"Siapa sebenarnya orang yang ditelepon Bik Imah tadi? Apakah mungkin dia adalah pemuda yang mengantarkan mobil Tuan Fidel ke bengkel sore kemarin?” Janeta berfikir-fikir sepanjang perjalanan.
“Oh, bagaimana kalau aku minta bantuan si Hitam? Teman baruku itu nampaknya sangat cerdas. Yaa..ya.. aku harus pulang dulu menjemput si Hitam.” Janeta langsung membelokkan sepeda motornya menuju arah pulang ke rumahnya. Laju motornya ia tambah karena memburu waktu. Jangan sampai ia kalah cepat dari si pemuda itu.Lima belas menit kemudian ia sudah sampai di rumahnya. Suara si Hitam menyalak menyambut kedatangannya. Anjing yang ia kurung di dalam rumah itu memperlihatkan wajahnya di balik kaca jendela.“Hai temanku, aku pulang untuk menjemputmu dan mengajakmu jalan-jalan. Kamu pasti bosan kan aku kurung di rumah?” sapa Janeta begitu daun pintu di bukanya.Si Hitam merespon perkataan Janeta dengan mengibas-ngibaskan ekornya. Walau masih terpTak begitu lama ban cadangan alias ban serep sudah di pasang di mobil Janeta. Janeta mengulurkan selembar uang lima puluh ribu kepada bang montir namun bergegas lelaki itu menolaknya.“Tidak usah Neng Polisi, membantu Polisi dalam menjalankan tugasnya mengejar penjahat, adalah tugas semua warga negara Indonesia.” ucapnya merasa bangga, lebay bin alay.“Luruskan barisaaan, Graak..!” serunya kepada empat orang anak buahnya, dan keempat orang anak buahnya itu langsung berbaris rapi di belakangnya.“Hormaaat, graaak!” Ia lalu meluruskan telapak tangan kanannya persis di sisi dahinya seperti anak SD melakukan hormat bendera pada upacara bendera yang biasanya di adakan di sekolah setiap hari Senin. Keempat anak buahnya segera mengikuti gerakan bang montir.Hati Janeta geli juga melihat perangai para montir tersebut. Namun ia cukup bangga melihat sikap patriot mereka, dan rasanya Janeta tidak perlu menerangkan bahwa diriny
Tak lama berselang, gantian Janeta yang menerima telepon dari Shania. Saat itu Janeta sudah berada di dalam ruangan Wakil Direktris yang menjadi jabatan baru dirinya. Hal yang tak terduga ini terjadi begitu saja.“Iya Nyonya!” Janeta menyahuti panggilan suara Shania. Salma melirik kepadanya lalu meninggalkan ruangan itu.“Janet, ruangan itu sudah menjadi ruang kerjamu sekarang. Tapi sungguh pun kamu sudah mempunyai jabatan baru yang lebih baik, namun pekerjaan mengurus Kak Lusy tetap menjadi bagian dari tugasmu.” perintah Shania dari ujung sana.“Iya Nyonya.” jawab Janeta sambil menganggukkan kepalanya walau Shania tidak menyaksikannya.Tiba-tiba...“Selamat siang!” dua orang lelaki berpakaian Polisi masuk ke ruangan Janeta.“Se..sebentar Nyonya. Ada polisi datang.” Janeta segera mematikan sambungan telepon dengan Shania.“Selamat siang! Ada yang bisa kami bantu?” tanya Janeta
Pagi di rumah Shania.Seperti biasa setiap harinya Janeta sudah sampai di rumah Shania pada pukul jam 8 pagi. Ia memarkirkan sepeda motornya di tempat biasa.Rumah Shania terlihat lebih sepi dari biasanya. Pintu dan gorden masih tertutup, lampu teras dan taman masih menyala.“Apakah mereka pada pergi?” Janeta mencoba mencari tanda-tanda kehidupan di rumah besar itu.Sunyi dan sepi. Hanya itu yang Janeta temukan di sana.“Kok perasaanku tidak enak begini? Tidak biasanya rumah ini sepi pada jam segini. Mobil Shania dan mobil Tuan Fidel ada di garasi. Tapi orangnya kok tidak ada? Pada kemana?”“Hei Mbak, jangan bengong aja. Bantuin pekerjaan di dapur.” Tiba-tiba suara Bik Imah memecahkan juga kesunyian pagi itu. Wanita setengah baya itu nampaknya mau pergi. Tidak seperti biasanya pagi begini ia sudah rapi dan menyandang sebuah tas yang cukup besar di bahunya.“Bik Imah mau kemana?” Janeta bertanya sambil
"Mereka mulai memperlihatkan taringnya!” Janeta bergumam geram. Ia mengepal tinjunya dengan gigi gemerutuk.Gadis kecil di samping Janeta masih terlihat bingung dan ketakutan. Janeta menoleh kepada gadis kecil itu dan mencoba memberikan senyuman.“Eh Dek, tadi mau ngomong apa? Oh ya namamu siapa?” senyum Janeta mencoba mencairkan ketegangan di wajah gadis itu. Janeta tidak ingin gadis itu tertekan.“Namaku Fitri Kak?” sahut gadis yang ternyata bernama Fitri itu.“Oh Fitri, nama yang indah.” Kembali Janeta menghadiahi gadis itu senyuman manisnya. Gigi Janeta yang putih rapi mengintip dari balik bibirnya yang indah.“Tadi Fitri mau ngomong apa?” Janeta mengulangi pertanyaannya yang belum sempat di jawab oleh gadis tanggung itu.“Ayo masuk Kak!” Fitri meraih tangan Janeta dan menariknya masuk kembali ke dalam kamar anak-anak. Ricana dan Arkhas nampak sedang bermain di karpet yang berbulu hal
