Perjalanan mereka berakhir pada ladang jagung yang berwarna kuning pucat. Mobil mereka memasuki pelataran luas yang ditumbuhi rumput-rumput pendek dan rapi. Beberapa pohon jati tua tumbuh di sisi barat pelataran. Membuat tempat itu tidak sepenuhnya tersengat sinar matahari. Sebuah rumah kayu yang cukup besar bertantai dua berdiri menghadap pelataran. Rumah besar milik Kakek Johan dan Nenek Sita sudah kelihatan tua, namun masih kokoh dan indah.
Para remaja turun dari mobil sambil berretiak kegirangan. Perjalanan yang menjenuhkan sudah berakhir. Mereka menginjakkan kaki di desa Sriwilli disambut tiupan angin lembut yang menyejukkan wajah. Mempermainkan perlahan rambut-rambut mereka. Anisa nampak begitu menikmati. Gaun putih seperti yang biasa dipakai ke pesta dipermainkan sang angin. Gaun itu membuatnya tampak lebih dewasa, yang rata-rata usia mereka tidak lebih dari sembilan belas tahun.
Mereka semua merasa senang dengan suasana nyaman begitu melihat keadaan desa yang sepi dan sejuk. Kecemasan Tasya perlahan mulai hilang perlahan. Berganti perasaan damai menyusup kedalam hati dan pikiran. Begitu juga yang rasakan Hera. keduanya mengakui keindahan pemandangan seolah menyihir jiwa. Selepas turun dari mobil, mereka tidak terasa mulai kapan memamerkan wajah gembira.
Kevin melirik jam tangan mahalnya, yang menunjukkan pukul 11.30. ia turun sambil sesekali merenggangkan pinggangnya. Badannya pegal-pegal. Ia tidak terbiasa mengemudi sejauh itu. Di belakang mobil, Devan sibuk mengintruksi teman-teman untuk segera menurunkan barang bawaan.
Setelah semua barang dapat dikondisikan, Devan bergegas mengetuk pintu. Sebagai seorang cucu, sudah sepantasnya melakukan hal tersebut.
Sudah beberapa kali mengetuk pintu, namun belum juga ada tanda-tanda penghuni dalam rumah keluar menyambut. Jaki mencoba mengambil alih. Ia mengetuk sampai mendorong daun pintu keras-keras. Tiba-tiba saja pintunya terbuka sedikit.
“Nggak dikunci,” ujar Jaki dengan puas.
Devan hanya mengangkat bahu. Kemudian menyuruh semua rekannya masuk kedalam. Samy terlihat begitu segan dan teliti pada dekorasi ruangan. Sepaket meja kayu jati yang indah, lemari minimalis panjang dengan aksesoris dari kaca. Pandangan Samy beralih pada foto berbingkai. Sebuah foto keluarga seorang kakek bersama istrinya. Ditengahnya seorang remaja berusia belasan tahun.
Jaki nyaris saja menyentuh bingkai foto,ketikaDevan memperingatkan.
“Jangan sentuh barang-barang milik Kakek Johan!” serunya “Dia tidak ingin, barang apapun tersentuh.”
“Wow, pecinta barang berharga ya,” ledek Jaki seraya pura-pura menyentuh sebuah guci tua.
“Jaki! Jangan macam-macam!” Devan membentak
“Tenang, Bro,” sahut Jaki sambil cengengesan. “Aku cuma bercanda.”
Tasta turut mencermati foto tersebut. Ada bagian lain foto yang tergantung. Disana terdapat sepasang suami istri dengan anak lelaki berusia sepuluh tahunan.
“Itu orang tuamu kan?” gumannya kepada Devan yang kebetulan mendekat.
“Tidak salah lagi. Lihat baik-baik fotoku waktu kecil, aku memang sudah keren sejak lahir,” ujar Devan yang ditimpali deheman kecil dari Tasya.
