Saat itu, Caraka Candra sedang memusatkan perhatiannya ke depan sana. Dan pemuda serba hitam itu sangat terkejut ketika melihat si kakek tua telah kalah di tangan tujuh orang yang menginginkan kematiannya.
Tapi, dia jauh lebih terkejut ketika menyadari ada sebuah bayangan yang sedang melesat ke arahnya. Caraka ingin menghindar, tapi sayangnya dia terlambat!Bayangan yang dimaksud sudah tiba di depan matanya!Wutt!!!Sebatang tongkat tahu-tahu melayang dan mengincar batok kepalanya. Serangan itu datangnya sangat cepat. Siapa pun tidak ada yang sanggup membayangkannya.Seluruh tubuh Caraka bergetar. Nyawanya di ujung tanduk. Untunglah pada saat-saat yang menentukan itu, dia masih dapat mengingat keadaan dirinya. Dalam kekagetan, tubuhnya tiba-tiba melayang mundur sejauh enam langkah.Ancaman dari tongkat sirna saat itu juga. Dia pun selamat dari maut!"Siapa kau?" tanya si Tongkat Dua Jalan yang kini telah berdiri tepat di hadapannya."Aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah orang yang kebetulan berada di sini. Maaf kalau kehadiranku telah membuatmu tersinggung, Tuan," jawab Caraka dengan sopan.Sehabis berkata, pemuda itu sebenarnya berniat untuk segera meninggalkan tempat kejadian. Di hadapan tokoh persilatan seperti si Tongkat Dua Jalan, memang hanya itu saja yang dapat dia lakukan. Berlaku sopan dan bersikap seakan-akan tidak tahu apa-apa.Selain berbuat demikian, memangnya apa pula yang dapat dia lakukan lagi?Melawan? Itu sama saja bunuh diri.Meskipun saat ini hatinya terasa sakit karena melihat kematian si kakek tua dan Caraka merasa marah kepada orang di hadapannya ini, tapi untuk bertarung melawannya, dia harus berpikir ratusan kali.Namun di sisi lain, si Tongkat Dua Jalan juga bukanlah orang bodoh. Dia orang persilatan. Bahkan masuk ke dalam jajaran tokoh kelas satu pula."Tunggu dulu, anak muda. Apa yang kau bawa itu?" tanyanya sambil menyelidik ke buntalan yang dibawa oleh Caraka Candra."Oh, ini hanya buntalan bajuku saja, Tuan," jawabnya berusaha menghilangkan rasa gugup."Boleh aku melihatnya?""Jangan, Tuan,""Aku hanya ingin melihat isinya. Bukan ingin mengambil isinya,""Jangan, Tuan. Aku mohon, ini hanyalah baju dan perbekalan yang sengaja aku bawa. Bukan apa-apa, sungguh," Caraka bicara dalam nada memelas. Dia melakukan hal itu dengan tujuan agar lawan bicaranya percaya.Tetapi, manusia seperti si Tongkat Dua Jalan, bagaimana mungkin mau percaya begitu saja terhadap ucapan orang lain?Menyaksikan sikap pemuda itu yang semakin 'keukeuh', tiba-tiba timbul rasa curiga dalam benaknya.Matanya memicing memandangi buntalan putih tersebut. Pada saat demikian, orang itu terlihat seperti seekor serigala yang sedang mengincar calon mangsanya."Apakah perkataanku kurang jelas? Aku hanya ingin melihat isinya saja," ucapnya setengah memaksa."Jangan, Tuan. Aku tetap tidak mau memperlihatkan isinya kepadamu," jawab Caraka tetap teguh kepada pendiriannya."Hemm … ternyata kau keras kepala juga,"Si Tongkat Dua Jalan mulai kehabisan kesabaran. Dia mendengus dingin. Tongkatnya tiba-tiba diangkat dan langsung di tusukan ke arah Caraka Candra.Walaupun gerakan itu tidak terlalu cepat, tapi sebenarnya mengandung tenaga yang cukup besar.Sejak awal, Caraka sudah siap terhadap segala macam kemungkinan yang bisa saja terjadi setiap waktu. Oleh sebab itulah, ketika melihat tongkat lawan yang ditujukan kepada dirinya, dia langsung mengambil tindakan.Pemuda itu kembali melompat mundur. Setelah itu dirinya langsung membalikkan badan lalu segera pergi dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya.Wushh!!!Tubuhnya tiba-tiba melesat cepat menembus gelapnya hutan.Si Tongkat Dua Jalan tersenyum dingin. Dia sudah menduga kalau pemuda itu bukanlah pemuda biasa. Maka, ketika melihat dirinya melarikan diri, dia pun langsung mengejarnya dengan segenap kemampuan.Wushh!!!Dua orang yang tidak saling kenal melakukan kejar-kejaran di tengah malam