Jurnal bersama itu dimulai di sebuah buku sketsa kulit berukuran besar. Ares yang membelinya, memilih yang sampulnya tidak sempurna, dengan sedikit cacat di sudutnya. "Seperti kita," katanya, menyerahkannya kepada Elara.
Mereka menetapkan aturan. Tinta hitam untuk Ares (perasaan, pengalaman subjektif). Tinta biru untuk Elara (observasi, analisis objektif). Mereka akan menulis bergantian, setiap hari, dan bertemu setiap Jumat malam untuk membacanya bersama-sama. Halaman pertama milik Ares. [Tinta Hitam, tulisan agak berantakan dan penuh dengan coretan] Hari 1. Masih tidak yakin tentang ini. Terasa seperti memberikan senjataku pada musuh. Tapi dia bukan musuh, kan? Atau iya? Entahlah. Melukis hari ini. Warna abu-abu dan perak. Seperti mata nya. Apakah itu disengaja? Mungkin. Mika bertanya apakah aku baik-baik saja. Aku bilang iya. Itu bohong. Tidak baik-baik saja. Tapi juga tidak hancur. Seperti tanah setelah dibajak. Rusak, tapi siap untuk ditanami sesuatu yang baru. Aku takut. Apa yang akan kita tanam? Elara menerima buku itu keesokan harinya dengan perasaan campur aduk antara antisipasi ilmiah dan kecemasan yang aneh. Dia membacanya berulang kali, bukan hanya kata-katanya, tetapi juga bentuk hurufnya-tekanannya yang kuat pada huruf 't', coretan pada kata "takut". Dia mengambil pena birunya, tangan nya sedikit gemetar. [Tinta Biru, tulisan rapi dan terukur] Hari 2. Observasi: Subjek menunjukkan ambivalensi dan meta-kognisi yang sehat mengenai proses tersebut. Penggunaan metafora pertanian menunjukkan pemahaman akan potensi regeneratif dari konflik. Warna abu-abu dan perak: menarik. Catatan untuk meneliti hubungan antara pemilihan warna dan memori emosional. Pertanyaan: Apa yang ditakuti Subjek? Kehancuran kembali, atau kemungkinan transformasi? Pengamat juga mencatat kecemasan sendiri. Detak jantung meningkat 12% saat membaca entri. Alasan: tidak diketahui (mungkin kafein). Dia hampir tidak menahan diri untuk tidak menghapus "(mungkin kafein)". Itu adalah pembohongan. Dia tahu persis alasannya. Begitu seterusnya. Hari demi hari, buku itu menjadi tempat suci bagi kebenaran mereka. Ares menulis tentang mimpinya (berisi labirin dan mata yang mengamati), tentang amarahnya yang masih tersisa, tentang saat-saat dia merindukan Elara dengan rasa sakit yang fisik. Elara menulis tentang pola tidurnya, tentang peningkatan penggunaan warna hangat dalam lukisannya, tentang teori-teori neurosains di balik ketergantungan emosional. Jumat malam menjadi ritual suci. Mereka akan duduk di lantai apartemen Elara (Ares akhirnya kembali, tapi hanya untuk pertemuan ini), dengan buku itu terbentang di antara mereka. Membacanya dengan keras adalah sebuah pengalaman yang menggetarkan. Mendengar kata-katanya dibacakan oleh Elara dengan suara datarnya yang terukur membuat Ares merasa sangat terbuka. Dan mendengar analisisnya yang dingin dibacakan oleh Ares dengan suara seraknya yang emosional membuat Elara merasa... terlihat dengan cara yang baru. Suatu Jumat, mereka membahas sebuah entri dimana Ares menulis tentang sebuah memori masa kecil-ditinggalkan oleh ayahnya di halte bus selama berjam-jam. [Tinta Hitam] ...dan aku berpikir, jika aku sangat-sangat baik, jika aku duduk sangat diam, dia akan kembali. Dia tidak pernah kembali. Kadang-kadang, saat kau pergi, aku merasa seperti anak laki-laki itu lagi. Menunggu. Berharap. Saat Elara membacanya dengan suara keras, suaranya terputus-putus pada bagian terakhir. Dia berhenti, menatap buku itu. "Aku..." dia mulai, lalu berhenti. "Analisisku... tampaknya tidak memadai." "Bacalah," pinta Ares, suaranya lembut. Elara menarik napas. [Tinta Biru] Memori abandonment ini memberikan konteks historis untuk kepekaan Subjek terhadap penolakan. Pola ini konsisten dengan model lampiran anxious-preoccupied. Rekomendasi:... Dia berhenti lagi. "Ini... ini dingin. Ini tidak menghormati rasa sakitmu." "Itu adalah caramu memahami dunia," kata Ares. "Aku tidak memintamu untuk menjadi orang lain." Tapi Elara menggeleng. Dia mengambil pena biru