Share

Bab 4 : Orang Aneh

Aldiaz mengernyit heran. "Lah, kenapa, tuh, cewek?"

Atha menggedik. "Gue juga gak tau."

"Bi, tadi lo bilang dia temennya Mia? Mia kelas XI IPS 2?" tanya Al.

"Iya, gue juga baru kenalan sama dia tadi pagi." Abi mengangguk, kemudian mendelik menjauh dari pintu. "Gak sopan banget, tuh cewek. "

"Udah-udah." Atha menengahi. Ia maju selangkah seraya mengetuk pintu pelan. "Permisi, gue sama temen gue cuma mau balikin buku lo," ucapnya. Namun, tak ada respons dari dalam rumah. Ia pun mengetuk lagi. "Ini buku diary lo."

Mendengar kata 'diary', mata Shirin membola. Ia segera membuka pintu dan matanya berkeliaran mencari keberadaan buku bersampul hitam miliknya. Melihat bukunya ada di tangan Atha, gadis itu maju hendak meraih buku itu. Namun, tanpa diduga, Atha mengangkatnya tinggi, hingga Shirin tak bisa menggapainya.

"Balikin!" seru Shirin.

"Apa? Balikin?" Atha berpura-pura tidak mendengar. Ia melirik kedua temannya dan menatap Shirin dengan senyum merendahkan. "Lo bahkan belum minta maaf sama gue karena nabrak gue waktu di kantin tadi. Terus, apa-apaan tadi lo langsung tutup pintu kayak gitu? Lo tau etika, gak?"

Shirin diam dan menunduk dalam seolah menyesali perbuatannya. "Maaf," ucapnya, yang berhasil membuat Atha dan kedua temannya bungkam. Di detik berikutnya, Shirin kembali mendongak dan berusaha meraih bukunya. "Sekarang balikin!"

"Eits." Atha kembali mengangkat buku itu tinggi, kemudian melemparkannya ke arah Abi.

Lantas, Shirin pun beralih ke Abi dan dengan susah payah berjenggit untuk meraih bukunya. Namun, saat sudah hampir tergapai, Abi melemparkannya lagi, kali ini ke Al.

"Balikin!" Shirin menjerit. Mereka bertiga melempar-lemparkan bukunya hingga ia kewalahan. Akhirnya, Shirin pun menyerah, berdiam diri, dan menakup wajahnya dengan kedua tangan.

"Woy, udah!" Al menengahi dan berhenti melemparkan buku yang ada di tangannya. Ia maju, hendak mengusap punggung Shirin yang bergetar, sebelum tangannya ditepis begitu saja.

Atha tersenyum canggung dan mengintip wajah Shirin yang berlinang air mata. "Sori ...." lirihnya menyesal.

Brak!

Pintu rumah terbuka kasar. Seorang wanita dengan tubuh ramping dan tinggi berdiri di ambang pintu, rambutnya digerai bergelombang mengenakan setelan kaus lengan panjang bergambar dengan jeans putih panjang. Wanita itu terlihat seperti wanita berumur tiga puluhan.

Ia melangkah mantap, ekspresinya dingin, dan dengan sigap merebut buku yang ada di tangan Al. Wanita itu melirik ketiga lelaki di hadapannya dengan menusuk. Lalu tanpa diduga, ia menampar ketiga lelaki itu dengan buku satu-persatu.

"Mama?" lirih Shirin.

Mama?! jerit Atha dalam hati. Dia melongo tak percaya dan mengabaikan pipinya yang sakit dan memanas akibat tamparan wanita tadi. Buset, muda amat, pikirnya lagi.

Tidak mengucapkan apa pun, wanita yang tak lain adalah mama Shirin itu menarik tangan putrinya dan kembali memasuki rumah—tak peduli dengan Atha, Abi, dan Al yang masih melongo akibat tamparannya.

Al tercenung memandang punggung Shirin, tetapi kemudian, mengerjap dan mengusap pipinya yang terasa nyeri. "A-aduh. Mamanya serem, asli."

"Tapi cakep, euy." Abi menyahut.

Atha menoyor kepalanya. "Inget, dia udah punya anak sama suami. Jangan diembat juga."

Abi hanya cengengesan dan mengekori kedua temannya yang sudah memasuki mobil.

***

"Mama?" Shirin kembali memanggil saat sudah berada di dalam rumah.

Yang dipanggil menghentikan langkah dan berbalik. Wanita bernama Teressa itu maju selangkah dan masih dengan ekspresi dinginnya—membuat wajahnya terlihat kaku seperti pahatan es. "Apa?" tanyanya.

