Selena menghela napas, menyiapkan hati agar tetap tenang berhadapan dengan kedua orang tua angkatnya. Terasa berat beban yang dia rasakan, hatinya resah saat akan berbicara dengan Tony Handoko, papa angkatnya. Tapi saat melihat senyuman indah Emilia, mama angkatnya semua kegundahan didalam hatinya menjadi berbeda.
Selena seorang anak yatim piatu, saat umurnya 7 tahun dia diangkat sebagai anak oleh keluarga Handoko. Walau dia sering diperlakukan tidak seperti anak kandung oleh Tony, tapi dia juga merasa beruntung diangkat menjadi anak mereka. Dibandingkan dengan anak-anak lain yang masih berada dipanti asuhan tempat dia tinggal dulu.
Tony Handoko terpaksa mengangkat Selena hanya sebagai anak pancingan. Mengambil seorang anak dan menjadikannya sebagai anak pancingan agar cepat mendapatkan anak kandung mungkin terkesan sedikit memaksa suatu keadaan. Akan tetapi inilah yang kadang dijadikan solusi sebagian keluarga yang merindukan hadirnya buah hati.
Mungkin kata-kata itu terdengar kejam, bagaimana mungkin mengangkat seorang anak hanya untuk mendapatkan keturuan sendiri. Mengambil seorang anak atau memelihara seorang anak dengan tujuan - tujuan tertentu. Itu lah yang dilakukan Tony dan Emilia Handoko, mereka sudah 10 tahun menikah tapi belum juga memiliki keturunan atau anak kandung .
Setelah mereka mengangkat Selena selama 3 tahun, tak lama Emilia mengandung dan melahirlah anak kandung mereka sendiri, Tifanny. Kehadiran Tifanny membuat Selena tersisihkan, Tony selalu membeda bedakan Selena dan Tifanny tapi tidak dengan Emilia. Emilia menyayangi Selena dan Tifanny. Selena juga menyayangi Tifanny sebagai adik kandungnya sendiri, menganggap Tony dan Emilia bagaikan orang tua kandungnya.
Walau sering diperlakukan tidak adil, Selena tidak pernah sakit hati. Dia selalu berusaha sabar dan bersyukur dengan apapun keadaannya. Dia bisa tinggal dirumah yang layak, mendapatkan pendidikan itu sudah lebih dari cukup untuk Selena.
Selama bertahun-tahun menjadi bayang bayang Tifanny mungkin lebih tepatnya menjadi pembantu Tifanny. Jika Tifanny melakukan kesalahan Selena lah yang mendapat hukuman, Selena dianggap tak becus sebagai seorang kakak yang tidak bisa menjaga adiknya. Sering kali Selena mendapatkan tamparan, caci maki, pukulan demi pukulan seakan sudah biasa dia dapatkan.
Hanya Emilia yang selalu menyayanginya, mengobati setiap luka. Bagi Selena, Emilia seorang ibu yang sangat baik dan menyayanginya dengan tulus tanpa membeda-bedakannya dengan Tifanny anak kandungnya.
Hingga akhirnya Selena lulus kuliah dan akan pindah ke Jakarta. Walau Selena kuliah tapi dia juga berkerja, Selena berkerja sambil kuliah demi kebutuhannya sendiri.
"Lena, kamu yakin akan ke Jakarta?" tanya Emilia.
"Aku yakin ma, aku kan sudah mendapat panggilan untuk berkerja di salah satu perusahaan swasta." "Kamu akan tinggal dimana? Kamu kan tidak pernah ke Jakarta." "Ma, aku yakin pasti bisa," ujar Selena dengan semangat. "Hati-hati lah nak di Jakarta, jika ada masalah segera hubungi mama. Keluarga kita di sini juga bukan keluarga yang tak mampu, papa mu disini berkerja sebagai direktur dan bisa mencarikan kamu perkerjaan di tempat lain," ujar Emilia berusaha melarang Selena untuk pergi. "Mama aku akan berkerja di Johanson Grup loh ma dan aku yakin bisa lebih baik." "Baiklah jika memang ini sudah menjadi keputusan kamu nak, mama akan selalu mendukungmu."Selena berpamitan pada Tony...
"Papa, besok aku akan pergi ke Jakarta, aku menerima panggilan berkerja di Johanson Group."
"Ooh baguslah... Pergi aja sana, jadi aku tak perlu lagi membiayai semua kebutuhan hidupmu," ujar Tony dengan ketus. "Terima kasih papa selama ini sudah sangat baik padaku." "Fanny, kakak besok mau pergi ke Jakarta dulu yaa." "Yaah sedih deh, ga ada lagi yang bisa ku suruh-suruh kalau kakak pergi. Ooh iya... Kakak kan pergi berkerja, jangan lupa kalau gajian kirim aku uang. Nanti aku kirim nomor rekeningku."Selena menghela napasnya, dia kecewa Tifanny hanya meminta uang padanya.
