Pesan "Aku melihat" itu menggantung di antara mereka seperti sebuah gencatan senjata yang rapuh. Tidak ada kata-kata lebih lanjut selama berhari-hari. Tapi keheningan itu berbeda. Bukan lagi keheningan penghindaran, melainkan keheningan pemrosesan. Sebuah jeda untuk menilai kerusakan dan mempertimbangkan langkah selanjutnya.
Bagi Ares, grafik yang dikirim Elara itu seperti cermin yang memantulkan kembali dinamika mereka dengan kejelasan yang kejam dan tak terbantahkan. Dia tidak bisa menyangkal kebenaran dalam data itu: amarah dan ketenangannya memang terikat, dan keterikatan itu, entah bagaimana, melibatkan Elara. Dia mulai melihat karyanya sendiri dengan mata baru—bukan sebagai ledakan murni, tetapi sebagai dialog. Sebuah percakapan dengan kekasih yang tak terlihat yang memahami bahasa kekerasan dan kelembutannya. Dia tidak kembali ke apartemen Elara. Tapi dia juga tidak melarikan diri. Dia tinggal bersama Mika, tetapi sekarang dia melukis lagi. Kanvas-kanvas barunya berbeda. Masih penuh emosi, tetapi ada struktur di dalamnya. Sebuah pola yang disadari. Sebuah upaya untuk tidak hanya mengekspresikan, tetapi juga untuk berkomunikasi. Seolah-olah dia melukis untuk audiensi tunggal, berharap suatu saat nanti dia akan mengamati lagi. Suatu sore, dia memposting foto karya terbarunya online. Lukisan itu menunjukkan dua sosok yang terbuat dari api dan air, saling menjalin, saling memadamkan dan menguapkan satu sama lain dalam siklus yang abadi. Judulnya: Simbiosis. Dia tidak menunggu lama. Sebuah komentar dari akun anonim itu muncul, bukan di publik, tapi dalam pesan pribadi. Unknown Number: Airnya tidak mengalir secara alami. Pola alirannya meniru pola gelombang otak saat REM. Apakah itu disengaja? Ares melihat pesan itu, dan untuk pertama kalinya, dia tidak merasa marah atau terlanggar. Dia merasa... terpacu. Ares: mungkin. aku tidak memikirkannya. itu hanya terasa benar. Unknown Number:"Terasa benar" seringkali adalah otak yang mengenali pola bawah sadar yang tidak dapat diartikulasikan oleh pikiran sadar. Itu data juga. Ares: jadi sekarang perasaanku adalah data? Unknown Number:Semuanya adalah data, Ares. Tantangannya adalah menginterpretasikannya dengan benar. Aku salah mengartikannya sebelumnya. Itu adalah pengakuan terdekat dengan permintaan maaf yang akan dia dapatkan. Ares bisa merasakan upayanya, kikuk dan tidak natural, seperti mesin yang mencoba mempelajari emosi. Ares: apa yang kau pikirkan sekarang? Unknown Number:Bahwa aku ingin melanjutkan observasi. Dengan parameter baru. Dengan... persetujuan yang lebih jelas. Ares: observasi atau kolaborasi? Unknown Number:Apa kamu masih mau berkolaborasi? Ares memandangi pertanyaan itu. Itu adalah sebuah jebakan, tentu saja. Tapi itu juga adalah sebuah pilihan yang jujur. Dia bisa mengatakan tidak. Dia bisa berjalan pergi dan mencoba untuk sembuh. Tapi dia tidak mau. Kehidupan tanpa intensitas Elara terasa... hambar. Seperti warna tanpa kontras. Ares: dengan syarat. tidak ada lagi rahasia. tidak ada lagi eksperimen tersembunyi. jika kau ingin tahu sesuatu, tanyakan. jika kau memiliki teori, bagikan. kita melakukan ini... bersama. setara. Diam yang panjang dari pihak Elara. Ares bisa membayangkannya sedang berjuang dengan tawaran itu. Itu berarti melepaskan kendali. Itu berarti menjadi rentan. Unknown Number: Itu tidak ilmiah. Pengamat tidak boleh menjadi bagian dari eksperimen. Ares:ini bukan eksperimen lagi, elara. ini sesuatu yang lain. terima itu, atau kita selesai di sini. Pesan itu terkirim. Titik tidak bisa kembali. Beberapa menit