Share

Bab 5.

Author: silvia0507
last update Last Updated: 2021-09-07 20:58:57

"Tadi gue bilang beli martabak apa! Kenapa rasa ini!" bentak Melinda ketika martabak yang Aya bawa tidak seperti dia mau.

Aya mengambil kertas dan pulpen di atas meja. "Maaf, martabak yang kamu minta tidak ada, jadi aku belikan itu aja. Maaf jika kamu tidak suka,"

"Alasan! Bilang aja lo nggak ikhlas kan!" Aya menggelengkan kepalanya kuat.

"Ini ada apa sih. Ribut-ribut?" saut Rama.

"Ini lho sayang, istri kamu. Aku minta martabak coklat sama Red velvet, malah di belikan ini." adu Melinda sambil memberi bungkusan itu pada Rama.

Pria itu menatap horor kearah Aya yang memandangnya dengan tatapan sendu, berharap suaminya tidak menyalahkan dirinya.

"Lo tau nggak. Pacar gue alergi kacang! Lo mau bunuh pacar gue! Iya!!" bentak Rama murka.

Aya menggeleng kuat, dia tidak tahu jika Melinda alergi kacang, Ia mundur ketika Rama maju dengan emosi penuh.

Plak!

Rama menampar pipi Aya kiri dan kanan terus-menerus secara kuat hingga sudut bibir gadis itu mengeluarkan darah.

Melinda yang berdiri dengan angkuh tersenyum miring merasa menang dari istri pacarnya itu.

Aya menangis tak berdaya di pojok ruangan, selesai menampar pipinya berulang kali, suaminya itu masuk kedalam kamar bersama Melinda pacarnya.

Aya terisak memegangi pipinya yang terasa panas, ia mengusap sudut bibirnya. Ingin rasanya dia berteriak memprotes kelakuan suaminya. Namun apa daya, Aya tidak bisa melakukan hal itu.

Gadis itu berusaha bangun untuk masuk kedalam kamarnya, hatinya sangat sakit ketika ia lewat di depan kamar Rama. Ia mendengar suara mesra bersamaan dengan desahan yang terdengar menjijikan di telinganya, ia tidak menyangka suaminya bisa melakukan itu di tempat tinggal mereka.

Masuk kedalam kamar Aya merosot di balik pintu, Gadis itu sedang menangis tersedu memikirkan nasibnya, dan rasa perih di hati dan juga di pipinya. Kenapa harus menikah jika bukan kebahagiaan yang di dapatkannya, kenapa harus Rama pria yang menjadi suaminya. Aya terus menangisi takdir hidupnya.

Sampai kapan dirinya harus mendapatkan siksaan dari Rama, Ia hanya ingin di anggap istri, atau paling tidak hargai dia di rumah ini.

***

Dafa yang baru melakukan aktifitas olahraga di pagi hari sedang merenggangkan ototnya di balkon, ia menoleh untuk melihat balkon di apartemen milik Aya yang sudah sekitar dua hari tidak pernah melihat Aya mengurus tanamannya lagi.

Terakhir dia bertemu ketika wanita itu membeli martabak. Pikiran negatif muncul di otaknya. Apakah wanita itu baik-baik saja, tapi kenapa dua hari ini tidak keluar untuk menyiram tanamannya.

Dafa berinisiatif untuk berteriak memanggil Aya, siapa tau wanita itu akan keluar ketika dia memanggilnya.

Pria itu sudah bersiap-siap untuk berteriak, namun ia urungkan ketika suara pintu terbuka dan muncul wanita mungil yang sedang membawa peralatan untuk menyiram tanaman.

"Aya!" pekiknya.

Aya terlonjak hingga mundur beberapa langkah sambil mengusap dadanya. "Hehehe.. Maaf, kaget ya?" cengir Dafa merasa tidak bersalah.

Wanita itu tersenyum bersamaan menggeleng pelan. "Kamu kemana aja? Dua hari aku nggak lihat kamu?" tubuh Aya menegang, dan itu tak luput dari pengawasan Dafa.

"Aku ikut Mas Rama ke tempat orang tuanya." tulis Aya di ponselnya.

Dafa mangut-mangut mengerti, padahal ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang wanita itu katakan.

Pria itu diam memandangi Aya yang sedang fokus merawat tanamannya. Kadang hati kecilnya ingin sekali membantu wanita itu atas perlakuan suaminya, namun lagi-lagi ia di sini hanya tetangga baru dan orang lain.

Dafa sadar, jika ini masalah rumah tangga orang. Tapi melihat wajah sedih Aya yang selalu menghiasi wajah cantiknya, membuat hati nuraninya ingin memberontak dan menolong wanita itu.