"Gimana kak? Mau kan kirim aku uang."
"Iya Fanny." "Terima kasih, kak. Kamu memang yang terbaik." "Fanny, jangan seperti itu pada kakakmu. Kakakmu juga banyak kebutuhan untuk dirinya sendiri. Selena kamu jangan dengarkan perkataan Fanny, dia akan semakin manja nanti," tegur Emilia.Selena hanya tersenyum mendengarkan perkataan Emilia, mamanya itu selalu bisa mengerti keadaannya.
"Kamu besok naik apa? Apa sudah beli tiket pesawat? Kalau belum nanti mama belikan," ujar Emilia membelai rambut Selena.
"Ma, jangan buang-buang uangku dengan membelikan Lena tiket pesawat. Belikan saja tiket bus, hanya berjarak 8 jam saja kota kita dengan Jakarta." "Tapi pa, kasian kalau Lena pergi sendirian naik bus." "Ini kan keinginan Lena pergi ke Jakarta bukan kita yang mengusirnya, jadi biarkan saja dia pergi dengan uangnya sendiri. Nanti papa transfer ke rekeningmu Lena, kamu besok berangkatlah sendiri ke terminal dan beli tiket bus sendiri. Kamu sudah dewasa jangan seperti anak-anak yang minta diantar oleh orang tuanya. Selama ini kamu sudah menjadi beban kami, tolong kamu mengerti, Lena," ujar Tony dengan suara tegas. "Iya pa, aku mengerti. Maafkan aku pa," ujar Selena dengan takut.Selena menghela napasnya, seperti itu kah dia dianggap oleh keluarga Handoko, tapi dia tetap selalu bersyukur dan berterima kasih dengan apa yang telah diberikan oleh Keluarga Handoko padanya. Tanpa mereka dia tidak akan bisa melanjutkan pendidikannya.
Setelah Selena pergi dari ruang keluarga, Emilia menegur Tony suaminya. Dia melihat Tony dengan kesal.
"Pa, kenapa sih kamu seperti itu sama Selena?" tanya Emilia.
"Memangnya kenapa?" "Walau bagaimana pun Selena anak kita pa, walau hanya anak angkat tapi aku merawatnya seperti putri kandungku sendiri. Aku tidak pernah membeda-bedakan Selena dengan Tifanny." "Kamu salah! Kamu harus tahu mana yang anak kandung dan anak angkat. Jangan kamu sama kan!" "Pa, Selena dia anak yang baik. Walau kita membiayai semua pendidikannya, tapi dia juga berkerja mencari uang sendiri untuk membeli semua kebutuhannya. Lihat dia sekarang bisa diterima kerja di Johanson Grup, masuk perusahaan situ ga mudah loh, pa. Seharusnya kamu bangga dong." "Mana mungkin aku bangga, dia kan bukan putri kandungku. Kalau Tifanny yang diterima berkerja di Johanson Grup pasti aku akan sangat bangga."Emilia menghela napasnya, dia lelah berbicara dengan Tony yang sangat egois. "Pa, tolonglah harga Selena sedikit saja, kasihan Selena."
"Akh, aku ga urusannya dengan semua itu. Dia memang harus tahu diri, aku membiayai semua pendidikannya, membiayai hidupnya, dan kasih dia makan. Aku rasa semuanya cukup untuk Selena, malah juga sudah bagus dia ku angkat anak. Dari pada dia masih terus di panti asuhan." "Papa! Itu memang sudah kewajiban kita sebagai orang tua angkat Selena. Jika kita tidak mengangkat Selena belum tentu aku bisa hamil dan melahirkan Tifanny. Jangan lupa tujuan kita dulu mengangkat Selena sebagai anak." "Pikiranmu kemana sih ma. Anak itu anugerah dari Tuhan. Bukan karena kita mengangkat Selena lalu kamu hamil." "Terserah kamu lah pa. Kamu memang egois." "Diam kamu ma! Kamu cukup dirumah aja, ngurus putri kita, Tifanny." "Pa, tolonglah jangan egois!" "Ku bilang cukup Emilia! Jangan kamu atur aku."Emilia memilih untuk diam, percuma dia melanjutkan perdebatan ini dengan Tony.
Tanpa mereka ketahui Selena mendengar semua pertengkaran Emilia dan Tony. Bulir-bulir air mata jatuh di pipinya, dia sangat sedih mendengar perkataan Tony. Dia menyayangi Tony dan Emilia seperti orang tua kandungnya sendiri.
