Share

Bab 4.

Hari demi hari sudah berlalu begitu cepat. Tidak terasa umur pernikahan Rama dan Ayana sudah dua minggu lamanya.

Kian hari bukannya kebahagiaan yang Aya dapatkan, namun siksaan demi siksaan di berikan oleh Rama kepadanya. Pria itu semakin menyiksa Aya tiada henti, tidak ada hari selain meyakiti gadis itu. Hingga saat ini pun Rama tidak pernah mengagap Aya sebagai istrinya, melainkan sebagai pelayan di apartemennya.

Aya selalu menuruti keinginan suaminya, tapi entah kenapa apapun yang di lakukannya selalu salah. Sampai-sampai ia bingung harus bagaimana.

Hubungan dengan tetangganya itu pun juga sangat baik, saat ini hanya Dafa yang bisa menghiburnya, tadinya pria yang masih berusia 24 tahun itu tidak curiga. Namun lama-kelamaan saat melihat wajah pucat dan lebam di pipi Aya. Ia mulai curiga.

Dafa sudah menyuruh Aya untuk melaporkan suaminya yang sudah melakukan KDRT pada pihak yang berwajib, namun Aya memohon untuk tidak memberitahu kepada siapapun ataupun melaporkan Rama pada polisi.

"Oh.. Ternyata kerjaan lo tiap hari. Berduaan sama tuh cowok!" Aya mendelik tidak menyangka jika di belakangnya ada suaminya.

Sepertinya tadi Rama sudah pergi ke kantor, namun kenapa sekarang suaminya bisa ada di belakangnya. Aya mengambil ponsel di saku lalu menulis sesuatu. "Nggak begitu Mas, aku tidak ada hubungan apa-apa. Kita cuma berteman, dia tetangga kita, tapi dia baik Mas," tulisan Aya berhasil membuat Rama terbahak.

"Ngapain lo jelasin ke gue! Mau lo punya hubungan juga silahkan. Itu bukan urusan gue!"

"Lo pikir gue cemburu! Aya-aya.. Jangan kepedean lo. Cewek bisu kayak lo nggak akan bisa buat gue cemburu!" ujarnya yang sukses membuat Aya terdiam karena kebodohannya. Selesai memaki Aya Rama pergi meninggalkan istrinya yang masih diam terpaku.

Benar kenapa juga, tadi ia menulis kalimat itu. Dirinya terlalu berpikir ketinggian, mana mungkin seorang Rama cemburu kepadanya.

"Suami kamu ini sudah benar-benar keterlaluan! Sampai kapan kamu bisa bertahan dengan pria sombong seperti itu Aya!" gadis itu menoleh, menatap sendu pada Dafa.

"Atau jangan-jangan kamu sudah cinta sama suami kamu?" Aya sedikit membulatkan matanya, benarkah ia cinta pada suaminya.

Dia belum pernah yang namanya jatuh cinta, apa jika cinta pada seseorang seperti ini rasanya, Aya selalu merasa degdegan ketika bersama suaminya, namun ia tidak tahu apakah itu bisa di katakan jatuh cinta.

Aya memegang dadanya, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Aku tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta Daf," tulis Aya malu.

Dafa tengah menahan tawanya, jadi gadis di depannya ini masih polos, belum mengerti rasanya mencintai seseorang bagaimana.

Pria itu semakin gemas dengan gadis istimewa itu. Andai dia yang lebih dulu bertemu. Maka dirinya yang menikahi gadis lugu nan baik hati ini. Tidak peduli dengan kondisinya yang memiliki kekurangan. Hatinya sudah jatuh di pertama kali mereka bertemu beberapa hari yang lalu.

"Rasanya, kamu akan berdebar ketika sedang bersamanya. Senang ketika kamu melihatnya senang, dan sedih ketika kamu melihatnya bersedih. Ya.. Walaupun itu juga belum tentu bisa di katakan jika sudah cinta, bisa saja kan itu karena kasihan atau simpati," jelas Dafa membuat Aya sedikit mengerti.

***

Kegiatan di sore hari Aya biasanya menyiapkan makan untuk suaminya. Namun karena beberapa hari Rama tidak pernah pulang, maka Aya tidak pernah masak, kini gadis itu sedang duduk menonton televisi.

"Bagus! Santai aja terus!" Aya tersentak, ia tidak tahu jika suaminya akan pulang.

"Mas kapan pulang?" tanyanya menggunakan bahasa isyarat.

Rama tidak menjawab karena memang dia tidak mengerti, pria itu justru maju menatap tajam istrinya. "Kenapa setiap hari gue semakin benci sama lo!"

"Apa yang harus aku lakukan Mas, supaya Mas nggak benci dan menerimaku sebagai istri." tulis Aya di ponselnya.

"Lo mau tahu?" Aya mengangguk yakin.

"MATI!"

"Lo harus mati supaya gue bisa bebas!" bentak Rama lalu pergi ke kamarnya meninggalkan Aya yang diam mematung dengan tubuh bergetar.

Kenapa harus mati pria itu baru tidak membencinya, Sebegitu bencikah suaminya kepadanya hingga menginginkan kematiannya.

"Bisu!" bentak Rama muncul kembali mengagetkan Aya yang masih melamun dengan ucapannya beberapa waktu lalu.

"Selain bisu. Lo budek! Dari tadi gue panggilin. Nggak nyaut!" Aya menunduk meminta maaf.

