Share

Di balik Putih, Ada Hitam.

 Nyonya Finda telah pulang kerja. Didapati kamar Dewa masih sepi tak berpenghuni. Perasaannya krungsang, tidak tenang. Beliau lalu menggeser langkah menuju kamarnya. Duduk di depan meja rias, sambil menyeret-nyeret layar hape samsungnya. Beliau mengirim pesan pendek kepada Reihan. 

 "Dewa belum pulang, lama-lama ibu khawatir Rei, bagaimana kalau dia kenapa-napa?" messege delivered. Lima belas menit Nyonya Finda menunggu balasan dari putranya yang selalu dibanggakan, namun yang ditunggu tak memberi tanggapan. Beliau pun hanya bisa menebak, mungkin Reihan masih sibuk belajar. 

 Jauh di ambang cakrawala sana. Di tengah-tengah kebimbangan dan kekhawatiran orangtua. Sang Reihan mencumbu bibir perawan. Gemerlap lampu disko menyinari ubun-ubunnya. Alunan lagu disko melengking di gendang telinga. Pelayan-pelayan bir yang seksi-seksi, berjejer di pinggiran bar. Moncong-moncong nyawa bersulat asap rokok. Ada yang mengandung zat terlarang, ada yang biasa, bagi mereka yang berdompet pas-pasan. Dunia luar telah meracuni syaraf-syaraf Reihan. Dia yang tampan, dia yang kaya taksiran bunga-bunga kampus, dia yang seharusnya menjadi contoh untuk Dewa, malah bertindak laksana binatang.

 Memang cinta tak pernah ditimbun. Namun wajah buayanya tak pernah lenyap. Cinta yang mendekat hanya lampiasan nafsu. Setiap tubuhnya melenggok-lenggok dengan tarian. Tangan kanannya menggandeng, atau meraba sang pasangan. Senyum setan meringis. Hura-hura dengan bir semerbak. Bau mulut busuk, rayuan-rayuan gombal pun mendarat, walau tak setulus hati. Dalam keadaan mabuk seperti itu yang ada di benaknya hanya kenikmatan dunia. Tak lagi dipikirkannya lagi, nilai kuliahnya di kampus. Kalau ujian tiba, memang dia belajar sungguh-sungguh. Dia jarang bolos kuliah, peraturan kampus selalu ditaati. Tapi kalau malam datang, jangan harap otaknya akan normal. Gas mobil akan ditancap menuju tempat-tempat maksiat. Diskotik dan kafe sudah hal biasa baginya, tak jarang juga, kalau hasrat nafsu menggebu, dia pijaki ranah pasar kembang (SarKem), tempat pelacur-pelacur dialokalisasikan. Jelas sudah, mengapa setiap hari pengeluaran dana Reihan minimal empat ratus ribu. 

 Reihan tidak merokok, minuman kerasnya juga tidak terlalu banyak. Satu malam, paling satu botol bir putih. Dia tidak berani menenggak bir hitam. Yang parah darinya hanya bermain wanitanya. Setiap satu minggu, hampir ganti pasangan. Biasanya dia tidak pernah bersusah payah untuk mendapatkan wanita cantik, mereka yang akan datang dengan sendirinya.

 Malam itu saat kumandang azan isak menyambar gendang telinganya. Reihan menggandeng kawan cantiknya menuju ke kamar VIP yang disediakan oleh kafe tersebut. Keadaan mereka sama-sama mabuk. Nikmat pun akan dirasa bersama, nista bersama, namun apakah kerugian juga akan bersama? Ruang VIP, terpadati satu kasur setinggi lima puluh senti, tak lupa dengan sepray merah yang melembar. Satu meja ada di sudut Utara. Meja itu biasa digunakan untuk meletakkan sebotol anggur nikmat para tamu. Kamar mandi sederhana dengan sebuah wastavel di dalamnya, terletak di samping mulut pintu. Pintu kamar mandi tertutup, juga dengan pintu utama. 

 Sewa kamar itu, permalam empat ratus ribu. Kamar itu sederhana namun nyaman untuk dibuat maksiat. Tidak memikiran bagaimana orangtuanya susah payah mengumpulkan uang. Bagi Reihan itu mah uang sedikit, tinggal gesek ATM, uang pun cair. Setiap minggu menghabiskan sepuluh juta, satu bulan tiga puluh juta. Belum uang kontrakan dan biaya per semester. Sebenarnya Nyonya Finda terkadang curiga, kenapa bisa kebutuhan Reihan melonjak tinggi, tapi jika sudah mendengar alasan Reihan untuk digunakan kegiatan berorganisani. Rasa curiganya itu pun mendadak lenyap. Maklum beliau dulu tidak kuliah, hanya tamatan SMK jadi tidak tahu perincian kampus yang sesungguhnya. 

 Reihan mencumbu gadis berpakaian seksi itu. Bibir yang merah merona, dengan balutan tanktop, serta rok mini saja, di dadanya ada ukiran tatto bunga mawar. Lengkung melonnya begitu tajam. Membuat Reihan mati kutu. Setiap lidahnya menjulur di kulit Gazfia, gadis yang menyukainya itu dengan penuh gairah. Ke dua insan itu pun menikmati surgawi dunia dengan bersama. 

 Berkali-kali hapenya bergetar. Tapi tak dihiraukannya. Kebiasaan buruk itu sudah mempunyai sejarah semenjak SMA. Hal itu tak pernah tercium oleh Nyonya Finda, lantaran beliau sibuk mengurusi toko sembako dan usaha butiknya di dua kota. Jika di depan beliau, dia bermanis lidah, jika di belakang dia main polah. Beda dengan Dewa, depan belakang sama saja. Walau Dewa selalu menjadi bahan amarah Nyonya Finda, tetap saja Dewa diam dan tak bertingkah. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status