Share

1. Anak Angkat

  Selena menghela napas, menyiapkan hati agar tetap tenang berhadapan dengan kedua orang tua angkatnya. Terasa berat beban yang dia rasakan, hatinya resah saat akan berbicara dengan Tony Handoko, papa angkatnya. Tapi saat melihat senyuman indah Emilia, mama angkatnya semua kegundahan didalam hatinya menjadi berbeda. 

  

  Selena seorang anak yatim piatu, saat umurnya 7 tahun dia diangkat sebagai anak oleh keluarga Handoko. Walau dia sering diperlakukan tidak seperti anak kandung oleh Tony, tapi dia juga merasa beruntung diangkat menjadi anak mereka. Dibandingkan dengan anak-anak lain yang masih berada dipanti asuhan tempat dia tinggal dulu.

  

  Tony Handoko terpaksa mengangkat Selena hanya sebagai anak pancingan. Mengambil seorang anak dan menjadikannya sebagai anak pancingan agar cepat mendapatkan anak kandung mungkin terkesan sedikit memaksa suatu keadaan. Akan tetapi inilah yang kadang dijadikan solusi sebagian keluarga yang merindukan hadirnya buah hati.

  

  Mungkin kata-kata itu terdengar kejam, bagaimana mungkin mengangkat seorang anak hanya untuk mendapatkan keturuan sendiri. Mengambil seorang anak atau memelihara seorang anak dengan tujuan - tujuan tertentu. Itu lah yang dilakukan Tony dan Emilia Handoko, mereka sudah 10 tahun menikah tapi belum juga memiliki keturunan atau anak kandung .

  

  Setelah mereka mengangkat Selena selama 3 tahun,  tak lama Emilia mengandung dan melahirlah anak kandung mereka sendiri, Tifanny. Kehadiran Tifanny membuat Selena tersisihkan, Tony selalu membeda bedakan Selena dan Tifanny tapi tidak dengan Emilia. Emilia menyayangi Selena dan Tifanny. Selena juga menyayangi Tifanny sebagai adik kandungnya sendiri, menganggap Tony dan Emilia bagaikan orang tua kandungnya.

  

  Walau sering diperlakukan tidak adil, Selena tidak pernah sakit hati. Dia selalu berusaha sabar dan bersyukur dengan apapun keadaannya. Dia bisa tinggal dirumah yang layak, mendapatkan pendidikan itu sudah lebih dari cukup untuk Selena.

  

  Selama bertahun-tahun menjadi bayang bayang Tifanny mungkin lebih tepatnya menjadi pembantu Tifanny. Jika Tifanny melakukan kesalahan Selena lah yang mendapat hukuman, Selena dianggap tak becus sebagai seorang kakak yang tidak bisa menjaga adiknya. Sering kali Selena mendapatkan tamparan, caci maki, pukulan demi pukulan seakan sudah biasa dia dapatkan. 

  

  Hanya Emilia yang selalu menyayanginya, mengobati setiap luka. Bagi Selena, Emilia seorang ibu yang sangat baik dan menyayanginya dengan tulus tanpa membeda-bedakannya dengan Tifanny anak kandungnya.

  

  Hingga akhirnya Selena lulus kuliah dan akan pindah ke Jakarta. Walau Selena kuliah tapi dia juga berkerja, Selena berkerja sambil kuliah demi kebutuhannya sendiri.

  

  "Lena, kamu yakin akan ke Jakarta?" tanya Emilia.

  "Aku yakin ma, aku kan sudah mendapat panggilan untuk berkerja di salah satu perusahaan swasta."

  "Kamu akan tinggal dimana? Kamu kan tidak pernah ke Jakarta."

  "Ma, aku yakin pasti bisa," ujar Selena dengan semangat.

  "Hati-hati lah nak di Jakarta, jika ada masalah segera hubungi mama. Keluarga kita di sini juga bukan keluarga yang tak mampu, papa mu disini berkerja sebagai direktur dan bisa mencarikan kamu perkerjaan di tempat lain," ujar Emilia berusaha melarang Selena untuk pergi.

  "Mama aku akan berkerja di Johanson Grup loh ma dan aku yakin bisa lebih baik."

  "Baiklah jika memang ini sudah menjadi keputusan kamu nak, mama akan selalu mendukungmu."

  

  Selena berpamitan pada Tony...

  

  "Papa, besok aku akan pergi ke Jakarta, aku menerima panggilan berkerja di Johanson Group."

  "Ooh baguslah... Pergi aja sana, jadi aku tak perlu lagi membiayai semua kebutuhan hidupmu," ujar Tony dengan ketus.

  "Terima kasih papa selama ini sudah sangat baik padaku."

  "Fanny, kakak besok mau pergi ke Jakarta dulu yaa."

