Share

Bab 2: Firasat Burukkah?

RUMAH  minimalis itu terletak dijalan  kecil yang beraspal. Dinding hebel mengelilingi rumah asri yang ditanami beberapa pohon cemara. Memperindah tatanan taman kecil di depan rumah. Sore itu, Tasya mengurung diri dalam kamar. Seminggu ini ia harus tinggal sendirian dirumah. Kedua orang tuanya sedang berada di luar kota untuk menemani  Adit, kakak Tasya yang sedang mengurus kuliah disana.

Selepas membersihkan tubuh, Tasyaduduk-duduk santai sambil memikirkan kegiatan liburan. Entah  mengapa, ada yang mengganjal dalam benaknya. Seolah rencana itu bukan kegiatan yang menyenangkan. Ada firasat buruk disana.Sesuatu yang membuat pikirannya tidak tenang. Namun, Tasya tidak bisa memastikan seperti apa kejadian itu. hanya sebuah ganjalan dalam pikirannya saja. Atau mungkin, merupakan bias dari kelelahan otaknya selama masa ulangan semester akhir.  Jadi berusaha mengabaikan ketakutannya dan hal yang mempengaruhi pikirannya suatu kewajaran. Apalagi, kedua orang tuanya sudah

benar-benar mengizinkan keikutsertaannya dalam liburan tersebut.

Tasya kembali membayangkan keadaan desa pertanian yang sepi. Jauh dari fasilitas umum. Sulit berinteraksi dengan tetangga. Tiba-tibaketakutan menguasi tubuhnya. Bersamaan dengan itu, sekelebat angin kencang menderu masuk melalui jendela kamar. Dingin, pengap, sesaat seolah berada di dunia lain yang mengerikan.Ia tersadar ketikatirai-tirai penutup jendela berhamburan terhempas angin. Tasya merapatkan  tubuhnya sambil memeluk guling diatas bed cover.

          Tidak lama kemudian, Tasya dikejutkan  ringtone handpone, lagu jarang goyang milik Nella Karisma. Dengan ragu-ragu ia melihat layar  handphone dan  merasa lega.Hera yang  menelpon. Dengan tangan gemetar, ia mengangkatnya.

             “Ada apa, Her?” Tasya bertanya dengan suara serak, masih ketakutan.

             “Cuma mau mengingatkan, besok pagi keberangkatan kita dimajukan lebih awal. Jam delapan sudah berkumpul di tempat biasa.” Hera memberitahu. “Devan memajukan waktunya. Katanya  biar sampai di desa sebelum malam.”

            “Oke,  terima kasih, Her,” Tasya menyahut dengan nada bergetar.

            “Sya, kamu kenapa?” tanya Hera. “Kok, suaranya kedengaran beda. Kamu sakit ya?”

             “Nggak apa-apa, Her. Cuma lagi kecapaian saja, kok.”

             “Oh begitu,” sahutnya lagi. Ya, sudah. Istirahatlah dulu. Supaya besok kamu sudah fit lagi.”

          Klik.

          Tasya meninggalkan handphone-nya di atas tempat tidur. Perutnya terasa

lapar. Ia sadar sejak dari sekolah perutnya belum terisi. Sambil mendesah, ia menuju dapur dan hanya mendapati beberapa bungkus mie instans.

            Tasya  makan malam dengan mie instan.Itu pun hanya sekedar mengganjal perut yang kelaparan. Entah kenapa selera makannya benar-benar turun.  Ini bukan kali pertamanya masak sendiri. Keluarga Tasya memang sudah terbiasa  hidup mandiri, termasuk melakukan pekerjaan  rumah tanpa menggunakan jasa

pembantu.

            Setelah menghabiskan makan malamnya, Tasya duduk santai di depan layar TV LED untuk mengikuti acara kesayangannya yaitu  adalah talk  show  komedi.Ia ingin sejenak menghilangkan  penat dalam pikirannya.

          Acara itu benar-benar menghibur. Sesekali Tasya tertawa sendiri dihadapan TV. Tidak lama kemudian samar-samar terdengar suara tiba-tiba suara beldi sela-sela volume TV.  Sejenakmerinding. Ketakutan kembali melanda. Siapa yang bertamu malam-malam, disaat di rumah sendirian pula!

Tasya berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk beranjak ke ruang tamu.Dengan perasaan takut sekaligus penasaran, Tasyamenarik  knop pintu dari melamin.

Dia terkejut sekaligus gugup. Perasaan takutnya lenyap setelah tahu siapa yang datang.

“Kamu?” Mata  cewek itu membulat indah dibawah sinar lampu teras yang terang.

