"Dasar laki-laki sialan! Memangnya dia siapa hingga bisa berselingkuh di belakangku?!"
"Mengapa aku bisa jatuh cinta kepadanya?"
"Melihatnya dengan wanita lain mengapa begitu menyakitkan?"
Sudah berapa kali wanita yang duduk di kursi depan bar meracau dengan penampilan kacau, rambutnya berantakan, ia hanya mengenakan piyama bergambar beruang. Wajahnya merah dengan air mata yang berlinang. Suaranya serak mungkin karena terlalu lama menangis.
Wanita itu sudah menegak lima botol wine tanpa henti, pikirannya kacau, ia butuh penenang, bahkan dirinya sama sekali tidak keberatan jika mabuk parah. Zee menangis tanpa henti orang-orang dalam bar hanya bisa menatapnya karena suara Zee yang terlalu keras.
"Hei nona berhenti minum kau sudah mabuk."
Zee tak peduli pada peringatan itu, ia menggeleng keras dengan mulut yang terus meracau tak jelas. "Tambah wine lagi."
Bartender tampak ragu memberikan apa yang Zee mau namun Zee memukul meja keras dan tampak akan mengamuk, ia mengancam jika tidak diberikan wine segera akan merusak properti bar.
"Kalau kau memiliki kekasih jangan berselingkuh! Kau tau bagaimana hancurnya kekasihmu jika melihatmu dengan orang lain?" Zee berucap setelah menerima satu botol wine.
Sang bartender tidak keberatan dengan ucapan Zee. Laki-laki itu sudah tau jika Zee dalam kondisi mabuk berat. Beberapa kali juga ia mencoba untuk menegur wanita itu agar menghentikan aktivitasnya yang kembali akan meneguk minuman beralkohol tersebut.
"Di luar sana banyak laki-laki brengsek, aku tak percaya pada rayuan mereka lagi, mereka memujiku mengatakan bahwa aku cantik, bodyku bagus, bahkan mereka bilang jika menyukaiku, tetapi setelahnya mereka mencampakkan dan pergi begitu saja." Zee bangkit dari duduknya, tangannya terulur menunjuk wajah bartender di depannya. "Kau tampan, tapi sayang kau brengsek!" Wanita itu tertawa setelahnya lalu berjalan berhambur di keramaian. Tubuhnya beberapa kali oleng dan hampir terjatuh, bahkan Zee mengumpat ketika tubuhnya menabrak orang-orang di sekitarnya. Dengan membawa botol wine yang masih tersisa ia menyusuri lantai dansa lalu ikut menari di sana.
Sang bartender tampak ingin membantu Zee yang berjalan dengan susah payah, namu wanita itu terus berjalan dengan sedikit tertawa. Meski dari matanya bercucuran air mata.
Tak peduli pada orang-orang di sekelilingnya, ia hanya ingin melupakan rasa sakitnya, membuang jauh-jauh perasaan menyakitkan yang mungkin nanti akan menjadi luka membekas. Ia begitu mencintai Erick—kekasihnya. Namun Erick malah berselingkuh di belakangnya. Ia tak habis pikir apa kekurangannya hingga Erick bisa melakukan itu? Zee cantik, ia mandiri, pintar, ia melakukan apapun untuk Erick.
Erick adalah teman kampusnya lebih tepat senior di kampus. Mereka bertemu saat pertama kali dalam masa orientasi. Erick membantu Zee saat sepatunya hilang sehabis dari aula. Dengan begitu ramahnya Erick menawari bantuan dan menemukan sepatu miliknya yang ternyata berada di dekat tempat sampah. Erick juga menawari tumpangan saat selesai kuliah. Bahkan laki-laki itu begitu manis saat pertama kali mendekati Zee. Sangat ramah, baik hati, dan lembut.
Setelah ini ia berjanji tidak mau dengan laki-laki brengsek itu lagi, jika Erick datang kepadanya dan mengemis-ngemis, Zee janji tidak mau menerima Erick lagi.