"Aya." panggilnya.

Wanita itu menoleh menunggu Dafa berbicara lagi. "Hehe.. Nggak apa-apa, pingin panggil doang." katanya sambil mengaruk tengkuknya yang tak gatal.

Aya mengerutkan kening lalu hanya tersenyum sambil menggeleng pelan, merasa lucu dengan tingkah tetangganya.

Aya menaruh gembor berwarna biru lalu meraih ponsel di sakunya. "Kamu sudah sarapan?" tulis Aya dan di sodorkan ke pria itu.

"Kenapa nih? Tanya begini? Mau ngasih sarapan gratis lagi." canda Dafa.

Di luar dugaan Aya tidak merespon seperti biasanya, kini raut wajah wanita itu berubah sendu. Dafa pun mengerutkan kening.

"Ada apa? Kok kayak sedih gitu?" Aya mendongak memandang mata Dafa. Lalu tersenyum namun sangat jelas jika itu senyuman paksaan.

"Tidak apa-apa, kalau gitu aku pamit masuk dulu ya." kata Aya dengan bahasa isyarat yang tidak Dafa mengerti.

Aya bergegas mengambil gembornya lagi bersama ember kecil untuk tempat pupuk dan masuk kedalam rumah, Dafa memanggilnya tak ia gubris membuat pria itu semakin bingung.

Ketika sudah di dalam Aya masih bisa mendengar suara Dafa yang memanggilnya. Wanita itu duduk di meja makan sambil mengusap air matanya, sebenarnya tadi adalah kode Aya untuk Dafa, sudah dua hari setelah kejadian itu Rama tidak pulang. Pria itu tidak pernah memberikannya uang, dan kebetulan bahan makanan habis, bahan yang ia buat untuk Melinda adalah bahan makanan terakhir. Belum sempat ia meminta pria itu sudah pergi dan sampai sekarang tidak pulang.

Aya ingin membeli namun tidak memiliki uang, uang ketika dia masih berjualan bunga tidak sempat ia bawa di rumahnya yang lama. Kemarin ia masih sempat membuat mie instan, tapi Rama sepertinya tidak pernah menyetok mie banyak hingga mie yang ia makan kemarin adalah mie terakhir.

Untuk menganjal laparnya Aya meminum air putih. Hingga cukup meredakan rasa laparnya.

Tok! Tok! Tok!

Aya menoleh pada pintu balkon, di sana ada Dafa yang berdiri di luar. Segera wanita itu menghampiri pintu dan membukakannya.

"Hai." kata Dafa sambil celingak celinguk mencari keberadaan Rama.

"Bagaimana bisa kamu kesini?"

"Oh gampang, aku kan titisannya spiderman, tinggal lompat. Sampai deh," kekeh Dafa.

"Aku serius Dafa. Lagian, kamu ngapain di sini?" tulis Aya lagi di ponselnya.

"Suami kamu mana? Kok sepi?" bukannya menjawab pertanyaannya Dafa justru mengalihkan pembicaraannya.

Tanpa di suruh Dafa masuk kedalam. "Aku lapar, boleh makan di sini? Ini masih jam delapan. Masih bisa di bilang jam sarapan kan," Aya mendelik ketika pria itu berjalan mendekati meja makan.

"Yah.. Sudah kosong, aku telat. Udah habis ya?" Dafa membalikkan badan. Menatap Aya yang berdiri di belakangnya.

"Masih ada kan? Boleh minta. Aku ketagihan masakanmu. Beneran deh enak," Aya diam tidak tau harus menjawab apa.

"Kok diam? Kamu belum sarapan?" tidak mendapatkan jawaban dari wanita itu membuat Dafa melangkahkan kaki untuk memeriksa isi dapur di apartemen itu.

Aya menyusul dan meminta untuk Dafa berhenti, memukul dan menarik lengan pria tersebut, Namum Dafa tidak peduli. Ia tetap membuka satu persatu tempat yang ada di sana.

Rahang pria tersebut mengetat, matanya menatap tajam ketika tidak ada bahan atau makanan apapun di sana.

Dafa memutar badan dan menatap datar Aya. "Suami kamu kemana. Sampai-sampai di apartemen ini nggak ada makanan?" Aya diam bersamaan satu tetes air yang membasahi pipinya.

"Shit!" umpat Dafa mengacak rambutnya kesal. "Kalau gitu ikut aku." katanya lalu menarik tangan wanita itu.