  "Yaah sedih deh, ga ada lagi yang bisa ku suruh-suruh kalau kakak pergi. Ooh iya... Kakak kan pergi berkerja, jangan lupa kalau gajian kirim aku uang. Nanti aku kirim nomor rekeningku."

  

  Selena menghela napasnya, dia kecewa Tifanny hanya meminta uang padanya.

  

  "Gimana kak? Mau kan kirim aku uang."

  "Iya Fanny." 

  "Terima kasih, kak. Kamu memang yang terbaik."

  "Fanny, jangan seperti itu pada kakakmu. Kakakmu juga banyak kebutuhan untuk dirinya sendiri. Selena kamu jangan dengarkan perkataan Fanny, dia akan semakin manja nanti," tegur Emilia.

  

  Selena hanya tersenyum mendengarkan perkataan Emilia, mamanya itu selalu bisa mengerti keadaannya.

  

  "Kamu besok naik apa? Apa sudah beli tiket pesawat? Kalau belum nanti mama belikan," ujar Emilia membelai rambut Selena.

  "Ma, jangan buang-buang uangku dengan membelikan Lena tiket pesawat. Belikan saja tiket bus, hanya berjarak 8 jam saja kota kita dengan Jakarta."

  "Tapi pa, kasian kalau Lena pergi sendirian naik bus."

  "Ini kan keinginan Lena pergi ke Jakarta bukan kita yang mengusirnya, jadi biarkan saja dia pergi dengan uangnya sendiri. Nanti papa transfer ke rekeningmu Lena, kamu besok berangkatlah sendiri ke terminal dan beli tiket bus sendiri. Kamu sudah dewasa jangan seperti anak-anak yang minta diantar oleh orang tuanya. Selama ini kamu sudah menjadi beban kami, tolong kamu mengerti, Lena," ujar Tony dengan suara tegas.

  "Iya pa, aku mengerti. Maafkan aku pa," ujar Selena dengan takut. 

  

  Selena menghela napasnya, seperti itu kah dia dianggap oleh keluarga Handoko, tapi dia tetap selalu bersyukur dan berterima kasih dengan apa yang telah diberikan oleh Keluarga Handoko padanya. Tanpa mereka dia tidak akan bisa melanjutkan pendidikannya.

  

  Setelah Selena pergi dari ruang keluarga, Emilia menegur Tony suaminya. Dia melihat Tony dengan kesal.

  

  "Pa, kenapa sih kamu seperti itu sama Selena?" tanya Emilia.

  "Memangnya kenapa?"

  "Walau bagaimana pun Selena anak kita pa, walau hanya anak angkat tapi aku merawatnya seperti putri kandungku sendiri. Aku tidak pernah membeda-bedakan Selena dengan Tifanny."

  "Kamu salah! Kamu harus tahu mana yang anak kandung dan anak angkat. Jangan kamu sama kan!"

  "Pa, Selena dia anak yang baik. Walau kita membiayai semua pendidikannya, tapi dia juga berkerja mencari uang sendiri untuk membeli semua kebutuhannya. Lihat dia sekarang bisa diterima kerja di Johanson Grup, masuk perusahaan situ ga mudah loh, pa. Seharusnya kamu bangga dong."

  "Mana mungkin aku bangga, dia kan bukan putri kandungku. Kalau Tifanny yang diterima berkerja di Johanson Grup pasti aku akan sangat bangga."

  

  Emilia menghela napasnya, dia lelah berbicara dengan Tony yang sangat egois. "Pa, tolonglah harga Selena sedikit saja, kasihan Selena."

  "Akh, aku ga urusannya dengan semua itu. Dia memang harus tahu diri, aku membiayai semua pendidikannya, membiayai hidupnya, dan kasih dia makan. Aku rasa semuanya cukup untuk Selena, malah juga sudah bagus dia ku angkat anak. Dari pada dia masih terus di panti asuhan."

  "Papa! Itu memang sudah kewajiban kita sebagai orang tua angkat Selena. Jika kita tidak mengangkat Selena belum tentu aku bisa hamil dan melahirkan Tifanny. Jangan lupa tujuan kita dulu mengangkat Selena sebagai anak."

  "Pikiranmu kemana sih ma. Anak itu anugerah dari Tuhan. Bukan karena kita mengangkat Selena lalu kamu hamil."

  "Terserah kamu lah pa. Kamu memang egois."

  "Diam kamu ma! Kamu cukup dirumah aja, ngurus putri kita, Tifanny."

  "Pa, tolonglah jangan egois!"

  "Ku bilang cukup Emilia! Jangan kamu atur aku."

  

  Emilia memilih untuk diam, percuma dia melanjutkan perdebatan ini dengan Tony. 

  

  Tanpa mereka ketahui Selena mendengar semua pertengkaran Emilia dan Tony. Bulir-bulir air mata jatuh di pipinya, dia sangat sedih mendengar perkataan Tony. Dia menyayangi Tony dan Emilia seperti orang tua kandungnya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status