berlalu. Lalu: Elara: Baik. Persyaratan diterima. Lokasi netral. Galeri Luna. Besok sore. Kita akan... mendiskusikan parameter baru. Ares menghela napas lega yang dalam, dicampur dengan kecemasan yang menggembung. Dia baru saja menyetujui untuk memasuki kandang lagi, tapi kali ini, mungkin dia yang memegang kunci. --- Galeri Luna lebih kecil dan lebih intim daripada tempat pameran bawah tanah mereka yang pertama. Keesokan harinya, hujan telah berhenti, meninggalkan udara yang segar dan bersih. Ares tiba lebih awal, merasa gugup seperti anak sekolah. Elara sudah ada di sana, berdiri di depan sebuah patung kecil. Dia mengenakan sesuatu yang tidak biasa—sebuah sweater wol abu-abu lembut dan jeans, bukan blazer profesionalnya. Dia terlihat... lebih muda. Lebih mudah didekati. "Mika memberitahuku bahwa sweater ini 'tidak seperti diriku'," katanya tanpa menoleh, seolah-olah bisa merasakan kehadiran Ares. "Aku berasumsi itu adalah sebuah pujian." "Itu artinya kau terlihat seperti manusia," jawab Ares, mendekat. Elara akhirnya menoleh, dan Ares terkejut melihat ada bayangan kelelahan di matanya, tetapi juga sebuah kelembutan yang baru. "Manusia itu berantakan. Tidak efisien." "Tapi menarik," tambah Ares. "Ya," dia mengakui, matanya menatapnya. "Menarik." Mereka berdiri dalam keheningan untuk beberapa saat, mengamati satu sama lain dengan keterusterangan yang baru. "Aku mempelajari tentang 'consent' dalam penelitian," kata Elara tiba-tiba, memecah kesunyian. "Aku selalu mengira itu hanya tentang formulir persetujuan. Tapi itu lebih dari itu. Itu tentang transparansi. Tentang menghargai otonomi subjek." Dia menarik napas. "Aku tidak menghargai otonomimu, Ares. Aku memanipulasimu. Untuk itu, aku... menyesal." Kata "menyesal" terdengar asing di mulutnya, seperti bahasa yang baru dipelajari. Ares mengangguk, menerima pengakuannya. Itu tidak menghapus rasa sakitnya, tapi itu adalah sebuah awal. "Dan aku mempelajari bahwa kemarahan bukanlah akhir dari segalanya. Itu bisa menjadi sebuah awal. Sebuah cara untuk membersihkan udara." "Seperti badai," tambah Elara. "Ya," setuju Ares. "Seperti badai." Mereka mulai berjalan, berkeliling galeri, membicarakan seni, tentang pola, tentang masa lalu. Percakapan mereka tidak lagi seperti wawancara atau interogasi. Itu adalah sebuah tarian yang seimbang. Elara masih menganalisis, tapi sekarang dia membagikan pemikirannya, mengundang Ares untuk melihat melalui lensanya. Dan Ares membagikan perasaannya, mengajarkan Elara tentang "rasa" dan "intuisi". "Jadi, parameter baru," kata Ares akhirnya, duduk di sebuah bangku kecil. "Apa yang kita lakukan sekarang?" Elara duduk di sebelahnya, menjaga jarak yang sopan tapi tidak dingin. "Aku mengusulkan sebuah jurnal bersama. Sebuah catatan kolaboratif. Kamu menulis tentang pengalamanmu, perasaanmu. Aku menulis tentang observasiku, analisisku. Kita bertemu secara teratur untuk membahasnya. Tidak ada yang disembunyikan." Ares mempertimbangkannya. Itu masih terdaku seperti sebuah eksperimen, tapi setidaknya sekarang dia adalah rekan peneliti, bukan tikus lab. "Dan tentang... yang lain?" tanyanya, suaranya sedikit serak. "Tentang perasaan? Tentang keintiman?" Elara menunduk, memeriksa tangannya. "Aku tidak memiliki data yang cukup di area itu untuk membentuk hipotesis yang kuat," dia berkata, dan Ares hampir tersenyum karena kekakuan nya. Tapi kemudian dia menambahkan, "Tapi aku... terbuka untuk mengumpulkan data lebih lanjut. Dengan kecepatan yang wajar. Dan dengan persetujuan penuh." Ini adalah kemajuan. Sebuah kemajuan besar. "Aku