Share

Rasa yang Mengambang

 Dahaga mengamuk tenggorokan. Kekuatan terseok dalam lara. Tubuh lunglai bak baja bengkok. 

 Kini sampailah dia di pertigaan pasar Beseran. Untuk mencapai rumahnya, dia harus melintasi kurang lebih empat kilometer lagi. Sayangnya dia sudah tak sanggup. Peluh tidak menetes karena dia sakit. Wajahnya merah pucat. Bibirnya kering, di sekeliling matanya berwarna abu-abu. Tubuhnya gemetaran. Perjalanannya barusan membuat tenaganya terkuras habis. Sejenak dia mampir di tempat penjual bakso yang ada di kanan jalan. Dia tidak bermaksud untuk memesan makanan, melainkan untuk numpang membuang letihnya sejenak. Banyak orang yang memerhatikan raut wajahnya dengan iba. 

 Sore telah merangkak. Pasar Beseran sepi. Para pedagang pun telah melipat tikarnya untuk membawanya pulang. Pertokoan sembako mulai tutup rapat. Giliran pedagang kaki lima yang memainkan aksinya. Penjual bakso, penjual gorengan, wedang ronde, dan lainnya. Dewa duduk membungkuk di samping mulut pintu. Di sana ada kursi tua yang sering digunakan untuk menunggu pesanan. Tangannya memegang pinggiran kursi, sementara sepedanya diparkir di sebelah Selatan gerobak bakso.

 "Mau pesan apa, Nak?" tanya penjual bakso.

 "Air putih, boleh? Tapi maunya gratis," seloroh Dewa tanpa malu.

 "E... e... i... ya..." penjual bakso itu gagu. Adat desa masih kental dengan sikap tenggangrasa dan kepedulian antar sesama. Tak seperti di kota, yang kadang air putih saja tidak bisa didapatkan dengan meminta. Penjual bakso yang wajahnya menyembulkan kerentaan dengan berbalut kain putih berlukis wajah Jokowi itu menuangkan air putih bersih dari mulut ceret ke dalam gelas. 

 "Ini, Nak." Katanya sambil mengulurkan segelas air mineral itu. "O ya... kamu sudah makan belum? Kalau belum biar bapak buatkan semangkok bakso, gratis," tambahnya dengan senyuman manis. 

 Dewa menenggak minumannya. "Nggak usah Pak, saya nggak lapar kok, saya nggak nafsu makan." Ucap Dewa.

 "Kamu nampaknya sakit, Nak. Wajahmu pucat. Memangnya habis dari mana?" 

 "Iya Pak, cuma kecapaian. Lemes banget!" balasnya. Dewa menatap datar ke jalan aspal. Lalu lalang kendaraan berasap semakin padat. Sebagian dari mereka berhenti di pinggiran pedagang kaki lima. Ada pula yang lurus ke turunan tajam, arah Bandongan atau kota Magelang, atau lurus ke atas tanjakan menuju ke arah pasar Kaliangkrik, Kajoran, dan lainnya. Memang pasar Beseran diapit oleh tanjakan dan turunan, jadinya di sana terkadang rawan kecelakaan. 

 "Sebenarnya kamu mau ke mana, Nak?" tanya lelaki rapuh itu. Namun sebelum Dewa membalasnya, ada anak remaja keluar dari tenda baksonya. 

 "Pak, baksonya berapa?" ucapnya. 

Penjul bakso itu pun langsung berdiri menghampirinya. "Tujuh ribu saja," remaja yang masih berbalut seragam abu-abu putih itu pun mengambil uang sepuluh ribuan dari sakunya. Kain itu mengingatkan Dewa kepada sekolahannya. Hari itu dia tidak masuk sekolah, besok juga nampaknya tidak, jika fisiknya masih seperti itu. Hantaman warga kemarin baru dirasa teramat menyakitkan waktu itu. Mendadak ingatannya tertuju kepada seseorang. Chika! 