Ekspresi dingin sang mama membuat Shirin enggan berkata-kata. Ia membuang muka melihat ke luar jendela. Namun, matanya justru bertemu dengan mata onyx milik Aldiaz yang ternyata sedang memandang jendela rumahnya.

Tanpa diduga, Aldiaz tersenyum manis, sementara Shirin malah berekspresi datar. Mengapa selalu Aldiaz—orang yang tidak pernah Shirin bayangkan dan harapkan? Namun, mengapa? Mengapa selalu Aldiaz yang menemukannya?

***

Keeseokan harinya, Shirin turun dari bus sekolah pukul 06.20 pagi. Ia menenteng tas bening dengan tali biru muda. Di dalamnya ada tiga tumpuk kotak bekal berwarna biru. Gadis itu memasuki gerbang sekolah dengan senyum terhias di wajah. Rencananya, ia akan memberikan kotak bekal itu pada Abi, Atha, dan Aldiaz sebagai permintaan maaf.

Baru beberapa langkah memasuki area sekolah, seorang lelaki tinggi berambut cokelat melewatinya dan berjalan terlebih dahulu di depannya—Athalas Fernan.

Langkah Shirin menjadi kikuk. Ia mengulurkan tangan ingin meraih kemeja lelaki itu. Namun, diurungkan. Ia ingin memanggil, tetapi tidak jadi. Lagi-lagi keraguan meliputinya, entah karena apa. Atha menghentikan langkahnya kala merasa melewati seseorang yang familier. Orang di belakangnya juga ikut berhenti. Ia menoleh dan mendapati Shirin berdiri di belakangnya dengan ransel tersampir di kedua bahu dan tangan yang menenteng hand bag.

Shirin langsung menoleh ke samping saat Atha berbalik. Ia bersikap seolah ia tidak melihat lelaki itu.

Atha membungkuk meneliti wajah Shirin, sementara gadis yang tingginya hanya sedadanya itu tetap melihat ke arah lain dan sesekali meliriknya bingung. "Oy," panggilnya pada akhirnya.

"K-kenapa?" tanya Shirin pura-pura terkejut.

Wajah Atha datar. "Ngapain di belakang gue?"

"C-cu-cuma kebetulan."

Atha memicingkan mata curiga, kemudian, matanya beralih pada hand bag bening yang dibawa gadis itu. Ia pun menunjuk tas berisi bekal itu. "Itu ... buat gue, 'kan?"

"Bukan." Shirin mengelak dan kembali menghindari kontak dengan Atha. "I-ini buat Kak Abi."

"Itu 'kan, ada tiga." Atha mulai jengah.

"Yang satu buat Kak Al."

"Satu lagi?"

Shirin melirik ke arah lain dan mundur selangkah, serta mengulum bibir tanpa berniat menjawab.

Atha maju selangkah mendekatinya. "Buat gue, 'kan?"

Shirin mundur lagi dan meliriknya sekilas. Namun, tetap tidak menjawab.

Atha menaikkan alisnya. Aneh banget, nih, cewek, pikirnya dalam hati. Ia maju selangkah mendekati gadis itu. Di saat yang sama, Shirin pun melangkah mundur. Karena jengkel, Atha merampas tas yang dipegang Shirin. "Ya udah, biar gue kasihin ke Abi sama Al, sisanya buat gue. Gak papa, deh, cuma dapet sisa doang, juga."

Shirin hanya mengerjapkan matanya.

Atha mengambil satu kotak bekal dari dalam tas seraya menyodorkannya pada Al dan Abi yang kebetulan lewat.

Kedua lelaki yang baru datang itu menghentikan langkah. Abi mengerutkan dahi. "Apaan, nih?"

"Bekal," jawab Atha tanpa mengalihkan pandangannya dari tas. "Dari dia."

Abi mendelik. "Gue gak mau, ah. Pasti gak enak."

"Woy!" kali ini Atha mendongak dan melirik Abi sinis. "Hargai buatan orang," bisiknya hati-hati, sementara Shirin sudah menunduk dalam.

"Gue udah dapet bekal dari gebetan gue." Abi merotasikan bola mata, kemudian menepuk bahu Atha seraya berjalan pergi. "Gue duluan."

Shirin masih menunduk dan kekecewaan menggumpal dalam dadanya. Hatinya seolah terguncang tertampar kenyataan, hanya butuh satu gertakan lagi sampai akhirnya air matanya keluar.

Kedua alis Al terangkat dengan senyum merendahkan. "Kasihan."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
pedes semua ni mulut cowok
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status