setuju," kata Ares. "Tapi ada satu syarat lagi." "Apa itu?" "Kadang-kadang, kita harus berhenti menganalisis. Dan hanya... merasakan." Elara mengernyitkan hidung, seolah-olah dia baru saja memintanya untuk berjalan di atas api. "Itu terdaku sangat tidak efisien." "Tapi perlu," tekan Ares. "Percayalah." Elara memandangnya untuk waktu yang lama, dan Ares bisa melihat perjuangan di dalam matanya—perlawanan antara kebutuhan untuk mengontrol dan keinginan untuk terhubung. "Aku akan mencoba," dia akhirnya berkata, sebuah komitmen besar baginya. "Itu saja yang kubutuhkan," balas Ares. Mereka meninggalkan galeri bersama, tidak berpegangan tangan, tetapi di antara mereka terdapat sebuah pengertian baru. Sebuah gencatan senjata. Sebuah perjanjian untuk membangun kembali dari puing-puing, kali ini dengan blueprints yang mereka buat bersama. Jalan mereka masih panjang dan berliku. Luka masih segar, kepercayaan masih rapuh. Tapi saat mereka berjalan di bawah langit sore yang jernih, masing-masing melemparkan pandangan ke arah yang lain, mereka tahu satu hal: mereka mungkin gila, tetapi mereka adalah kegilaan yang cocok. Dan mungkin, hanya mungkin, itulah jenis cinta yang paling berbahaya dan paling abadi—yang dibangun bukan di atas pasir, tetapi di atas reruntuhan yang telah mereka hancurkan bersama. TBCPesan "Aku melihat" itu menggantung di antara mereka seperti sebuah gencatan senjata yang rapuh. Tidak ada kata-kata lebih lanjut selama berhari-hari. Tapi keheningan itu berbeda. Bukan lagi keheningan penghindaran, melainkan keheningan pemrosesan. Sebuah jeda untuk menilai kerusakan dan mempertimbangkan langkah selanjutnya.Bagi Ares, grafik yang dikirim Elara itu seperti cermin yang memantulkan kembali dinamika mereka dengan kejelasan yang kejam dan tak terbantahkan. Dia tidak bisa menyangkal kebenaran dalam data itu: amarah dan ketenangannya memang terikat, dan keterikatan itu, entah bagaimana, melibatkan Elara. Dia mulai melihat karyanya sendiri dengan mata baru—bukan sebagai ledakan murni, tetapi sebagai dialog. Sebuah percakapan dengan kekasih yang tak terlihat yang memahami bahasa kekerasan dan kelembutannya.Dia tidak kembali ke apartemen Elara. Tapi dia juga tidak melarikan diri. Dia tinggal bersama Mika, tetapi sekarang dia melukis lagi. Kanvas-kanvas bar
Keesokan harinya, apartemen Elara terasa seperti ruang mayat. Sunyi yang ada bukanlah ketenangan, melainkan kekosongan yang menusuk. Setiap sudut yang biasanya dia tempati dengan data dan pengamatan sekarang hanya menyisakan kehampaan. Dia membersihkan pecahan tablet yang hancur, setiap serpihan kaca terasa seperti potongan dari ilusinya yang ikut remuk. Dia mencoba kembali ke rutinitas. Dia membuat kopi (hanya satu cangkir). Dia membuka laptop, berusaha fokus pada pekerjaan lain—analisis data untuk konferensi neurosains yang akan datang. Tapi matanya terus tertarik ke sudut ruangan tempat Ares biasa meletakkan sepatu botnya. Ke sofa tempat dia sering tertidur. Dia bahkan menemukan sebuah noda cat biru tua di tepi karpet putihnya, dan alih-alih merasa jijik, dia justru berlutut dan menyentuhnya, seolah-olah itu adalah artefak berharga dari sebuah peradaban yang telah punah. Hipotesis salah. Kalimat itu terpampang di layarnya, sebuah pengakuan yang terus