 "Rumah Chika kan di Beseran," gumamnya sambil menepuk jidadnya. Dia lalu mengembalikan gelas yang sudah kosong itu, tak lupa mengucapkan terimakasih. Secepatnya dia melesat memasuki gang di samping toko sembako yang berjejer antara warung bakso dan toko sembako. Rumah Chika tak jauh dari pusat keramaian pasar. Paling tidak hanya memerlukan waktu tujuh menit jika menggunakan sepeda. 

 Sampailah dia di depan rumah Chika. Lampu dalam ruangan telah dinyalakan. Cahanya terpantul dari balik jendela. Sebentar lagi azan maghrib kan berkumandang. Jadi wajar kalau neon itu telah bekerja menerangi ruangan. Di halaman rumah Chika, terbentang tanaman hias yang menyegarkan tenggorokam jika esok. Ada bunga Mawar, tanaman gelombang cinta, pohon Jambu, dan lainnya. Rumah Chika sederhana, hanya terbuat dari papan kayu yang dijadikan blabak. Atapnya dari lempung merah yang dipanggang. Suasana rumahnya masih asri, layaknya orang desa, tidak seperti miliknya yang sudah megah bak istana raja. 

 Tok... tok... tok....

 "Assalamu'alaikum, Chika!" serunya sambil mengetuk daun pintu. 

 Chika keluar dari kamarnya. Rumah itu sepi. Kedua adik Chika, Silvi dan Reno sedang mengaji di aula Masjid dekat rumahnya. Sementara ibu dan ayahnya sedang pergi ke kota. Sebelum membukakan pintunya, dia menyibak tirai jendela, untuk melihat siapa yang datang.

 "Dewa?" matanya melotot, jantungnya berdegup kencang. Wajahnya memerah. Dia menatap tubuhnya yang masih berbalut baju babydool. Sejenak dia lari ke kamarnya untuk mengganti pakaian, dan memoles wajahnya dengan bedak. Malu lah kalau sampai Dewa tahu wajah leceknya. 

 "Chika!" seru Dewa sambil mengetuk pintu kembali.

 "Ya. Sebentaaarrr!" teriak Chika dari dalam. 

 "Huh, syukurlah," desah Dewa sambil menghela napas dalam. Untung Chika ada di rumah.

 Setelah merias dirinya. Chika pun membukakan pintu utama. Mempersilakan Dewa yang pucat untuk masuk. Wajah berlapis make up sederhana. Baju kaos putih bersih, dengan celana jeans panjang membalut tubuhnya. Tak lupa parfume kaslabangka yang harumnya mengusik ketenangan bulu hidung Dewa. Perfect performance. 

 "Eh Wa! Kesambet setan apa, kamu mau main ke rumahku?" seloroh Chika sambil cengar-cengir.

 "Ini anak, didatangi sahabatnya bukannya seneng malah dikira kesambet setan. Dasar lo!" Dewa menonyong kepala Chika. "Mau pergi kemana kamu, Chik?" tanya Dewa yang masih berdiri di depan pintu. 

 "Mau ke surga, mau ikut?" 

 "Ditanya serius juga, kamu itu memang menyebalkan!"

  "Ya... ya... ya... seorang Chika yang menyebalkan dan menggemaskan!" Chika memamerkan karakter andalannya yang selalu membuat orang-orang sulit melupakannya. "O ya kamu kok pucat banget?" 

 Chika lalu menyuruh Dewa masuk dan duduk di kursi tamu. Sofa sederhana yang bercat cokelat itu pun sedikit mengkerut ke dalam. Dewa menatih langkahnya untuk masuk. Sejenak dia hempaskan tubuhnya di sofa empuk itu. Seperti biasa, di atas meja selalu ada ranjang buah dan setoples makaroni kesukaan Chika, di samping toples itu berdiri vas bunga yang terisi imitasi dedaunan alam, lengkap dengan bunganya mawar. Tembok rumah Chika yang terbuat dari papan itu, dicat serupa warna langit. 

 "Aku nggak papa kok! Tumben rapi banget, harumnya juga semerbak. Pasti gara-gara nggak mandi trus ngabisin parfume sebotol," ledek Dewa seraya merebahkan tubuhnya untuk bersandar di bahu kursi.