"I hate you but I love you." Zee berteriak keras, ia menangis pilu dengan tubuh yang bergetar hebat, menangis di tengah kerumunan orang-orang yang sedang menari.
"Aku membencinya, aku sangat membencinya, ak-aku tidak yakin bisa melupakannya." Ia bergumam sambil terus menangis, matanya bahkan sudah sangat sembab. Ia sangat tidak yakin dengan kondisinya sekarang mungkin terlihat sangat kacau dan berantakan.
Perasaan sedih itu masih amat terasa belum sepenuhnya menghilang, ia masih merasa sakit ketika melihat Erick dengan wanita lain. Perasaan itu mungkin akan membekas tak mudah untuk dihilangkan. Rasa sakit, perasaan hancur, dan sedih yang selalu mengikutinya.
Satu pertanyaan yang selalu Zee lontarkan kepada dirinya sendiri. Sebenarnya ia kurang apa? Apa yang membuat Erick pergi? Apa Zee kurang segalanya hingga Erick dengan mudah berpaling. Jika itu alasannya, Zee rela mengubah dan memperbaiki diri agar Erick bisa di sisinya. Maka ia rela berubah demi Ericknya.
***
Ken berjalan menyusuri bar, ia sudah cukup menghabiskan waktu di sini. Jam semakin bergerak cepat, bahkan ia tak sadar jika waktu hampir pagi. Dengan santai ia tetap berjalan. Tubuh tegap tinggi dengan kepala terangkat khas sekali dengan sifatnya yang angkuh.
Dari sekian banyaknya orang, ia memusatkan pandangnya pada seorang wanita yang duduk sendirian. Dari posisinya berdiri Ken hanya bisa melihat punggung wanita tersebut. Dengan balutan piyama bergambar beruang, rambut panjang menjuntai namun berantakan.
Perlahan Ken berjalan mendekat, benar saja ketika ia sampai di samping wanita itu Ken begitu senang karena dugaannya benar. Ia merasa familiar dengan postur tubuh pendek yang baru ditemuinya beberapa hari lalu.
Kening itu mengernyit bingung menatap Zee yang sibuk pada minuman di tangannya, bibirnya terus bergumam tak jelas.
"Sedang apa di sini?" tanya Ken perlahan namun suaranya bisa di dengar oleh wanita di sampingnya. Begitu Zee menoleh Ken bisa melihat wajah memerah dengan tatapan sayu yang teramat menggoda juga tak lupa bibir merah basahnya.
"Siapa kau?" tanya Zee menunjuk Ken dengan gelasnya.
"Aku?" Ken malah bertanya kepada dirinya sendiri. "Aku bosmu apa kau lupa?" tanya Ken.
Zee tertawa kecil lalu menunjuk wajah Ken lagi. "Ah iya aku ingat, bos baru yang sangat brengsek, kau menggodaku saat pemotretan, dasar laki-laki jelek, kau pikir siapa bisa berbuat seperti itu."
Mata Ken membulat mendengar makian Zee yang dilontarkan untuknya, apa tadi? Zee melabelinya sebagai laki-laki brengsek dan jelek!
"Berapa banyak kau minum?" Ia berdecak sambil menatap Zee tajam. Namun Zee tak peduli kembali menegak alkohol yang masih tersisa sedikit meskipun kepalanya pening.
"Nona ini telah menghabiskan lima botol wine dan dua botol wiski." Bukan Zee yang menjawab namun bartender yang merasa sedikit kasihan dengan kondisi Zee. Wanita itu datang dengan wajah menahan tangis, suaranya serak, dengan memohon ia meminta minuman agar bisa melupakan masalahnya. Hampir tiga jam Zee di sini, duduk, minum, menari sebuah siklus yang selama tiga jam Zee lakukan.
"Aku lebih baik mati, daripada melihat dia dengan wanita lain."
"Aku sungguh tak bisa merelakannya, bukannya aku egois?" Zee menepuk kepalanya beberapa kali. "Bodoh Zee kau sungguh bodoh, biarkan saja lelaki itu dengan selingkuhannya, kau harusnya senang karena Arthur bukan pacar yang baik."
