Share

Bab 5.

"Tadi gue bilang beli martabak apa! Kenapa rasa ini!" bentak Melinda ketika martabak yang Aya bawa tidak seperti dia mau.

Aya mengambil kertas dan pulpen di atas meja. "Maaf, martabak yang kamu minta tidak ada, jadi aku belikan itu aja. Maaf jika kamu tidak suka,"

"Alasan! Bilang aja lo nggak ikhlas kan!" Aya menggelengkan kepalanya kuat.

"Ini ada apa sih. Ribut-ribut?" saut Rama.

"Ini lho sayang, istri kamu. Aku minta martabak coklat sama Red velvet, malah di belikan ini." adu Melinda sambil memberi bungkusan itu pada Rama.

Pria itu menatap horor kearah Aya yang memandangnya dengan tatapan sendu, berharap suaminya tidak menyalahkan dirinya.

"Lo tau nggak. Pacar gue alergi kacang! Lo mau bunuh pacar gue! Iya!!" bentak Rama murka.

Aya menggeleng kuat, dia tidak tahu jika Melinda alergi kacang, Ia mundur ketika Rama maju dengan emosi penuh.

Plak!

Rama menampar pipi Aya kiri dan kanan terus-menerus secara kuat hingga sudut bibir gadis itu mengeluarkan darah.

Melinda yang berdiri dengan angkuh tersenyum miring merasa menang dari istri pacarnya itu.

Aya menangis tak berdaya di pojok ruangan, selesai menampar pipinya berulang kali, suaminya itu masuk kedalam kamar bersama Melinda pacarnya.

Aya terisak memegangi pipinya yang terasa panas, ia mengusap sudut bibirnya. Ingin rasanya dia berteriak memprotes kelakuan suaminya. Namun apa daya, Aya tidak bisa melakukan hal itu.

Gadis itu berusaha bangun untuk masuk kedalam kamarnya, hatinya sangat sakit ketika ia lewat di depan kamar Rama. Ia mendengar suara mesra bersamaan dengan desahan yang terdengar menjijikan di telinganya, ia tidak menyangka suaminya bisa melakukan itu di tempat tinggal mereka.

Masuk kedalam kamar Aya merosot di balik pintu, Gadis itu sedang menangis tersedu memikirkan nasibnya, dan rasa perih di hati dan juga di pipinya. Kenapa harus menikah jika bukan kebahagiaan yang di dapatkannya, kenapa harus Rama pria yang menjadi suaminya. Aya terus menangisi takdir hidupnya.

Sampai kapan dirinya harus mendapatkan siksaan dari Rama, Ia hanya ingin di anggap istri, atau paling tidak hargai dia di rumah ini.

***

Dafa yang baru melakukan aktifitas olahraga di pagi hari sedang merenggangkan ototnya di balkon, ia menoleh untuk melihat balkon di apartemen milik Aya yang sudah sekitar dua hari tidak pernah melihat Aya mengurus tanamannya lagi.

Terakhir dia bertemu ketika wanita itu membeli martabak. Pikiran negatif muncul di otaknya. Apakah wanita itu baik-baik saja, tapi kenapa dua hari ini tidak keluar untuk menyiram tanamannya.

Dafa berinisiatif untuk berteriak memanggil Aya, siapa tau wanita itu akan keluar ketika dia memanggilnya.

Pria itu sudah bersiap-siap untuk berteriak, namun ia urungkan ketika suara pintu terbuka dan muncul wanita mungil yang sedang membawa peralatan untuk menyiram tanaman.

"Aya!" pekiknya.

Aya terlonjak hingga mundur beberapa langkah sambil mengusap dadanya. "Hehehe.. Maaf, kaget ya?" cengir Dafa merasa tidak bersalah.

Wanita itu tersenyum bersamaan menggeleng pelan. "Kamu kemana aja? Dua hari aku nggak lihat kamu?" tubuh Aya menegang, dan itu tak luput dari pengawasan Dafa.

"Aku ikut Mas Rama ke tempat orang tuanya." tulis Aya di ponselnya.

Dafa mangut-mangut mengerti, padahal ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang wanita itu katakan.

Pria itu diam memandangi Aya yang sedang fokus merawat tanamannya. Kadang hati kecilnya ingin sekali membantu wanita itu atas perlakuan suaminya, namun lagi-lagi ia di sini hanya tetangga baru dan orang lain.

Dafa sadar, jika ini masalah rumah tangga orang. Tapi melihat wajah sedih Aya yang selalu menghiasi wajah cantiknya, membuat hati nuraninya ingin memberontak dan menolong wanita itu.

"Aya." panggilnya.

Wanita itu menoleh menunggu Dafa berbicara lagi. "Hehe.. Nggak apa-apa, pingin panggil doang." katanya sambil mengaruk tengkuknya yang tak gatal.

Aya mengerutkan kening lalu hanya tersenyum sambil menggeleng pelan, merasa lucu dengan tingkah tetangganya.

Aya menaruh gembor berwarna biru lalu meraih ponsel di sakunya. "Kamu sudah sarapan?" tulis Aya dan di sodorkan ke pria itu.

"Kenapa nih? Tanya begini? Mau ngasih sarapan gratis lagi." canda Dafa.

Di luar dugaan Aya tidak merespon seperti biasanya, kini raut wajah wanita itu berubah sendu. Dafa pun mengerutkan kening.

