"Taruh di sini Pak, yang itu sebelah sini." sepulang dari membeli furnitur, Dafa tampak sibuk. Pria itu membantu Aya memberitahu letak barang yang dia inginkan. "Hush! capek juga ya," ujar Dafa pada dirinya sendiri. Sebuah usapan di belakangnya, membuat pria itu tekejut lalu membalikkan badan, ternyata dia adalah Aya yang menyodorkan air mineral. "Maaf ya, Mas. Aku buat capek," sesal Aya, menatap bersalah pada suaminya. Dafa mengulas senyum, membingkai wajah cantik istrinya. "Kenapa mesti minta maaf, sih! aku nggak apa-apa, namanya juga orang pindahan, pasti ngerasain capek. tapi seru,""Oh iya, aku punya kejutan buat, kamu. Tapi tunggu ya?""Kejutan apa Mas?""Kalau aku kasih tau, bukan kejutan dong sayangku_" greget Dafa, begitu gemas pada Aya. Aya tersenyum malu, memainkan kancing kemeja yang Dafa kenakan. "Jangan di sini Ah, malu di lihat orang." bisik pria itu. Aya mengerutkan keningnya beberapa saat, ketika sudah paham, wanita itu mendelik memukul dada Dafa. "Mas Dafa, Mes
"Assalamu'alaikum, " salam Tito saat pria itu masuk kedalam rumah baru Dafa. "Wa'alaikumsalam, " jawab Dafa. "Yah_ kalian udah makan?""Kenapa? lo bawa makanan?"Tito mengangkat kresek hitam di tangan kanannya. "Terus siapa dong yang makanan gue?" ujarnya sedikit kecewa. "Lo sih, nggak ngomong kalau mau bawain makanan, tau gitu kan. Gue nggak order makanan!" kata Dafa yang malah menyalahkan sahabatnya itu. "Mana gue tau kalau lo order," jawab Tito tak mau kalah. Aya melambaikan tangannya memberi kode untuk melerai keduanya. "Udah, Mas. Jangan beratem, makanannya bisa di simpan dikulkas, atau buat mereka yang kerja nyusun di atas. Mereka kan belum makan," usul Aya. "Lo rela nggak? kalau makanannya buat mereka?" sungut Dafa pada Tito. "Relalah, dari pada mubazir,""Kalau gitu sini, biar aku siapin buat mereka," kata Aya menggunakan bahasa isyarat. "Hah?" beo Tito bingung. Dafa terkekeh geli. "Kasih bungkusan itu ke Aya," titah Dafa sambil menunjuk kresek ke arah istrinya. "Oal
"Mas, kita nggak kerumah kita lagi? " tanya Aya, yang melihat Dafa masih santai rebahan di sofa. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. "Aku masih capek sayang, tunggu ya." Aya menghela napas. Mendekati suaminya, sepertinya Dafa kurang sehat, melihat raut wajah pria itu. Dafa tersentak, ketika merasakan usapan lembut di keningnya. "Mas sakit?" tanya Aya khawatir. Dafa mengulum senyum, meraih tangan wanitanya, memiringkan tubuhnya agar Aya bisa duduk. "Kepala aku sedikit pusing, aku tidur bentar ya, setelah itu kita kesananya," kata Dafa tak membuka matanya, pria itu justru melingkarkan tangannya di perut Aya, tidak memperbolehkan istrinya pergi. Sedangkan Aya mengusap kepala Dafa lembut, membiarkan prianya tertidur dengan memeluk perutnya, ia memperhatikan pun memang Dafa terlihat pucat, ia menarik napas panjang. Pasti suaminya kelelahan, sepulang dari luar negeri Dafa belum sepenuhnya istirahat. Berhubung sofa di rumah Tito berukuran besar, Aya perlahan menggeser
Perkelahian pun tak bisa di hindari, keduanya bergantian menindih dan saling pukul, tak ada sedikit yang mau berhenti ataupun mengalah. "Di mana Dafa?" bentak Rama saat berada di atas tubuh Tito."Nggak tau!" bohong Tito. Membuat Rama semakin marah, ia secara brutal menyerang Tito, namun pria itu tau mau kalah, dengan skill yang dia punya.Tito membalikkan keadaan, kini dialah yang berada di atas tubuh Rama. "Lo mau celakain sahabat gue kan? HAH!" bentak Tito marah. Rama menyeringai. "Kalau ya, kenapa? sahabat lo itu. Sudah ngambil istri gue!""Mantan! dia mantan istri lo!" hardik Tito. BUGH!! Tito memberikan lagi pukulan keras tempat di rahang pria itu, setelah puas ia beranjak dari tubuh Rama yang mulai terkulai. "Lo pantes, kehilangan istri lo. gue udah tau tentang kelakuan lo! dulu seperti apa.""Itu karma buat pria brengsek kayak lo!!" "Tau apa lo tentang gue!!" teriak Rama tak Terima. "Gue memang nggak kenal lo siapa. Tapi lo berurusan sama sahabat gue, otomatis lo berur
