Share

Bab 3.

"Bunga terus yang di kasih makan, emang kamu sudah makan?" tanya Dafa ketika melihat Aya yang begitu tekun merawat tanamannya.

Aya sedikit terkejut saat mendengar suara Dafa, ia menoleh sekejap lalu mengeluarkan ponselnya untuk menuliskan sesuatu. "Sudah, kalau kamu sudah belum?"

"Wah.. Ini pertanyaan atau tawaran, kan lumayan kalau dapat sarapan gratis." ujar Dafa berniat menggoda gadis itu.

Aya tersenyum lalu memberi isyarat untuk tidak kemana-mana. Dafa menurut, ia menunggu gadis itu. Hingga beberapa menit Aya kembali dengan membawa satu piring nasi penuh berserta lauknya. Dafa mendelik padahal kan niatnya hanya menggoda gadis itu, namun ternyata Aya benar-benar memberikannya sarapan.

Karena jarak pagar balkon mereka menempel Aya mudah menaruh piring tersebut di atas pagar Dafa.

Raut wajah Aya berubah ketika Dafa tak kunjung menerima makanannya. Apakah semua orang tidak ingin mencoba makanan dari masakannya.

Perlahan Aya menarik kembali piringnya, hal itu membuat Dafa bingung. "Lho. Kok di ambil lagi?" Aya menulis di ponselnya.

"Tidak jadi, pasti kamu tidak mau makan masakanku." Dafa bisa melihat raut kesedihan dari Aya.

"Siapa bilang! Sini." ujarnya cepat lalu menarik piring yang Aya pegang.

Dafa tercengang ketika merasakan masakan Aya, yang begitu enak. "Bagaimana? Tidak enak ya?" tulis gadis itu.

"Enak banget ini. nggak bohong aku," ujar Dafa begitu semangat, Aya sampai tertawa pelan, menurutnya Dafa ini pria yang humoris dan enak di ajak untuk berteman.

memandangi Dafa yang begitu menikmati makanannya, membuatnya membayangkan seandainya di depannya ini adalah suaminya, pasti dirinya akan jauh lebih bahagia.

"Jika kamu suka, besok aku akan buatkan kamu makanan lagi,"

"Memangnya tidak apa-apa, jangan ah. Aku takut suamimu marah." Aya menunduk menutupi kesedihannya.

Namun tetap saja Dafa bisa melihat itu. Aya mendongak lagi lalu mengetik sesuatu."tidak apa-apa, suamiku mana mungkin marah."

"Oh begitu ya, oke aku tunggu lho besok," sebenarnya Dafa ingin menanyakan sesuatu, namun ia sadar diri jika dia bukan siapa-siapa. Lagi pula dirinya baru kenal dengan gadis itu.

Aya mengangguk mantap sambil memberi jempol pada Dafa, pria itu memandangi Aya. Walaupun tersenyum ia merasa jika Aya tengah menutupi sesuatu, terlihat jelas dari mata gadis itu.

Di kantor, Rama sedang memeriksa hasil kerja karyawannya, hingga suara yang sangat ia hapal membuatnya menoleh. Senyumannya merekah ketika orang itu masuk dan duduk di depan mejanya. "Hei.. Kenapa datang nggak bilang-bilang. Aku kan bisa menjemputmu sayang." kata Rama lembut.

"Nggak apa-apa, aku kesini cuma bentar doang. Mau minta duit sih, kalau di kasih," ujarnya sambil memilin jari lentik berkuku merah tersebut. Rama terkekeh memajukan duduknya menaruh tangannya di atas meja.

"Untuk apa? Bukannya aku sudah kasih dua hari yang lalu." wanita itu cemberut membuat Rama gemas tangannya terulur mencubit pipi kekasihnya yang bernama Melinda.

"Udah habis lah, duit segitu doang beli daleman juga nggak cukup Ram!" kesalnya. Rama mengakui jika kekasihnya ini gila uang.

Padahal dua hari yang lalu dirinya baru saja mentransfer uang sejumlah 200 juta. Namun sekarang wanita itu sudah meminta lagi.

"Memangnya butuh berapa?" mata Melinda berbinar sinyal mendapatkan uang sudah ia dapatkan.

"150 juta, eh nggak deh. 175 juta, segitu aja dulu." katanya begitu bersemangat.

Rama cukup terkejut uang sebanyak itu, sebenarnya untuk apa.

Rama paling tidak tega jika tidak memberikan uang itu pada kekasihnya. Meskipun berjumlah banyak, Rama selalu memberikan uang yang di minta oleh Melinda.

"Baiklah, aku transfer sekarang." Melinda sangat senang. Sampai-sampai ia bertepuk tangan beberapa kali dengan wajah kegirangan.

Selesai Rama transfer Melinda segera pamit pada laki-laki itu. Namun sebelum pergi Melinda memberikan hadiah, berupa ciuman panas untuk Rama. "Aku tunggu nanti malam," bisik Melinda di telinga Rama.

Membuat Rama mengeram kesal karena kekasihnya sudah menggodanya, setelah berhasil membuatnya bergairah ia di tinggal begitu saja.

