Dulu, di sepanjang jalan ini, berjejer warung-warung kecil. Warung Bu Aminah, Pak Darto, Mbak Sri—semuanya tempat Marwa kecil menitipkan kue buatannya. Bolu kukus, risoles, pastel—dibungkus rapi dalam plastik bening. Setiap sore, selepas pulang sekolah, ia akan berkeliling menagih hasil jualan. Kadang pendapatannya cukup banyak hingga bisa membeli sembako. Tapi kadang hanya cukup untuk menjadi modal untuk esok harinya. Tapi ia tidak pernah mengeluh. Di usianya yang belia, ia sudah mengerti arti kerja keras.Kini, yang tersisa hanya kenangan. Warung-warung itu telah lenyap, berganti tembok kokoh toko-toko besar.Tak berapa lama, langkahnya terhenti di depan gerbang sekolah Nusa Persada. Tempatnya bersekolah dari SD hingga SMP. Gerbang besi tampak tertutup rapat. Sekolah tampak lengang. Tidak ada suara anak-anak berlarian, suara teriakan guru, atau pun tawa ceria anak-anak.Wajar, pikir Marwa. Ini hari Minggu.Ia meraih pagar gerbang dan menempelkan dahinya sesaat di sana, matanya menyu
Marwa menunduk dalam-dalam, pura-pura sibuk meniup uap bakso di hadapannya. Sesekali ia menusuk bakso dengan garpu, mengunyah perlahan, seolah dunia hanya sebatas mangkuk di depannya. Ia sama sekali tak ingin mengangkat wajah, apalagi bertukar basa-basi busuk dengan lelaki itu.Suara langkah kaki berat bergema di lantai keramik warung sederhana Mang Ucup. Sejurus kemudian aroma parfum maskulin yang samar langsung membanjiri indra penciumannya. Marwa berdecak. Akhir-akhir ini ia sudah terlalu sering menghidu aroma ini. "Wih, si Haryo makin berumur makan seksoy, euy," bisik Tiwi.Haryo masuk ke dalam warung dan mengangguk singkat ke arah mereka bertiga atau berempat dengan Marwa. Marwa tidak tahu jelas karena ia sama sekali tidak melihat ke arah Haryo. Tiwi, Dewi, dan Aini membalas anggukkan Haryo dengan senyum ramah, sementara Marwa mencebik dalam diamnya.Sambil tetap menunduk, telinga Marwa menangkap obrolan antara Haryo dan Mang Ucup di balik meja kasir kecil."Hallo, Mang. Apa kab
"Aku tinggal dengan Opa dan Oma di Surabaya sampai aku menyelesaikan PPDS dan resmi menyandang gelar Sp.B. alias dokter bedah. Setahun kemudian, Opa meninggal di susul Oma karena usia. Setelah urusanku di sana selesai, baru aku balik ke sini untuk menyelesaikan masa lalu yang menggantung," ujar Marwa apa adanya. "Tapi Wa, aku penasaran deh. Kamu kok bisa menjadi dokter bedah secepat ini? Baru tiga puluh tahun, kamu sudah menjadi dokter spesialis. Aku saja umur segini masih struggling dengan klien-klien yang menyebalkan," Dewi mendecakkan lidah."Iya, Wa. Banyak teman-temanku yang dokter, mau masuk PPDS saja harus antri. Lha, kok kamu kayak ngebut begitu." Kali ini Tiwi yang penasaran. Marwa tersenyum pahit sambil meletakkan sendok baksonya."Aku juga tidak menyangka bisa sampai di titik ini. Tapi ya... semua dimulai dari rasa kehilangan. Di malam saat kebakaran itu, satu-satunya yang ada di kepalaku adalah: aku harus keluar dari rumah hidup-hidup-secara harfiah maupun kiasan." Marwa
"Jadi benar ya, Pak, kalau almarhum Pak Marno dulu ingin membalik nama salah satu rumah kontrakannya? Makanya beliau bermaksud memecah PBB?" Di Minggu pagi yang cerah Marwa mengunjungi Pak Rahmad sekaligus memulai penyelidikannya. Sebagai ketua RT di masa itu, sedikit banyak Pak Rahmad pasti mengetahui perihal dokumen-dokumen Pak Marno. Pak Rahmad mengangguk. "Iya, betul. Waktu itu ia sempat datang ke sini. Mau urus pemecahan PBB, katanya. Tapi ya... belum sempat selesai, malah kecelakaan duluan."Marwa menegakkan punggungnya. Ia mulai tertarik mendengarnya. "Akhirnya tidak jadi dipecah ya, Pak?""Jadi. Tapi bukan oleh Pak Marno.""Lho jadi oleh siapa? Bu Ida?" tanya Marwa lagi.Pak Rahmad menggeleng. "Bukan, Bu Ida. Tapi Haryo. Setahun setelah Pak Marno meninggal, Haryo mengurus pemecahan PBB yang sebelumnya global menjadi beberapa rumah. Katanya, ibunya sudah tidak mau mengurus usaha kontrakan lagi. Terlalu banyak kenangan yang menyakitkan, katanya." "Setelah diurus, lantas bagaim