“Kamu harus percaya dong!” Cowok itu menuntut. Lalu tangannya menun- juk ke foto lain yang tergantung tak jauh dari foto keluarganya. “Itu Paman Begi dan Bibi Wiwa sewaktu menikah.”
Tasya menatapnya lekat-lekat, lalu mengguman. “Pasangan yang serasi.
“Aduh, aku capai banget!” Anisa menggerutu, sambil menjatuhkan dirinya kedalam sofa. “Rasanya badanku remuk semua!”
“Mana kamar untuk kami?” tanya Kevin menyela. “Kami mau istirahat.”
“Kamu tenanglah,” sahut Devan. “Sebentar lagi kalian melihatnya. Tapi ingat, kakek Johan tidak punya banyak kamar. Jadi dua kamar cukup bagi kita.”
“Apa?” protes Kevin. “Maksudmu satu kamar untuk cowok berlima?”
Sejenak Devan seperti terdiam mempertimbangkan. Lalu dengan wajah menyimpan rencana mulai terpancar.
“Maaf,” katanya sambil memandang Bagas penuh maksud. “Gendut, aku rasa kamu harus menyadari kalau tempat Kakeku sempit. Jadi nggak ada pilihan lain salah satu dari kita di ruang tamu atau gudang?”
Keputusan apapun tentu membuat Bagas menerima. Namun justru Tasya
yang merasa terhina. Seketika ia memprotes tindakan Devan.
“Ini tidak adil!” protes Tasya. “Masa Bagas tidur di gudang? Yang benar saja.”
“Ah kamu Tasya, lagi-lagi membela si Gendut.” Jaki menimpali sinis. “Sekali kali kamu bela aku, kek.”
Tasya cuma merengut kesal. Ia tidak menganggap lucu gurauan cowok itu.
“Biarkan Bagas nanti malam tidur tidur denganku,” ujar Samy membuat keputusan terbaik untuk Bagas.
Bagas merasa lebih baik, namun Tasya masih merasa kecewa.
“Terserah kalian saja,” kata Devan padaSamy dan Bagas.
“Huh, pahlawan kesiangan!” gerutu Anisa seraya menggandeng tangan Kevin untuk menuju ke kamarnya di lantai atas. “Guy, aku capai banget. Sorry duluan.”
Tidak hanya dua pasangan yang kasmaran itu. Anak-anak yang lain juga bergegas menaiki lantai dua.Cewek-cewek bersorak senang mempati kamar dekat kebun jagung. Sementara cowok-cowok kebagian kamar yang menghadap ke jalan.
Hanya Bagas yang masih sibuk menata tas milik Devan, Kevin , Anisa dan Jaki. Samy yang sudah berada diatas segera turun kembali untuk membantu. Bagas merasa senang memiliki teman sebaik Samy.
*****
Devan masih mematung di balkon kayu seraya memikirkan penghuni keluarga. Ia hanya berpikir, mereka semua masih berada di ladang. Biasanya menjelang panen, mereka kembali ke rumah menjelang senja. Jika mereka pergi jauh pasti akan meninggalkan pesan.Namun seharusnya, kedatangan dirinya dan teman-teman mendapat sambutan ramah dari mereka. Bukan malah bekerja seharian di ladang. Padahal, seminggu sebelum liburan, ia sudah memastikan waktu kedatangannya ke desa Sriwilli.
Di pertanian desa Sriwilli mereka menempati rumah hanya dengan tiga orang. Kakek Johan dan Nenek Sita, serta anak lelakinya bernama Begi.Begi atau Devan memanggilnya Paman Begi berusia lebih dari tiga puluh tahunan. Ia seorang duda tanpa anak. Istrinya bernama Wisa, dia sudah meninggal tahun lalu karena kecelakaan di ladang jagung.
Tidak terasa Devan sudah menunggu hampir dua jam. Belum juga ada tanda-tanda mereka pulang ke rumah.Nomor yang biasa dihubungipun tidak aktif. Padahal kemarin lusa, Nenek Sita memastikan kembali kedatangan cucunya melalui handhpne milik Kake Johan.