"Tapi aku sangat mencintainya. Tidak apa, akan ku coba melepasnya pergi. Aku baik-baik saja."
Ken diam mendengar semua curhatan Zee, wanita itu tanpa sadar mencurahkan isi hatinya, bisa dilihat Zee begitu hancur dan nampak sangat terluka ketika membicarakan pacarnya yang berselingkuh. Bahkan Zee menangis tanpa jeda, dari bola matanya terlihat pancaran luka besar. Ia bukan Zee yang ditemuinya di kantor. Wanita dingin dengan tatapan tajam. Tetapi lebih ke Zee kecil yang rapuh, ia memiliki luka, dan ia sedih.
Dengan langkah yang pelan Zee bangkit dari duduknya ia berjalan keluar dari bar. Pandangan tersebut tidak luput dari perhatian Ken. Ken masih melihat punggung Zee yang perlahan berbaur di kerumunan.
Ia baru ingat, wanita itu tengah mabuk berat, untuk jalan saja begitu kesusahan, dengan sedikit berlari Ken segera menyusul Zee berharap wanita itu tidak dulu pergi. Ia bernafas lega ketika melihat Zee berada di pinggir jalan. Tangannya terulur menyetop sebuah taksi.
Buru-buru Ken pergi ke parkiran mengambil mobilnya, dari belakang ia mengikuti kemana wanita itu pergi, jika Zee pergi ke apartemennya ia harus bisa memastikan jika Zee pulang dengan selamat. Sebenarnya ia juga tidak yakin dengan dirinya sendiri mengapa harus repot-repot mengkhawatirkan wanita itu sih? Biar saja Zee pergi, tetapi ia tidak bisa. Hati dan logika bertolak belakang.
Taksi yang Zee tumpangi berhenti di sebuah jembatan Pont de la Concorde sebuah jembatan yang melintasi sungai Seine dan terhubung dengan Quai des Tuileries.
Dari dalam mobil Ken melihatnya turun dengan langkah lunglai. Tatapannya menuju ke depan menatap hamparan air di bawah jembatan. Ia berjalan begitu tegas. Lalu salah satu kakinya naik ia berdiri di atas jembatan. Satu langkah maju bisa dipastikan tubuh Zee jatuh ke bawah air. Tangannya terentang lebar. Wajahnya mendongak rambut-rambutnya terbang tertiup angin.
Zee akan melompat ke bawah. Wanita itu melakukan percobaan bunuh diri!
Ken buru-buru berlari, ia berusaha agar bisa menghentikan aksi gila Zee yang akan melompat. Laki-laki itu menarik tangan Zee dan merengkuhnya. Ia berhasil menyelamatkan Zee.
Mengapa Zee begitu bodoh? Hingga nekat akan melompat terjun dari jembatan, sebegitu frustasinya wanita itu hingga akal sehatnya hilang. Bagaimana jika Ken tidak tepat waktu, bagaimana jika tadi Ken memutuskan niatnya untuk mengikuti Zee diam-diam. Mungkin sekarang tubuh itu sudah tenggelam di dalam air. Mungkin sekarang Ken tidak akan bisa melihat wajah itu lagi.
Rasa cemas tadi perlahan membuat Ken bisa bernafas lega, karena kecemasannya berangsur menghilang. Ia menatap wajah Zee yang nampak tak bersalah, wajah itu merah dengan tatapan sendu serta jejak air mata yang masih ada di pipinya. Tangan Zee terangkat menyentuh pelan rahang Ken dan mengelusnya secara perlahan. Elusan hangat yang mampu membuat Ken terdiam selama beberapa detik. Selanjutnya Zee mendekatkan wajahnya untuk mengikis jarak. Semakin dekat hingga hembusan nafas aroma strawberry milik Zee menyapu indera penciuman milik Ken. Sebentar lagi bibir mereka akan bertemu Zee mulai memejamkan mata. Wanita itu langsung menjatuhkan kepalanya hingga mengenai dada Ken. Nafas milik Zee teratur dan tidak ada tanda-tanda pergerakan.