buta. Awalnya, jarak di antara mereka terpaut cukup jauh. Tapi lama kelamaan, ternyata si Tongkat Dua Jalan mampu mengejar Caraka Candra.Jarak di antara keduanya semakin dekat. Begitu hanya tersisa beberapa langkah, orang itu melepaskan tongkatnya. Dia melemparkannya dengan tenaga penuh.Wutt!!!Bayangan tongkat mengejar Caraka Candra dari arah belakang. Mirip seperti ular berbisa yang ingin mematuk buruannya.Blarr!!!Tongkat itu tahu-tahu telah menghantam sebatang pohon hingga roboh dan hancur berkeping-keping. Caraka Candra berhasil menyelamatkan dirinya dengan cara melompat ke samping.Begitu melihat kesempatan baik itu, dirinya tidak tinggal diam. Caraka segera melepaskan pukulan jarak jauh berhawa panas.Wutt!!!Cahaya keemasan melesat dari balik kepalan tangannya dan meluncur ke arah si Tongkat Dua Jalan.Walaupun serangan itu belum cukup untuk membunuhnya, namun setidaknya serangan tersebut sudah lebih daripada cukup kalau sekedar untuk melukainya.Si Tongkat Dua Jalan sadar kalau posisinya tidak menguntungkan. Untuk menangkis pun sudah terlambat. Oleh karena itulah dirinya hanya bisa menghindar ke arah samping.Kejadian itu berlangsung sekejap mata. Tapi yang sekejap itu ternyata sudah mampu menyelamatkan nyawa Caraka Candra.Pada saat yang menentukan itu, Caraka menemukan kesempatan emas yang tidak mungkin datang dua kali.Wushh!!!Dia kembali melesat melarikan diri. Sebenarnya, tindakan seperti ini sangat pantang dilakukan oleh seorang pendekar seperti dirinya. Tapi apa daya, saat ini memang hanya langkah itu saja yang dapat dia perbuat.Caraka mengambil tindakan nekad!Dia lebih memilih disebut sebagai pengecut untuk sementara waktu, daripada harus mati sekarang.Saat ini bukanlah saat yang tepat untuk mampus. Tugasnya masih banyak. Dendam keluarganya juga belum terbalas.Bagaimanapun juga, dia tidak boleh mati!Caraka Candra terus berlari menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Meskipun ilmu yang dia miliki belum sempurna, tapi setidaknya masih bisa diandalkan.Akhirnya, setelah dia berusaha keras melepaskan diri dari 'jeratan' si Tongkat Dua Jalan, usahanya tidak sia-sia juga.Caraka Candra berhasil terbebas dari kematian!Sementara itu di tempat lain, si Tongkat Dua Jalan akhirnya berhenti melakukan pengejaran setelah dia menyadari kalau usahanya itu sia-sia semata. Karena hal tersebut, maka dirinya memutuskan untuk kembali menemui rekan-rekannya."Bagaimana? Apakah kau berhasil menemukan orang yang dimaksud?" tanya rekannya kepada Tongkat Dua Jalan setelah dia tiba di lokasi."Sudah, dia seorang pemuda," jawabnya dengan mantap."Siapa dia?""Aku tidak tahu. Tapi sepertinya, buntalan yang kita cari itu, ada pada dirinya,""Kalau begitu, di mana pemuda itu sekarang?""Dia telah melarikan diri,""Bodoh!" maki rekannya tersebut.Dia sangat geram mendengar jawaban yang diberikan oleh dirinya."Kenapa bisa lari? Masa orang sepertimu kalah di tangan pemuda? Apa-apaan ini?" orang itu terus marah-marah karena saking kesalnya. Untunglah salah satu di antara mereka segera melerai."Sudah, sudah. Daripada kita bertengkar, lebih baik kita cari saja pemuda itu. Siapa tahu, kita masih bisa menemukan dirinya," ujar orang tersebut."Hemm, baiklah. Mari kita cari pemuda itu," sahut yang lainnya.Wushh!!! Wushh!!!Tujuh orang tokoh persilatan itu akhirnya segera pergi dari sana. Gerakan mereka sungguh cepat, sehingga baru sebentar saja, mereka sudah berada jauh dari tempat semula.Sekarang yang ada di sana hanyalah kepulan debu dan gubuk tua yang sudah menyatu dengan tanah. Selain itu, ada pula mayat si kakek tua yang terkapar bersimbah darah.Sebenarnya, siapa kakek tua itu? Kenapa dia sampai bertarung dengan tujuh orang tokoh persilatan dan bahkan membunuhnya?Apakah kakek tua itu adalah seorang tokoh pendekar yang selama ini bersembunyi dan mengasingkan diri dari dunia luar? Ataukah ia adalah seorang Dewa yang turun dari langit sana? Tiada