Di ruang tamu, Jaki dan Kevin sibuk memainkan gitar yang mereka temukan di gudang peralatan bertani.Mereka yakin gitar itu milik Paman Begi. Kevin pemain gitar yang cakap. Permainan akustiknya membuat kagum cewek-cewek sekelasnya. Suara Jaki yang biasa-biasa saja, tidak cukup bagus mengimbangi kelihaian jemari Kevin saat melantunkan lagu Cinta Gila milik Dewa 19. Suara Jaki membuat Kevin beberapa kali memprotes. Beruntung, Jaki tipe cowok yang tidak terpengaruh pada bentuk protes apapun.Ia tetap saja memaksakan diri layaknya vokalis group band terkenal itu.
Dihalaman depan dibawah pohon jati yang rindang, Samy dan Bagas meluangkan waktunya untuk jalan-jalan santai sambil melihat-lihat pemandangan.Cowok itu merasa nyaman berdua dengan Bagas. Menurutnya hanya dengan Bagas dirinya merasa lebih baik dan bebas dari tekanan. Tidak lelucon yang menyakitkan perasaannya. Bagi Bagas sendiri, Samy merupakan teman yang sempurna.
Sejenak kedua cowok itu memperhatikan gudang yang terpisah dari rumah induk. Jaraknya lebih dari dua ratus meter. Samy merasa tertarik untuk memeriksanya.Bangungan gudangtua itu sepertinya sudah tidak terurus lagi. Terdapat bagian dinding yang berlubang. Namun ia menyadari Bagas menangkap perhatiannya pada hal lain.
PandanganBagas menatap lautan jagung. Ia merasa ada sesuatu yang mencolok dan bergerak-gerak di tengah-tengah tanaman jagung.Jumlahnya tidak hanya satu melainkan belasan dan tersebar di beberapa titik ladang. Bagas segera mengenali bahwa yang dilihatnya adalah orang-orangan sawah yang tertiup angin.
“Menurutmu, untuk apa orang-orangan sawah dibuat?” tanya Bagas pada Samy.
Tatapan mata Samy melayang pada benda yang disebutkan. Ada perasaan gelisah ketika menatap pakaian bekas dijejali daun jagung kering.
“Petani sangat muak pada binatang yang merusak tanaman jagung,” sahut Samy. “Orang-orangan sawah digunakan untuk mengusir burung dan babi hutan.”
Kemudian tak terasa, Samy bergerak mendekati orang-orangan sawah yang paling dekat dengan jalan setapak yang mereka lalui.
“Kalau diperhatikan, benda itu terkesan mengerikan,” gumannya sambil bergidik. “Tampak hidup dan menyeramkan.”
Bagas menangguk tanda mengerti. Sorot matanya menghindari tatapan mata gelap yang terbuat dari batok kelapa kering. Persis menyerupai tengkorak hitam, dengan tubuh kurus kering yang terpancang di papan tiang pemancang berentuk X. Sejurus bergidik saat membayangkan benda semacam itu hidup dan menghantui orang seperti yang terjadi di film-film horor.
Di dapur Tasya dan Hera masih sibuk menyiapkan makan siang. Waktu makan siang memang sudah terlambat. Namun mereka berusaha menyambangi dapur tanpa seizin pemiliknya. Dari pada mereka kelaparan, Devan memberi izin mereka masak. cowok itu akan menanggung risiko, jika pemilik rumah mempermasalahkannya.