Ken kembali bernafas lega, wanita yang sekarang tertidur di pelukannya berhasil membuat jantungnya olahrga malam.
Tetapi Ken juga tidak menyadari jika dirinya terlihat begitu peduli, seperti sesuatu dalam dirinya mengatakan jika harus melindungi Zee. Dirinya hanya tertarik dengan tubuh wanita itu bukan? Hanya itu yang sejak pertama mencuri perhatiannya. Bukan orangnya yang Ken pedulikan.
Ken menggeleng cepat, ia melakukan ini semua murni bentuk saling menolong, jika orang lain berada di posisinya mereka juga pasti tidak akan membiarkan Zee melompat bunuh diri terjun dari jembatan. Bentuk rasa peduli terhadap karyawan dan atasan itu tidak salah dan tadi itu sebagai bentuk reflek, ia reflek berlari saat tau Zee akan terjatuh.Iya sebuah reflek.
Reflek untuk menolong Zee benarkah.
***
To be continued, jangan lupa tekan bintangnya terimakasih ❤️
Bagaimana bisa kau mendapatkan luka sebanyak ini?" Bella mendengus kesal melihat luka-lukanya di wajah Ken, laki-laki itu memang arogan dan pemarah, sering kali terlibat perkelahian tetapi baru kali ini Bella mendapatkan Ken dengan luka-luka di wajahnya.Bella mendekatkan wajahnya, wanita itu meniup luka di wajah Ken, lalu tangannya mengambil kapas yang berada di laci kamar Ken, tak lupa ia menuangkan cairan alkohol. Ken mendesis pelan ketika merasakan perih ketika cairan alkohol mengenai lukanya, keduanya matanya terpejam dengan bibir yang terbungkam.Bella menatap wajah itu sambil fokus mengobati luka Ken, tidak ada pembicaraan di antara keduanya selain aktivitas yang Bella lakukan sementara Ken yang hanya duduk diam."Kau mendapatkan luka ini darimana?" tanya Bella lagi."Berkelahi.""Dengan siapa?" Laki-laki itu menghembuskan nafas berat." Laki-laki asing dan saat itu aku sedang mabuk." Ken tidak mungkin bilang yang sebenarnya tentang luka di wajahnya, lebih baik ia berbohong di
Happy reading***Zee tak pernah punya pikiran akan terjebak pada situasi membingungkan bersama seorang Ken Algarev Dinson, hubungan yang awalnya hanya sebatas one night stand semakin rumit kala tanpa sengaja dirinya masuk berita sebab terekam jelas sedang bersama Ken dalam kegiatan yang tak seharusnya, entah apa yang ada dipikirannya saat itu, lagipula bagaimana dari sekian banyaknya laki-laki yang ia temui harus Ken orang yang paling tidak Zee harapkan, Zee juga tidak mengenal sang billioner Paris sebelum malam itu, malam terjadinya perubahan besar dalam hidupnya.Wanita itu memijat pelipisnya yang sedikit pusing, sudah dua hari kepalanya tak berhenti memikirkan Ken, wajah laki-laki tersebut terbayang-bayang di otaknya, Zee benci ketika harus mengingat kembali senyum menyebalkan milik laki-laki yang diagungkan oleh banyak wanita, senyum yang katanya mempesona. Sial, bibirnya langsung mengumpat, kepalanya ia letakkan di atas meja, pipinya merasakan dinginnya permukaan meja yang terk
