikut berkumpul malam ini.

“Kamu sakit apa, Dek?” tanya Kak Dinah segera setelah pintu samping di ruang makan tertutup.

“Tumor … bisa jadi kanker otak,” jawabku dengan lebih santai. 

Aku sudah melatih jawabanku, dengan sebisa mungkin mengucapkannya tanpa air mata atau sekadar rasa sedih. 

“Kapan kamu periksa? Di mana? Dengan dokter siapa?” buru Bang Ridwan.

Malam ini dia terlihat berbeda, Bang Ridwan selalu cuek, tetapi selalu bisa memahami apa yang aku mau. Dia enggak akan melarangku ini dan itu seperti yang selalu Kak Dinah dan Kak Maya lakukan. Dia khawatir, tetapi tidak langsung menghalangi keinginanku.

“Satu bulan yang lalu, di rumah sakit yang biasa,” jawabku jelas.

Jawaban yang sudah sangat jelas, di kotaku hanya ada satu rumah sakit yang memiliki alat yang bisa melakukan tes untuk penyakit yang baru kuketahui satu bulan terakhir ini. Dan kalau harus menyebutkan nama dokternya, aku tidak yakin malam ini.

Dokter yang bertemu denganku satu bulan yang lalu tidak berbeda dengan dokter yang mengungkapkan kesedihan lima tahun yang lalu. Dokter yang sama yang mengabarkan bagaimana perkembangan kanker yang diderita Ayah. Berita itu, bisa saja membendung air mataku dan Bang Ridwan, tetapi tidak untuk Kak Dinah dan Kak Maya.

“Abang akan antar Kana ke Semarang.”

“Kakak juga.”

“Mega bisa aku titip ke Mamah, aku juga bisa ikut.”

Jawaban mereka bukanlah jawaban yang aku harapkan, jawaban yang hampir menembus pertahanan air mataku. Tidak … tidak, aku tidak boleh menangis di depan mereka. 

“Kana bisa sendiri, Kana hanya ingin memastikan, sesuai dengan saran Dokter Tanto.” 

Aku kelepasan sendiri, tangis Kak Dinah dan Kak Maya tidak bisa dicegah lagi. Mereka berdua kemudian memelukku. Bang Ridwan terdiam, dia menatapku tajam dengan mata merah yang bisa jadi sama denganku karena menahan air mata.

“Abang akan bantu Dedek pindahan. Dinah dan Maya bisa menyusul kalau Kana sudah dapat tempat tinggal di sana,” ucap Bang Ridwan seperti ultimatum, kemudian ia melangkah ke arah kamar mandi dan terdengar isakan khasnya.

Aku hanya pernah dua kali melihat Bang Ridwan menangis, dahulu sekali saat Ibu pergi dan empat tahun yang lalu, saat Ayah memberikan senyum terakhirnya kepada kami di rumah ini. Aku tidak tahan lagi, aku tidak bisa menahan air mataku saat melihat atau mendengar Bang Ridwan menangis. Aku akhirnya menangis dalam pelukan Kak Dinah dan Kak Maya malam itu. 

***

Satu bulan yang lalu.

“Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui apakah itu tumor jinak atau bukan.”

“Berapa lama?”

“Iya?”

“Berapa waktu terlama bagi pasien untuk bertahan dengan tumor di kepalanya?”

“Kita belum tau jenis dan stadium tumornya–”

“Apakah dengan obat bisa bertahan lebih lama?”

“Kita belum tahu jenis dan stadiumnya, kita tidak bisa mengambil tindakan pengobatan jika belum tau– ”

“Operasi? Apakah bisa sembuh dengan operasi?”

“Aku akan menjawabnya kalau kamu mau diperiksa lebih lanjut.”

“Dok ….”

“Kana …. Ayolah, kamu tahu pasti kalau semakin cepat kita tahu semakin cepat semuanya bisa ditangani.”

“Kamu bisa kembali lagi kapan pun, aku punya banyak kenalan untuk membantumu di rumah sakit lain dengan peralatan yang lebih baik dari rumah sakit ini. Kamu kuat Kana, seperti dulu saat aku mengenalmu.”

“Aku akan memikirkannya, Dok.”

“Kembalilah lebih cepat, aku akan berusaha sebisaku untuk membatumu.”

***

Dua pekan kemudian.

“Amnesia, hilang ingatan, apakah itu mungkin terjadi setelah operasi?” 

Aku menanyakan pada Dokter Tanto tentang efek samping dari operasi pengangkatan tumor otak yang telah berubah menjadi kanker. Aku membaca artikel di internet dan menemukan beberapa informasi yang sangat menakutkan.

“Seharusnya kamu bertanya padaku terlebih dahulu, Kana. Dari mana kamu dapat informasi itu?”

“Internet.”

“Tidak salah juga, tetapi kemungkinan itu sangat kecil. Pengobatan tumor otak tidak selalu berakhir dengan operasi. Ada berbagai macam pengobatan tergantung tipe dan stadium tumor di otakmu.”

“Apakah Dokter bisa memberiku obat saja?”

“Kana–”

“Rasa sakitnya mengganggu sekali, Dok. Apakah ada obat yang bisa membantu untuk mengurangi sakitnya? Aku akan terima saran Dokter kalau waktunya sudah tiba.”

“Aku akan resepkan obat untukmu, Kana. Kamu sudah mengambil keputusan?” Dokter Tanto bertanya dengan raut wajah yang sama seperti dua pekan lalu.

“Bisa jadi gaya hidupku kurang sehat selama ini, Dok. Aku akan coba mengatur pola makan dan tidurku. Aku akan coba tahan rasa sakit di kepalaku.”

“Akan aku buatkan rujukan ke dokter gizi untuk pekan depan, juga–” usul Dokter Tanto padaku.

“Di Semarang,” potongku.

Aku sudah memutuskan, aku akan pindah ke Semarang. Aku akan berusaha untuk sembuh di sana. Walaupun ada sedikit kenangan kurang mengenakkan, bukan berarti aku harus menghidar selamanya. Ibu dan Ayah juga berjuang di sana, aku pun juga. Aku akan berusaha sebisaku untuk sembuh, seperti yang aku inginkan.

“Di Semarang,” ulangku lagi setelah tidak ada jawaban dari Dokter Tanto.

“Baiklah. Aku percaya kamu akan sembuh Kana. Aku bisa melihat semangatmu untuk sembuh, itu bisa jadi obat terbaik yang bisa kamu miliki.”

Seperti yang selalu ia lakukan dahulu pada Ayah, ia bukan saja memberikan pengobatan secara medis, Dokter Tanto juga menyuntikkan semangat untuk sembuh walaupun kesembuhan terasa tidak mungkin. 

“Terima kasih, Dok.”

Dokter Tanto menganggung, kemudian menuliskan resep obat yang kuminta. Dia menyarankan untuk satu kali pertemuan lagi dengannya sebelum aku pindah. Aku mengiyakan, aku perlu bantuan Dokter Tanto untuk mengurus keperluan pemeriksaan lanjutanku di Semarang nanti. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status