****
Terima kasih sudah mengikuti cerita ini. Salam bahagia dari Cesaaf Alfaiz, Tegal. Semoga kalian selalu diberikan kesehatan ya
Perasaan Tasyasama sekali sudah melupakan ketakutan seperti sebelumnya.Sekarang penuh keceriaan dangerai tawa bersama Hera. Diantara semua cewek, Tasya yang palingahli dalam membuat makanan.Mereka tidak mau melibatkan Anisa yang suka bersolek. Cewek itu hanya akan menambah masalah kalau dilibatkan. Namun Anisa sesekali butuh teman sesasama wanita. Jadi ia menemani Tasya dan Hera di dapur.Sejak masuk ke dapur cewek norak itu hanyasibuk menghiasdiri.Membawa serta cermim kecil kesayangannya.Cermin itu sudah seperti separuh nyawanya. Kemanapun selalu dibawa. Bahkan saat tidur sekalipun!
Tak terasa, malam pun tiba. Suasana sepi nan mencekam menyelimuti pertanian jagung maha luas. Membuat suasan dalam rumah itu nampak seperti pekuburan kono. Pukul tujuh, para remaja sudah menyelesaikan makan malam dengan meriah. Semua lauk ludes tanpa sisa. Mereka seperti tidak makan dalam beberapa hari. Perut mereka seperti lebih besar dan lebih banyak menampung makanan dari biasanya.Bagas tidak lupa mengambil dua kali lipat dari porsi teman-temannya. Permintaan Bagas, tidak gratis. Devan menuntut konpensasi, memijat punggungnya nanti malam. Seperti yang lain, Tasya juga makan dengan lahap. Ia terbawa suasana kelaparan seperti teman-temannya. Suasana yang sama sekali tidak bisa didapat didalam rumahnya, meski memiliki keluarga dan uang yang cukup. Kehidupan dalam rumah dirasakan begitu jenuh dan monoton. Tidak ada derai tawa keluarga saat berkumpul di ruang keluarga, yang tampak hanya sunyi seperti pekuburan. Kedua orang tuanya
Pesta masih berlanjut. Tasya dan Hera muncul sambil membawa minuman Bajigur dalam teko logam yang besar dan sekotak biskuit. Bagas menyusul dibekangnya sambil membawa baki berisi gelas. Samy tengah sibuk mengumpulkan kayu bakar yang diambil dari teras belakang rumah.Kemudian ke delapan anak remaja itu duduk mengitari api unggun sambil sesekali bercanda. Kevin sudah memeluk gitarnya sambil sesekali beradu pandang dengan Anis. Lagi-lagi sang Vokalis Jaki menunjukkan penampilan buruknya. Namun mereka semua menjadi lebih bersemangat.“Pesta segera dimulai, kawan!” seru Devan sambil mengacungkan tangan. Ia berusaha menguasi keadaan. Meyakinkan diri sendiri, bahwa semuanya baik-baik saja.Mereka semua sorak kegirangan. Gelas-gelas diisi minuman penghangat. Aroma harum khas kelapa menyeruak hidung. Tasya sendiri sudah sama sekali melupakan firasat buruk dan pertemuanny
Rasanya sudah bolak-balik melewati jalan yang berbeda. Namun tetap saja rombongan remaja itu tidak menemukan rumah Kakek Johan. Devan yang memimpin di depan pun tidak bisa berbuat banyak. Mereka seolah tersesat di dalam ladang. Lalu mereka berhenti di tengah ladang yang kosong dan berhenti sambil melepas lelah. “Kita tidak bisa keluar dari ladang sialan ini!” keluh Hera sambil mengatur nafas. “Ya, kenapa bisa begini,” sahut Kevin. “Aneh, kok bisa tersesat di ladang.” Tasya menimpali seraya duduk diatas tumpukan daun jagung kering yang terikat rapi. Ia meluruskan kedua kakinyayang kaku. “Coba cari sinyal!” ujar Samy, yang sudah mengayun-ayunkan handphone di udara. “Nihil. Tidak ada sinyal!” Tasya mengeluh sambil terus berjalan mencari sinyal. Remaja yang lain juga melakukan hal yang sama. Mereka mendengus k