Dafa membawa Aya ke bubur ayam yang tidak jauh dari apartemen, awalnya wanita itu menolak. Tapi karena Dafa memaksa dan juga sudah ketahuan jika dirinya belum makan, akhirnya Aya mau ajakan dan memakan pesanan bubur untuknya.

Dafa terdiam memperhatikan wanita itu makan, Aya sangat lahap menyantap makanannya. Lagi-lagi Dafa mengumpati Rama yang sudah menyia-nyiakan wanita secantik Aya.

Bukan hanya cantik fisik, Aya juga cantik hatinya. Ia tidak pernah mengumbar kejelekan dan keburukan suaminya, padahal suaminya tidak pernah menganggapnya ada

"Enak?" tanya Dafa.

Aya mendongak lalu tersenyum sambil mengangguk kuat. "Kenapa kamu tidak makan?" tanya Aya ketika melihat milik Dafa masih penuh.

"Oh aku diet." jawab Dafa ngasal.

"Kamu mau lagi? Sayang kalau nggak di makan, ini sama sekali belum aku makan kok." Dafa menyodorkan mangkuknya ke depan wanita itu.

"Memangnya boleh?" Dafa terbahak lalu mengacak rambut Aya.

"Ya boleh dong, kalau nggak boleh. Kenapa aku tawarin kekamu." Aya meringis malu lalu tersenyum sambil menunduk menutupi rasa malunya.

Pagi itu Aya dan Dafa menghabiskan waktu bersama untuk mengobrol, meskipun Aya harus menulis di ponsel, Namum ia senang bisa menghabiskan waktu bersama tetangganya yang baik hati ini. Dafa selalu bisa membuatnya tertawa dengan hal sekecil apapun.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Destiny About Me   Bab 126.

    Di tengah malam sekitar pukul 00:30 seorang gadis cantik, terlihat gelisah di atas kasur. Sedari tadi tubuhnya terus bergerak kesana kemari, gadis tersebut adalah Syifa, yang sedang bingung untuk mengambil keputusan apa tentang Tito. Hatinya tengah bimbang, antara masih ragu, takut dan tidak percaya. Syifa ragu jika harus menikah di usia muda, namun dia juga takut kehilangan Tito kalau sampai dirinya menolak, di sisi lain Syifa tidak percaya jika Tito merubah keputusannya menjadi menikahi dirinya, bukan untuk melamarnya. Jujur Syifa takut jika dia menikah sekarang, dirinya tak bisa membahagiakan pria tersebut, selama ini Tito begitu tulus mencintainya. Dirinya takut kalau nanti akan mengecewakan pria yang begitu dia cintai. Menghembuskan napas berulang kali, Syifa pun bermonolog. "Mungkin ini jalan terbaik, semoga apa yang sudah aku putuskan. Nggak akan salah dan merugikan semuanya." mengepalkan tangannya gadis tersebut menguatkan dirinya sendiri. "Syifa! ayo kamu pasti bisa. N

  • Destiny About Me   Bab 125.

    "Maksud Mas gimana? bukannya kita kesana baru mau membicarakan tentang hubungan kita ke Bapak?"Tito merubah posisinya, ia memegang setir dengan dua tangannya. "Mereka tetap mau menjodohkan aku dengan perempuan itu, kecuali aku sudah menikah. Maka mereka akan menghentikan perjodohan dan merelakan aku nikah sama kamu," "Tapi Mas, aku masih kuliah, memangnya Mas nggak masalah punya istri yang berstatus mahasiswa?""Memang kenapa? Mas nggak masalah. Menurut Mas lebih cepat lebih baik, atau kamu yang belum siap?" "Aku nggak tau? Aku cuma nggak mau jadi istri yang nggak baik,""Kenapa bisa mikir gitu, banyak kok di luar sana. Istrinya yang masih berstatus pelajar, dan mereka bisa menjalani itu dengan baik." lanjut Tito tak mau kalah. "Kasih aku waktu untuk mikir," putus Syifa memohon pada Tito agar pria itu mengerti dirinya juga berhak mengambil keputusan. Menarik napas panjangnya, Tito hanya bisa mengangguk pelan, menghargai keinginan gadisnya yang ingin memikirkan lebih dulu tentang

  • Destiny About Me   Bab 124.