"Sebentar lagi pacar gue datang. Lo harus masak yang enak. Gue mau keluar. Awas kalau gue balik jemput pacar gue lo belum selesai. Siap-siap apa yang akan gue lakuin!" ancamnya.

Tanpa di suruh dua kali Aya bergegas menuju dapur guna memasak seperti apa yang suaminya minta, meskipun sakit hati karena memasak untuk pacar suaminya. Namun Aya masih mau melakukannya.

Hatinya merasa tidak di hargai, padahal istri sahnya di sini. Tapi Rama membawa perempuan yang sebenarnya tidak ada hak apapun tentang Rama.

Tepat pukul tujuh malam Aya selesai memasak, Rama juga baru saja kembali menjemput pacarnya Melinda.

"Bagus! Gue pikir lo nggak mau nurut."

"Sayang ini semua yang masak cewek bisu ini?"

"Iya, dia jago masak kok. Kan lumayan makan nggak usah beli." ucap Rama tertawa pelan. Rama berkata seperti itu seolah dirinya pernah makan masakan Aya, padahal selama ini sekalipun dirinya belum pernah mencoba masakan istrinya itu.

"Tapi kamu yakin sama rasanya? Kalau kita di racunin gimana?" ujarnya manja bergelayut di lengan pria berkaos merah itu.

"Aku yang akan bunuh dia kalau sampai racunin kamu," ucap Rama tajam.

Melinda tertawa senang lalu duduk di meja makan. Mereka berdua sudah mengisi piring masing-masing.

Rama yang lebih dulu menyuapkan makanan itu terdiam ketika masakan Aya sudah masuk kedalam mulutnya. Ia tercengang dengan rasanya. Dia tidak percaya jika gadis bisu itu bisa memasak. Rama mencuri pandang pada Aya yang tengah berdiri sambil menunduk.

"Enak juga masakannya, bermanfaat sekali dia, bisa masak. Bisa beres-beres. Tanpa kamu bayar," tawa mereka berdua memenuhi ruangan tersebut, Aya mengepalkan tangannya menahan sakit hati dan amarahnya.

Ingin melawan namun ia bisa apa.

Selesai makan malam Rama dan Melinda bersantai di ruang tamu, mereka sangat mesra padahal Aya yang masih berada di dapur untuk mencuci piring bisa melihat bahkan mendengar obrolan intim dari keduanya.

"Eh! Bisu. Habis ini belikan gue martabak manis, rasa coklat sama red velvet." perintah Melinda.

"Kamu mau apa sayang, kita kan butuh cemilan malam ini?" tanya Melinda bernada manja.

"Ehm.. Apa ya? Nggak usah deh, itu aja." putus Rama.

"Lo dengar nggak!" hardik Melinda.

Aya mengangguk kuat lalu menghampiri Melinda yang menyodorkan uang.

Aya keluar dari apartemen dan mencari penjual martabak yang tidak terlalu jauh. Sudah sedikit berjalan mencari penjual tersebut. Namun tidak terlihat ada tanda-tanda penjual martabak di dekat apartemen itu.

Senyumnya mengembang ketika melihat ada penjual yang sedang ia cari. Aya segera menghampiri pedagang tersebut, Aya terdiam ketika ia lupa membawa ponsel. Bagaimana dirinya memesan jika ponselnya saja tidak ada.

"Aya," sapa seseorang di belakangnya.

Gadis itu berbalik, di hadapannya ada Dafa yang menatapnya bingung. "Kamu mau beli martabak?" Aya mengangguk dengan senyum lebarnya.

"Tapi aku lupa bawa ponsel aku," Aya berbicara dengan bahasa isyaratnya.

Dafa mencerna sejenak, meskipun baru mengenal Aya beberapa minggu, Dafa diam-diam mencari tau tentang bahasa isyarat yang di gunakan oleh gadis di depannya ini.

"Oh kamu mau pesan tapi lupa bawa hp?" lagi Aya mengangguk tersenyum lega, ada Dafa yang mengerti tentang kesulitannya.

"Memangnya kamu mau pesan apa? Biar aku pesankan?"

Aya pun memberitahu martabak rasa apa yang ingin dia beli pada Dafa.

"Pak saya pesan martabak manis rasa coklat sama red velvet satu ya," pesan Dafa pada pedagangnya.

"Wah maaf mas, tempat saya nggak ada rasa red velvet, adanya cuma keju susu, coklat, kacang aja mas." Aya sedikit kecewa ketika pesanan yang ia mau tidak ada.

Aya akhirnya membelikan Melinda rasa kacang dan keju susu saja. "Pesannya banyak banget? Ada tamu?" tanya Dafa sesaat Aya sudah selesai membayar, lalu mereka memutuskan untuk berbarengan balik ke apartemen.

"Bukan, ini untuk Mas Rama. dia lagi lembur kerja," tulis Aya di ponsel milik Dafa.

Aya terpaksa berbohong kepada Dafa agar teman sekaligus tetangganya ini tidak berpikir buruk kepada Rama.

Meski Dafa tidak percaya namun ia hanya mampu mengangguk.

Dafa diam-diam memperhatikan gadis di sampingnya ini, tidak ada wajah berseri ataupun senyum yang lepas darinya. Hanya murung dan kesedihan yang Dafa tangkap dari raut wajah Aya.

Namun ia salut, karena Aya bisa menutupi kesedihannya dengan sempurna. Siapa saja tidak ada yang tau jika dirinya tengah menderita.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status