dan, di depan Ares, mencoret seluruh analisisnya. Di sebelahnya, dengan tinta yang sama birunya, dia menulis: [Tinta Biru, tulisan sedikit kurang rapi] Membaca ini menyakitkan. Aku membayangkan kamu sebagai anak laki-laki itu dan dadaku terasa sesak. Aku tidak ingin menjadi orang yang membuatmu merasa seperti itu. Tidak pernah lagi. Itu bukan analisis. Itu adalah perasaan. Ares memandangnya, matanya berkaca-kaca. Itu adalah pertama kalinya Elara menulis sesuatu yang murni emosional, sesuatu yang tidak bisa diukur atau dikategorikan. Dia mengambil pena hitamnya. Tanpa berkata-kata, dia mencoret kata "Subjek" di entri Elara dan menggantinya dengan "Ares". Mereka duduk di sana, bahu bersentuhan, melihat kata-kata yang tercoret dan ditulis ulang itu. Itu adalah sebuah kehancuran dan sebuah penciptaan kembali, terjadi dalam skala kecil, di halaman buku sketsa. "Parameter baru," bisik Elara, suaranya serak. "Terkadang, kita menggunakan tinta merah." "Untuk apa?" tanya Ares. "Untuk hal-hal yang tidak hitam atau biru. Untuk hal-hal yang... berdarah." Ares mengangguk, pelan. Dia meraih tangannya. Dia tidak menariknya. Pertemuan itu berakhir tanpa analisis lebih lanjut. Tanpa data. Hanya dengan tangan yang terhubung dan sebuah pengertian bahwa jurnal mereka bukan lagi sebuah eksperimen. Itu adalah sebuah jangkar. Sebuah tempat di mana mereka bisa menjadi kedua diri mereka-yang analitis dan yang emosional, yang rusak dan yang memperbaiki-tanpa harus memilih. Ketika Ares pergi, Elara tidak langsung membuka laptopnya. Dia duduk di tempatnya, memandangi buku jurnal yang terbuka. Dia melihat tulisannya yang tercoret, pengakuan emosionalnya yang kikuk, dan nama "Ares" yang ditulisnya dengan tinta hitam. Dia menyadari bahwa dia tidak takut pada data barunya. Dia justru merasa... tenang. Seperti akhirnya menemukan sebuah variabel yang selama ini hilang dari persamaannya. Dia mengambil pena dan membalik halaman. Di bagian paling belakang buku, dia mulai menggambar. Bukan grafik atau diagram, tetapi sebuah pola yang rumit dan indah yang terinspirasi dari lukisan Ares-sebuah visualisasi dari hubungan mereka, dengan semua kekacauan, keindahan, dan warnanya. Itu tidak ilmiah sama sekali. Tapi itu terasa benar. Dan untuk pertama kalinya, itu cukup. TBCJurnal bersama itu dimulai di sebuah buku sketsa kulit berukuran besar. Ares yang membelinya, memilih yang sampulnya tidak sempurna, dengan sedikit cacat di sudutnya. "Seperti kita," katanya, menyerahkannya kepada Elara.Mereka menetapkan aturan. Tinta hitam untuk Ares (perasaan, pengalaman subjektif). Tinta biru untuk Elara (observasi, analisis objektif). Mereka akan menulis bergantian, setiap hari, dan bertemu setiap Jumat malam untuk membacanya bersama-sama.Halaman pertama milik Ares.[Tinta Hitam, tulisan agak berantakan dan penuh dengan coretan] Hari 1. Masih tidak yakin tentang ini. Terasa seperti memberikan senjataku pada musuh. Tapi dia bukan musuh, kan? Atau iya? Entahlah. Melukis hari ini. Warna abu-abu dan perak. Seperti mata nya. Apakah itu disengaja? Mungkin. Mika bertanya apakah aku baik-baik saja. Aku bilang iya. Itu bohong. Tidak baik-baik saja. Tapi juga tidak hancur. Seperti tanah setelah dibajak. Rusak, tapi siap untuk ditanami sesuatu
Pesan "Aku melihat" itu menggantung di antara mereka seperti sebuah gencatan senjata yang rapuh. Tidak ada kata-kata lebih lanjut selama berhari-hari. Tapi keheningan itu berbeda. Bukan lagi keheningan penghindaran, melainkan keheningan pemrosesan. Sebuah jeda untuk menilai kerusakan dan mempertimbangkan langkah selanjutnya.Bagi Ares, grafik yang dikirim Elara itu seperti cermin yang memantulkan kembali dinamika mereka dengan kejelasan yang kejam dan tak terbantahkan. Dia tidak bisa menyangkal kebenaran dalam data itu: amarah dan ketenangannya memang terikat, dan keterikatan itu, entah bagaimana, melibatkan Elara. Dia mulai melihat karyanya sendiri dengan mata baru—bukan sebagai ledakan murni, tetapi sebagai dialog. Sebuah percakapan dengan kekasih yang tak terlihat yang memahami bahasa kekerasan dan kelembutannya.Dia tidak kembali ke apartemen Elara. Tapi dia juga tidak melarikan diri. Dia tinggal bersama Mika, tetapi sekarang dia melukis lagi. Kanvas-kanvas bar