***

Pukul 00: 35 Aya masih terjaga di ruang tamu, ia ingin menunggu suaminya pulang. Tapi sudah selarut ini belum ada tanda-tanda kedatangan suaminya itu.

Ngantuk. Sudah pasti, sebenarnya Aya tidak bisa tidur selarut ini. Namun demi baktinya pada suami, maka ia rela menunggu sampai suaminya itu pulang.

Aya bingung ingin melakukan apa, acara televisi sudah tidak ada yang menarik. Sesekali ia mengusap matanya yang mengeluarkan air mata karena pedih menahan kantuk.

Aya melirik jam di dinding, sudah menujukan pukul 01:15 ia menoleh pada pintu, tidak juga ada kedatangan suaminya. Ia menyerah matanya sudah tidak sanggup untuk menahan kantuknya, Akhirnya gadis itu merebahkan tubuhnya di sofa dan mulai terlelap.

Di apartemen, sang istri sedang menunggu hingga tertidur di sofa. sementara suaminya kini tengah asyik bercumbu di rumah kekasihnya, Rama begitu terbuai oleh permainan Melinda tanpa memikirkan seseorang yang tengah menunggunya rumahnya.

Aya terbangun mengedarkan pandangannya mencari sosok yang masih ia tunggu. Waktu sudah menujukan shubuh, Aya berdiri ingin memeriksa kamar suaminya.

Ia hanya ingin memeriksa, suaminya sudah pulang atau memang tidak pulang. Memberanikan diri Aya memutar knop pintu tersebut. saat pintu sudah terbuka lebar, Hatinya berubah sendu. Ternyata suaminya tidak pulang.

Tidur di manakah suaminya sekarang, baik-baik sajakah suaminya. Pikirnya dalam hati.

Aya menutup pintu lagi dan pergi ke kamarnya sendiri untuk bersiap-siap sholat subuh.

Selesai sholat subuh, gadis itu menuju dapur. Bersiap-siap untuk membuat sarapan. Meskipun suaminya tidak pulang. Ia tetap memasak. Lagi pula jika suaminya tidak ada, ia sudah punya janji dengan tetangganya itu.

Mendengar suara pintu terbuka membuat Aya menoleh. Tersenyum saat melihat Rama pulang dengan wajah kusutnya. Aya menghampiri Rama berniat untuk menyalami tangan suaminya.

Belum sampai meraih tangan kanan Rama. Pria itu lebih dulu menghindar dan masuk kedalam kamarnya.

Masih posisi menunduk Aya, tersenyum getir. Lagi-lagi ia di tolak. Ia menegakkan tubuhnya, menatap sendu pintu kamar milik Rama yang sudah tertutup rapat.

Pria itu hanya sebentar di rumah, hanya numpang mandi dan berganti baju. Aya melihat Rama sudah sangat rapi dan wangi.

Aya sedikit berlari dan mencegah Rama untuk pergi. Namun karena refleks memegang lengannya. Pria itu menepis tangan Aya sangat kuat hingga gadis itu tersungkur di lantai.

"Berapa kali gue bilang! Jangan sentuh gue! Lo memang nggak ngerti bahasa manusia. Ya!" bentak Rama sangat kencang, Aya menggeleng kuat.

Rama maju. lalu berjongkok di depan gadis itu dan menarik rambut Aya hingga ia mendongak ke atas. "Lo memang nggak bisa di baikin ya. Sekali-sekali lo di hukum. Biar kapok!" ujar Rama terdengar menakutkan di telinga Aya.

"Sini lo!" Rama berdiri lalu menggeret Aya dengan menarik rambut gadis itu.

Aya sudah menangis merasakan pusing di kepalanya, ia sudah memohon untuk di lepaskan dengan cara memberontak.

Tapi sayang tenaganya kalah dengan suaminya. Rama membawanya ke kamar mandi, Pria itu menyalakan shower dengan mengatur suhunya untuk air panas.

Rama mengalirkan shower itu ke tubuh Aya. Gadis itu menangis, menjerit kepanasan, tangannya menangkup memberi isyarat untuk berhenti dan meminta maaf, wajah Aya sudah memerah. Tangannya pun ikut memerah.

Puas sudah memandikan istrinya dengan air panas, Rama tersenyum miring dan pergi meninggalkan Aya yang masih kesakitan begitu saja.

Aya menangis meratapi nasibnya dan juga merasakan sakit di tubuhnya.

Sisa tenaga yang di punya Aya berdiri untuk keluar dari kamar mandi tersebut, Apartemen itu sudah kosong lagi. Setelah menyiram dirinya Rama pergi meninggalkannya lagi.

Aya masuk kedalam kamarnya untuk berganti baju, ia menangis ketika duduk di depan meja rias, menatap wajahnya yang merah-merah.

Perlahan ia menuju dapur berniat untuk memasak lagi, bagaimana pun keadaannya Aya harus bisa menepati janjinya. Dari dulu orang tuanya selalu mengajarinya untuk tidak ingkar janji pada siapapun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status