yang tahu akan jawaban dari semua pertanyaan tersebut. Yang pasti, ia adalah kakek tua yang bernasib malang. Bagaimana tidak? Ia menjadi korban keganasan tujuh orang manusia lainnya. Siapa pun yang melihat peristiwa tersebut, pasti akan merasa marah. Akan pula merasa kasihan karena melihat betapa kejamnya mereka menghajar orang tua itu. Ternyata apa yang dikatakan oleh orang-orang tua jaman dulu memang benar adanya. Orang tua jaman dahulu sering mengatakan bahwa manusia adalah makhluk hidup paling kejam yang terdapat di muka bumi ini. Sepertinya ungkapan tersebut tidak salah. Bahkan sepenuhnya benar. Di dunia ini, adakah binatang yang rela membunuh keluarga sendiri hanya demi sebuah ambisi? Di muka bumi, sudah tentu banyak manusia yang pernah melihat seorang maling menjebol jendela atau pintu rum
Tubuh Caraka Candra sudah tidak berdaya lagi. Ia tidak bisa bergerak sama sekali. Seakan-akan seluruh tubuhnya telah mati. Rasa sakit yang berasal dari tengkuknya semakin menjadi. Rasa sakit itu tidak hanya menyerang tubuh bagian luar, bahkan bagian dalamnya juga tidak terkecuali. Caraka Candra merasakan organ dalam tubuhnya panas. Panas seperti dibakar. Keringat panas dan dingin telah merembes keluar membasahi seluruh tubuhnya. "Kau pikir dirimu bisa bersembunyi dari kami?" Sebuah suara yang berat dan serak parau tiba-tiba terdengar dari arah belakangnya. Pemuda serba hitam tersebut mencoba melirik dengan ekor mata, tapi sayangnya usaha itu sia-sia. Setelah mendengar suara barusan, ia menyadari bahwa tengkuknya ternyata telah diremas oleh seseorang. Seseorang yang mempunyai kemampuan tinggi tentunya. "Apakah ... apakah kau adalah si Tongkat Dua Jalan?" tanyanya sedikit gugup. "Hemm, bagus. Ternyata kau masih ingat," suara yang sama seperti sebelumnya terdengar lagi. Bersama
Langkah yang secara tiba-tiba tersebut tentu saja juga membuat si Tongkat Dua Jalan kaget. Ia tidak mengira kalau pemuda serba hitam yang menjadi lawannya akan mengamb tindakan seperti itu. Akibatnya, serangan beruntun yang ia lancarkan menggunakan tongkat andalannya sendiri, menjadi mengenai udara kosong. Tetapi sebagai pendekar aliran sesat yang sudah mempunyai nama besar, tentu saja ia segera bertindak dengan sigap. Gaya serangannya berubah total. Yang tadinya berputar dan lebih mengincar tubuh bagian atas, sekarang justru menotok ke bawah. Ia mengincar seluruh tubuh Caraka Candra. Walaupun gaya serangannya berubah, tapi inti dari jurusnya tetap sama. Tetap cepat dan mematikan. Caraka berpikir bahwa langkah yang dia ambil ini merupakan jalan yang terbaik. Namun yang terjadi selanjutnya justru malah sebaliknya, posisinya makin tidak menguntungkan! Ia semakin berada di bawah angin. Setiap saat, ujung tongkat lawan bisa saja mengenai tubuhnya dengan telak. Wutt!!! Kaki pemuda
"Hemm, manusia mana yang sudah berani melakukan hal itu?" Rekannya yang lain ikut bertanya. Ia pun berjalan ke depan seraya diikuti oleh rekan-rekannya yang lain. Tujuh Singa Hutan sudah berdiri sejajar kembali. Mereka semua memandang ke tempat sekelilingnya. Orang-orang itu mencari sedang siapa tahu pelaku yang sudah berani ikut campur.Sayangnya, walaupun sudah cukup lama mencari, tapi hasilnya tetap nihil. Mereka tetap tidak berhasil menemukan pelakunya. Karena sudah tidak kuat menahan rasa marah, akhirnya si Tongkat Dua Jalan kembali mengambil tindakan. Ia menyerang Caraka Candra lagi dengan gerakan dan tenaga yang sama. Namun kejadian seperti sebelumnya kembali terjadi. Sebuah batu kerikil seukuran ibu jari telah menghantam tongkatnya dengan sangat keras. Saking kerasnya, sampai-sampai tongkat pusaka itu hampir terlepas dari genggaman tangannya. "Keparat! Manusia atau setan yang telah berani menggangguku?" Si Tongkat Dua Jalan merasa lebih marah lagi. Sebagai tokoh yang su