"Sayang, sudah siap?" Pagi ini mereka sudah sangat rapi, hari ini mereka akan benar benar pindah. Dan nanti malam akan di adakan pengajian. "Sudah Mas," jawab Aya."Oke, kita berangkat." menggandeng tangan Aya Dafa keluar dari rumah Tito. Dafa sengaja mengajak istrinya pergi lebih awal, karena ia tak bisa membawa mobilnya sedikit lebih kencang. Aya merasa ada yang aneh, sebab. Dafa membawa mobilnya bukan kearah rumah mereka. Aya menepuk lengan Dafa. "Lho Mas, ini kita mau kemana?" tanya Aya ketika Dafa melihat kearahnya. "Kita, ke bandara dulu sayang." jawab Dafa. Ingin bertanya lagi, Dafa keburu melihat ke jalanan lagi. Padahal ia penasaran, Untuk apa mereka ke bandara. Tiba di bandara Dafa segera mengajak Aya masuk ke tempat penjemputan. "Kita mau jemput siapa Mas?" Dafa yang berdiri sambil memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana, hanya tersenyum. Membuat Aya kesal. Dan tidak lama. "Kak Aya__" teriak seseorang di belakang mereka. Aya berbalik, matanya membulat sempu
Sebentar lagi, acara pengajian di rumah baru Dafa akan di mulai, kini pasangan suami istri itu masih berada di kamar untuk bersiap siap. Ayana yang memandangi wajah tampan Dafa tak bisa mengalihkan perhatiannya. Pria itu menggunakan baju koko putih, celana kain hitam dan juga peci hitam. Aura yang di berika Dafa sungguh terlihat, pria itu jauh lebih tampan dari biasanya. Dafa yang di pandang seperti itu menjadi salah tingkah sekaligus senang. Apalagi Aya, melihatnya dengan mengembangkan senyum cantiknya, Dafa pun menjadi gugup sendiri. "Jangan lihatin gitu Ah! akunya degdegan," Aya menutup mulutnya tertawa pelan. "Aku suka kamu malam ini, Mas. Sangat tampan," puji Aya tanpa ragu. "Ohh, jadi sukanya malam ini aja? kemarin-kemarin nggak suka," ujarnya, yang berniat menggoda istrinya. Aya maju, memegang dada pria itu. "Bukan gitu, Mas. Aku suka kamu dari lama kok, maksud aku, kamu malam ini jauh lebih tampan. Aku suka," jelas Aya yang takut suaminya salah paham. Dafa terkekeh, men
Di rumah sakit, Dafa sama sekali tidak tenang. Ia terus mondar-mandir di depan pintu yang bertuliskan, ruang gawat darurat. Dafa sangat khawatir dengan kondisi Aya, istrinya. Perempuan itu jarang sekali sakit, sampai pingsan seperti ini, terakhir dia masuk ke rumah sakit, ketika menerima tindakan kekerasan terhadap mantan suaminya. Setelah itu, Aya selalu baik baik. Kalau pun tidak enak badan, biasanya Aya di minta untuk membeli obat yang di resep kan oleh dokter pribadi Dafa. "Sabar, to Le_ dokter masih periksa kondisi istri kamu," tegur Pak gufron, sedikit kesal pada putranya yang terus jalan kesana kemari. "Aww!" pekik Pak gufron saat mendapatkan cubitan dari Bu Hasniah. Tito yang duduk tak jauh dari mereka, harus menahan tawanya melihat kelakuan orang tua Dafa. "Opo to Bu," sungut Pak gufron tak ingin kalah. "Diam Pak, namanya juga suami, khawatir sama istri. Yo pasti nggak bisa diam," bisik Bu Hasniah. "Udah! jangan beratem, kasian Mas Dafa lagi bingung." lerai Syifa. D
"Bu, berhubung Aya hamil. Gimana kalau Ibu tetap di jakarta, aku nggak mungkin ninggalin dia sendirian. Cafe sama Restoran juga nggak bisa aku tinggal gitu aja." "Ibu, mau aja, tapi ya. semua tergantung sama Bapak kamu, kalau dia setuju. Yo Ibu man'ut" katanya sambil melirik Pak Gufron. "Loh, kok aku Bu. ya terserah Ibu to," "Piye to Pak, Bapak kan Kepala rumah tangga di rumah kita. Ya Bapak yang berhak memutuskan untuk Ibu," saut Bu Hasniah jengkel. "Sekarang, Bapak tanya sama Ibu. Mau nggak di sini temanin mantumu?" "Ya mau, apalagi. kandungannya masih muda, butuh orang tua yang menjaga." "Yo wes, Itu jawabannya." sontak Bu Hasniah mengerutkan kening. "Pak. Perasaan aku nggak kasih jawabannya loh." bingungnya. "Ada, Ibu bilang karena kandungannya masih muda, butuh orang tua," ujarnya menjelaskan penuh penekanan. "Oalah_ Pak. Pak, gitu aja. bikin ribet!" sungut Bu Hasniah. Dafa terbahak, ia senang sekali. Kedua orang tuanya itu, banyak perubahan, tak seperti dulu kaku, kura