Share

Pamit

Isakan Kak Maya belum reda, ia bicara dengan suaminya melalui ponsel. Aku sudah di kamarku, bersama si kecil Mega yang telah terlelap.

Setelah makan malam yang sempat tertunda atas pengumuman rencana kepindahanku ke Semarang, kami kembali memutuskan untuk menyelesaikan acara makan malam keluarga yang rutin dilakukan paling tidak satu kali sebulan di rumah keluarga ini.

Kak Maya masuk ke kamarku, dia yang meminta untuk tidur denganku malam ini. Biasanya, kalau sedang berkunjung ke rumah dia akan tidur di kamarnya dahulu. 

“Aku sudah tidak ingat kapan terakhir kali kita tidur bareng?” tanya Kak Maya seraya mengusap kening putri kecilnya.

“Saat Kakak sudah punya pacar saat SMA dan enggak mau aku tau rahasia Kakak,” jawabku.

Kak Maya tersenyum sejenak.

“Karena anak kecil sepertimu sangat menyebalkan kalau soal rahasia,” sambungnya yang membuatku hampir tergelak.

Jarak umur antara aku dan Kak Maya lumayan jauh, aku lahir saat ia duduk di bangku kelas dua SMP. Dan kekepoaan anak kecil usia lima tahun melihat kakaknya senyum-senyum sendiri saat membaca sesuatu dari sepucuk kertas tidak bisa dibendung.

Mulai saat itulah ia tidak mau lagi tidur bersama denganku, kemudian tahun berikutnya ia harus merantau ke kota sebelah untuk kuliah. Jadilah kami berjarak sejak saat itu, walaupun kecerewetan Kak Maya tidak pernah hilang.

“Aku akan sering-sering menghubungimu,” ucapnya sambil merebahkan diri di samping Mega.

Aku ikut merebahkan diri.

“Selama ini kurang sering apa lagi, Kak?”

“Kali ini akan lebih sering.”

“Aku akan me-nonaktifkan ponselku.”

“Itulah masalahmu, Kana. Kenapa pengaturan panggilan dan pesan ponselmu selalu kamu heningkan. Kalau kamu mengangkat panggilan dan segera membalas pesanku, aku enggak akan secerewet itu.”

“Bukan Kana lho ya yang bilang Kak Maya cerewet.”

“Aku sadar diri, kok.”

Aku tergelak dengan pengakuan blak-blakan Kak Maya, membuat si kecil Mega merengek.

Sorry.”

“Aku akan merindukan momen seperti ini,” ucap Kak Maya pelan sambil menepuk halus bahu putrinya.

Aku hanya mengangguk, kemudian memejamkan mataku, mencoba untuk tidur. 

***

Aku selesai memberesi semua barang-barang yang akan dikirim setelah aku menemukan tempat tinggal di Semarang nanti. Aku kemudian kembali ke ruang tamu, ruang paling depan rumah ini aku ingin merekam semuanya sebelum pergi.

Pada salah satu dindingnya masih ada foto pernikahan orang tuaku. Foto pernikahan yang baru terpasang setelah salah satu dari mereka pergi. 

Aku kemudian beralih ke ruang tengah, ruang keluarga yang penuh dengan kenangan. Terlebih kenangan itu tersemat pada barang-barang yang masih tersisa. Pada sisi kanan ruangan ada lemari kayu besar berisi koleksi keramik Ibu.

Salah satu keramik favoritku berbentuk gelas, sepasang gelas bertuliskan kata Mama dan Papa. Dahulu, keramik-keramik itu lebih banyak, sekarang beberapa ada yang rusak, tidak sengaja pecah saat keponakanku berkunjung dan bermain di ruang keluarga yang cukup luas untuk mereka berlarian.

Beberapa gelas keramik koleksi Ibu juga ada beberapa yang aku bawa ke dapur, aku gunakan untuk minum. Dengan minum dari gelas keramik koleksi Ibu aku berharap dapat menghadirkan sosoknya yang minum teh hangat bersamaku seperti dahulu.

Aku buka lagi kamar kedua orang tuaku. Akhir-akhir ini aku sudah jarang membuka kamar mereka, ada sesak yang tak mau aku hadirkan lama-lama. Aku segera beralih saat merasakan hangat pada mataku. Aku kemudian langsung beranjak ke dapur.

Selain ruang keluarga, dahulu kami sering berkumpul di dapur, terlebih karena Ibu sangat suka memasak. Ada hidangan yang tidak pernah lidahku lupakan, bahkan aku pernah tidak mau makan karena aku hanya ingin masakan Ibu. 

Saat sakit selera makanku tidak akan hilang, tetapi satu tahun setelah Ibu pergi, flu menyerangku di musim penghujan. Aku tidak mau makan saat itu, Kak Dinah sudah berusaha mati-matian, bahkan Ayah membelikan jajanan yang sering tidak diperbolehkannya. Aku tidak berselera makan, aku hanya ingin makan sup buatan Ibu saat itu.

Aku hampir menangis saat mengingat kenangan sop hangatku, tetapi segera kutahan dengan mengalihkan diri menyeduh teh dan memutuskan menghabiskan sore terakhirku sebelum bertolak ke Semarang besok di halaman belakang.

Aku menatap angelonia yang tumbuh tidak terkendali di kebun belakang yang sudah lama tidak terurus. Seperti itulah mungkin sel-sel kurang sehat yang berkembang tidak terkendali dalam otakku.

Saat aku kembali ke rumah ini untuk yang kesekian kalinya, angelonia sudah merambat ke mana-mana. Aku hanya sempat membersihkannya sedikit, ada beberapa pekerjaan yang membuatku tidak sempat menyentuhnya lagi. Beberapa mulai layu dan kering, tetapi tidak mengganggu tunas baru untuk tumbuh dan berbunga.