Di ambang pintu, berdiri malu-malu cowok yang tidak asing sekaligus membuat Tasya gugup. Samy, cowok itu  nampak berdiri kaku, sambil

mengulurkan sebuah buku tebal.

“Apa kamu merasa kehilangan ini?” katanya malu-malu. Wajahnya merah.

Tasya memperhatikan buku tebal berjudul ‘Menelaah Hukum Boyle’ diatas tangannya yang bergetar. Ia baru ingat bukunya tertinggal di kelas. Tadi siang ia terlalu gugup menemui Devan di taman setelah menghabiskan separuh waktu untuk mempelajari buku tentang ilmu-ilmu fisika. Rencananya setelah lulus, ia melanjutkan kuliah jurusan tersebut.

“Eh, iya,” sahut Tasya gugup. Sadar bahwa dirinya juga Salting. “Apa kamu menemukan ini di kelas?”

“Iya, tadi sewaktu mau pulang, aku balik ke kelas untuk mengambil tas,” kata Samy berusaha tenang.

“Terima kasih banyak, Sam,” ujar  Tasya tersenyum malu-malu. “Mau masuk dulu?”

“Nggak,terimakasih. Lain kali aja. Lagian sudah malam,” sahut cowok itu.

“Oh, gitu. Ya udah sekali lagi termakasih, Sam.”

Samy tersenyum mengangguk sebelum meninggalkan rumah Tasya. Mata cewek itu tak lepas dari pandangan senang, sampai cowok itu menghilang diujung tikungan. Setelah menutup pintu, dia tidak langsung ke kamar. Dia berdiri dibalik pintu sambil memeluk buku sambil tersenyum penuh arti. Matanya memejam sejenak seperti menikmati sesuatu. Ia sadar benar sejak dulu mengagumi cowok itu. Namun, yang dikagumi terlalu kaku dan tidak mau tahu perasaannya.

*****

          Pagi yang cerah. Matahari bersinar terang menerangi lagit Kota Bahari.  Kota kecil yang indah berada di ujung dermaga.  Penduduk  sudah beraktifitas sejaki matahari muncul. Sebagian besar  pekerjaan mereka menjala ikan secara modern dengan menggunakan perahu motor dilengkapi dengan jala-jala praktis. Penduduk kota tersebut sudah berada dalam rata-rata ekonomi menengah keatas.Dan ekonomi menengah kebawahdihuni orang-orang pekerja serabutan berpenghasilan rendah yang menempati pesisir pantai.

          Di taman depan sekolah Bahari,  tujuh remajasudah berkumpul sejak pukul tujuh. Mereka datang dengan penuh semangat. Hanya  pasangan Kevin dan Anisayang datang  terlambat. Mereka tidak kaget, karena  sudah tahu alasan keterlambatannya.Alasan klasik, Kevin menunggu Anisadandan di salon langganannya hampir dua jam. Memang  kejenuhan cowok itu terbayar mahal. Anisa tampil begitu cantik bak putri dalam negeri dongeng.

             Devan selaku pemimpin gang  mengambil alih  pembicaraan.  Ia mengenakan jaket kulit coklat dipadu celana jeans hitam yang dipakai kemarin.

          “Apa semuanya sudah siap?” serunya sambil mengancungkan jempol kanan.

          Semua orang menjawab siap.

Devan menyeringai puas. Dengan sikap seolah-olah pemimpin ia berkata.

“Begini teman-teman,” katanya menginstrusikan.“Tempat yang kita tuju adalah sebuah desa yang terpencil, namanya desa Sriwilli. Disana terdapat pertanian luas seperti lautan lepas.” Devan berhenti sambil membayangkan keindahan disana. “Kakek Johan dan Nenek Sita pemilik sebagian dari tempat itu. mereka orang baik. Mereka menempati rumah kayu besar yang nyaman di tengah ladang jagung. Aku jamim kalian suka mereka.”

“Pertanian jagung!” Jaki bersorak senang. “Liburan yang spesial. Kita bisa menikmati pemandangan sebebas mungkin. Lagi pula gratis!”

Hera menggerutu keras menimpali ucapan Jaki.

“Apa tempat itu jauh?”  tanya Samy pada Devan sambil membelakangi Hera dan Jaki yang sudah mulai berdebat ringan.

“Sudah kubilang kemarin, perjalanan kita antara dua sampai tiga jam.” Devan menjelaskan.

“Lumayan jauh juga.” Anisa menimpali. “Perjalanan ini akan sangat menjenuhkan.”

“Perjalanan kita nggak akan terasa jenuh, karena mata kita dimanjakan dengan keindahan pertanian,” sahut Devan meyakinkan.