Keesokan harinya, sebuah ketegangan yang tebal dan tak terucapkan menggantung di apartemen. Elara bangun lebih awal, mengubur dirinya dalam data, menciptakan penghalang dari grafik dan kode. Ares terbangun dengan kepala berdenyut dan rasa pahit di mulut, kenangan ciuman itu terasa seperti mimpi buruk yang indah. Mereka menghindari kontak mata. Elara menyajikan kopi tanpa bicara, menempatkannya di meja seolah-olah sedang menempatkan umpan untuk hewan percobaan. Ares mengambilnya, tetapi tidak minum. Dia hanya memandangi cairan hitam itu, melihat pantulan dirinya yang terdistorsi. "Kita harus berbicara," katanya akhirnya, suaranya kasar, memecah kesunyian yang menusuk. Elara tidak menoleh dari layar komputernya. "Tentang apa? Data dari kemarin malam masih dalam proses analisis. Aku butuh waktu—" "Lupakan data, Elara!" hardik Ares, meninju meja sehingga gelas kopinya bergoyang. "Tentang
Kolaborasi mereka menemukan rumah: apartemen Elara. Keputusan itu tidak diucapkan; itu terjadi secara alami, seperti tahap berikutnya dari sebuah eksperimen yang tak terhindarkan. Gudang Ares terlalu berantakan, terlalu "primal", seperti yang dikatakan Elara, untuk pengumpulan data yang optimal. Apartemen Elara, dengan dinding putihnya yang steril dan ruang yang terorganisir, adalah lab yang sempurna. Ares pindah dengan satu tas ransel berisi pakaian dan sebuah kotak berisi cat, kuas, dan beberapa kanvas kecil. Kehadirannya langsung menjadi noda yang hidup di lanskap yang sempurna itu. Jaket kulitnya tergantung di atas kursi Eames yang elegan. Kaleng catnya berjejer di atas meja kaca, meninggalkan cincin-cincin samar. Buku sketsanya yang penuh coretan tergeletak di samping sofa kulit yang bersih. Elara menyaksikan invasi ini dengan perasaan campur aduk antara jijik dan kegembiraan ilmiah. Setiap kekacauan yang ditimbulkan Ares adalah sebu
Hujan turun membasahi kota, mengubah aspal menjadi cermin yang memantulkan lampu-lampu neon dan lampu jalan yang buram. Di dalam gudangnya, Ares mendengarkan dentuman hujan di atap seng, sebuah simfoni kekacauan yang menenangkannya. Dia sedang mengerjakan sebuah karya baru, sebuah potret diri yang terdistorsi yang terpecah menjadi dua: satu sisi penuh dengan goresan merah dan kuning yang marah, sisi lainnya dingin, terukur, dan tertutup garis-garis geometris seperti diagram sirkuit. Di antara kedua sisi itu, terdapat ruang kosong yang berbentuk hati. Ponselnya bergetar di atas bangku kayu yang berdebu. Dia mengabaikannya. Itu pasti Mika atau seseorang dari galeri. Tapi kemudian bergetar lagi. Dan lagi. Sebuah pola. Bukan pola Mika. Dia menyeka tangannya yang penuh cat di celananya dan mengambil ponsel. Unknown Number (Elara): Hujan mengubah pola suara di atapmu. Itu harusnya mengganggu konsentrasimu, tapi sebaliknya. Kenapa? Unknown Number (Elara):Apakah kekacauan eksternal membant
Minggu-minggu berikutnya berubah menjadi tarian yang rumit dan beracun. Sebuah ritual observasi dan provokasi yang dijalani oleh Ares dan Elara dengan disiplin yang hampir religius. Bagi Ares, hidupnya mendapatkan struktur baru yang aneh. Dia tidak lagi hanya bangun untuk melukis atau berkeliaran tanpa tujuan. Dia bangun dengan antisipasi. Akankah dia muncul hari ini? Dia menjadi lebih aware terhadap lingkungan sekitarnya, selalu mencari tanda-tanda Elara: mobilnya yang sederhana dan bersih yang terparkir di ujung jalan, siluetnya di atap gedung seberang, atau bahkan hanya perasaan bahwa dia sedang diamati. Itu membuatnya gila, tapi juga... membuatnya merasa hidup. Dia adalah pusat dari perhatian seseorang yang sangat intens, dan bagi seorang pria yang merasa tidak terlihat sepanjang hidupnya, itu seperti obat. Dia mulai membuat karya seni yang lebih personal, lebih terbuka. Seolah-olah dia melukis untuk audiensi tunggal. Sebuah kanvas besar yang dia beri judul "The Observer's Gaze"