Share

Bab 3: Pasangan Kevin dan Anissa

Handpone milik Devanberdering. Bagas menelpon.Suara di seberang sana memberitahukan,  tempat transit mereka sebelum sampai tujuan. Setelah itu, devan mengumumkan kepada yang lain, bahwa transit istirahat sekitar lima belas menit lagi perjalanan.

Dalam waktu yang tidak meleset, mobil berhenti di sebuah kedai makan di pinggir jalan.  Bangunan tersebut terbuat dari susunan kayu pinus yang dicat biru. Sangat kontras dengan warna ladang jagung di sekitarnya.

“Akhirnya kita turun juga,” ujar Anisa yang sedari awal perjalanan sudah banyak mengeluh. Badan dan kakinya terasa pegal-pegal.

“Perjalanan ini belum berakhir, Anis,” sahut Jaki seraya melirik botol minuman berenergi yang terselip dalam tas kecil milik cewek itu.

Cewek itu langsung tahu apa yang dinginkan Jaki. Dengan tersenyum malu-malu Jaki menenggak  minuman itu sampai tinggal sedikit. Anisa cuma memasang wajah cemberut sambil geleng-geleng kepala.

“Dasar muka gratisan!”gerutunya.

Sementara di dalam kedai, Devan, Kevin, Samy, menemukan Bagas tengah menjejalkan roti dan beberapa botol minuman ke dalam tas besar.

“Ya ampun Gendut, apa yang kamu lakukan?” seru Kevin seraya menekan pundaknya. “Bisa-bisa mobilku rusak kelebihan beban muatanmu.”

“Dasar gendut,” gerutu Devan seraya menarik punggung Bagas dan membawanya keluar. “Jangan makan terus. Perjalanan kita belum sampai.”

“Iya, nanti dulu,” protes Bagas sambil berusaha menarik botolminuman berenegi yang masih tersisa. “Aku mau habiskan dulu. Sayang kan, kalau nggak dihabiskan.”

Di samping kedai, Tasya dan Hera memilih berkeliling sambil menikmati pemandangan alam. Angin memainkan rambut mereka dengan halus. Tatapan Tasya jauh ke ujung garis cakrawala tak terbatas. Rasa nyaman dan damai menyelimuti  jiwanya.

“Tempat ini begitu indah ya,” kata Hera berdiri disamping cewek itu seraya jarinya memainkan ujung daun jagung  berwarna tua kecoklatan.

“Alam diciptakan untuk kita,” sahut Tasya sambil merenung. “Tapi kadang menjadi tempat mengerikan bagi manusia.”

Hera yang menyadari kejanggalan ucapan Tasya segara  menimpali.

“Apa maksudmu?”

Justru Tasya bingung sendiri barusan berkata apa.

“Memang aku berkata apa?”

Hera mendesah dalam-dalam.

“Kamu kecapaian Sya,” ujarnya sambil menyentuh lengan  Tasya. Sebelum melanjutkan ucapannya, Hera sudah menelan ludah, dengan wajah menegang ketakutan.Sebuah tangan kasar dan keriput keluar disela-selabatang jagung kering. Tasya juga menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Mereka spontan berteriak keras.Namun mereka terjebak. Dibelakangnya batas pagar bambu setinggi satu meter lebih.

Hera mencoba memastikan  makhluk apa yang muncul dari ladang jagung. Mereka tersentak sekaligus lega. Ternyata sosok itu adalah seorang lelaki tua dengan pakaian pertaniankumal sambil membawa sebilah sabit.

“Maaf,   mengagetkan kalian,” katanya penuh penyesalan.

Tasya dan Hera mulai mengatur nafas seraya memperhatikan tubuhnya yang kurus kering dengan wajah tirus yang keriput. Topi koboy memenuhi kepalanya yang kotor. Tampak seperti orang-orangan sawah yang hidup. Sorot matanya cekung, terkesan jahat dan menyeramkan.

“Saya pemilik kebun ini,” katanya dingin. “Apa yang kalian lakukan disini?”

“Oh, kami hanya sekedar jalan-jalan,” sahut Tasya lega.

Sejenak lelaki berusia renta itu memperhatikan mereka dengan seksama. Asa rasa keingintahuan yang begitu besar.

“Kalian mau kemana?” katanya dengan nada mengejek.

“Kamisedang perjalanan ketempat liburan Pak,”   Tasya  ragu-ragu.

Sejenak lelaki tua itu mengernyitkan kening.“Kemana?”

“Kalau tidak salah, ke desa.... Sriw.....” Hera menjawab sambil mengingat-ingat nama desa tersebut. “Sriwilli!  Yah, saya yakin itu nama desanya.”

Lelaki tua itu nampak terkejut, namun kemudian  bersikap biasa lagi.

“Ohh,” gumannya seraya kembali lagi menuju kebun jagung. Sebelum hilang didalam rerimbunan, lelaki tua itu berpaling.