3 tahun kemudian. Tanpa terasa tahun berganti, sudah tiga tahun Selena tinggal di Jakarta, dia menikmati hidupnya dan berkerja di Johanson Grup. Selena memiliki seorang teman Veronica William dan sudah 2 tahun juga dia berpacaran dengan seorang pria bernama Oliver Wijaya. Veronica merupakan teman Oliver dan yang mengenalkan Selena dengan Oliver juga Veronica. "Kamu kenapa Lena? Wajahmu gusar begitu?" tanya Veronica. "Aku takut nih," kata Selena pada Veronica. "Udah santai aja. Memang sih ini pengalaman pertamamu dengan Oliver, tapi aku yakin nanti kamu akan menikmatinya hihihi." Veronica terkekeh teringat dengan kelakuannya sendiri. "Kalau pengalaman hubungan seksualmu yang pertama gimana?" "Hubungan seksualku yang pertama ya." Veronica tersenyum mengingat pertama kali dia berhubungan seksual dengan mantan kekasihnya. "Enak dan nikmat, setelah itu aku malah ketagihan." "Kamu kan udah 2 tahun pacaran sama Oliver, kayanya bukan masalah lagi deh. Udah ga apa-apa, nikmat
Sinar mentari pagi bersinar dengan indah, tetapi sinar mentari pagi seakan kalah indah dengan senyuman Selena. Keadaan Selena sekarang sudah merubah, kemarin dia masih menjadi seorang gadis tapi hari ini dia sudah menjadi seorang wanita. Selena tersenyum sendiri mengingat tadi malam dia melakukan hubungan intim dengan Oliver. Sangat nyaman berada dalam pelukan Oliver, walau tadi malam dia tidak bisa beristirahat karena napsu Oliver yang ternyata mampu membuatnya kewalahan melayaninya. Tadi malam Selena juga merasa ada berbeda, dia menjadi lebih bergairah. Selena merasa dia seperti orang yang haus akan keinginan napsu duniawi, memohon, dan meminta Oliver untuk menyentuhnya, menjamahnya, menghujam berkali-kali tanpa lelah, melakukan lagi dan lagi. Hasrat tersebut benar-benar sangat nikmat dan memuaskan. Benar kata Veronica, saat benda besar dan perkasa itu masuk kedalam bagian intimnya akan terasa penuh. Seakan bagian sensitifnya terasa sempit dan sesak. Apa lagi saat benda besa
Pandangan mata Selena seakan hampa. Dia tak dapat menahan rasa sesak didalam dadanya, bulir-bulir air mata terjatuh dipipinya. "Apa yang telah aku lakukan." Selena terisak, tubuhnya bergetar. Selena menjatuhkan dirinya dilantai kamar mandi. Lantai kamar mandi yang dinginnya seakan menjalar memasuki seluruh sendi-sendi didalam tubuhnya. Bulir-bulir air mata seakan terus keluar bagaikan air hujan, dia meratapi kesalahannya. Seharusnya keperawanannya dia berikan pada Oliver bukan pada pria asing itu, mau taruh dimana wajahnya nanti jika dia bertemu dengan Oliver. Apa lagi perkataan pria asing itu mengatakan kalau dia membelinya, kepala Selena makin pusing mengingat semua hal tersebut. "Apa yang harus aku lakukan." Selena terisak, dia menangis menyesali semua yang telah terjadi. Pikiran Selena terbawa kembali pada malam kejadian saat dia bersama pria itu sebelum masuk ke dalam kamar hotel. Ia dengan takut-takut masuk ke dalam kamar hotel. Badannya bergetar tapi dia merasa ad
Keesokan harinya... Selena bangun dari tidurnya dan melihat hari sudah berganti, dia berharap kalau kejadian kemarin hanya lah mimpi buruk. Selena secepatnya melihat lehernya di cermin tapi ternyata itu hanya dalam pikirannya saja, kiss mark dilehernya masih ada dan berarti kejadian malam kemarin bukanlah mimpi tapi kenyataan. Selena menangis lagi, dia benar benar bodoh. Selena menyadari ada yang aneh, jika memang ibu Oliver yang melakukan semua ini padanya tapi kenapa Oliver berbicara padanya dan memberikan kartu kamar hotel pada Veronica. Ting... Tong... Suara bel pintu apartement Selena berbunyi, dia yakin kalau itu Oliver. Selena memilih untuk diam tak ingin bertemu Oliver, ponsel Selena berbunyi dia dengan cepat mengambil ponselnya. Ada nama Oliver dilayar ponselnya, Selena dengan cepat memindahkan dalam mode mute. Selena hanya bisa menangis sambil melihat ponsel dalam genggamannya. "Maafkan aku Oliver, aku tak pantas untukmu." Tak lama ada pesan masuk diponselny
Selena dengan kesal melihat kertas yang diberisikan nomor ponsel lelaki tersebut, nama saja sampai sekarang dia tidak tahu malah menyuruh dia untuk menghubungi pria itu. Selena ingin membuang ketempat sampah nomor ponsel pria itu tapi dia ragu akhirnya menyimpan kertas berwarna kuning tersebut. "Lena ayo kita pulang," kata Oliver yang tiba-tiba sudah berada di belakang Selena. "Yaa ampun Oliver, kamu mengagetkan aku," ujar Selena mengelus dadanya. Di dalam mobil Oliver, Selena hanya diam. Pikirannya masih mengingat kejadiannya di hotel dan direstoran tadi. "Lena untung saja yang nabrak mobilku mau bertanggung jawab jika tidak mama pasti akan memarahiku," ujar Oliver. "Iya." "Maaf yaa sayang karena kejadian tadi merusak makan malam kita, aku berjanji akan menebusnya sabtu malam besok." "Ga apa-apa Oliver." Mereka kembali diam, Selena ingin menanyakan tentang kejadian malam itu. "Oliver, kamu menunggu aku dikamar hotel nomor berapa kemarin?" tanya Selena. "Eeh iya.