“Bagaimana dengan jalannya,” ujar Kevin mempertimbangkan. “Jangan sampai terjadi apa-apa dengan mobilku, gara-gara kita melalui jalan rusak.”

“Jangan khawatir, sobat.” Devan menjamin. “Jalan menuju desa Sriwilli.Membelah perbukitan yang indah. Cuma ada sedikit tanjakan tapi nggak terlalu terjal.”

“Justru aku sukatantangan,” sambung Jaki seraya menyikut pelan Sami yang ada disampingnya. Diperlakukan seperti itu,  Samy diam saja sambil tersenyum datar seperti biasanya.

“Ayo kita berangkat,” ujar Devan seraya melihat arlojinya. “Periksa barang-barang kalian. Jangan sampai ada yang tertinggal. Karena disana jauh dari toko atau minimarket.”

“Oh ya,” kata Tasya lagi. “Berapa lama kita disana?”

“Rencanaku, dua sampai tiga hari saja cukup,” jawabnya. “Kalau kalian suka, bisa  memperpanjang waktunya.”

Setelah semuanya memeriksa kembali barang bawaanya, kemudian mereka  masuk kedalam mobil. Pajero spot cukup mampu menampung semua penumpang.

Tasya yang masih berdiri diluar dengan sikap  gelisah. Pikirannya terus mengembara pada kejadian kemarin sore. Dia merasa perjalanan kali ini akan mengalami sesuatu. Entah itu apa, tapi yang jelas sangat mengganggu pikirannya.

“Kamu kenapa Sya?” tegur Hera yang sejak tadi memperhatikan sikap sahabatnya.

“Ah nggak apa-apa Her,”gumannya datar.

“Muka kamu pucat lho,” kata Hera  prihatin.

Tasya menyeka tangan Hera yang ingin menyentuhnya.

“Sudahlah, aku nggak apa-apa,” ujar cewek itu sambil masuk kedalam mobil. Diikuti  Hera yang masih  merasa aneh dengan sikapnya.

“Hari ini saatnya kita senang-senang,” ujar Devan dengan ekspresi meluap-luap.  Dia duduk didepan, samping Kevin. “Jangan ada yang bilang ‘sedih’ hari ini. Mari nikmati saja  perjalanan kalian. Oke...”

Jaki dan Kevin menyahut ria ucapan Devan. Sementara yang lainnya hanya diam mengikuti saja.

***

Mobil yang ditumpangi para remaja berjalan diatas jalan beraspal.  Mereka masih berada dikawasan kota yang ramai. Tasya masih belum pulih dari kecemasan. Pikirannya masih mengembara pada hal-hal buruk. Sekali lagi, Hera yang berada disampingnya menatap penuh ketenangan. Seolah memberi kesan bahwa apa yang dipikirkan Tasya hanya sebuah ketakutan saja.

  Anisayang duduk sederet dengan Tasya dan Hera tidak peduli dengan lingkungannya. Dia asyik memainkan smarphone sambil asyik broosing model rambut dan pakaian terbaru.   Anis rela memberikan  singgasananya pada Devan,  karena cowok itu yang tahu jalan menunju desa Sriwilli. Dibagian belakang, Jaki dan Samy duduk saling  berdiam diri. Berkali-kali Jaki mengajak ngobrol, tetap tidak ditanggapi oleh  Samy.Jaki menganggap, Samy jenis orang yang menyebalkan. Minim ekspresi dengan senyam-senyum sebagai jawabannya.

“Teman-teman,” kata Devan setelah perjalanan berlangsung setengah jam. Suaranya kera membelah deru mesin. “Ada berita menarik. Aku yakin kalian suka mendengarnya.”

Meski mendengarkan, semua orang tidak ada yang menjawab. Mereka   sedang sibuk dengan pikiran masing-masing. Cuma Hera yang peka dan menanggapi serius ucapannya dengan mengguman lirih.

“Bagaimana menurut kalian, kalau  liburan kita mendapat kejutan,” ujar Devan  terdengar jelas karena suara mesin mobil nyaris tak terdengar.

Tasya  dan Samy menjadi ikut penasaran dengan ucapan Devan.

“Maksudmu apa Van,” tanya   Hera mendongak  ke arah cowok itu.

Devan menyeringai jahil. “Rupanya kalian nggak tahu ya, kita dapat teman baru.”

“Siapa?” tanya Kevin sambil tetap fokus menyetir. Ia membelokan kemudinya ke jalan yang agak sepi. Memasuki hutan jati yang lebat.

Devan tertawacengengesan. Memposisikan  tubuhnya  menghadap belakang.