Keesokan harinya, apartemen Elara terasa seperti ruang mayat. Sunyi yang ada bukanlah ketenangan, melainkan kekosongan yang menusuk. Setiap sudut yang biasanya dia tempati dengan data dan pengamatan sekarang hanya menyisakan kehampaan. Dia membersihkan pecahan tablet yang hancur, setiap serpihan kaca terasa seperti potongan dari ilusinya yang ikut remuk. Dia mencoba kembali ke rutinitas. Dia membuat kopi (hanya satu cangkir). Dia membuka laptop, berusaha fokus pada pekerjaan lain—analisis data untuk konferensi neurosains yang akan datang. Tapi matanya terus tertarik ke sudut ruangan tempat Ares biasa meletakkan sepatu botnya. Ke sofa tempat dia sering tertidur. Dia bahkan menemukan sebuah noda cat biru tua di tepi karpet putihnya, dan alih-alih merasa jijik, dia justru berlutut dan menyentuhnya, seolah-olah itu adalah artefak berharga dari sebuah peradaban yang telah punah. Hipotesis salah. Kalimat itu terpampang di layarnya, sebuah pengakuan yang terus
Keesokan harinya, sebuah ketegangan yang tebal dan tak terucapkan menggantung di apartemen. Elara bangun lebih awal, mengubur dirinya dalam data, menciptakan penghalang dari grafik dan kode. Ares terbangun dengan kepala berdenyut dan rasa pahit di mulut, kenangan ciuman itu terasa seperti mimpi buruk yang indah. Mereka menghindari kontak mata. Elara menyajikan kopi tanpa bicara, menempatkannya di meja seolah-olah sedang menempatkan umpan untuk hewan percobaan. Ares mengambilnya, tetapi tidak minum. Dia hanya memandangi cairan hitam itu, melihat pantulan dirinya yang terdistorsi. "Kita harus berbicara," katanya akhirnya, suaranya kasar, memecah kesunyian yang menusuk. Elara tidak menoleh dari layar komputernya. "Tentang apa? Data dari kemarin malam masih dalam proses analisis. Aku butuh waktu—" "Lupakan data, Elara!" hardik Ares, meninju meja sehingga gelas kopinya bergoyang. "Tentang
Kolaborasi mereka menemukan rumah: apartemen Elara. Keputusan itu tidak diucapkan; itu terjadi secara alami, seperti tahap berikutnya dari sebuah eksperimen yang tak terhindarkan. Gudang Ares terlalu berantakan, terlalu "primal", seperti yang dikatakan Elara, untuk pengumpulan data yang optimal. Apartemen Elara, dengan dinding putihnya yang steril dan ruang yang terorganisir, adalah lab yang sempurna. Ares pindah dengan satu tas ransel berisi pakaian dan sebuah kotak berisi cat, kuas, dan beberapa kanvas kecil. Kehadirannya langsung menjadi noda yang hidup di lanskap yang sempurna itu. Jaket kulitnya tergantung di atas kursi Eames yang elegan. Kaleng catnya berjejer di atas meja kaca, meninggalkan cincin-cincin samar. Buku sketsanya yang penuh coretan tergeletak di samping sofa kulit yang bersih. Elara menyaksikan invasi ini dengan perasaan campur aduk antara jijik dan kegembiraan ilmiah. Setiap kekacauan yang ditimbulkan Ares adalah sebu
Hujan turun membasahi kota, mengubah aspal menjadi cermin yang memantulkan lampu-lampu neon dan lampu jalan yang buram. Di dalam gudangnya, Ares mendengarkan dentuman hujan di atap seng, sebuah simfoni kekacauan yang menenangkannya. Dia sedang mengerjakan sebuah karya baru, sebuah potret diri yang terdistorsi yang terpecah menjadi dua: satu sisi penuh dengan goresan merah dan kuning yang marah, sisi lainnya dingin, terukur, dan tertutup garis-garis geometris seperti diagram sirkuit. Di antara kedua sisi itu, terdapat ruang kosong yang berbentuk hati. Ponselnya bergetar di atas bangku kayu yang berdebu. Dia mengabaikannya. Itu pasti Mika atau seseorang dari galeri. Tapi kemudian bergetar lagi. Dan lagi. Sebuah pola. Bukan pola Mika. Dia menyeka tangannya yang penuh cat di celananya dan mengambil ponsel. Unknown Number (Elara): Hujan mengubah pola suara di atapmu. Itu harusnya mengganggu konsentrasimu, tapi sebaliknya. Kenapa? Unknown Number (Elara):Apakah kekacauan eksternal membant