Keesokan harinya... Selena akan berangkat untuk berkerja, dia memasak sarapannya sendiri. Dia terbiasa melakukan semua hal sendiri, tapi dia masih lebih beruntung dari pada harus dirumah keluarga Handoko. Keluarga yang selalu memperlakukannya seperti asisten rumah tangga. "Aku harus selalu bersyukur atas apa yang ku capai sampai hari ini tidak boleh mengeluh." Selena berusaha menyemangati dirinya sendiri. Selena berangkat ke kantor menggunakan transportasi online, dia belum mampu membeli kendaraan pribadi. Begitu tiba di kantor, Selena heran melihat beberapa temannya berkumpul seperti sedang mendiskusikan sesuatu atau lebih tepatnya sedang bergosip. "Hei ada apa? kenapa? Ada gosip apakah ini?" tanya Selena dengan penasaran. "Eeh, Lena kamu udah datang, sini gabung. Ada berita terbaru tentang bos kita," ujar Riana salah satu teman Selena di kantor. "Bos kita? Maksudmu bu Serly?" tanya Selena yang masih kebingungan. "Aduuh, non bukan bu Serly, tapi CEO yang baru katanya
Selena merasa resah sendiri, dia sekarang berada di depan pintu Devano. Flashback "Selena, kamu keruangan saya." Serly, manager keuangan. "Iya bu," jawab Selena. "Kamu melakukan kesalahan apa tadi?" tanya bu Serly penasaran. "Saya melakukan apa yaa bu?" Selena balik bertanya. "Kalau saya tahu, tidak mungkin bertanya sama kamu. Kamu yang seharusnya tahu di mana letak kesalahan kamu." Selena terdiam, apa tingkah lakunya tadi mencurigakan? Sehingga Devan menyadari dirinya padahal dia sudah berusaha untuk menghindari Devan. "Sekarang kamu di panggil ke ruangan CEO. Saya harap kamu tidak melakukan hal yang salah dan memalukan divisi keuangan," ujar Serly dengan tegas. "Iya bu." "Kamu mempunyai kinerja kerja yang bagus dan merupakan karywan andalan saya. Saya berharap kamu di panggil ke ruangan CEO bukan untuk di pecat." "Terima kasih bu." Flashback off "Kamu kenapa hanya diam disitu, kamu sudah di tunggu sama tuan Devan." Perkataan Andi menyadarkan Selena yang
Selena akan pulang kantor tak sengaja bertemu Oliver yang sudah menunggunya di depan kantor tersenyum melihat Selena. "Aku antar pulang yaa," sapa Oliver dengan ramah. "Aku ingin pulang sendiri saja, ga perlu kamu jemput." Selena sedang tak ingin bertemu Oliver, dia masih sakit hati dengan Marry ibu Oliver. "Lena jangan begini... kenapa kamu berubah sayang." Oliver menarik tangan Selena. "Tolong lepaskan tanganku, Oliver," ujar Selena menghentakan tangan Oliver. Selena berlalu pergi dari hadapan Oliver tapi saat dia akan pergi sebuah mobil berhenti didahapannya. Selena bingung mobil siapa yang berada di depannya. Kaca mobil perlahan terbuka dan ternyata Devan melihatnya dengan tajam. "Masuk," perintah Devan. "Ga mau," ujar Selena cuek. "Tuh, pacarmu menuju ke arahmu," ujar Devan. "Selena... Selena," panggil Oliver. Selena mendengar suara Oliver, dia ingin menghindari Oliver. Dengan cepat dia masuk ke dalam mobil Devan. Oliver terdiam melihat Selena masuk ke dalam