Senja menyapa dengan indah sore ini, sinarnya memberikan kesan bahagia saat terpantul pada dinding rumah, tetapi tidak lagi bisa menghangatkan suasana di dalamnya.

Sejak kepergian Ayah empat tahun lalu aku lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah, hingga akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Vancouver sebagai pengisi hari-hari yang terasa kosong.

“Kota indah itu, semoga bisa kembali lagi ke sana,” gumamku pada angin sore yang mengembuskan udara panas. 

Cuaca hari ini konsisten, sejak pagi hingga sore hari cuaca tetap panas. Aku harus beberapa kali kembali ke kamar pribadiku untuk menikmati udara dingin dari kipas angin.

“Apa aku masih sempat keliling dunia seperti yang aku impikan, enggak perlu keliling dunia deh, keliling Eropa dan Asia cukup.” Aku bergumam sendiri dan tertawa sendiri.

Kemudian tawaku reda, ada semangat baru yang tiba-tiba muncul. Aku harus membaca situasiku. Aku perlu saran dari dokter baruku nanti di Semarang.

Sepertinya aku tidak akan mudah terlelap lagi malam ini, aku punya rencana baru dan harus menuliskannya agar lebih tenang. Sayangnya, semua peralatanku sudah tersimpan rapi dalam kardus-kardus cokelat yang sudah aku taruh di ruang tengah.

“Oke, Kana. Kamu bisa melakukannnya nanti saat semuanya sudah pasti. Kamu perlu bertemu dengan dokter barumu dan berkonsultasi, jangan gegabah.” Aku bergumam sekali lagi sebelum menandaskan teh tanpa gulaku sore ini.

***

Bang Ridwal akan mengantarku seperti yang ia katakan malam itu. Allisya terus merengek, sesekali memanyunkan mulutnya saat aku mencoba mendekat dan mencium pipinya.

“Lisya bisa susul kalo Tante sudah dapat tempat tinggal di sana,” bujukku sebelum mencium pipi tembebnya.

“Janji, ya! Awas kalo bohong,” sahutnya sambil menggembungkan pipinya.

“Iya janji. Nanti Alissya nyusul sama Mama, Kakak, Tante Diah, Bang Dian, Tante Maya dan Dede Mega. Jadinya rame, kan. Seru lho kalo jalan rame-rame.”

“Bener, ya!” Allisya kembali menatapku dengan matanya yang kesal-kesal manja.

“Iya, Sayang.” Dan sekali lagi aku mencium pipinya.

Aku selalu tidak bisa menolak kegemasan dari para keponakanku, walaupun sedikit usil dan kepo. Ya … sebelas dua belas lah ya sama kelakuanku waktu bocah yang penuh rasa ingin tahu yang kadang kebablasan. 

Bang Ridwan kemudian memeluk istrinya dan beralih pada si sulung Alifa yang selalu sibuk dengan ponsel pintar di tangannya akhir-akhir ini. Bang Ridwan kemudian menggendong Alissya yang sudah lari dari sekapanku barusan. Aku kemudian memeluk Kak Dinah dan Kak Puspa secara bergantian.

“Tante boleh peluk enggak nih?” tanyaku pada Alifa yang sudah memasuki usia remaja labil yang kadang enggak mau dipeluk di tempat umum.

“Boleh,” sahutnya singkat.

Aku mengambil ponselnya sebentar, kemudian memeluknya erat. Dia adalah musuh pertamaku dalam keluarga. Anak bungsu versus cucu pertama, itulah hubungan kami awalnya. Seiring waktu makin banyak kemiripan yang aku temukan padanya. Perhatiannya hanya teralihkan sebentar saat bermain ponsel, selebihnya dia penyuka buku sepertiku. 

“Jangan kebanyakan maen HP, Kak.”

“Tante enggak kasih izin Ifa baca novel-novel Tante sih,” sahutnya santai, kemudian mengambil kembali ponselnya.

Aku tersenyum mendengar kalimatnya. Aku pernah memperingatkannya untuk tidak sembarangan mengambil koleksi buku-bukuku di rumah. Aku tidak mungkin membiarkan rivalku dalam keluarga itu membaca buku yang bukan untuknya. Sejak dia kedapatan membaca novel fantasi berating 16 plus, aku tidak pernah lagi menaruh buku-bukuku seenak jidat di luar kamar.

Setelah berpamitan, aku dan Bang Ridwan segera check in dan melalui pemeriksan yang hanya memberikan antrean pendek. Pesawat yang akan membawa kami ke Semarang telah tiba dari Jakarta satu jam yang lalu. Tidak perlu menunggu lama di bandara kota kecilku ini, setelah masuk ruang tunggu, pemberitahuan keberangkatan ke Semarang telah menggema.

Bang Ridwan kemudian menggenggam tanganku saat pesawat lepas landas.

“Jangan sedih lagi, ya.”

Aku mengangguk sebagai jawaban atas nada cemas yang dia lontarkan barusan. Dia paling tahu bagaimana akhirnya aku bisa mengeluarkan air mataku, tidak jauh-jauh. Kaitkanlah segala sesuatu dengan Ibu, Ayah, dan Semarang. Asal bukan di depan orang banyak, terutama di depan Kak Diah dan Kak Maya, aku akan selalu menangis. Aku kebanyakan menangis sendiri, dan di saat-saat itulah Bang Ridwan selalu ada. Namun, tentu saja Bang Ridwan tidak tahu kalau dia termasuk orang yang bisa membuatku bersedih, bahkan menangis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status