“Hati-hati!” katanya suara kering dan tajam. “Tanaman jagung disana bukan sahabat yang bagus untuk kalian!Sebaiknya kalian kembali.”

“A-apa maksudnya?” tanya Tasya buru-buru.

Lelaki tua itu menyeringai misterius. Lalu masuk kedalam ladang jagung.

“Kalau tidak ingin terjadi sesuatu pada kalian, sebaiknya pergi dari sini!”

Tasya dari Hera terbelalak ketakutan. Mereka saling menggenggam erat tangan dengan tubuh bergetar. Setelah melenyapkan perasaan itu, mereka menyadari  lelaki tua itu sudah lenyap dari  pandangan. Setelah kondisinya agak tenang, Hera memiliki pendapat, mungkin dia lelaki gila yang berkeliaran dalam ladang.

Berbeda dengan  pikiran Tasya. Cewek itu semakin yakin bahwa tujuannya ke desa Sriwilli bukan ide yang tepat. Ia yakin ada sesuatu disana.

sesuatu yang mengerikan.

“Jangan termakan omongan lelaki tak jelas begitu, Sya!” tegas Hera seraya menenangkan sahabatnya. “Kita perlu suasana yang nyaman selama liburan. Dan aku rasa disinilah tempatnya.”

Tasya masih tampak diliputi kecemasan ketika Samy mengejutkannya.

“Apa yang kalian lakukan?” sapanya dengan pandangan khawatir. “Tadi aku mendengar suara teriakan kalian.”

“Ah, nggak ada ada-apa,” sahut Hera berusaha menenangkan suasana. “Cuma tadi ada—ada  serangga disini. Yah, serangga.”

Sejurus cowok itu memperhatikan Tasya dengan seksama. Berusaha memastikan perkataan Hera.

Tasya mengangguk kecil. 

“Wajah kalian pucat. Seperti habis melihat hantu?”  ujar Samy.

“Sudahlah. Nggak apa-apa,” kata  Tasya seraya bergegas meninggalkan tempat itu. Ia  tidak  ingin membahasnya lebih  lanjut masalah itu, meksi dalam benaknya,  ingin tahu apa maksud perkataan lelaki tua tadi.

Setelah semua  orang berkumpul, Devan mengumumkan untuk melanjutkan perjalanan. Kira-kira hanya butuh dua puluh menit lagi untuk sampai di tempat tujuan.

*****

Perjalanan ini terasa  berbeda dari sebelumnya.  Tasya dan Hera lebih banyak diam. Mereka masih memikirkan kejadian di samping kedai makan. Devan dan Kevin tampak terlihat begitu menikmati perjalanan. Apalagi mereka sudah memikirkan sejuta cara untuk mengerjai Bagas.

Sementara Bagas duduk tenang  dibelakang bersama  Jaki dan Samy. Jaki sendiri menggerutu terus harus duduk dekat Bagas. Cowok gendut itu membuka sebungkus roti sosis sambil terus menggerutu.

“Hei, Sam,” sapa Bagas sambil terus mengunyah.

“Hei juga Gas,” sahut Samy ramah. “Aku nggak tahu kamu ikut juga.”

“Kevin memaksaku untuk ikut,” jawabnya sambil menunjukkan mata berbinar senang. Hal tersebut membuat Samy heran.

“Kamu kok kelihatan senang?” kata Samy sambil mengamati wajah temannya penuh lemak.  Kemudian dengan nada berbisik ia meneruskan, “Biasanya mereka sering menjahilimu, Gas.”

“Sssstttt. Jangan keras-keras,” katanya sambil menutup mulut Samy takut terdengar Jaki yang duduknya paling dekat. Namun  sepertinya ia sedang sibuk dengan air phone-nya. “Kevin memberiku banyak makanan dan uang,” lanjutnya sambil tersenyum senang.  “Dia juga memberi ongkos taxi gratis padaku supaya datang kesini.”

Samy menggeleng prihatin. Terkejut dengan pengakuan  temannya.

“Tenang saja Sam, aku bisa jaga diri kok,” katanya menenangkan, sambil membuka lebar isi tas dan memperlihatkan beberapa bungkusan roti  dan kue.

“Kamu nggak kapok-kapok, selau saja menuruti perintah  Kevin,” ujar Samy setengah berbisik. Ia berani berkata begitu karena Jaki sibuk memainkan game player melalui handset. Tidak mungkin suara terdengar olehnya.

Bagas cuma nyengir seraya kembali membuka bungkus roti dan melahap isinya. Samy menarik nafas dalam-dalam. Rasanya bingung menghadapi bagas. Temannya tidak bisa menentukan sikap secara jelas mana yang baik dan mana yang tidak. Setiap kali dibuli mereka, tetap saja mau berkompromi dengan Devan dan Kevin. Seperti tidak memiliki akal sehat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status