Walau pun menduduki kursi empuk, jabatan tinggi, namun tidak membuat Janeta tenang. Ia sadar bahwa dirinya telah jauh melangkah dan ini akan membuatnya lebih banyak menghadapi tantangan.Namun sebagai seorang detektif, ia sudah siap untuk menerima resiko apa pun dari pekerjaannya. Liang kubur dan pintu penjara semakin menganga mengincar dirinya. Dan itu sudah menjadi permainannya.“Apa-apaan ini? Siapa yang menyuruhmu datang dan duduk di kursi itu hah? Dasar tukang kebun tak tahu di untung!” suara Tuan Fidel menggelegar bagaikan petir yang mendadak datang di tengah hari. Di tambah lagi dengan gebrakan tangannya di atas meja, lengkap sudah kegarangan Tuan yang berkulit hitam manis itu.Janeta yang duduk di kursinya sudah mewanti-wanti hal itu akan terjadi. Ia tahu Salma akan mengadu kepada laki-laki yang kini menjadi jagoannya itu.Dan benar ternyata, tak lama kemudian gadis cantik yang bernama Salma itu telah hadir di sana. Tangannya ia lipat di dada
Shania segera di giring seorang anggota polisi menuju penjara. Sebelum pergi ia menoleh kepada Janeta. Dua tetes air mata jatuh membasahi pipinya yang terlihat kumal. Bibir pucatnya bergetar dan tatapan matanya hampa.Janeta memberikan senyuman dan anggukkan kepala. Ia seakan mengisyaratkan sebuah dukungan moral kepada Shania yang terlihat putus asa. Shania pun akhirnya mampu tersenyum.“Kamu tidak sendiri Shania.” Janji Janeta di dalam hati. Ia pun melangkah meninggalkan kantor polisi.Sambil berjalan menyusuri koridor ia memikirkan solusi yang harus ia ambil untuk mempercepat penyelidikannya. Satu-satunya cara yang harus ia lakukan adalah mengumpulkan barang bukti dan saksi-saksi. Dan itu bukan pekerjaan yang mudah. Ia sedikit memijit kepalanya yang mumet.*Sebelum melanjutkan perjalanannya kembali menuju kantor, Janeta mampir dulu di sebuah rumah makan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua tengah hari. Para penghuni usus sudah me
Menjelang sore Janeta sudah kembali ke kantor. Sapaan beberapa pekerja yang kebetulan berpapasan dengannya, ia jawab ramah. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa ekspedisi itu memang cukup besar dan pekerjanya cukup banyak.Janeta langsung masuk ke ruangannya yang bertuliskan ‘Ruang Wakil Direktris’ di pintu masuk. Laptop segera di nyalakan Janeta dan ia langsung mengetik alamat kantor Tuan Tunio dan data pribadi pengacara itu di kolom pencarian google. Tidak menunggu lama, informasi yang di carinya sudah berhasil ia dapatkan. Janeta langsung menyimpan informasi penting itu di ponselnya dengan mengambil gambar layar laptop dengan kamera ponsel tersebut.Dengan ponsel itu pula Janeta nampak menghubungi seseorang.“Shania butuh pengacara Om.” ucapnya terdengar lirih. Lalu ia diam mungkin mendengar jawaban dari lawan bicaranya.“Data segera meluncur!” sambung Janeta kemudian lalu mengakhiri pembicaraan dan kemudian ia terl
Pukul dua belas lebih dua puluh lima menit lewat tengah malam, Janeta baru saja akan mencapai pangkal jalan menuju rumah kontrakannya. Rumah itu berada nomor tiga dari pangkal jalan sebelah kanan.Kediaman para tetangga sudah terlihat sepi. Mungkin mereka sudah tertidur pulas atau bersantai di dalam rumah mereka masing-masing.Tiba-tiba mata Janeta menangkap sebuah bayangan hitam berkelebat menghampiri rumah Janeta dan terdengar pula gonggongan di Hitam riuh dari dalam rumah.Janeta menghentikan sepeda motornya dan mengintai dari jarak cukup jauh. Insting Janeta menangkap hawa bahaya yang tengah mengancamnya.Seseorang memakai baju hitam agak menggelembung dan bercelana agak komprang terlihat memanjat pagar dan mendekati pintu rumah Janeta. Janeta makin tajam memperhatikan dan perlahan mengingsut langkah mendekat ke arah pagar rumahnya. Suara si Hitam semakin riuh dan orang berbaju serba hitam itu nampak sedang mencongkel kaca jendela yang berlapis besi ter