“Sudah pukul dua belas!” seru Tasya beberapa saat kemudian. “Apa kalian tidak ngantuk?”“Ah, rasanya malam hari begitu cepat sih,” sahut Kevin kecewa.“Benar, harusnya waktu jangan terlalu cepat,” sahut Anisa sambil menggeliat malas.“Memangnya waktu punya nenek moyangmu!” protes Jaki.“Kita harus cepat tidur. Aku ngantuk banget, besok pekerjaan kita masih banyak,” ujar Hera sambil menguap. Lalu bergegas naik menyururi tangga menuju kamar. Begitu melihat bed cover ia langsung menerjunkan diri.Sebelum menyusul yang lain, Tasya memutuskan ke kamar mandi untuk buang air. Ia pelan-pelan menuju lorong menuju kamar kecil.Lampunya tidak seterang di ruang tamu atau ruang lainnya. Dalam lima menit, ia sudah keluar dari kamar mandi. Matanya masih belum ngantuk namun tidak ada kegiatan lag
Suara itu berasal dari luar gudang. Samy bergegas berlari keluar. Hera mengikuti dibelakangnya. Mereka sempat melihatsesuatuberlari terburu-buru masuk ke ladang jagung. Sangat cepat sehingga sulit dipastikan orang atau apa.Samy menahan tangan Hera yang bermaksud mengejar.“Jangan dikejar,” katanya sambil memperhatikan selajur tanaman jagung yang masih bergoyang-goyang.“Aku penasaran Sam!” lirihnya sambil menahan geram.“Aku takut kalau itu pencuri,” ujar Samy. “Kita tidak mungkin menangkap pencuri berdua.”“Kamu takut?” tatapan mata Hera mengecam.“Bukan itu,” sahutnya. Namun cewek itu sudah melangkah ke dalam rerimbunan jagung.“Dasar keras kepala!” gumam Samy. Ia tidak tega melihat cewek itu sendirian. Akhirnya nekat masuk mengikutinya masu
Tasya muncul dari dapur dan memberitahu waktunya sarapan pagi. Saat itu di ruang tamu, semua teman-temannya tengah duduk malas-malasan. Sejak matahari mulai menunjukkan kecerahannya, Tasya dan Hera sudah sibuk di dapur. Mereka memasak tumis buncis, sosis goreng dan telur dadar.Sarapan pagi berjalan sempurna. Mereka melupakan teror-teror yang tidak jelas.Diatas meja, tidak tampak tekanan atau kesedihan. Tasya dan Hera pun terlihat tampak seperti biasanya, mencoba menikmati suasana sarapan seperti yang lain.“Ah, sambal ini terlalu pedas.” Komentar Kevin buru-buru mengambil air minum dan menenggaknya.“Salah sendiri ambil sambal terlalu banyak,” ujar Tasya yang merasa membuat sambal.“Kev, kamu cowok macam apa sih, baru makan sambal saja sudah kepedasan,” celoteh Jaki menggoda.Kevin yang merasa
Setelah semua remaja menentukan pilihannya, kini tinggal Bagas dan Devan. Kubu Tasya meletakan nasib pilihannya pada cowok gendut itu. Setidaknya kalauia memilih pulang, paling tidak harapan terakhir ada pada Devan. Mungkin saja, Devan yang sudah mencurigai keanehan Pamannya mau berpihak pada kubunya. “Bagas,” kata Tasya penuh perhatian. “Kamu harus tentukan pilihanmu.” “Ayolah, Bagas.” Hera menimpalinya dengan nada geram. “Kita akan pulang hari ini juga.” Bagas membisu dalam duduknya yang gugup. Sesekali ia menatap Kevin disebrang meja lalu berganti menatap pada Samy. Dua orang ini seperti penentu pilihannya. Kevin memberikan segala kebutuhan dirinya meski sering kali menyakitinya. Sementara Samya, memberikan kenyamanan layaknya teman sejati. Namun ia sangat takut akan kemarahan Kevin. Membuatnya harus mengikuti kehendakinya. “Bagas,” kata Kevin menuntut. “Kamu