    Hari demi hari telah di lalui oleh Aya begitu cepat, tidak terasa kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan sesuai rencana. Acara tujuh bulanannya akan di adakan dikota semarang, sesuai permintaan wanita itu, tentu Dafa dengan senang hati, mempersiapkan semuanya. Dan rencananya esok lusa, mereka akan berangkat ke sana, lalu untuk masalah syifa. Dafa waktu itu turun tangan menemui orang tua Tito. Memberitahu jika putra mereka sudah memiliki pendamping, tak perlu menjodohkan karena Tito sudah memiliki wanita yang sudah pria itu pilih. Dafa sempat adu mulut dengan orang tua Tito, mereka tidak setuju jika putranya menikah dengan wanita yang bukan pilihan dari orang tuanya. Namun Dafa tidak ingin membuat sahabatnya menderita lagi oleh kelakuan orang tuanya, maka ia memberanikan diri untuk melawan ucapan kedua orang tua tersebut. "Sayang, sudah dong kamu jangan gerak kesana sini, aku nggak mau ya. Kamu kecapean," Aya mengulas senyum. Menghampiri suaminya yang berdiri sembari mel

  • Destiny About Me   Bab 123.

    Sudah berada di parkiran mobil, Aya diam berpegangan pada badan mobil lebih dulu. "Sayang, kita kerumah sakit ya?" ajak Dafa yang tak tega dan juga melihat wajah pucat kesakitan istrinya. Aya menggeleng pelan. "Nggak usah Mas, aku nggak apa-apa. Kita pulang aja.""Nggak apa-apa gimana? kamu kesakitan gini. Kita tetap kerumah sakit, oke."Dafa tidak mau terjadi sesuatu kepada calon anaknya, tapi Aya kekeuh tak ingin pergi. "Nggak usah Mas, aku mau pulang. Aku mau istirahat, aku yakin buat istirahat sudah hilang. Jadi kita pulang aja ya," mohon Aya matanya menatap sendu kepada suaminya. Dafa menghela napas panjangnya, ia paling lemah jika Aya sudah memohon seperti itu. "Oke kita pulang aja," membantu Aya masuk ke mobil dan juga memasangkan sabuk pengaman. Setelah menutup pintu ia berniat segera memutari mobilnya, namun saat berbalik badan Dafa cukup terkejut ada Pak Suryo dan Bu Sarah. "Ada apa lagi?" ucap Dafa datar. "Maaf saya harus segera pulang.""Kami ingin mengucapkan terima

  • Destiny About Me   Bab 122.

    Sudah berada di depan tempat Rama berada, Ayana meminta untuk tidak keluar terlebih dahulu, ia mengatur dirinya sendiri, agar tidak takut, tidak gugup dan yang paling harus tetap tenang. Dengan setia Dafa di sampingnya, menggengam tangan Aya yang terasa dingin dan berkeringat, sembari terus memandang sang istri dari samping, ia juga memberi kecupan di punggung tangan wanita itu. "Sebentar ya Mas," izin Aya saat menoleh mendapati sang suami menatap teduh kepadanya. "Iya sayang, aku tenangin diri dan persiapkan semuanya, aku di sini selalu jagain kamu." mengangguk pelan Aya kembali melihat kedepan, yang di mana ia sudah melihat ada Pak Suryo dan Bu Sarah sedang menunggu dirinya. Mereka tidak datang kearahnya, karena Dafa sudah memberitahu kepada mereka untuk sabar dan menunggu terlebih dahulu. Memejamkan matanya Aya seperti melafalkan doa, Dafa menepuk puncak kepala istrinya dengan sayang. Membuka matanya Aya menggerakkan tangannya. "Yuk Mas," ajak Aya yang sudah yakin. "Sudah si

  • Destiny About Me   Bab 121.

    "Sayang, bisa nggak? nggak usah dandan. Biasa aja gitu, bajunya emang nggak ada yang lain?" keluh Dafa saat melihat istrinya yang sedang memoleskan bedak ke wajahnya. Aya memutar bola matanya jengah, ini sudah yang keberapa kalinya, Dafa mengatakan hal yang sama. "Ini sudah biasa aja Mas, aku bahkan nggak pakai lipstik. Baju ini juga baju rumahan," kata Aya dengan tatapan sebalnya. "Ck_ kamu tuh terlalu cantik, Ay_ aku nggak suka,""Terus aku harus gimana? aku udah biasa aja lho. Kalau Mas terus kayak gini, mending nggak usah pergi!" ujar Aya menggunakan bahasa isyarat. "Oke, lebih baik memang seperti itu. Kita nggak usah pergi!" saut Dafa. Aya mengangguk, lalu berjalan merebahkan tubuhnya di atas kasur, melihat itu Dafa melongo tak percaya, padahal ia tidak serius. "Lho sayang, kok kamu malah tidur sih? kan kita mau ke lapa?" bangun lagi dari rebahannya, Aya kian menatap Dafa kesal. "Tadi siapa yang nyuruh nggak jadi pergi? ya udah mending aku tidur!" jawab Aya matanya pun mel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status