Happy reading***Setelah hari itu semuanya berubah Zee maupun Ken menyadari mereka memiliki perubahan—bukan soal status ataupun hal lainnya, jika ditanya perubahan apa yang mereka berdua alami, masing-masing dari mereka tidak memiliki jawaban yang tepat karena mereka juga bingung harus menjawab pertanyaan tersebut. Hubungan keduanya masih sama seperti biasanya, sebatas partner kerja di kantor, jika soal tersebut memang tidak ada yang berubah. Hubungan mereka masih sama. Tetapi atmosfer yang Zee rasakan berbeda. Rasanya yang berbeda, perasaan Zee yang semula biasa saja semuanya berubah. Zee masih sering menjalankan aktivitas seperti biasanya, pergi kuliah, kerja sebagai model, menghabiskan waktu sendiri, dan ia juga masih tinggal di apartemen mewah milik Ken. Tidak ada kejelasan atau pembahasan tentang hubungan keduanya selain drama kontrak yang Ken minta. Semuanya masih berjalan dengan kepura-puraan, Zee yang terkadang harus menjadi kekasih pura-pura Ken di depan media. Ya mereka
Happy reading***Zee masih berdiam diri di tempat, tatapan matanya kosong menatap satu objek pemandangan di depannya, sebuah kaca besar yang berada di kelas yang menampilkan pemandangan kota dengan hiruk pikuk kehidupan orang-orang di Paris, pagi ini ia memakai kemeja hitam dipadukan celana Levis panjang berwarna abu-abu, rambutnya diikat asal, ketika matanya menatap ke arah jendela, fokusnya teralihkan pada sosok laki-laki dengan postur tubuh yang tidak asing, melihat postur itu membuat Zee memikirkan satu nama. Ken Algarev Dinson.Otaknya langsung memikirkan kejadian saat malam hari, di mana Ken yang menemuinya di bar, rasanya sangat amat aneh melihat perubahan pada diri laki-laki tersebut. Semuanya terjadi begitu cepat hingga membuatnya terkejut sampai-sampai otaknya tidak bisa berpikir dengan jelas, karena Ken sukses membuat perasaannya berantakan. Sepanja
Happy reading***Zee mengaduk minumannya dengan tatapan datar. Matanya melirik seisi bar yang ramai pengunjung karena hari semakin malam, wanita tersebut duduk dengan anggun, di depannya ada Evelyn yang masih sadar karena belum menyentuh alkohol sama sekali, berbeda dengan Zee yang sudah menghabiskan dua botol wine. Wajahnya bahkan memerah dengan tatapan mata sayu."Berhenti Zee!" tangan Evelyn langsung menarik Zee yang akan kembali menuangkan botol ketiga ke dalam gelas, Evelyn langsung memasang wajah galak sambil menatap kesal ke arah wanita di depannya. "Jangan mabuk, please for this night.""Why?" tanya Zee heran. "Bukannya di bar emang harus menikmati setidaknya segelas wine?" Zee tertawa kecil sambil menatap Evelyn dengan tatapan geli. Evelyn menatap Zee datar, ia tau ada yang berbeda dari Zee, meskipun wanita tersebut tidak cerita kepadanya, tetapi yang Evelyn tangkap Zee sedang ada dalam masalah, mana mungkin Zee akan mengajaknya pergi ke bar? Ka
Happy reading***Zee baru tau jika ada laki-laki yang sama brengseknya dengan Erick, ia pikir Ken tidak seperti itu-meninggalkan Zee dalam keadaan telanjang setelah menikmati malam panas lalu laki-laki tersebut pergi begitu saja dan hanya mengucapkan kaliamat 'selamat tinggal'. Umpatan-umpatan kecil ia layangkan kepada sosok yang sekarang menampakkan diri, untuk melihat laki-laki tersebut saja rasanya muak, rasa benci, kesal, marah, dan dendam membuat Zee semakin malas bertemu Ken. Sebenarnya yang membuat ia semakin kesal adalah perubahan dirinya sendiri, sejak Ken meninggalkannya Zee merasa sedikit ... sepi. Ken tidak lagi menggodanya seperti dulu, bahkan pagi ini mereka tidak mengobrol, yang Zee tau mungkin Ken memang sengaja menghindar.Ken tidak tau diri, semalam setelah meninggalnya kini laki-laki tersebut berdiri dengan senyum mengembang. Really? Yang benar sa