Marwa menoleh ke belakang. Ada Hani dan seorang laki-laki yang menuntun bocah kecil. Tebakannya, mereka adalah suami dan anak Hani."Jaga ucapanmu, Han!" Haryo memelototi sang adik."Hani, sudahlah. Jangan membuat keributan di rumah sakit," sang suami memperingatkan Hani.Marwa yang merasa tidak punya urusan lagi di rumah sakit, melenggang pergi. Bisa sakit kuning kalau ia terlalu lama berada di dekat Hani dan Haryo."Mau ke mana kamu?" Hani menegur Marwa yang baru saja berjalan beberapa langkah. Mendengar teguran itu, Marwa membalikkan badan."Aku mau mengambil mobil di mal. Tadi, setelah menolong ibumu yang kolaps, aku memanggil ambulans sekaligus ikut masuk untuk memantau jantung ibumu."Hani terdiam. Ia tidak menyangka kalau Marwa-lah yang menolong ibunya. Sekarang, ia jadi merasa serba salah."Ibu Dokter juga menemani Wawa di mobil, uiw uiw, Tante. Wawa takut sekali," ujar Najwa tiba-tiba, berdiri di samping Marwa dan menyelipkan jemari mungilnya ke tangan Marwa. Hani makin meras
Minggu sore yang seharusnya santai berubah tegang dalam sekejap. Marwa tengah menyusuri deretan butik di lantai dua pusat perbelanjaan ketika sebuah teriakan panik memecah riuh rendah musik dan obrolan.“Tolong! Ada yang pingsan!” teriak seorang pramuniaga dari lantai bawah.Seperti ditarik magnet, para pengunjung segera berkerumun ke arah suara. Marwa yang penasaran ikut mendekat, lalu bertanya pada seorang wanita yang baru saja meninggalkan kerumunan.“Ada apa, Bu?” tanya Marwa penasaran.“Ada ibu-ibu pingsan waktu belanja. Kasian sekali. Mana bawa cucu lagi."Marwa mengangguk dan menatap sekeliling. Sekonyong-konyong matanya tiba-tiba menangkap sosok kecil yang dikenalnya—Najwa, putri kecil Haryo. Gadis mungil itu berdiri mematung di tepi kerumunan, tubuhnya gemetar, air mata membasahi pipi.“Wawa?” Marwa memanggil sang gadis kecil. Najwa menoleh dan saat matanya menangkap sosok Marwa, dia langsung berlari dan memeluk kaki Marwa dengan erat."Dokter... Nenek jatuh... Nenek jatuh...
Tante Hilda terdiam sesaat, lalu berkata pelan, “Tapi bukannya dulu polisi bilang itu akibat korsleting listrik?”“Aku yakin bukan,” jawab Marwa tegas. “Pasti ada yang sengaja membakarnya. Dan aku akan cari tahu siapa pelakunya, sampai ketemu.”Tante Hilda menghela napas panjang. “Terserah lo aja. Tapi saran gue lo harus belajar menerima masa lalu sebagai bagaian dari perjalanan hidup lo. Dengan begitu hidup lo akan lebih enteng dan syukur-syukur bisa bahagia." Marwa belum sempat menjawab saat ponselnya tiba-tiba berbunyi. Siska meneleponnya. "Ya, Sis?" Marwa mengangkat telepon dari Siska. "Kamu jam berapa ke sini, Wa? Aku sudah mati kutu ini ditawarin mobil terus oleh sales-sales di sini. Cepetan dong ah kesininya. Kamu jadi beli mobil kan?" "Iya, jadi. Aku ke sana sekarang." Marwa menutup telepon dan berpamitan dengan Tante Hilda. KTP Jakartanya sudah keluar. Oleh karenanya ia sudah bisa membeli mobil. *** Showroom mobil Jepang dengan logo tiga bulatan merah tampak mencolok da
Tante Hilda meletakkan dua cangkir kopi di atas meja kayu yang mulai kusam dimakan usia. Aroma tembakau dan kopi bercampur, memenuhi ruang tamu yang temaram. Ia duduk perlahan, sambil mengusap lututnya yang akhir-akhir ini sering pegal.“Beginilah kalo badan udah makin tua, Wa. Jadi gampang ngadat. Padahal dulu, gue sama ibu lo paling kuat berdiri semalaman menyajikan minuman,” katanya seraya menyalakan sebatang rokok. Asap mengepul dari ujungnya, melayang lambat ke langit-langit ruangan.“Diminum kopinya, Marwa. Tenang aja, gue nggak naro narkoba di dalemnya,” selorohnya, setengah bercanda.Marwa terkekeh pelan, lalu meniup uap kopi di hadapannya. Aroma pahit itu menenangkan, meski suasana hatinya jauh dari kata tenang. Tante Hilda masih seperti dulu—barbar, terus terang, dan tanpa sensor."Tante, ceritakan soal Stadium, dong." Marwa memulai penyelidikannya. Tante Hilda berdecak kecil, lalu menyandarkan punggungnya.“Ngapain lo nanya-nanya soal Stadium? Stadium itu club teler. Orang
“Beberapa hari setelah itu, warga Gang Kenanga mulai sering melihat ibumu—naik mobil Ayahku. Sampai akhirnya... kecelakaan itu terjadi. Mereka tewas dalam satu mobil.”Hening. Keduanya tenggelam dalam pikirannya masing-masing.“Aku tahu ini tidak mudah untukmu. Tapi itulah kenyataan yang harus kamu terima,” tukas Haryo pahit.“Oke. Kamu sudah menyampaikan versimu dan aku mendengarkannya sampai tuntas tanpa menyela. Sekarang, gantian dengarkan versiku sampai selesai.”Haryo mengangguk singkat. “Oke.”“Pertama, bagaimana mungkin ayahmu bisa menjual tanah-tanah itu tanpa melibatkan ibumu? Bukankah perlu tanda tangan istri untuk akad jual beli?”“Bisa saja,” jawab Haryo tenang. “Karena tanah-tanah itu adalah milik Ayah sebelum menikah dengan Ibu. Tanah bawaan. Jadi, tak perlu tanda tangan Ibu.”“Oke, masuk akal,” ujar Marwa sambil mengangguk. "Yang kedua, kalau memang benar ayahmu memberi uang dalam jumlah besar pada ibuku, logikanya ibuku sudah kaya, sehingga ia tidak harus banting tula