Saat itu tengah malam. Hujan turun membasahi bumi dengan lebatnya. Ledakan guntur dan sambaran kilat, terus mewarnai malam tanpa mengenal kata berhenti.Angin malam di tengah hujan berhembus kencang. Menambah rasa dingin yang makin lama makin menjadi. Tanah becek. Genangan air tampak di sana sini. Keadaan sepi sunyi. Kecuali pepohonan, rasanya tidak ada makhluk hidup lain yang terlihat oleh pandangan mata. Pada saat-saat seperti ini, seolah-olah di muka bumi sudah tidak ada lagi kehidupan. Jangankan manusia, bahkan seekor binatang liar pun tidak terlihat batang hidungnya. Lewat setengah jam, hujan mulai mereda. Tapi sambaran kilat masih terus menyambar-nyambar. Keadaan masih mencekam. Sepi. Sunyi. Tiba-tiba, dari balik kegelapan terlihat ada manusia yang berjalan seorang diri. Semakin lama, bentuk tubuhnya makin terlihat jelas. Ternyata dia seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. Pemuda itu mengenakan pakaian hitam. Wajahnya sangat tampan. Kedua matanya jeli dengan alis
Betapa terkejutnya si Naga Hitam Dari Selatan itu ketika dia menyaksikan adanya puluhan orang berpakaian merah. Semerah darah. Orang-orang tersebut berdiri dengan tegak. Wajahnya sangat sangar melambangkan kebengisan. Sorot matanya memancar dengan tajam. Seperti layaknya mata pedang. Ketua Adiyaksa mencoba menenangkan dirinya. Dia mulai melihat ke tempat sekeliling Perguruan Naga Langit. Dan orang tua itu lebih terkejut saat dia menyadari bahwa para penjaga perguruan ternyata sudah tewas. Malah ada pula beberapa puluh murid yang juga sudah meregang nyawanya. Waktu terus berjalan. Entah sejak kapan, tahu-tahu di halaman itu sudah semakin banyak orang-orang yang mengenakan pakaian serba merah darah. Mereka semua mempunyai penampilan yang serupa benar. Terutama sekali dari warna pakaian dan senjata mereka. Warna pakaian merah. Senjata juga berupa golok bersarung merah. Siapa mereka? Kenapa orang-orang itu membantai Perguruan Naga Langit? Ketua Adiyaksa mencoba untuk tetap tenang. M
Suara dentingan nyaring ketika berbagai senjata beradu, terus terdengar memecahkan keheningan malam. Teriakan anggota Perkumpulan Iblis Merah dan murid Perguruan Naga Langit, menyatu dalam satu suara. Teriakan, lolongan panjang seperti sergala, bentakan dan geraman terus terdengar mengiringi nyaringnya benda keras beradu. Pertempuran di malam bulan purnama itu sangat sengit. Kedua belah pihak tidak ada yang mau kalah. Masing-masing terus berjuang untuk mempertahankan pihaknya sendiri. Beberapa waktu telah berlalu. Pertempuran yang sangat menegangkan itu telah berakhir. Pihak Perguruan Naga Putih kalah telak. Puluhan murid mereka tidak ada yang selamat. Walaupun sampai kini masih ada yang bernafas, namun dapat dipastikan bahwa mereka tidak sanggup menjalani hidup lagi. Para murid itu akan mati! Pasti! Sebab kondisinya sungguh mengenaskan. Darah menggenangi seluruh tubuhnya. Berbagai macam luka akibat sayatan dan tusukan, terlukis dengan sangat jelas. Bau anyir darah menyebar luas
Untunglah, sebagai orang yang dijadikan pemimpin dalam penyerangan, tentu kemampuannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Memang tidak salah juga kalau orang itu dijadikan pemimpin. Sebab apa yang dilakukan oleh dia selanjutnya cukup membuat Ketua Adiyaksa merasa kagum. Ketika serangan ganasnya terus datang beruntun tanpa berhenti, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu Ranu Brata telah berhasil melepaskan diri dari 'jeratan' tersebut. Tubuhnya masih utuh. Tidak ada luka. Tidak ada pula ekspresi wajah kepanikan. Wajah orang itu masih sama seperti sebelumnya. Tetap sangar sekaligus tenang. "Hemm, bagus. Ternyata kau mempunyai kemampuan juga. Aku jadi lebih bersemangat untuk bertarung denganmu," ujar si Naga Hitam Dari Selatan. Sesaat berikutnya, dia segera memasang kuda-kuda. Pedang Lemas Delapan Titik disilangkan di depan dada. Tenaga dalam dan hawa murni langsung dikerahkan oleh Ketua Adiyaksa dalam waktu yang hampir bersamaan. Perisai tak kasat mata sudah tercipta. Hawanya mem