 "Emangnya kalau aku mau mandi, aku harus absen dulu sama kamu?" 

 "Nggak juga," balas Dewa dengan nada datar.

 Dia memejamkan matanya. Chika mengamati sosok sahabatnya kini. Tubuh kusam bau apek. Wajah pucat pasi. Mulut kering dengan rambut acak-acakan. Tadi juga sewaktu jalan dia pincang. 

 "Kamu habis jatuh, Wa?" simpati Chika.

 "Aku ngantuk banget Chik, kepalaku sakit. Aku numpang tidur di sini dulu ya? Nanti abis isak aku pulang. Sumpah badanku sakit semua." Terang Dewa dengan mata yang tetap tertutup. Tangannya digunakan sebagai bantal kepalanya. Tubuhnya menyandar di punggung kursi. 

 Deg! Jantung Chika berdebar kencang. Khawatir mendesirkan jiwanya, membuat darah di tubuhnya menjalar tak menentu. 

 "Makanya jadi anak nggak usah banyak bertingkah! Sakit baru tahu rasa lo, emang enak!" seloroh Chika ketus, walau sebenarnya tak bisa dipungkiri rasa cemasnya yang dalam. Watak Chika memang seperti itu. Ketus, asal ceplos, jail namun perhatian. 

 "Mau aku obatin?" tawar Chika sambil pindah duduk di sampingnya.

 "Aku maunya dipijatin Chik, badanku sakit karena abis dipukulin banyak warga." 

 "Hahahahahahaha!" Chika malah tertawa setan. Hal itu membuat Dewa memelototkan matanya. 

 "Apa lo ketawa?" gerutu Dewa.

 "Nggak, lucu saja. Pantaslah orang jelek kayak kamu dikeroyok orang. Pasti kamu nabrak orang kan sewaktu naik sepeda, gara-gara ngelamun. Iya kan? Habis itu kamu dikeroyok warga," ledek Chika. 

 "Ah tahu ah, lagi malas debat sama kamu. Aku mau tidur, jangan lupa habis isak bangunin ya! Kalau kamu mau ke masjid, ke masjid saja." cetus Dewa lalu menyandarkan kepalanya lagi di bahu kursi. Yah Chika memang rajin ke masjid jika azan maghrib menggema. Sayangnya kali ini dia sedang kedatangan tamu merah. Dia pun hanya tersenyum manis. Sebenarnya Chika kasihan melihat sahabat karibnya itu hanya tidur di sofanya, tapi dia tidak berani menyuruhnya tidur di kamarnya, nanti tetangga pada risuh melantunkan aib. Maklumi sajalah, adat orang desa. Kedatangan tamu lelaki sore-sore saja mata sudah saling melotot jika ada yang tahu, apalagi sampai nginap, bahkan tidur di kamar perempuan. Jangan harap nama baik keluarga akan tak terpoles hitam. Untungnya warga Beseran tahu kalau Dewa adalah teman akrab Chika, coba kalau tidak? Omongan jelek pasti sudah mengembara. 

 Chika menggelembungkan pipinya yang tembem. Dia lalu beranjak dari tempat duduknya. Chika mengambil baskom di dapurnya. Dia tuangkan air panas dari dispenser lalu mencampurnya dengan air dingin. Tak lupa mengambil handuk kecil, untuk mengompres wajah Dewa yang lebam. Usainya dia kembali menuju ruang tamu. Baskom itu diletakkan di atas meja samping vas bunganya.

 Chika memeras handuknya, lalu membersihkan wajah Dewa yang terlelap.

 "Kau tampan sekali, Dewa. Tampan luar juga dalam, sehari saja kamu tidak berangkat sekolah, aku kesepian Wa, perasaanku ngambang, seolah tak ada rasanya. Entah sedih atau sepi, tepatnya hampa kalau tidak ada kamu di belakang tubuhku, walaupun kamu hanya akan melamun," batin Chika sambil menatap lekat-lekat wajah Dewa. 

     °°°°°°°°

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status