"Ada apa? Kok kayak sedih gitu?" Aya mendongak memandang mata Dafa. Lalu tersenyum namun sangat jelas jika itu senyuman paksaan.

"Tidak apa-apa, kalau gitu aku pamit masuk dulu ya." kata Aya dengan bahasa isyarat yang tidak Dafa mengerti.

Aya bergegas mengambil gembornya lagi bersama ember kecil untuk tempat pupuk dan masuk kedalam rumah, Dafa memanggilnya tak ia gubris membuat pria itu semakin bingung.

Ketika sudah di dalam Aya masih bisa mendengar suara Dafa yang memanggilnya. Wanita itu duduk di meja makan sambil mengusap air matanya, sebenarnya tadi adalah kode Aya untuk Dafa, sudah dua hari setelah kejadian itu Rama tidak pulang. Pria itu tidak pernah memberikannya uang, dan kebetulan bahan makanan habis, bahan yang ia buat untuk Melinda adalah bahan makanan terakhir. Belum sempat ia meminta pria itu sudah pergi dan sampai sekarang tidak pulang.

Aya ingin membeli namun tidak memiliki uang, uang ketika dia masih berjualan bunga tidak sempat ia bawa di rumahnya yang lama. Kemarin ia masih sempat membuat mie instan, tapi Rama sepertinya tidak pernah menyetok mie banyak hingga mie yang ia makan kemarin adalah mie terakhir.

Untuk menganjal laparnya Aya meminum air putih. Hingga cukup meredakan rasa laparnya.

Tok! Tok! Tok!

Aya menoleh pada pintu balkon, di sana ada Dafa yang berdiri di luar. Segera wanita itu menghampiri pintu dan membukakannya.

"Hai." kata Dafa sambil celingak celinguk mencari keberadaan Rama.

"Bagaimana bisa kamu kesini?"

"Oh gampang, aku kan titisannya spiderman, tinggal lompat. Sampai deh," kekeh Dafa.

"Aku serius Dafa. Lagian, kamu ngapain di sini?" tulis Aya lagi di ponselnya.

"Suami kamu mana? Kok sepi?" bukannya menjawab pertanyaannya Dafa justru mengalihkan pembicaraannya.

Tanpa di suruh Dafa masuk kedalam. "Aku lapar, boleh makan di sini? Ini masih jam delapan. Masih bisa di bilang jam sarapan kan," Aya mendelik ketika pria itu berjalan mendekati meja makan.

"Yah.. Sudah kosong, aku telat. Udah habis ya?" Dafa membalikkan badan. Menatap Aya yang berdiri di belakangnya.

"Masih ada kan? Boleh minta. Aku ketagihan masakanmu. Beneran deh enak," Aya diam tidak tau harus menjawab apa.

"Kok diam? Kamu belum sarapan?" tidak mendapatkan jawaban dari wanita itu membuat Dafa melangkahkan kaki untuk memeriksa isi dapur di apartemen itu.

Aya menyusul dan meminta untuk Dafa berhenti, memukul dan menarik lengan pria tersebut, Namum Dafa tidak peduli. Ia tetap membuka satu persatu tempat yang ada di sana.

Rahang pria tersebut mengetat, matanya menatap tajam ketika tidak ada bahan atau makanan apapun di sana.

Dafa memutar badan dan menatap datar Aya. "Suami kamu kemana. Sampai-sampai di apartemen ini nggak ada makanan?" Aya diam bersamaan satu tetes air yang membasahi pipinya.

"Shit!" umpat Dafa mengacak rambutnya kesal. "Kalau gitu ikut aku." katanya lalu menarik tangan wanita itu.

Dafa membawa Aya ke bubur ayam yang tidak jauh dari apartemen, awalnya wanita itu menolak. Tapi karena Dafa memaksa dan juga sudah ketahuan jika dirinya belum makan, akhirnya Aya mau ajakan dan memakan pesanan bubur untuknya.

Dafa terdiam memperhatikan wanita itu makan, Aya sangat lahap menyantap makanannya. Lagi-lagi Dafa mengumpati Rama yang sudah menyia-nyiakan wanita secantik Aya.

Bukan hanya cantik fisik, Aya juga cantik hatinya. Ia tidak pernah mengumbar kejelekan dan keburukan suaminya, padahal suaminya tidak pernah menganggapnya ada

"Enak?" tanya Dafa.

Aya mendongak lalu tersenyum sambil mengangguk kuat. "Kenapa kamu tidak makan?" tanya Aya ketika melihat milik Dafa masih penuh.

"Oh aku diet." jawab Dafa ngasal.

"Kamu mau lagi? Sayang kalau nggak di makan, ini sama sekali belum aku makan kok." Dafa menyodorkan mangkuknya ke depan wanita itu.

"Memangnya boleh?" Dafa terbahak lalu mengacak rambut Aya.

"Ya boleh dong, kalau nggak boleh. Kenapa aku tawarin kekamu." Aya meringis malu lalu tersenyum sambil menunduk menutupi rasa malunya.

Pagi itu Aya dan Dafa menghabiskan waktu bersama untuk mengobrol, meskipun Aya harus menulis di ponsel, Namum ia senang bisa menghabiskan waktu bersama tetangganya yang baik hati ini. Dafa selalu bisa membuatnya tertawa dengan hal sekecil apapun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status