“Pengin tahu saja atau pengin tahu banget,” serunya sambil menunjukkan mimik menyebalkan. Ia kemudian tertawa sendirian.

“Jangan buat kami penasaramn, dong,” sahut Anisa, menjaukan  handphon dari wajahnya.

“Siapa lagi, kalau bukan Si Gendut Bagas,” katanya diiringi tawa Kevin dan Jaki. “Dia ikut liburan kita. Tanpa di Gendut, acara  liburan ini nggak asyik.”

Spontan Tasya terkejut mendengar nama itu. Segurat raut  kekecewaan muncul di wajah cantiknya. Lalu ia mendekatkan kepalanya kearah Devan yang  duduk persis didepannya.

“Apa yang kamu rencanakan?” katanya lirih tapi cukup tajam.

Bukannya menjawab, Devan semakin tertawa  terbahak-bahak.

“Kamu jangan Baper begitu dong. Ini cuma kejutan Sya,” ujar cowok meringis penuh kemenangan. “Nanti kamu tahu sendiri, ok.”

“Devan, dengar,” kata Tasya dengan mimik serius. “Jangan libatkan dia dalam acara kita. Kasian dia!”

Bagas yang mendengar perkataan itu tidak terpengaruh. Sepertinya ia tidak mempermasalahkan keikutsertaannya.

“Tasya, Tasya.” Devan menggeleng-geleng.  Kemudian sambil berbisik, ia melanjutkan. “Apa sih, yang menarik darinya. Sudah gendut, bodoh, tukang makan. Ah, pokoknya dia itu cuma  anak yang nggak penting.”

“Jangan gila ya Van!” guman Tasya lirih. Takut terdengar Hera yang terlihat memejamkan mata karena ngantuk. “Kamu tahu kan, Bagas tidak menyukai perjalanan ini. Lagian aku tahu, kamu cuma memanfaatkannya.”

“Jangan berlebihan begitu,” bantah Devan, bersikap sok cool. “ Lagian aku cuma mengajak dia ikut senang-senang saja kok. Jangan berpikiran konyol, Tasya. Aku nggak  ada keberanian untuk membunuhnya.”

“Konyol!” desah Tasya kecewa.

“Kamu jangan berpikir macam-macam.” Devan memprovokasi. “Liburan ini bakal menyenangkan. Nikmati saja!”

Tasya merasa kasihan kepada Bagas. Nasib malang  selalu menyertainya. Mereka menjuluki cowok gendut yang menyedihkan, atauSi Gendut yang hobinya makan. Entah kenapa Devan, Kevin dan Jaki selalu saja menggodanya. Bahkan sampai melakukan tindakan kelewat batas yangmembuat Bagas merasa malu di depan semua orang. Mereka sering menjelek-jelekan, membuli bahkan memanfaatkan tenaganya demi keuntungan pribadi.

Tasya tersentak, ketika mobilnya mengenai jalan berlubang. Kevin mengumpat keras, namun Devan berhasli menenangkan. Lamunan Tasya sekaligus membuat perjalanan tidak terasa lebih cepat. Hampir dua jam mereka melalui perjalanan sampai di penghujung hutan jati.

Pada waktu berikutnya, Deru mesin menggeram ketika menaiki jalan berkelok cukup terjal. Bukit Clirit tampak berjejer indah keselatan. Ribuan pohon pinus memenuhi bukit sehingga tampak seperti lumut dari kejauhan.Selesai melewati bukit Clirit, mereka melalui jembatan sungai deras. Kemudian menaiki  bukit Siwuni yang lebih rendah dari pada bukit Clirit.  Para remaja, dimanjakan oleh pemandangan  menakjubkan. Baru setelah itu, mereka menemukan jalan yang datar dengan pesona ladang jagung yang mempesona.

Sejauh mata memandang, terlihat seperti lautan jagung seolah tak ada batasnya. Kali-kali mereka berdecak kagum menyaksikan karya alam Sang Pencipta melalui tangan-tangan manusia yang terampil.

Devan berkali-kali bersorak kegirangan. Tasya memanfaatkan momen itu dengan merekamnya dalam handhpne. Di kursi belakang, Samy juga merasakan hal yang sama. Sampai kedua bola matanya nyaris tak berkedip. Sekilas memorinyaberpetualangan masa anak-anak. Sekitar lima tahun tinggal di desa tinggal bersama paman dan bibinya. Samy tidak punya siapa-siapa lagi selain mereka. Ibunya meninggal karena kecelakan. Sementara ayahnya pergi entah kemana meninggalkan  duka yang mendalam bagi diri cowok  itu. Hal itu juga yang menyebabkan Samy tumbuh menjadi remaja yang pendiam minim ekspresi.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status